Motivasi Penulisan Safwat al-Tafâsîr Sumber Penafsiran Safwat al-Tafâsîr

Lembar pertama : Setelah satu lembar sampul dalam, terdapat surat yang ditulis langsung oleh al-Sâbûnî untuk penerbit Dar al-Kutub al-Islamiyah dengan tulisan tangan. Lembar ke dua sampai tujuh : kitab ini menyertakan pula beberapa sambutan dari para ulama. Dalam lembaran-lembaran ini terdapat sambutan dari guru besar al-Azhar Abdul Halim Mahmud, Ketua Majlis Qadha di Masjid al-Haram Abdullah bi Hamid, Ketua Perkumpulan Ulama India Ali al-Hasan, Rektor Universitas Malk Abdul Aziz Abdullah Umar Nashif, Dekan Fakultas Syari’ah dan Dirasat Rasyid bin Rajih, Khatib Masjid al-Haram Abdullah Khayyat, dan yang terakhir sambutan dari Ketua Jurusan Dakwah dan Ushuluddin Muhammad al-Ghazali Lembaran ke delapan: setelah menyertakan beberapa sambutan, kemudian barulah Muqaddimah atau sambutan yang di sampaikan al- Sâbûnî yang ditulis pada 1399 H. Layout Konten : Pada juz I, diawali dengan surah 1, al-Fatihah dan diteruskan dengan surat-surat selanjutnya sesuai dengan susunan mushaf.. Buku ini ditulis dengan kertas berukuran A5. Font arab dituli dengan Traditional Arabic. Dan pada akhir setiap jilidnya al-Sâbûnî mencantumkan daftar tema dan daftar hadis-hadis Nabi saw yang terdapat pada jilid tersebut.

D. Motivasi Penulisan Safwat al-Tafâsîr

Setiap segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang, baik dalam bekerja ataupun menulis sebuah karya, pasti memiliki latar belakang atau motivasi. Motivasi merupakan dorongan seseorang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang sedang ia lakukan. Begitu juga dengan al-Sâbûnî, ia mempunyai motivasi dalam menulis kitab Safwat al-Tafâsîr. Ketika al-Sâbûnî melihat seorang muslim menyibukkan waktunya untuk mencari kehidupan dunia, dan telah sempit hari-harinya untuk kembali kepada tafsir-tafsir yang besar yang telah dikarang oleh ulama-ulama terdahulu, yang telah menjelaskan dan memperinci ayat-ayat al-Qur’an, menampakkan sisi kebalaghahan, menjelaskan sisi kemukjizatan, memunculkan ketentuan syarî’ah, hukum-hukum, akhlaq, dan sisi pendidikannya. Ia juga menyadari bahwa kewajiban ulama sekarang untuk menggantikan peranan ulama-ulama terdahulu untuk memudahkan manusia dalam memahami al-Qur’an dengan uslub-uslub yang jelas, penjelasan yang murni, yang tidak ada sisipan dan penjelasan yang panjang, tidak menjelaskan hanya sisi aqidah dan syaria’ah, hendak memunculkan sisi kemukjizatan dan kebalaghahan dari al-Qur’an, dan menyambut kebutuhan pemuda yang terpelajar yang haus atas ilmu dan pengetahuan al-Qur’an. Ketika ia merasa belum menemukan tafsir yang memilki sifat yang telah disebutkan, maka ia berniat untuk membuat karya yang dapat memenuhi sifat atau kriteria tersebut. Dengan harapan seorang muslim dapat mudah memahami ayat-ayat al-Qur’an dan menambah keimanan dan keyakinan baginya. 10 Lebih lanjut lagi, al-Sâbûnî menjelaskan dalam muqaddimahnya, bahwa kitab tersebut dinamakan “Safwat al-Tafâsîr” karena menggabungkan pendapat-pendapat dari kitab-kitab tafsir yang besar. Dengan harapan 10 Lihat Muqaddimah al-Sâbûnî dalam kitab kitab Safwat al-Tafâsîr, Jakarta; Dar al- Kutub al-Islamiyah.1999 Jilid I. bermanfaat bagi umat Islam dengan penjelasannya, sehingga menjadi jalan bagi umat menuju pemahaman yang benar.

