Putaran Perundingan Helsinki Tahap III

Adapun hal lain mengenai tuntutan Pemerintahan Indonesia terhadap GAM, adalah: a. Menjalankan secara konsisten semua produk hukum terkait Otonomi Khusus b. Menyerahkan minimal 900 pucuk senjata, c. Menyerahkan pengamanan Aceh kepada TNI dan Polri. Karena lancarnya persidangan maka perundingan putaran ketiga berakhir lebih cepat, hal tersebut terjadi berkat adanya lobi-lobi CMI dan dukungan dari masyarakat sipil. Berkat lobi dan kepiawaian mediatorisasi yang dilakukan oleh CMI akhirnya tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak telah membahas dan menyepakati sejumlah isu krusial sebagai berikut: a. Kedua belah pihak memandang bahwa penyelesaian secara permanen dan komprehensif konflik Aceh Both parties seek a permanen and comprehensive solution with dignity for all b. Menegosiasikan definisi kerangka dari struktur administratif Aceh The negotiations will seek to define the framework for the local administrative structure of Aceh c. Eksplorasi atas partisipasi local dalam pemilu The negotiations will explore the form of participation in local elections d. Mendefinisikan secara rinci mengenai amnesty The negotiations will define the details of providing amnesty e. Transparansi dalam hal pendapatan dan alokasi dana antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh Transparency will be enhanced for the collection and allocation of revenues between the central government and Aceh f. Kedua belah pihak membuka peluang bagi regional organisasi untuk memonitor komitmen yang akan disepakati oleh kedua belah pihak Both parties welcome the possible involvement of regional organizations in monitoring the commitements that will be undertaken by the parties in the agreement g. Kedua belah pihak tidak melakukan pergerakan pasukan selama proses perundingan berlangsung Both parties will do their utmost to restrain their security forces in the field during the negotiations process. 24

4. Putaran Perundingan Helsinki Tahap IV

Berkat peranan CMI sebagai mediator dan telah menjadikan rasa saling percaya antara pemerintahan Indonesia dan GAM, maka kedua delegasi telah menemukan titik temu dari setiap masalah yang dibicarakan. Pada babak keempat ini, yang berlangsung pada 26-31 Mei 2005, masalah utama yang dibahas adalah mengenai soal-soal partisipasi politik dan keamanan by rebels dalam kerangka self government. 25 Di mana usul pembentukan partai lokal di Aceh, secara tegas ditolak oleh delegasi Indonesia dengan alasan bahwa hal tersebut akan memancing daerah-daerah lain untuk turut mendirikan partai lokal berdasarkan etnis atau fanatisme agamanya saja. Putaran keempat merupakan titik kritis kedua. Pertemuan awal, hari pertama, dengan delegasi RI yaitu membicarakan masalah partisipasi politik 24 Ibid, h. 192. 25 Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh, h. 21. GAM. Pertemuan hanya antara pimpinan delegasi kedua belah pihak, Ahtisaari meminta keduabelah pihak yang bertikai untuk memfokuskan pembicaraan pada konsep dan rencana pemberian amnesti. Siang hari, dilanjutkan dengan pertemuan para pimpinan kedua belah pihak, Pertemuan antara Martti Ahtisaari dengan para pimpinan kedua belah pihak, untuk membuka dengan agenda partai politik lokal agar GAM bisa melakukan kegiatan politik dengan hak-hak yang sama dengan warga negara lainnya. CMI meminta agar pimpinan delegasi Indonesia, Hamid Awaludin, untuk menjabarkan mengenai klasifikasi amnesti. Dilanjutkan dengan agenda pengaturan ekonomi, pajak, spesifikasi tentang fasilitas integrsi bagi korban konflik Aceh. Hari kedua, pertemuan para pimpinan delegasi dengan penasehat GAM, Damien Kingsbury, seorang professor asal Australia. Ahtisaari ingin mendengar pendapat Damien, mengenai masalah otonomi untuk Aceh, tetapi dari hasil pembicaraan, Damien tidak bisa memberikan masukan banyak, dan terlihat tidak memahami konteks konflik sesungguhnya, dan tidak mengikuti perkembangan pemerintahan di Indonesia. Dalam putaran keempat ini juga CMI mengajukan pembentukan misi pengawasan oleh Uni Eropa. Hari kelima, putaran keempat, CMI memfasilitasi kedua belah pihak yang bertikai untuk bertemu dengan kepala misi pengasawan yang telah ditunjuk oleh Uni Eropa, Pieter Feith. Pieter Feith sebagai direktur pengawasan diberikan wewenang yang sangat luas untuk bekerja di provinsi ini. Beliau bahkan memiliki keputusan akhir dalam pertanyaan-pertanyaan kontroversial, seperti siapa yang akan diampuni dan siapa yang tidak. Menyerahkan kekuasaan yang luas tersebut kepada orang asing tidak akan mudah di negara manapun. Juga mengenai fakta yang didapat bahwa Feith adalah warga negara Belanda, negara kolonial yang sebelumnya pernah berkuasa di Indonesia, telah membuat masalah lebih menjadi tidak mudah bagi pemerintah Indonesia untuk menerima kenyataan tersebut pada masa perundingan. Meskipun demikian, kemajuan yang dicapai dalam sidang putaran keempat yang kemudian akan menemukan titik penyelesaian disambut oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, ia menyatakan bahwa putaran keempat telah menyepakati 90 persen isu-isu krusial mengenai amnesti, ekonomi, dan politik tersebut akan segera dibawa dalam pertemuan formal yang diikuti dangan penandatanganan pardamaian. 26 Sama seperti CMI juga menyikapi hasil sidang putaran keempat dengan penuh optimisme dan mulai menyiapkan draft Nota Kesepahaman yang akan dibahas pada putaran kelima.

