Qur’an itu sendiri. Rasulullah telah memberitahukan dan para sahabat telah mengenal dan memperbincangkannya. Dari sinilah dapat diketahui
bahawa tafsir dan tasawuf praktis telah ada sejak dulu sebagaimana halnya Tafsir bil al-Ma’tsûr.
Al-Farmawi menjelaskan bahwa penafsiran semacam ini dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Tidak menafsirkan makna lahir pengertian tekstual dari ayat-ayat al-
Qur’an. 2.
Didukung oleh dalil-dalil lain. 3.
Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara’ dan rasio. 4.
Penafsirannya tidak mengklaim bahwa hanya penafsirannya yang dikehendaki Allah, bukan tekstual, sebaiknya ia harus mengakui
pengertian tekstual dari ayat terdahulu.
67
Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka barulah dapat diterima tafsir ini, apabila sebaliknya, tidak memenuhi persyaratan maka penafsiran
tersebut bisa mardûd ditolak. Dan berikut ini adalah beberapa kitab tafsir Sufi: Tafîir al-Qur’an al-
Karim karangan al-Tusturi, Haqâiq al-Tafsîr karangan al-Salami, Arâis al- Bayân Haqâiq al-Qur’an karangan imam al-Syairâzi
68
3. Tafsir Falsafi
Tafsir Falsafi adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori–teori filsafat. Dalam hal ini penafsiran yang
67
al-Farmawi, Metode, h. 18
68
al-Farmawi, Metode, h. 18
menggunakan corak ini sudah menguasai pengetahuan tentang filsafat, sehinggga mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan teori tersebut.
Kemunculan corak tafsir jenis ini dilatarbelakangi dengan berkembangnya ilmu dan budaya. Gerakan para penerjemah tumbuh dan giat dilaksanakan
pada masa Bani Abbasiyah dan berbagai ilmu digali, terutama buku-buku filsafat karya filosof.
Dalam menanggapi buku-buku filsafat, para ulama dibagi menjadi dua kelompok yaitu yang menerima dan yang menolak. Kelompok yang
mengagumi dan menerima filsafat mencoba mengkompromikan titik temu antara filsafat dan agama, serta menyingkirkan beberapa pertentangan
walaupun di dalamnya terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan nas-nas syara’. Golongan ini hendak menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an berdasarkan teori filsafat semata, akan tetapi mereka gagal karena tidak mungkin nas-nas al-Qur’an mengandung teori mereka. Sedangkan
kelompok yang menolak berpendapat bahwa mereka menemukan adanya pertentangan antara agama dan filsafat. Kelompok ini secara radikal
menentang filsafat dan berupaya menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah al-Ghazali dan al-Fakhr al-Râzi. Kedua tokoh ini
memaparkan pemikiran- pemikiran filsafat yang bertentangan dengan agama, khususnya dengan al-Qur’an dan akhirnya ia menolak filsafat
dengan tegas berdasarkan alasan dan dalil-dalil yang dianggap memadai.
69
69
al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 62
4. Tafsir ‘Ilmi
Tafsir I’lmi adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al- Qur’an dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat yang
akan ditafsirkan adalah ayat-ayat kauniah, sedangkan menurut Farid Abd al-Rahman definisi tafsir ‘ilmi yang menghendaki pada yang jamai’
global dan ma’ani mengandung beberapa makna adalah usaha keras para mufassir untuk mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah di
dalam al-Qur’an dengan penemuan ilmiah yang bertujuan memperlihatkan kemukjizatan al-Qur’an.
70
Penafsiran ini telah dimulai sejak zaman Bani Abbasiyah al-Zahabiyah yang pada saat itu ada upaya-upaya dari sebagian ulama untuk
mengkompromikan ajaran-ajaran Islam dengan tsaqofah kebudayaan asing yang diterjemahkan, serta sains murni yang ditemukan di tengah-
tengah kaum muslimin.
71
Al-Ghâzali w. 1059-1111 M adalah tokoh yang paling gigih dalam mendukung tentang ide-ide tafsir ini. Dalalm kitabnya
Ihya Ulûm al-Dîn dan Jawâhir al-Qur’an, beliau mengemukakan alasan- alasan untuk membuktikan pendapatnya. Disini al-Ghâzali menyatakan
bahwa segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu maupun yang kemudian, baik yang telah diketahui atau belum, itu semua bersumber dari
al-Qur’an.
