BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah swt kepada nabi Muhammad saw. Al-Qur’an sebagaimana diyakini oleh umat Islam
merupakan kalâm Allah. Dari dulu hingga sekarang umat Islam telah sepakat bahwa al-Qur’an adalah kitab Allah yang kekal, tidak terbatas pada dimensi
ruang dan waktu dan tidak ada sedikitpun keraguan. Al-Qur’an juga diakui sebagai teman berdialog yang sempurna serta diturunkan sebagai gambaran
cara yang benar bagi setiap orang serta memberikan jalan keluar dari berbagai kesulitan dan masalah yang muncul dihadapan manusia.
1
Salah satu dari fungsi al-Qur’an adalah sebagai petunjuk yang universal- eternal. Universal dalam arti berlaku di mana saja, menjangkau seluruh letak
geografis dan eternal dalam arti bahwa al-Qur’an berlaku kekal abadi untuk selama-lamanya sampai akhir zaman. Ini adalah pandangan teologi umat Islam
bahwa al-Qur’an cocok untuk setiap waktu dan tempat. Objek kajian penafsiran adalah al-Qur’an, kitab suci yang dibawa oleh
nabi Muhammad untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Tidak diragukan lagi di dalamnya terdapat mukjizat baik dari susunan katanya maupun makna
yang dikandungnya.
1
Muhammad al-Gh
â
zali, Berdialog dengan al-Qur’an; Memahami Kitab Suci dalam Kehidupan Masa Kini,terjm.Masykur Hakim dan Ubaidillah Bandung: Mizan,1996, h.92
Pada saat al-Qur’an diturunkan, Rasulullah saw sendiri sabagai mufasir yang menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-
Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dapat dipahami atau yang samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai wafatnya Rasulullah
saw, walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua bisa diketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena
Rasulullah sendiri tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.
2
Tafsir al-Qur’an berkembang terus sesuai dengan zaman. Kitab-kitab tafsir yang begitu banyaknya dalam kepustakaan Islam adalah salah satu buktinya.
Namun, ini bukan berarti usaha menafsirkan al-Qur’an sudah menjadi sesuatu yang final dan sudah tercukupi dengan kitab-kitab tafsir yang sudah ada, yang
ada kalanya pada tingkatan tertentu kitab-kitab tersebut sudah tidak layak relevan dengan situasi yang dihadapi sekarang. Permasalahannya adalah
karena kitab-kitab tersebut ditulis pada masa dan tempat tertentu yang berbeda-beda, sedangkan masa dan tempat yang berbeda tersebut pasti akan
mempengaruhi produk tafsirnya, sehingga akan sangat mungkin sekali produk tafsir pada satu masa kurang cocok atau bahkan tidak cocok sama sekali pada
masa yang lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad Syahrur bahwa al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntunan era
kontemporer yang dihadapi umat manusia.
3
Akan Tetapi Tidak boleh diingkari, bahwa kitab-kitab terdahulu masih memiliki peran yang penting,
baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.
2
M.Quraish Sihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan,1996, ,h.71
3
Adul Mustaqim, “kata pengantar editor” dalam Studi al-Qur’an Kontemporer, Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin ed, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002, CetI h. vii
Berkaitan dengan anggapan adanya pengaruh masa dan tempat terhadap karya tafsir ini, Muhammad Arkoun berpendapat bahwa al-Qur’an tunduk
pada kesejarahan.
4
Ungkapan ini mungkin dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa al-Qur’an termasuk juga penafsiran terhadapnya itu sangat dipengaruhi
oleh latar belakang sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Kegiatan penafsiran al-Qur’an di dunia Islam tampak sangat bergairah.
Hal ini ditunjukkan oleh begitu banyaknya kitab-kitab tafsir yang dicatat dalam khasanah kepustakaan Islam. Pada generasi permulaan penafsiran,
Mufassir lebih condong kepada tafsir bi al-Ma’tsûr. kemudian barulah di abad pertengahan penafsiran al-Qur’an berkembang dengan gabungan antara tafsir
bi al-Ma’tsûr dan bi al-Ra’yi. Secara garis besar generasi penafsiran al-Qur’an terbagi menjadi tiga
generasi, yaitu: periode klasik, periode pertengahan, dan periode kontemporer.
5
Periode klasik, sebagaimana yang telah dipetakan oleh Muhammad Husein al-Dzahabi dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn terbagi menjadi terbagi
menjadi tiga tahap: tafsir al-Qur’an masa Nabi dan Sahabat, tafsir al-Qur’an masa Tabiin, dan tafsir al-Qur’an pada masa kodifikasi. Dalam kata lain
periode klasik merentang dari masa Nabi Saw, Sahabat,
6
dan tabiin.
7
4
Farid Esack, al-Qur’an, Liberalisme, dan pluralisme; Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000 h. 69
5
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta; Pustaka Insan Madani,2008 h. 21
6
Jajaran Sahabat yang paling banyak menafsirkan al-Qur’an ada empat, yaitu: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas,Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab. Sementara, figure
sahabat yang penafsirannya terhadap al-Qur’an relative sedikit, hanya ada 12 orang, mereka adalah Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Abu Bakr, Umar bin al-Khattab,
Periode ini bertumpu pada katagorisasi sejarah Islam yang dicetus Harun Nasution dalam Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Menurutnya, periode
ini merujuk pada tahun 650 M hingga 1206 M. Akan tetapi, sangat minim sekali khasanah tafsir yang dihasilkan pada priode ini yang sampai pada masa
kini dengan utuh. Yang hanya sampai, yaitu serpihan penafsiran mereka melalui nukilan-nukilan yang dinisbatkan kepada mereka.
