diberlakukan SSM. Selain itu, impor bawang putih juga tidak dapat dikatakan mengancam produk lokal mengingat produksi lokal bawang putih yang cukup
rendah dibandingkan dengan konsumsi masyarakat sehingga impor bawang putih merupakan pilihan untuk memenuhi hal tersebut. Sehingga pilihan yang ada untuk
dipertimbangkan adanya SSM terhadap produk hortikultura adalah komoditas kentang, jeruk, dan bawang merah.
Tabel 1.4 menunjukkan perbandingan pada komoditas bawang merah, wortel, dan jeruk antara kemampuan produksi Indonesia dalam kilogram
dibandingkan dengan jumlah impor yang dilakukan Indonesia pada tahun yang sama juga dengan kilogram. Terlihat bahwa komoditas tersebut diproduksi dengan
jumlah yang cukup tinggi, namun di sisi lain impor pada komoditas ini juga cukup tinggi. Rasio ini pun terlihat cukup berfluktuasi sehingga terlihat adanya potensi
banjir impor pada tahun-tahun tertentu untuk ketiga komoditas ini.
Tabel 1.4 Rasio Impor dan Produksi Bawang Merah, Wortel, dan Jeruk tahun 2010-2012 ton
Tahun Kentang
Jeruk Bawang Merah
Produksi Impor
Rasio Produksi
Impor Rasio
Produksi Impor
Rasio
2010 1 060 805 24 204
2.28 2 028 904 191 599
9.44 1 048 934
70 573 6.73
2011 955 488 78 419
8.21 1 818 949 215 420 11.84
893 124 156 381 17.51
2012 1 094 240 46 588
4.26 1 611 784 211 886 13.15
964 221 95 156
9.87
Sumber: BPS 2013
Kecenderungan impor ini menyebabkan terjadinya persaingan antara dengan produk lokal. Dengan posisi seperti ini, Indonesia rentan terhadap banjir impor
komoditas hortikultura, terutama jika terdapat pola-pola khusus peningkatan volume komoditas hortikultura dunia, misalnya volume jeruk pada Tahun Baru
Imlek. Perdagangan internasional Indonesia dengan ASEAN dan China, juga negara-negara di seluruh dunia memang sedang meningkat, namun bukan berarti
peningkatan tersebut kemudian menjadi ancaman bagi produsen domestik, sehingga hal ini patut diukur dalam konteks banjir impor hortikultura.
Berdasarkan uraian diatas, deteksi potensi banjir impor di subsektor hortikultura Indonesia menjadi pokok permasalahan yang akan diteliti karena
dirasa memiliki alternatif perspektif yang berbeda terhadap urgensi prioritas pemberlakuan proteksi terhadap petani hortikultura lokal. Penelitian ini akan
menganalisis tekanan impor baik dari volume maupun harga untuk komoditas hortikultura Bawang Merah, Kentang, dan Jeruk, dengan alasan ketiga produk
hortikultura ini dapat diproduksi di Indonesia dengan baik dan melimpah namun di sisi lain terjadi impor yang cukup besar, sehingga penting untuk diamati apakah
kondisi seperti ini akan memengaruhi komoditas tersebut secara ekonomi. Secara spesifik, penelitian ini memiliki alur permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi impor kentang, jeruk, dan bawang merah Indonesia? 2. Apakah terjadi fenomena banjir impor yang terjadi pada komoditas hortikultura
kentang, jeruk, dan bawang merah? Seberapa sering frekuensi terjadinya banjir impor untuk komoditas ini?
3. Apakah dampak dari kecenderungan impor hortikultura yang semakin meningkat terhadap harga domestik kentang, jeruk, dan bawang merah di
Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian dirumuskan untuk menjawab permasalahan dengan uraian sebagai berikut:
1. Menganalisis gambaran umum kondisi impor kentang, jeruk, dan bawang merah Indonesia.
2. Mendeteksi fenomena dan frekuensi banjir impor yang terjadi pada komoditas hortikultura kentang, jeruk, dan bawang merah di Indonesia berdasarkan SSM
framework. 3. Menganalisis dampak shock banjir impor terhadap harga domestik kentang,
jeruk, dan bawang merah di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai publikasi ilmiah dalam mempelajari pengaruh shock eksternal dari
komoditas hortikultura impor yang berpotensi menjadi banjir impor yang dapat memengaruhi pasar domestik.
2. Dapat dijadikan acuan rancangan kebijakan untuk lembaga pembuat kebijakan perdagangan dengan tujuan untuk melindungi pasar domestik terutama petani
hortikultura. 3. Memperkaya literatur studi mengenai dampak banjir impor terhadap pasar
domestik dengan ekonometrika modern yang saat ini belum banyak dilakukan di Indonesia.
1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
1. Komoditas hortikultura yang diteliti dalam penelitian ini terbatas kepada komoditas kentang, bawang merah, dan jeruk.
2. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan selama kurun waktu tahun 2002 hingga 2012, yang berasal dari data resmi dari instansi yang
bertanggung jawab untuk merilis data statistik Indonesia. 3. Dampak perekonomian domestik dari penelitian ini dibatasi dari pengamatan
terhadap pengaruh faktor eksternal, seperti harga internasional, harga impor, dan volume impor, tanpa mempertimbangkan pengaruh dari dalam negeri. Hal
ini dilakukan agar dapat terlihat jelas pengaruh faktor eksternal akibat keterbukaan ekonomi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
4. Faktor dalam negeri yang diteliti pada penelitian ini adalah faktor harga domestik, faktor lain seperti produksi dan konsumsi domestik tidak disertakan
ke dalam penelitian karena kesulitan data bulanan untuk kedua faktor tersebut.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini membagi bab Tinjauan Pustaka menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah tinjauan teoritis yang berisikan definisi-definisi mengenai istilah-
istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Tinjauan teoritis juga berisikan dasar teori dari metode-metode yang digunakan oleh peneliti-peneliti yang sebelumnya
yang kemudian penelitiannya dibahas pada bagian kedua bab ini. Bagian kedua adalah tinjauan empiris, yang berisi review dan ulasan singkat penelitian
sebelumnya yang memiliki kesamaan tema ataupun metode, yang kemudian menjadi acuan untuk pemilihan metode yang tepat untuk penelitian ini.
2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Transmisi Harga dan
Law of One Price
Transmisi harga adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan dampak harga dari satu pasar terhadap pasar lainnya. Transmisi harga biasanya
diukur dalam elastisitas transmisi, dimana persentase perubahan harga pada satu pasar akan mengubah harga pada pasar lainnya sebesar satu .
Analisis transmisi harga dapat dimulai dengan contoh kasus sederhana dimana pasar merupakan pasar persaingan sempurna, dengan ciri asumsi sebagai
berikut: 1. Barang komoditi bersifat homogen, tidak ada variasi dalam kualitas
2. Terdapat banyak penjual dan pembeli yang sifatnya kecil sehingga tidak ada
yang memiliki kekuatan pasar 3. Penjual dan pembeli memiliki informasi sempurna
4. Jual-beli terjadi seketika 5. Tidak terdapat pajak dalam jual beli atau kebijakan restriktif dalam
perdagangan 6. Tidak terdapat biaya transportasi dan transaksi
Dengan demikian, dapat dipastikan pada kasus ini bahwa arbitrasi spasial menjamin harga komoditi akan sama untuk semua pasar. Jika harga pada Pasar A
melebihi harga pada Pasar B maka akan menguntungkan untuk
mendistribusikan barang dari Pasar B ke Pasar A sampai harga kembali seimbang. Transmisi harga yang terjadi pada kasus ini dapat dikatakan sempurna karena
perubahan harga yang terjadi di satu pasar akan langsung direfleksikan dengan perubahan di pasar lain, atau dengan kata lain elastisitas transmisi sebesar satu.
Kondisi seperti inilah yang disebut sebagai Law of One Price LOP.
Menurut Conforti 2004, terdapat empat kelompok faktor yang berkontribusi dalam deviasi harga domestik dari harga dunia, yaitu biaya
transportasi dan biaya transaksi, pass-through nilai tukar yang tidak sempurna, diferensiasi produk, serta kebijakan harga domestik. Lebih lanjut, transmisi harga
dilanggar apabila biaya transportasi dan biaya transaksi adalah tidak stasioner, tetap tidak proporsional terhadap kuantitas barang yang diperdagangkan, dan
multiplikatif tidak aditif.
Pendekatan awal untuk mendeteksi transmisi harga adalah dengan melihat koefisien korelasi antara dua deret harga, atau diestimasi dengan regresi linear
sederhana seperti yang dilakukan oleh Mundlak dan Larson pada tahun 1992 Mundlak dan Larson dalam Abbot et al. 2011 sebagai berikut:
it jt
t
1 Dimana
it
merupakan harga untuk pasar domestik i dan
jt
adalah harga pasar dunia j pada periode t,
dan merupakan parameter yang diestimasi dan
t
adalah error term. Hipotesis nol dari regresi ini adalah harga untuk kedua pasar terintegrasi dan tertransmisikan dengan sempurna
dan 2
Model ini tidak dapat mendeteksi dinamika jangka pendek secara eksplisit. Untuk merefleksikan kekakuan harga, maka diberikan lag terhadap model awal
sehingga, model dengan lag satu periode adalah
it jt
it t
3 Sehingga terbentuklah pendekatan deret waktu yang kemudian menjadi
lumrah untuk analisa model yang lebih baik dalam proses-proses dinamis Baffes dan Gardner dalam Abbot et al. 2011. Error Correction Model ECM kemudian
dikembangkan untuk menjelaskan dinamika jangka pendek dan ekuilibrium jangka panjang secara simultan dalam satu model. Dimana Error Correction Term
didefinisikan dengan
t it
jt
4 kemudian terbentuklah ECM yang dinotasikan sebagai berikut:
it t
jt
u
t
5 menggambarkan koefisien kointegrasi yang mengukur hubungan jangka
panjang antara harga pada Pasar Domestik i dan Pasar Dunia j. menggambarkan speed of adjustment dari koefisien, mengindikasikan seberapa
besar deviasi dari ekuilibrium jangka panjang yang dapat dieliminasi dari setiap periode.
menggambarkan dampak kontemporer, mengukur seberapa besar perubahan harga pada Pasar Dunia yang ditransmiskan kedalam Pasar Domestik
pada periode waktu tertentu. adalah parameter jangka panjang dan dan
merupakan parameter jangka pendek. Ketika secara signifikan tidak sama
dengan nol, maka terjadi proses dinamis yang akan membuat harga memusat converge pada jangka panjang, sehingga LOP akan bertahan pada jangka
panjang, bukan pada jangka pendek.
Pendekatan ECM diatas disebut Level I Methods dalam analisis transmisi harga Barret dalam Abbot et al. 2011 dimana yang digunakan adalah hanya data
harga. Level II Methods mengkombinasikan data harga dan data biaya transaksi, Parity Bounds Model PBM digunakan untuk mengestimasi studi Level II
Baulch dalam Abbot et al. 2011 yang mendeteksi adanya kemungkinan non- linear sebagai perubahan rezim perdagangan untuk kegiatan ekspor dan impor.
Balke dan Fomby dalam Abbot, Wu, dan Tarp, 2011, secara implisit menyatakan bahwa biaya transaksi berhubungan dengan penetapan threshold sebagai
diferensiasi harga. Keterandalan hasil pendekatan Level II sangat bergantung kepada kualitas data biaya transaksi dalam PBM, yang sangatlah sulit untuk
diukur.
Kesulitan kuantifikasi biaya transaksi kemudian mengembangkan analisis Level III. Menurut Barret dalam Abbot et al. 2011, jika arus antar pasar dapat
diketahui terjadinya, maka transfer margin akan sama dengan perbedaan harga yang terjadi, sehingga data biaya transaksi dapat dihilangkan dalam analisis Level