Tafsir bi al-Ma’tsûr

B. Sumber Penafsiran al-Qur’an

Muhammad Husain al-Dzahabi dalam kitab al-Tafsîr wa al-Mufassirûn menjelaskan ada dua sumber penafsiran al-Qur’an yaitu tafsir bi al-Ma’tsûr dan tafsir bi al-Ra’yi.

1. Tafsir bi al-Ma’tsûr

Tinjauan defenitif tentang Tafsir bi al-Ma’tsûr dari berbagai ahli Tafsir, yaitu: a. Muhammad Husain al-Dzahabi, tafsir bi al-Ma’tsûr meliputi hal- hal yang ada dalam al-Qur’an yang dijelaskan dengan ayat yang lain, diambil dari nabi, sahabat, dan tabi’in. 20 b. Menurut al-Farmawi, Tafsir bi al-Ma’tsûr adalah penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran dengan hadis, yang menjelaskan makna ayat yang sulit dipahami oleh para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat atau pula penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. 21 c. Hasbi al-Sidiqy dalam bukunya mengatakan bahwa tafsir bi al- Ma’tsûr adalah ayat al-Qur’an, hadis Rasul, dan pendapat sahabat yang menjadi penjelasan bagi makna al-Qur’an. 22 d. Yunus Hasan Abidu berpendapat bahwa Tafsir bi al-Ma’tsûr adalah menjelaskan makna-makna ayat al-Qur’an dan 20 Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafîir wa al-Mufassirûn h. 152 21 Abd al-Hay al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i: Suatu Pengantar, terj. Surya A. Jumarah Jakarta: Raja Grifindo Persada, 1996 h.12 22 Hasbi al-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Semarang; PT. Pustaka Riski Putera, 1997 h.202 menguraikannya dengan apa yang ada di dalam al-Qur’an, sunnah sahîhah atau pendapat para sahabat. 23 Dari pendapat-pendapat di atas, penulis berkesimpulan bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an dengan sumber bi al-Ma’tsûr, mufassir akan berusaha untuk menampilkan riwayat-riwayat dari al-Qur’an, hadis, pendapat sahabat, dan pendapat tabi’in. 1 Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an. Ayat al-Qur’an yang satu dengan yang lainnya saling membenarkan dan saling memberi penafsiran. Tidak menjadi persoalan dikalangan ulama bahwa di antara sumber tafsir pada masa Rasulullah saw adalah al-Qur’an itu sendiri. Allah saw menurunkan al- Qur’an dengan bentuk yang sesuaikan dengan isi petunjuk-petunjuk yang diberikan. 24 Adapun bentuk-bentuk penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an sebagai berikut: a. Menggunakan ayat-ayat yang singkat dengan menggunakan ayat- ayat yang lebih luas b. Menafsirkan ayat yang global dengan menggunakan ayat terperinci c. Menentukan makna ayat yang mutlaq dengan uraian ayat yang Muqayyad tertentu d. Mengkhususkan makna yang umum 23 Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode para Mufasir, terj. Qadirun nur dan Ahmad Musyafiq Gaya Media Pratama; Jakarta, 2007 h. 4 24 Manna Khalil al-Qattân, Mabâhîts Fi Ulûm al-Qur’an. h. 335 e. Mengumpulkan makna beberapa ayat yang nampaknya seperti bertentangan satu sama lain. 25 Contoh penafsiran seperti ini adalah: ketika para sahabat nabi bertanya tentang tafsir kata ﻢ ﻇ kezaliman dalam surat al-An’am ayat 82, Nabi menjelaskan dengan keterangan al-Qur’an yaitu surat al- Luqman ayat 13 yang artinya: “Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar”. Dengan demikan yang dimaksud zalim dari surat al-An’am adalah mempersekutukan Allah. 26 2 Tafsir al-Qur’an dengan al-Sunnah Umat Islam telah mengakui bahwa dalam tataran sumber Islam, yang menjadi pedoman setelah al-Qur’an adalah hadis Nabi saw. 27 Oleh karena itu, jika tidak ditemukan penjelasan ayat yang dijelaskan dengan ayat lain, maka haruslah dicari penjelasannya di dalam Hadis Nabi saw. Imam Syafi’i mengatakan bahwa setiap hukum yang diterapkan oleh Rasul merupakan pemahaman yang berasal dari al-Qur’an. 28 Adapun peranan hadis dalam menjelaskan al-Qur’an, sebagai berikut: 25 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al- Mufassirûn, jilid I, h. 28. 26 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an Yogyakarta; Pustaka Pelajar,2000 h. 4-5. 