E. Metode Penafsiran Safwat al-Tafâsîr

Al-Sâbûnî sebagai seorang penafsir al-Qur’an menggunakan berbagai metode dalam menafsirkan al-Qur’an. di dalam menafsirkan al-Qur’an terutama Safwat al-Tafâsîr, al-Sâbûnî menggunakan metode sebagai berikut:

1. Menjelaskan Makna Global Surat

Sebagai seorang mufassir yang sangat menguasai isi al-Qur’an, al- Sâbûnî dalam Safwat al-Tafâsîr memulai penafsirannya dalam suatu surat dengan menjelaskan isi global dari surat yang akan ia bahas, atau bahasa yang ia pakai yaitu Baina Yadai al-Surah. Di dalam Baina Yadai Surah al-Sâbûnî menjelaskan: 1. Surat tersebut termasuk dalam surat makiyah atau madaniyah 2. Menjelaskan isi global dari surat tersebut Seperti yang dapat dilihat dalam penjelasan al-Sâbûnî terhadap surat al-Baqarah: Surat al-Baqarah merupakan surat terpanjang dari semua surat, dan merupakan surat Madaniyah yang menjelaskan masalah syari’ah, Bentuk keadaannya seperti seluruh surat Madaniyah, yang menghimpun tatanan dan ketentuan-ketentuan syarî’ah yang dibutuhkan orang-orang muslim dalam kehidupan sosial mereka. Surat ini mencangkup atas mayoritas hukum-hukum syarî’ah diantaranya: akidah, ibadah, mu’amalat, akhlaq, urusan pernikahan, talak, ‘iddah, dan lain-lain dari hukum syarî’ah. Dalam surat tersebut juga menyebutkan sifat-sifat orang beriman, kafir, dan munafik. Dan menjelaskan hakikat iman, kekafiran dan kemunafikan, dan juga membedakan perbedaan antara orang-orang yang beruntung dan merugi. 11

2. Menjelaskan Penamaan Surat

Secara garis besar, penamaan surat di dalam al-Qur’an berbeda pendapat, ada yang mengatakan penamaan suatu surat adalah Ijtihâdi dan ada pula yang mengatakan Tauqîfî sudah ditentukan oleh Nabi saw . 12 Al-Sâbûnî dalam memulai tafsirnya juga menjelaskan sebab penamaan surat. Hal tersebut dapat mempermudah pembaca mengetahui apa alasan surat tersebut dinamakan demikian. Seperti yang dapat dilihat dalam penjelasan al-Sâbûnî terhadap penamaan surat al-Baqarah. Al-Sâbûnî menjelaskan bahwa dinamakan surat al-Baqarah karena untuk menghidupkan atau mengingatkan kembali mukjizat yang ada pada zaman nabi Musa as, ketika seseorang dari bani Israil dibunuh, akan tetapi tidak diketahui siapa pembunuhnya. Maka mereka meminta kepada nabi Musa agar memberitahukan siapa pembunuhnya. Kemudian Allah memberikan wahyu kepadanya untuk memerintahkan mereka agar memotong seekor baqarah sapi, kemudian 11 Muhammad Ali al-Sâbûnî Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 29 12 Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqân fi Ulûm al-Qur’an h. 69 memukul mayit tersebut dengan bagian tubuh dari sapi tersebut, maka setelah itu dengan izin Allah orang tersebut hidup kembali dan memberitahukan siapa pembunuhnya. Hal tersebut merupakan bukti kekuasaan Allah dengan menghidupkan makhluk setelah mati. 13