72
70
Farid Abdur Rahman, Ijtihad al-Tafsir fi al-Qorn al-Rabi Asyar Jeddah: mamlakah Al- Arabiyah As- Su’udiyah, 1986, h.549
71
Abd al-Majid Abdussalam Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer, Moh. Mansur Wahid penerj. Bangil: Al- Izzah, 1977, Cet. Ke-1, h.257
72
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din Kairo: Al- Tsaqofah al-Islamiyah, 1356 H., Jilid 1, h. 301
Seperti halnya tafsir falsafi, sikap para ulama dapat dikelompokkan menjadi dua:
1. Sebagian ulama mendukung dan menerima Tafsir ‘Ilmi, sehingga
menjadikan al-Qur’an sebagai mukjizat ilmiah, oleh karena itu ia mencangkup segala macam penemuan dan teori-teori ilmiah modern.
Mereka berkata: “al-Qur’an itu menghimpun ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak keseluruhannya tidak dapat
dijangkau oleh manusia, bahkan ia mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh dan yang akan terjadi sebelum ia turun.” Pandangan mereka
dilandasi dengan firman Allah SWT:
ﺊﻴﺷ ﻣ بﺎ ﻜ ا ﻲﻓ ﺎ ﻃﺮﻓ ﺎﻣ مﺎ ﻻا
: 30
“Tidaklah kami alpakan hilangkan sesuatu pun dalam kitab al- Qur’an” al- An’am:30
Juga firman Allah SWT:
ﺊﻴﺷ ﻜ ﺎ ﺎﻴﺒ بﺎ ﻜ ا ﻚﻴ ﺎ ﺰ و ﺤ ا
: 89
Dan Kami tururnkan kepadamu al-Kitab al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu.”al-Nahl: 89
2. Sebagian ulama lain menolak tafsir ini, mereka menilai bahwa tafsir ini
telah melangkah begitu jauh sehingga ayat-ayat al-Qur’an harus dihadapkan dengan teori-teori tidak benar selama berpuluh-puluh
tahun. Mereka beranggapan bahwa al-Qur’an bukanlah berbicara kepada manusia tentang problematika kosmologi dan kebenaran-
kebenaran ilmiah, akan tetapi al-Qur’an semata-mata merupakan kitab petunjuk yang diturunkan Allah untuk kebahagiaan manusia. Oleh
karena itu, al-Qur’an harus dijauhkan dari pemikiran-pemikiran yang mengada-ada dan tidak boleh menundukkannya kepada teori-teori dan
penemuan-penemuan ilmiah. Di antara sikap ulama ini, terdapat beberapa ulama yang bersikap moderat dengan mengatakan bahwa
tidak ada salahnya mengetahui ilmu dengan mengungkapkan hikmah dan cahaya yang terkandung dalam ayat-ayat kauniyah. Mereka
beranggapan bahwa ayat-ayat itu tidak hanya bisa dipahami menurut pemahaman bahasa Arab, oleh karena itu al-Qur’an diturunkan untuk
semua umat manusia. Semua orang dapat menggali sesuatu dari al- Qur’an sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sepanjang hal itu
tidak bertentangan dengn tujuan pokok al-Qur’an, yaitu sebagai petunjuk dan sasaran yang hendak ditujunya adalah sebagai tuntutan
hidup manusia.
73
Ulama kontemporer yang mendukung tafsir ‘Ilmi ini adalah Tantâwi Jauhari. Pendapat yang dikemukakannya adalah bahwa al-Qur’an
mengandung lebih dari dari 750 ayat yang berhubungan dengan sains dan hanya 150 ayat yang berkenaan dengan fiqh. Namun kebanyakan ulama
membuat karya tafsir yang berhubungan dengan ilmu fiqh. Ia berkeyakinan bahwa bila al-Qur’an dijadikan petunjuk dan pendorong
pengembangan ilmu pengetahuan, maka orang Islam dapat memperbaiki
73
al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 65
nasibnya..Sedangkan salah seorarang ulama yang menolak corak tafsir ini adalah Mahmud Syaltut.
74
Adapun kitab-kitab yang bercorak tafsir ‘lmi adalah: al-Islam yatahaddad karangan Wahid al-Din Khan, al-Islam fi A’sr al-‘Ilmi
karangan Muhammad Ahmad al-Ghamrawi, al-Ghida’ wa al-Dawa’ karangan Jamal al-Din al-Fahadi, dan al-Qur’an wa al-‘Ilm al-Hadits
karangan Abd al-Razzaq Naufal.
75
5. Tafsir Adâbi Ijtimâ’i’