27 Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah: Ma’alim wa Dhawabitt, Kairo: Bank al-Taqwa h. 27 28 Yusuf Qardawi, al-Qur’an dan al-Sunnah; Referensi Tertinggi Umat Islm. H. 46 1. Menjelaskan ayat yang global, menerangkan yang musykil, mengkhususkan yang umum, dan membatasi yang mutlaq. 2. Menerangkan makna lafaz atau kalimat yang sukar. 3. Menerangkan hukum-hukum tambahan dan hukum-hukum yang disebut dalam al-Qur’an. 4. Menerangkan tentang naskh. 5. Menguatkan keterangan, yaitu jika hadis Nabi memberi keterangan yang sejajar dengan keterangan al-Qur’an, maka posisinya sebagai penguat terhadap al-Qur’an. 29 Contoh penafsiran ini adalah ketika sahabat nabi tidak mengerti makna “al-Khaitt al-Abyad” dan “al-Khait al-Aswad dalam Qs. Al- Baqarah 2: 187, kemudian Rasulullah menjelaskan yang dimaksud dengan Khait al-Abyad” adalah siang dan “al-Khait al-Aswad” adalah malam. 3 Tafsir al-Qur’an dengan Ijtihad Sahabat Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jika tidak menemukan penafsiran suatu ayat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, maka rujuklah pada pendapat sahabat, karena sesungguhnya mereka lebih luas pandangannya terhadap masalah itu, mereka juga mengetahui keterkaitan kondisi ketika ayat tersebut diturunkan, mereka mempunyai pemahaman yang sempurna dan ilmu yang benar. 30 29 Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 39-40. 30 Yusuf Qardawi, al-Qur’an dan al-Sunnah; Referensi Tertinggi Umat Islm. H. 46 Generasi sahabat adalah generasi yang paling memahami kandungan al-Qur’an sepeninggalan Rasul. Mereka hidup pada masa al-Qur’an turun dan apabila mereka sulit dalam memahami al-Qur’an maka mereka dapat menanyakannya kepada Rasul. Menurut al-Hakim, penafsiran sahabat yang menyaksikan wahyu dan turunnya al-Qur’an kedudukannya adalah marfu’. 31 Menurut al-Qattân, tafsiran ini memadai untuk berpegang padanya karena mereka memilki kecakapan bahasa, pemahaman yang komprehensif dan amal salih yang tidak diragukan lagi, sehingga tentunya mereka lebih memahami apa yang terkandung di balik turunnya al-Qur’an. Lebih lanjut lagi, al-Qattân bependapat bahwa penafsiran sahabat yang yang tidak terlibat dengan kronologis turunnya ayat, maka ulama memberi katagori Mauqûf. 32 Oleh sebab itu, jika tidak ditemukan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau hadis Nabi, maka sangat relevan sumber ketiga ini dipakai, karena bagaimanapun generasi sahabat adalah generasi yang langsung terlibat dalam proses turunnya wahyu. 4 Tafsir al-Qur’an dengan Ijtihad Tabi’in Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa apabila tidak ditemukan penafsiran di dalam al-Qur’an dan juga dalam sunnah serta tidak 31 Muhammad Ali al-Shabuni, Pengantar Studi al-Qur’an, terj. Chudori Umar dan M.Matsna Bandung: al-Ma’arif, 1987h.211. 32 Manna Khalil al-Qattan, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, h.337 ditemukan pula penafsiran para sahabat, maka dalam hal ini biasanya para imam merujuk pada ijtihad tabi’in. 33 Memang ada perbedaan dalam masalah ijtihad tabi’in ini, ada yang memasukkan ijtihad tabi’in dalam tafsir bi al-Ma’tsûr dan ada juga yang tidak memasukkannya. Adapun ulama yang memasukkan pendapat tabi’in dalam tafsir bi al-Ma’tsûr dengan alasan bahwa pendapat para tabi’in umumnya dari para sahabat. Sedangkan ulama yang tidak memasukkanya, dengan alasan bahwa banyak perbedaan di kalangan tabi’in dan karena besarnya kemungkinan mereka mengambil pendapat dari Ahlu al-Kitab yang telah masuk Islam. 34 Adapun kitab-kitab yang termasuk dalam tafsir bi al-Ma’tsûr antara lain: Jâmi’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’an karya Ibnu Jarîr al- Tabari, Ma’âlim al-Tanzîl karya al-Baghawi, al-Dûr al-Mansûr fi Tafsîr bi al-Ma’tsûr karya Jalaluddin al-Suyûti, Tafsîr al-Qur’an al- ‘Azhîm karya Ibn Katsîr.

2. Tafsir bi al-Ra’yi