3. Menyebutkan Fadhlu al-Sûrah Keutamaan Surat

Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa tidak ada suatu surat atau ayat yang lebih utama dengan yang lain karena semuanya dalam Kalam Allah. Lebih lanjut lagi Yahya bin Yahya mengatakan: “ Keutamaan sebagian al-Qur’an dengan sebagian yang lain adalah suatu kesalahan”. Pendapat tersebut juga didukung oleh al-Ghâzali, al-Qurtûbi, dan Ibnu Hibban. 14 Di dalam kitab Safwat al-Tafâsîr setelah menjelaskan alasan penamaan surat, Al-Sâbûnî menampilkan keutamaan surat yang dibahas. Keutamaan suatu surat yang dibahas disini, bukan untuk membedakan antara surat yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi untuk menunjukkan keutamaan surat tersebut apabila dibaca. Ketika mencantumkan keutamaan surat, al- Sâbûnî mengambil penjelasan keutamaan tersebut dari hadis-hadis Nabi saw. Untuk hal ini, penulis memberikan contoh keutamaan surat al-Baqarah yang ditampilkan oleh al-Sâbûnî dalam tafsirnya: Dalam menunjukkan keutamaan surat al-Baqarah al-Sâbûnî menampilkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi: Dari 13 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jakarta; Dar al-Kutub al- Islamiyah.1999 Jilid I h. 30 14 Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqân fi Ulûm al-Qur’an h. 199 Rasulullah saw, sesungguhnya beliau bersabda: “Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu kuburan, sesungguhnya setan akan pergi dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat al-Baqarah”. Dan juga menampilkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim: Nabi saw bersabda: “Bacalah olehmu surat al-Baqarah, maka siapa yang membacanya akan mendapatkan berkah, yang meninggalkannya akan menyesal, dan yang membacanya tidak akan terkena sihir”. 15

4. Memperhatikan Penjelasan Mengenai Munasabah

Munasabah adalah keterkaitan antara satu ayat dengan yang lainnya atau satu surat dengan yang lain karena adanya hubungan antara satu dan yang lain, yang umum dan yang khusus, yang konkrit dengan yang abstrak, atau adanya sebab akibat, adanya hubungan keseimbangan, adanya hubungan berlawanan, adanya segi-segi keserasian informasi al- Qur’an dalam bentuk kalimat berita. Yang pertama kali menggunakan munasabah adalah Abu Ja’far bin Jubair yang hidup sekitar abad 3 dan 4 Hijriyah. 16 Al-Sâbûnî telah mencurahkan perhatiannya untuk menjelaskan hubungan antara ayat yang satu dengan yang lainnya. Di dalam penafsirannya al-Sâbûnî menjelaskan munasabah pada semua ayat yang ia tafsirkan. Hal ini dilakukannya sebelum menafsirkan ayat yang ia ingin bahas. 15 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 30 16 Abdul Aziz Dahlan, et. Al, “munasabah”, Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996 cet ke-1 Jilid 2, h. 66 Dalam hal ini, penulis memberikan contoh penjelasan al-Sâbûnî dalam munasabah antar ayat pada surat al-Baqarah ayat 8-11 dengan ayat 1-7: Ketika Allah swt telah menyebutkan pada awal surat sifat-sifat orang beriman dan menyebutkan sifat-sifat orang kafir, kemudian Allah menyebutkan disini sifat-sifat orang munafik yaitu golongan yang ketiga, yaitu orang yang zâhirnya luarnya beriman dan batinnya hatinya kafir. Allah menyebutkan secara berturut-turut pada tiga belas ayat untuk menegaskan pada besarnya bahaya mereka. Kemudian menerangkan setelah itu dengan dua perumpamaan untuk mengungkapkan, menjelaskan, dan menerangkan sesuatu yang disembunyikan pada diri mereka dari kezaliman yang sesat dan kemunafikan, dan yang Allah menyembunyikan dari diri mereka dari kehancuran dan kebinasaan. 17 .