5. Putaran Perundingan Helsinki Tahap V

Pada akhir perundingan babak kelima di Vantaa, Helsinki, Juni 2005, perundingan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka telah tuntas. Kedua kubu berhasil mencapai titik temu dalam sejumlah agenda. Tetapi tak semua berjalan lancar, ada persoalan yang kemudian muncul, yakni keinginan GAM agar di Nanggroe Aceh Darussalam diperbolehkan untuk mendirikan partai politik lokal. Pemerintah Indonesia sempat bingung menanggapi tuntutan pembentukan partai politik lokal tersebut. Karena usul tersebut bertentangan dengan UU No.31 Tahun 2002 tentang partai politik, yang mengharuskan setiap 26 Damien Kingsbury, Peace In Aceh, h. 100. partai berpusat di Jakarta dan setidaknya punya cabang di sebagian jumlah provinsi di Indonesia. 27 Putaran kelima sempat mengalami jalan buntu dan perundingan hampir terancam bubar tetapi akhirnya bisa diatasi oleh CMI. CMI meminta agar perundingan bisa dimulai denga draft MOU, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan dengan kedua delegasi, CMI memberikan kesempatan kedua belah pihak untuk mengungkapkan beberapa pernyataan sikap dari para ketua delegasi. Kemudian dilanjutkan dengan membahas draft MOU, mulai dengan istilah Pemerintahan Aceh dan juga partisipasi GAM dalam politik. Siang hari pada hari pertama, kembali dilanjutkan pertemuan kedua belah pihak, Ahtisaari mengajak untuk membahas soal hak asasi manusia. Dilanjutkan CMI mengangkat agenda tentang pengaturan keamanan. Saat GAM mulai susah diajak diskusi lagi, CMI dengan luwes mengingatkan GAM untuk kembalik ke jalur bahwa pertemuan ini adalah untuk mencari solusi damai. Dalam suasana yang hampir “deadlock” tersebut, CMI kembali menunjukan kemampuannya sebagai mediator dan di Indonesia Wapres Jusuf Kalla kembali menunjukan pengaruhnya yang besar terhadap kalangan politisi haluan garis keras. Melalui lobi-lobi intensif yang dilakukan oleh Marttin Ahtisaari dan Juha Christensen terhadap kedua delegasi dan pendekatan yang dilakukan Wapres Jusuf Kalla terhadap tokoh-tokoh politik dan TNI di Jakarta, maka terjadilah beberapa kali pertukaran draft dan diskusi mengenai pendirian partai lokal yang akhirnya sampai pada kesepakatan bahwa pemerintah Indonesia 27 Tempo, “Menanti Partai Lokal GAM”, Edisi 25-31 Juli 2005, h. 10.