Periode kedua, yaitu periode pertengahan. Periode ini dimulai sejak 1250 M hingga 1800 M. Periode ini merupakan zaman keemasan ilmu pengetahuan.
Pada periode ini banyak sekali Mufassir-mufassir yang bermunculan, dan menghasilkan karya-karya tafsir yang masih bias dirasakan pada masa kini.
Penafsiran pada periode ini syarat atas kepentingan idiologis Mufassirnya. Diantara Mufassir pada periode ini adalah Ibn Jarîr al-Tabari w. 256 H “
Jâmi’ al-Bayân Fi Tafsîr al-Qur’an”, al-Zamakhsyari w. 538 H “Tafsîr al- Kasyâf”, al-Râzi “Mafâtih al-Ghaib”, dan al-Baidâwi “Tafsir al-Anwâr al-
Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl”. Periode ketiga, yaitu periode kontemporer. Periode ini disebut juga sebagai
periode moderen yang dimulai selepas tahun 1800 M sampai sekarang. Generasi kontemporer beranggapan bahwa kitab-kitab tafsir di masa lampau
Usman bin Affan, Anas bin Malik, Abu Huraira, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr, bin Ash, dan Aisyah.
7
Pada generasi ini, para Mufassir terbagi menjadi beberapa aliran, seperti aliran Mekkah, Madinah, dan Irak. Di Mekkah terdapat beberapa Mufassir, antara lain: Mujahid bin Jabr w. 103
H , Sa’id bin Jubair w.94 H, Ikrimah w.105 H, Thawus bin Kisan al-Jamaniw.106 H, dan Atha’ bin Rabah al-Makki w.114 H. Di Madinah terdapat beberapa Mufassir, antara lain:
Abdurrahman bin Zaid w.182 H, Malik bin Annas w. 179 H, al-Hasan al-Bashri w. 121 H, Atha’ bin Abi Muslim al-Hurani w. 135 H, Muhammad bin Ka’ab al-Qirazi, Abu ‘Aliyah Rafi’
bin Mihram al-Rayahi w. 90H, dan Ismail bin Abdurrahman al-Su’ud w. 127 H. di Irak terdapat beberapa Mufassir, diantaranya: al-Qomah bin Qais w. 102 H, al-Aswad bin Yazid w.
75 H, Ibrahin al-Nakha’I w. 95 H, dan al-Sya’bi 105 H.
lebih menyibukkan diri dalam masalah bahasa, dan belum maksimal untuk mengfungsikan al-Qur’an sebagai petunjuk. Diantara muffasir yang tergabung
dalam periode ini adalah Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Mahmud Syaltut, Tantawi Jawhari, Amin al-Khauli, Amina Wadud dan lain-lain termasuk
mufassir-mufasir dari daratan Indonesia. Dalam ketiga periode tersebut, semua mufassir menggunakan metode,
sumber, dan corak yang berbeda-beda. Metode penafsiran al-Qur’an terdiri dari metode Tahlili, Maudu’i, Muqarran, dan Ijmali. Sedangkan Sumber
penafsiran terdiri dari tafsir bi al-Ra’yi dan bi al-Ma’tsûr. Dan corak penafsiran terdiri dari Fiqhi, Sufi, Falsafi, Ilmi, dan Adabi Ijtima’i.
Perbedaan metode, sumber, dan corak penafsiran tersebut dilandasi oleh perbedaan latar belakang pendidikan, kondisi sosial, politik dan lain-lain yang
dapat mempengaruhi penafsiran seorang mufasir. Perbedaan ini sebagai bukti bahwa al-Qur’an mencangkup seluruh zaman dan tempat.
Salah satu mufassir yang termasuk dalam periode kontemporer adalah al- Sâbûnî. Beliau adalah salah satu mufassir yang menghasilkan beberapa karya
tafsir mau pun kitab yang membahas seputar Ulûm al-Qur’an. Diantara buah karya beliau yang sangat terkenal dan banyak dijadikan referensi atau bahan
kajian dalam pondok pesantren di Indonesia adalah Safwat al-Tafâsîr. Tafsir buah karya al-Sâbûnî ini merupakan kitab tafsir yang sangat lengkap yang bisa
menjadi solusi pada zaman yang membutuhkan keinstanan terutama dalam memahami keseluruhan makna al-Qur’an. karena di dalam tafsirnya
menggabungkan hadis-hadis Nabi dengan pendapat ulama tafsir terdahulu dan
juga seputar masalah kebahasaan. Dalam tafsir ini bahasa yang digunakan di dalamnya tidak begitu sulit untuk dipahami oleh para pelajar yang ingin
mendalami makna dan maksud yang terkandung di dalam al-Qur’an Karena pentingnya tafsir ini digunakan pada masa kini, maka penulis
menganggap penting pula, tafsir ini dikaji dari segi metodologi yang dipakai, dan mengingat belum ada buku atau literature yang mengupas tentang kitab
Safwat al-Tafâsîr. Oleh karena itu penulis memberi judul skripsi ini “Safwat al-Tafâsîr Study Analisis Metodologi Penafsiran al-Qur’an Karya al-
Sâbûnî . B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam mengurai skripsi ini, penulis hanya membahas seputar metodologi penafsiran yang digunakan al-Sâbûnî dalam kitab Safwat al-Tafâsîr. Hal
tersebut melingkupi metode, sumber, dan corak penafsiran yang ia pakai. Disamping itu penulis juga membahas seputar sejarah hidup al-Sâbûnî , karya-
karyanya dan motivasi penulisan Safwat al-Tafâsîr. Adapun perumusan masalah yang ingin penulis angkat adalah “Bagaimana
metodologi penafsiran al-Sabûnî dalam kitab Safwat al-Tafâsîr ?”.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan