nasibnya..Sedangkan salah seorarang ulama yang menolak corak tafsir ini adalah Mahmud Syaltut.
74
Adapun kitab-kitab yang bercorak tafsir ‘lmi adalah: al-Islam yatahaddad karangan Wahid al-Din Khan, al-Islam fi A’sr al-‘Ilmi
karangan Muhammad Ahmad al-Ghamrawi, al-Ghida’ wa al-Dawa’ karangan Jamal al-Din al-Fahadi, dan al-Qur’an wa al-‘Ilm al-Hadits
karangan Abd al-Razzaq Naufal.
75
5. Tafsir Adâbi Ijtimâ’i’
Tafsir Adabi Ijtima’i adalah suatu corak tafsir yang menafsirkan ayat- ayat al-Qur’an yang mengungkapkan dari segi balaghah dan
kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan susunan yang dituju oleh al-Qur’an mengungkapkan hukum-hukum alam dan tatanan-tatanan
kemasyarakatan yang dikandungnya.
76
Dilihat dari perkembangannya, munculnya corak tafsir ini akibat dari berkembangnya kebudayaan
modern. Bila kita amati, tafsir-tafsir pada saat ini banyak menonjolkan segi estetika bahasa yang dikomparansikan dengan elemem-elemen lain
yang masih berstandar pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam tafsir ini, mufassir tidak terjebak ke dalam suatu penafsiran
yang terbelit-belit. Dia tidak lepas memberikan perhatian khusus pada segi nahwu, bahasa, istilah-istilah dalam balaghah dan perbedaan-perbedaan
mazhab. Kemudian dalam tafsir ini, mufassir tidak membeberkan berbagai
74
al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer., h. 286
75
al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 68
76
al-Munawwar, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, h.37
segi yang justru dengan segi-segi itu menjauhkan pembaca dari inti al- Qur’an, sasaran dan tujuan akhirnya.
77
Muhammad Husain al-Dzahabi sebagaimana dikutip al-Aridl dalam kitab al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, menerangkan sifat kitab-kitab tafsir yang
lahir dengan corak Adâbi Ijtimâ’i sebagai berikut: Kelompok ulama yang menafsirkan al-Qur’an dangan Adâbi Ijtimâ’i
mampu mengungkapkan segi balaghah al-Qur’an dan mukjizatnya, menjelaskan juga makna-makna dan saran-saran yang dituju oleh al-
Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam yang agung dan tatanan- tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya, mampu memecahkan
problematika umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya dengan mengedepankan petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan ajaran-ajaran
yang dapat diperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, memadukan al- Qur’an dan teori-teori ilmiah yang benar, menegaskan kepada manusia
bahwa al-Qur’an adalah kitab yang abadi yang mampu mengikuti perkembangan waktu dan manusia, mampu menolak kesamaran keraguan
dan dugaan yang salah terhadap al-Qur’an dengan argumen-argumen yang kuat dan mampu menundukkan dan menolak kebatilan sehingga jelas
bahwa al-Qur’an itu benar.
78
Adapun tafsir yang ditulis dengan corak adâbi Ijtimâ’i adalah: Tafsîr al-Manâr karangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsîr al-
Qur’an karangan Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Qur’an al-Karim karangan
77
al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 67
78
al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 71-72
Mahmud Syaltut, dan Al-Tafsîr al-Wahid karangan Muhammad Mahmud Hijazi.
BAB III AL-SÂBÛNÎ DAN TAFSIRNYA
Khasanah keilmuan Islam terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Salah satu bukti atas hal tersebut adalah bermunculannya kitab-kitab tafsir
yang menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang mufassir dan kondisi pada saat itu. Semua itu merupakan usaha para
mufassir untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an sesuai dengan metode yang menurutnya lebih baik dan mudah untuk menyampaikan makna-makna al-Qur’an.
Hal tersebut tentu berdampak pada pembahasan dan penjelasan dalam penafsiran terhadap makna-makna yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Al-Sâbûnî adalah salah satu mufassir yang ikut serta dalam perkembangan khasanah keilmuan Islam. Berikut ini penulis akan memperkenalkan sosok al-
Sâbûnî dan beberapa karya yang telah dihasilkannya.
A. Riwayat Hidup dan Sejarah Intelektual
Nama lengkap beliau adalah Muhammad ‘Ali bin Jamîl al-Sâbûnî. Ia dilahirkan pada tahun 1347 H 1928 M. Ia adalah dosen di Fakultas Syari’ah
dan Dirâsah Islamiyyah di Mekkah.
1
. Al-Sâbûnî memulai belajarnya dari kecil di Suria, sehingga menamatkan
Tsanawiyah setingkat dengan SMU , itu merupakan akhir belajarnya di Suria. Kemudian ia meneruskan belajarnya di Universitas al-Azhâr Mesir,
sehingga ia mendapatka gelar Lc sama dengan gelar Sarjana S1 pada
1
Muhammad Ali Iyazi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, Wizarah al- Tsaqofah wa al-Irsyad al-Islamiyah h. 407