Analisis FEVD Bawang Merah

Secara umum berdasarkan Tabel 5.12, FEVD ketiga komoditas yang diamati, pembentukan harga domestik jeruk dipengaruhi sebesar 15 hingga 18 dari volume impor jeruk, untuk komoditas bawang merah, harga impor bawang merah memengaruhi pembentukan harga domestik sebesar 7 hingga 10 , sedangkan untuk komoditas kentang, baik harga impor maupun volume impor memengaruhi kurang dari 6 . Walaupun kontribusi pembentukan harga domestik dari impor untuk beberapa komoditas tidak lebih dari 10 , dapat diamati seiring peningkatan tahun FEVD, terjadi peningkatan kontribusi dari impor tersebut dalam pembentukan harga domestik. Pada akhirnya dampak dari banjir impor selama tahun 2002 hingga 2012 ini terlihat dari dapat memengaruhi harga domestik secara permanen dan semakin meningkatnya pengaruh impor dalam pembentukan harga domestik. Tabel 5.12 FEVD Pembentukan Harga Domestik Tahun Harga Konsumen Harga Produsen PM QM PC PF PM QM PC PF Kentang 1 4.47 1.12 90.75 1.02 4.44 5.04 30.07 57.35 2 4.76 1.05 89.69 1.05 4.76 5.86 30.37 55.00 3 4.85 1.03 89.36 1.06 4.86 6.11 30.46 54.27 4 4.89 1.02 89.20 1.06 4.91 6.23 30.51 53.92 5 4.92 1.01 89.11 1.07 4.94 6.31 30.53 53.71 Jeruk 1 3.23 15.78 77.10 1.38 0.02 12.17 2.95 84.65 2 3.40 17.70 74.65 1.45 0.01 13.83 2.60 83.45 3 3.46 18.30 73.88 1.48 0.01 14.38 2.49 83.06 4 3.48 18.60 73.50 1.49 0.01 14.65 2.43 82.86 5 3.50 18.78 73.27 1.50 0.01 14.81 2.40 82.74 Bawang Merah 1 7.87 0.99 90.60 0.10 8.41 0.83 61.16 29.02 2 8.63 0.99 90.10 0.05 9.40 0.51 61.85 27.91 3 8.88 0.99 89.93 0.03 9.73 0.41 62.08 27.53 4 9.00 0.99 89.84 0.02 9.90 0.36 62.19 27.34 5 9.08 0.99 89.79 0.02 10.00 0.32 62.26 27.23 Ket: PM = harga impor; QM = volume impor; PC = harga konsumen; PF = harga produsen Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada komoditas bawang merah, shock harga impor memengaruhi harga domestik cukup tinggi. Harga impor bawang merah juga memengaruhi pembentukan harga domestik dengan share yang cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan FAO 2011 di negara Filipina yang meneliti dampak banjir impor pada komoditas bawang dan tembakau.. di Filipina, petani bawang menurunkan harga secara signifikan akibat banjir impor, analisa memastikan bahwa harga impor yang lebih rendah terasosiasikan dengan penurunan harga domestik. Banjir impor juga menyebabkan penurunan pendapatan petani bawang dan tembakau, hal ini diakibatkan oleh dampak lebih rendahnya harga impor bawang dibandingkan produk domestik. Pada komoditas kentang, ditemukan dampak dari banjir impor tidak sesignifikan dibandingkan dengan dampak pada komoditas bawang merah. Pada penelitian Andriyanto et al. 2013 dimana harga kentang impor tidak berpengaruh secara nyata terhadap harga kentang Indonesia, sedangkan volume kentang impor berpengaruh nyata terhadap produksi kentang di Indonesia. Hal ini sudah dijelaskan pada penelitian sebelumnya karena kentang impor Indonesia berbeda jenis dengan kentang yang diproduksi di Indonesia.

