Tafsir bi al-Ra’yi

ditemukan pula penafsiran para sahabat, maka dalam hal ini biasanya para imam merujuk pada ijtihad tabi’in. 33 Memang ada perbedaan dalam masalah ijtihad tabi’in ini, ada yang memasukkan ijtihad tabi’in dalam tafsir bi al-Ma’tsûr dan ada juga yang tidak memasukkannya. Adapun ulama yang memasukkan pendapat tabi’in dalam tafsir bi al-Ma’tsûr dengan alasan bahwa pendapat para tabi’in umumnya dari para sahabat. Sedangkan ulama yang tidak memasukkanya, dengan alasan bahwa banyak perbedaan di kalangan tabi’in dan karena besarnya kemungkinan mereka mengambil pendapat dari Ahlu al-Kitab yang telah masuk Islam. 34 Adapun kitab-kitab yang termasuk dalam tafsir bi al-Ma’tsûr antara lain: Jâmi’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’an karya Ibnu Jarîr al- Tabari, Ma’âlim al-Tanzîl karya al-Baghawi, al-Dûr al-Mansûr fi Tafsîr bi al-Ma’tsûr karya Jalaluddin al-Suyûti, Tafsîr al-Qur’an al- ‘Azhîm karya Ibn Katsîr.

2. Tafsir bi al-Ra’yi

Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang penafsir mengetahui perihal bahasa arab, asbâb al-Nuzûl, nâsikh mansûkh, dan hal-hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang mufassir. 35 Orang yang melakukan analogi digolongkan sebagai ahli ra’yi, karena mereka berpendapat berdasarkan pemikiran atau analisis mereka. Tafsir bi 33 Yusuf Qardawi, al-Qur’an dan al-Sunnah; Referensi Tertinggi Umat Islam. h. 53 34 Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode para Mufasirh. 4-5 35 Abd al-Hay al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i: Suatu Pengantar h. 14 al-Ra’yi lebih mengedepankan akal dari pada riwayat, sehingga terjadi pro-kontra antara boleh tidaknya tafsir corak ini digunakan. Menurut Manna al-Qattân menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sâhih adalah haram. 36 Latar belakang lahirnya sumber ini adalah ketika ilmu keislaman berkembang pesat dalam berbagai disiplin ilmu, sehingga bermunculan berbagai karya, termasuk karya tafsir dengan berbagai kecenderungan. Kecenderungan tersebut lahir dari individu mufassir yang dilatarbelakangi oleh bidang ilmu yang menjadi keahliannya. 37 Hal ini dilakukan selepas masa sahabat sampai saat ini, penalaran mereka haruslah dilandasi dengan nilai-nilai yang terkandung dalam al- Qur’an dan hadis Nabi. 38 Lebih lanjut lagi seorang mufassir yang menggunakan tafsir bi al- Ra’yi juga harus menghindari hal-hal berikut ini: 1. Memaksa diri mengetahui makna yang dikendaki oleh Allah swt pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu. 2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah swt. 3. Menafsirkan disertai hawa nafsu dan bersikap istihsân menilai sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan pendapat pribadi. 4. Menafsirkan ayat-ayat dengan makna yang bukan kandungannya. 36 Manna Khalil al-Qattan, Mabâhits Fi ‘Ulûm al-Qur’an, h.357 37 Abd al-Hay al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i: Suatu Pengantar h. 14 38 Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom Jkarta: PT.Raja Grafindo,1996 h. 43 5. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti faham mazhab tersebut. 6. Menafsirkan dengan disertai kepastian bahwa yang dikehendaki Allah adalah demikian, dengan tanpa didukung dalil. 39 Di antara kitab tafsir bi al-Ra’yi adalah Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Râzi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wil karya karya al- Baidâwi, al-Bahr al-Muhît karya Abu Hayyân.

C. Metode Penafsiran