5. Menjelaskan Makna Bahasa

Sebelum menafsirkan ayat yang akan dibahas dan setelah menjelaskan munasabah ayat, al-Sâbûnî menjelaskan makna bahasa. Dalam hal ini hanya bahasa-bahasa yang sulit yang menjadi perhatian al-Sâbûnî, bukan semua kata yang ia jelaskan. Hal ini dapat mempermudah pembaca untuk memahami makna kata dalam ayat yang akan dibahas. Dalam menjelaskan makna bahasa, al-Sâbûnî sering juga menampilkan syair-syair. Untuk hal ini penulis memberikan contoh penjelasan makna bahasa yang dijelaskan oleh al-Sâbûnî: ⌦ 17 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 34 Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.al-Baqarah 1:10 Dalam menjelaskan makna bahasa ضﺮ ا pada surat di atas, al- Shabuni menjelaskan: ضﺮ ا menurut bahasa berarti juga yang berarti sakit, yaitu lawan dari sehat. Kadang-kadang sakit itu bersifat panca indra seperti sakitnya anggota tubuh, dan juga terkadang penyakit itu bersifat ma’nawi seperti sakit kemunafikan, hasud, dan sombong. Ibnu Faris berkata: sakit yaitu segala sesuatu yang keluar dari diri manusia dalam keadaan sehat seperti cacat perilaku, kemunafikan, dan bermalas- malasan. 18

6. Menafsirkan Ayat

Setelah al-Sâbûnî menjelaskan munasabah ayat dan menjelaskan makna bahas yang sukar pada ayat yang akan dibahas, ia memulai menafsirkan ayat dengan ringkas. Dalam menafsirkan ayat tersebut al- Sâbûnî lebih dahulu mengumpulkan ayat-ayat yang mempunyai pembahasan yang setema, akan tetapi sesuai dengan susunan ayat di dalam al-Qur’an. Untuk itu penulis memberikan contoh penafsiran al-Sâbûnî pada surat al-Baqarah ayat 8: 18 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 34 ﷲﺎ ﺎ ﻣﺁ نﻮ ﻮ ﻣ سﺎ ا ﻣ و dan dari golongan manusia ada suatu kelompok yang mengatakan dengan lisan mereka, “ Kami percaya dengan Allah dan dengan apa-apa yang diturunkan kepada rasul-Nya dari ayat- ayat yang jelas”. ﺮﺧ ا مﻮﻴ ﺎ و dan kami percaya dengan hari kebangkitan. ﻴ ﻣﺆ ه ﺎﻣ و dan tidaklah mereka secara hakikatnya percaya dan beriman, karena sesungguhnya mereka mengatakan demikian hanya sekedar perkataan bukan suatu keyakinan, dan perkataan bukan mempercayai. 19

7. Mengemukakan Asbâb al-Nuzûl

Di antara yang sangat membantu pemahaman dalam memahami al- Qur’an adalah memperhatikan konteks nas dan kondisi ketika nas itu diturunkan. Al-Suyuti dalam bukunya al-Itqân fi Ulûm al-Qur’an, menempatkan pengetahuan terhadap asbâb al-Nuzûl sebagai dari ilmu- ilmu al-Qur’an yang harus dijadikan ilmu bantuan bagi para ulama dalam mengkaji ayat-ayat al-Qur’an. Asbâb al-Nuzûl menurut al-Zarqâni adalah suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu ayat. Sedangkan menurut Subhi al-Sâlih, adalah sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan pada masa terjadinya sebab itu. 20 19 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 35 20 Azyumardi Azra ed Sejarah dan Ulumu al-Qur’an. Jakarta: Bait al-Qur’an dan Pustaka Firdaus,1999 cet-1, h.78-79 Sebagaimana kitab tafsir pada umumnya, al-Sâbûnî mencantumkan asbab al-Nuzul apabila ayat yang sedang ditafsirkannya mempunyai asbab al-Nuzul, baik asbab al-Nuzul tersebut mempunyai sanad maupun tidak. Namun pada umumnya sanad yang dikemukakan hanya sampai pada tingkatan sahabat saja. Sebagai contoh Asbâb al-Nuzûl yang dikemukakan oleh al-Sâbûnî dapat dilihat pada surat al-Baqarah ayat 97-98. ⌧ ⌧ ☺ ☺ ، ⌧ ⌧ ⌧ ةﺮﻘﺒﻟا 97:2 - 98 Katakanlah: Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya Al Quran ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, Maka Sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. al-baqarah 2:97-98 Diriwayatkan sesungguhnya orang-orang Yahudi berkata kepada Nabi saw: “Sesungguhnya bukanlah disebut seorang Nabi dari golongan para Nabi kecuali Malaikat-malaikat Allah datang kepadanya dengan membawa risalah dan wahyu. Maka siapakah sahabatmu Malaikat yang menemani sehingga kita mengikuti mu? Maka Nabi menjawab: “Jibril”. Kemudian mereka berkata: “ Jibril itu adalah yang menurunkan peperangan, dan dia itu adalah musuh kami Jika engkau katakanan: Mikail, yang menurunkan rizki dan rahmat, maka kami akan mengikuti mu, kemudian Allah menurunkan ayat al-Baqarah ayat 97-98. 21

8. Membahas Segi I’rab Nahwu dan Saraf

al-Sâbûnî dalam tafsirnya banyak memasukkan I’rab yang dijelaskan dengan ringkas. Misalnya dapat dilihat pada surat al-Baqarah ayat 30: ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ☺ ☺ ةﺮﻘﺒﻟا 30:2 Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Kata ذإ dalam ayat tersebut merupakan zaraf zaman yang nasb dengan fiil yang mahdzuf dihilangkan, asalnya ﻴﺣ ﺮآذأ atau و ﺮآذأ 21 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 81

9. Membahas Segi Kebalaghahan

Al-Sâbûnî dalam tafsirnya banyak membahas masalah yang berhubungan dengan Balaghah. Dalam membahas seputar masalah Balaghah, ia membahas atau menampilkannya setelah ia menafsirkan ayat-ayat yang sedang dibahas. Al-Sâbûnî sangat banyak menaruh perhatiannya kepada masalah ini, hal ini ditunjukkan dengan adanya pembahasan di setiap penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini juga ditunjukkan dengan banyaknya sisi kebalaghahan yang ia jelaskan pada setiap ayatnya. Di antara penjelasan al-Sâbûnî dalam membahas segi balaghah dapat dilihat pada surat al-Baqarah ayat 21-25: Setelah al-Sâbûnî menafsirkan ayat tersebut, ia menguraikan segi balaghah dalam beberapa poin: 22 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 47 1. Penyebutan kalimat rabbun ﻜ ر ﺪﺒ ا disertai dengan mengidhofatkan kepada beberapa mukhatab lawan bicara untuk menunjukkan keagungan dan kebesaran. 2. Idafah ﺎ ﺪﺒ ﻰ untuk menujukkan kemulian dan pengkhususan, hal ini merupakan semulia-mulianya sifat untuk Rasulullah saw. 3. Al-Ta’jiz kemukjizatan ةرﻮ اﻮ ﺄﻓ keluarnya makna Amr perintah dari makna asalnya kepada makna kemukjizatan, dan bentuk Nakirahnya lafaz ةرﻮ untuk menunjukkan keumuman. 4. Perbandingan yang halus ءﺎ ءﺎ او ،ﺎﺷاﺮﻓ ضرﻷا ﻜ membandingkan diantara bumi dan langit, dan hamparan dan atap. Ini merupakan keindahan ilmu badi’. 5. Al-Jumlah al-I’tiradiyyah اﻮ و untuk menjelaskan tantangan pada masa yang lampau dan yang akan datang, dan menjelaskan kelemahan pada seluruh masa dan zaman. 23

10. Menunjukkan Fawâid Faidah-faidah Ayat

Al-Sâbûnî setelah menjelaskan segi kebalaghahan, ia menjelaskan Fawâid faidah-faidah yang terdapat pada ayat yang ia bahas, akan tetapi tidak semua ayat yang ia bahas ada faiah-faidahnya. 23 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 43 Adapun contoh dalam hal ini dapat dilihat dalam pemaparan al-Sâbûnî terhadap surat al-Nisa’ ayat 135-147. Al-Sâbûnî membagi beberapa poin dalam menerangkan faidah-faidah ayat tersebut: a. Firman Allah: اﻮ ﻣﺁ اﻮ ﻣﺁ ﺬ ا ﺎﻬ ﺎ lafaz اﻮ ﻣﺁ bukan lah hanya sekedar pengulangan, akan tetapi mempunyai makna tetaplah di dalam keimanan dan terus meneruslah di dalamnya. Seperti firman Allah ﻴ ا طاﺮﺼ ا ﺎ ﺪها yang memiliki arti tetapkanlah kami di dalam jalan yang lurus. b. Allah menamakan kemenangan orang-orang mukmin dengan kalimat kemenangan yang besar dan kemenangan orang-orang kafir dengan keberuntungan, untuk mengagungkan keadaan orang-orang beriman dan merendahkan keberuntungan orang-orang kafir. c. Para mufassir bekata: neraka memiliki tujuh tingkatan, yang paling atas adalah neraka Jahannam, kemudian Lazha, Huthmah, Sa’ir, Saqr, Jahim, dan Hawiyah. Dan terkadang penamaan sebagiantingkatan dengan nama yang lain karena lafaz neraka berbentuk jama’ begitu juga dengan lautan. 24

11. Membahas Latîfah

Al-Shabuni setelah menjelaskan Fawâid faidah-faidah, ia menjelaskan Latîfah yang terdapat pada ayat yang ia bahas, akan tetapi tidak semua ayat yang ia bahas ada Latîfah. 24 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 314 Adapun contoh dalam hal ini dapat dilihat dalam pemaparan al-Sâbûnî terhadap surat al-Taubah ayat 61-74: Imam al-Fakhr al-Râzi mengatakan, ketika Allah menyifati orang- orang beriman dengan sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain, kemudian Allah menyebutkan lima perkara yang membedakan orang beriman dengan orang munafik, orang munafik memerintahkan kepada kemunkaran, tidak mengerjakan shalat kecuali ia malas, kikir ketika membayar zakat dan hal-hal yang diwajibkan, dan apabila diperintahkan untuk bersegera untuk berjihad maka ia terbelakang dari yang lain. Adapun orang beriman memerintahkan kepada kebajikan, melarang kemungkaran, mengerjakan shalat dengan tata cara yang sempurna, membayar zakat, dan bersegera pada perintah Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu Allah membandingkan di antara sifat orang-orang beriman dan sifat orang-orang munafik dengan firman-Nya: ☺ ☺ ☺ ☺ ☺ ⌧ Sebagaimana Allah telah membandingkan pada balasan di antara neraka jahannam dan surga. 25

12. Tanbîh

25 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 550 Kemudian langkah terakhir al-Sâbûnî dalam menafsirkan kelompok ayat-ayat, ia menjelaskan Tanbîhât dari ayat-ayat tersebut. Contoh dari hal ini dapat dilihat dalam surat ali Imran ayat 26-32. Imam Muslim meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw, sesunguhnya ia bersabda: “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, maka ia akan memanggil Jibril dan berfirman: Sesungguhnya aku mencinta fulan, maka cintailah ia, maka Jibril mencintainya kemudian berteriak di langit dan berkata: Sesungguhnya Allah mencintai fulan maka cintailah, maka penghuni langit mencintainya. Dan apabila Allah membenci terhadap seorang hamba, maka ia memanggil Jibril, dan berfirman: Sesungguhnya aku membenci terhadap fulan maka bencilah kepadanya, maka Jibril murka kepadanya, kemudian Jibril berteriak kepada penghuni langit: Sesungguhnya Allah membenci kepada fulan, maka bencilah kepadanya, maka mereka membencinya, kemudian kebencian yang sangat tersebut merendahkannya di bumi. 26 Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, bahwa metode penafsiran al- Qur’an terdiri dari empat metode, salah satu darinya yaitu metode Tahlili. Kalangan mufassir berbeda pendapat tentang definisi metode tahlili. 27 Namun penulis berkesimpulan bahwa metode tahlili adalah “cara yang sistematis dalam usaha menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan melibatkan berbagai sarana yang dianggap efektif seperti ilmu munasabah 26 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 197 27 Lihat pengertian metode tafsir tahlili pada bab III ayatsurat, ilmu asbâb al-Nuzûl, arti kosakata, memaparkan kandungan ayat yang global dan menerangkan unsur ilmu balaghah. Dengan batasan-batasan metode tahlili di atas, kemudian penulis membandingkan dengan langkah-langkah penafsiran al-Sâbûnî yang telah dipaparkan, maka penulis berasumsi dan berkesimpulan bahwa metode penafsiran al-Qur’an yang digunakan oleh al-Sâbûnî dalam kitab Safwat al-Tafâsîr ini adalah metode Tahlili.

E. Sumber Penafsiran Safwat al-Tafâsîr

Sumber Penafsiran seperti yang sudah dijelaskan pada bab II, terdiri dari dua macam: tafsir bi al-Ma’tsûr dan tafsir bi al-Ra’yi. Tafsir bi al-Ma’tsûr merupakan usaha mufassir menampilkan riwayat-riwayat dari al-Qur’an, hadis, pendapat sahabat, dan pendapat tabi’in dalam tafsirnya. Sedangkan tafsir bi al-Ra’yi merupakan penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang penafsir mengetahui prihal bahasa arab, asbâb al-Nuzûl, nâsikh mansûkh, dan hal-hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang mufassir. Mengenai sumber penafsiran yang dipakai oleh al-Sâbûnî dalam kitab Safwat al-Tafâsîr, penulis menggolongkannya sebagai tafsir bi al-Ra’yi. Ada dua pendekatan yang penulis gunakan untuk menunjukkan bahwa kitab ini dapat digolongkan tafsir bi al-Ra’yi. Yang pertama sumber penafsiran yang digunakannya adalah ijtihad penulisnya sendiri. Sebagaimana yang dapat dilihat ketika al-Sâbûnî menjelaskan munasabah, makna bahasa, segi balaghah, tanbîh, fâidah dan lain-lain. Sedangkan yang kedua adalah sumber penafsiran yang menggunakan atau mengutip pendapat para ulama. Adapun ulama yang sering dikutip oleh al- Sâbûnî diantaranya: Ibnu Jarîr, al-Zamakhsyari, al-Baidâwi, Fakr al-Râzi, al- Qurtûbi, al-Alusi, dan Ibn Katsîr. Adapun contoh yang dikutip dari al-Baidawi dapat dilihat ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat 13: Al-Baidawi mengatakan sesungguhnya orang-orang kafir menganggap bodoh mereka orang beriman karena akidah-akidah mereka berlainan dengan mereka, atau menganggap rendah keadaan mereka, karena sesungguhnya kebanyakan orang beriman adalah orang-orang fakir dan mereka orang kafir adalah tuan mereka, seperti Suhaib dan Bilal. 28 Contoh yang dikutip dari Ibnu Jarîr dapat dilihat ketika al-Sâbûnî menafsirkan surat al-Baqarah ayat 20: Ibnu Jarîr mengatakan sesungguhnya Allah menyifati diri-Nya sendiri dengan al-Qudrah berkuasa atas segala sesuatu pada ayat ini, untuk memperingatkan orang-orang munafik atas kekuatan dan kekuasaan-Nya. Dan mengabarkan sesungguhnya Allah meliputi mereka, dan dapat menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka dengan kekuasaan-Nya. 29 Contoh lain yang dikutip dari al-Qurtubi dapat dilihat pada fâidah surat al- Baqarah ayat 219-225: 28 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 36 29 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 38 Al-Qurtûbi mengatakan orang yang meminum khamr menjadi bahan tertawaan orang-orang yang berakal, orang yang meminum khamr seperti memainkan air seni dan kotoran mereka sendiri, sekiranya mereka membasuh mukanya sendiri sehingga sebagian mereka melihat dengan basuhan dimukanya, dan berkata: Ya Allah jadikannya aku dari orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku dari orang-orang yang suci, dan sebagian yang lain melihat, anjing sedang menjilati mukanya dan berkata: Allah memulyakan mu sebagaimana engkau memulyakan aku. 30 Contoh lain yang dikutip dari al-Alûsi dapat dilihat pada tanbîh surat al- A’raf ayat 52-72: Al-Alûsi mengungkapkan pada firman Allah ﺔﻴ ﺧ و ﺎ ﺮﻀ ﻜ ر اﻮ دا dari al-Hasan al-Bishri sesungguhnya ia berkata: sesungguhnya orang-orang muslim bersungguh-sungguh di dalam berdoa dan tidak terdengar suara mereka, kecuali suara itu pelan dan terdengar diantara dirinya dan tuhannya saja. Oleh karena itu sesunguhnya Allah swt berfirman و ﺎ ﺮﻀ ﻜ ر اﻮ دا ﺔﻴ ﺧ sesungguhnya Allah mengingatkan kepada hambanya yang sâlih. Kemudian dia berkata: ingatlah ketika berdoa mempunyai tata cara yang banyak, diantaranya: adanya orang yang berdoa dalam keadaan suci, menghadap kiblat, mengosongkan hatinya dari segala urusan, memulai dan menutupnya dengan membaca shalawat kepada Nabi saw, mengangkat tangan ke langit, berhimpun dengan orang-orang mukmin, dan alangkah bagusnya 30 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 143-144 Contoh yang dikutip dari al-Zamakhsyari dapat dilihat pada fâidah surat al-Baqarah 34-39: Bagaimana sah atau boleh bersujud kepada selain Allah? Jawabnya: sesungguhnya sujudnya Malaikat kepada Adam adalah sujud penghormatan dan pemulyaan bukan sujud untuk shalat atau ibadah, al-Zamakhsyari berkata: Sujud kepada Allah untuk beribadah, dan sujud pada yang selain Allah untuk penghormatan, sebagaimana sujudnya Malaikat kepada Adam dan sujudnya Ya’qub dan anak-anaknya kepada Yusuf. 32 Selain mengutip kepada pendapat ulama beliau juga banyak mengutip kepada hadis-hadis Nabi saw, pendapat sahabat, dan juga pendapat Tabiin. Ketika mengutip hadis Nabi saw, al-Sâbûnî tidak menyebutkan rantaian sanad hadis tesebut. Ia hanya menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkannya dan periwayat hadis tersebut seperti al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain. Dalam tafsirnya, al-Sâbûnî banyak mengutip hadis yang digunakannya dalam menjelaskan fadhilah surat, asbâb al-Nuzûl, fâidah, dan lain-lain. Adapun penafsiran yang dikutip dari pendapat sahabat dan tabiin biasanya dipakai untuk menjelaskan makna bahasa yang sulit, sebagaimana yang dapat dilihat pada keterangan Ibn Mas’ud tentang arti atau makna “Haqqa Tuqâtih sebenar-benarnya ketakwaan” pada surat ali Imran ayat 102 yang ia artikan 31 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr Jilid I h. 454 32 Muhammad Ali al-Sâbûnî, Safwat al-Tafâsîr. Jilid I h. 52 hendaknya selalu taat dan tidak pernah berbuat maksiat, selalu mengingat Allah dan tidah pernah lupa, selalu bersyukur dan tidak pernah kufur nikmat. 33 Dan juga dapat dilihat pada surat al-Maidah ayat 90, ketika al-Sâbûnî mengutip perkataan Ibn ‘Abbas tentang pengertian Khamr dan Maisir, menurut Ibn Abbas Khamr adalah semua minuman yang memabukkan, dan Maisir adalah bertaruhan atau berjudi yang dilakukan pada zaman jahiliyyah. 34 Walaupun al-Sâbûnî banyak mencantumkan hadis Nabi, pendapat sahabat, dan tabiin, akan tetapi kitab ini tidak termasuk dalam golongan tafsir bi al- Ma’tsûr, karena hal tersebut hanyalah sebagai pelengkap dari penjelasannya. Sedangkan Ijtihadnya dan pengutipan terhadap pendapat-pendapat ulama, merupakan hal yang paling banyak dicantumkan. Oleh sebab itu kitab Safwat al-Tafâsîr digolongkan dalam kelompok tafsir bi al-Ra’yi.

F. Corak Penafsiran Safwat al-Tafâsîr