5.4 Rekomendasi Kebijakan dan Remedy SSM

Peningkatan volume impor untuk komoditas hortikultura kentang, bawang merah, dan jeruk dari semenjak keterbukan AFTA pada tahun 2002 terbukti mengakibatkan banjir impor berupa peningkatan volume impor pada komoditas- komoditas tersebut. Dampak dari banjir tersebut dapat secara permanen memengaruhi harga domestik, dimana penurunan harga produsen dapat mengurangi kesejahteraan petani. Persaingan dengan produk impor dengan harga yang lebih murah membuat petani mengurangi harga produknya lebih rendah lagi. Untuk itu, impor harus diredam. Meredam impor secara teoritis dapat dilakukan dengan dua metode umum, yaitu pemberlakuan kuota impor atau peningkatan tarif impor. Penerapan kuota impor adalah membatasi sejumlah impor yang dapat dilakukan pada kurun waktu tertentu. Pada bulan September 2012, pemerintah menerapkan kebijakan kebijakan pembatasan pintu masuk untuk produk hortikultura berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Permendag No. 30M-DAGPER52012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura dan Peraturan Menteri Pertanian Permentan No. 60PERMENTANOT.14092012 tentang Rekomendasi Produk Impor Hortikultura. Berdasarkan kebijakan ini, impor hanya dapat masuk ke wilayah pabean Indonesia melalui empat pintu masuk, yaitu Bandara Soekarno- Hatta JakartaTangerang, Tanjung Perak Surabaya, Pelabuhan Belawan Medan, dan Makassar. Kebijakan ini didesain untuk meredam impor dengan mengecilkan pintu masuk atau bisa dikategorikan sebagai kuota impor atau kebijakan non tarif. Pada tahun 2013, pembatasan impor hortikultura Indonesia menuai gugatan di WTO. Amerika Serikat menganggap pembatasan impor Indonesia merugikan ekspor AS ke Indonesia, hal tersebut dianggap AS melanggar aturan WTO 10 . Dalam hal ini, Indonesia beranggapan bahwa kebijakan tersebut diterapkan untuk melindungi petani lokal sehingga kebijakan tersebut wajar dilakukan bahkan oleh seluruh negara yang ingin melindungi perekonomian domestiknya 11 . Akibatnya, terjadi revisi kebijakan pada tahun 2013, dimana kuota impor digugurkan menjadi pembatasan impor berdasarkan indikator paritas harga berdasarkan Permendag No. 16M-DAGPER42013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Selain kebijakan pembatasan impor kuota, kebijakan tarif impor juga dapat meredam impor. Peningkatan tarif impor dari 5 menjadi 25 pada tahun 2005 di Indonesia untuk komoditas bawang merah dan jeruk menurunkan impor 10 http:industri.kontan.co.idnewskuota-impor-daging-sapi-menuai-gugatan-di-wto 11 http:www.neraca.co.idarticle25680Soal-Pembatasan-Impor-RIAS-Belum-Capai-Titik-Temu dan meningkatkan harga produksi, penurunan impor ini juga membuat produk lokal berpotensi ekspor Saptana dan Hadi 2008. Di sisi lain, penurunan tarif impor pada tahun 2011 mengakibatkan penurunan harga produsen sebesar 16.1 untuk bawang merah dan 11.5 untuk jeruk SEADI 2012. Kebijakan peredaman impor dengan menggunakan metode kuota dan tarif impor mungkin efektif untuk mengurangi impor dan menyelamatkan kesejahteraan petani lokal, namun cara ini seringkali menuai klaim dari negara pengekspor asing terhadap Indonesia, terutama pelanggaran aturan WTO. Oleh karena itu, dibutuhkan perlindungan domestik yang sesuai dengan aturan WTO. Framework kebijakan Remedy SSM tepat diterapkan karena diterapkan berdasarkan peraturan WTO. Secara teknis SSM menggunakan peningkatan tarif sebagai proteksi perekonomian domestik terhadap gempuran impor. Berdasarkan draft Modalities revisi Desember 2008, trigger dan remedy dari volume-based SSM dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: 4. Ketika volume impor bernilai 110 namun tidak melebihi 115 peningkatan volume 10 hingga 15 terhadap base imports. Maka remedy yang digunakan adalah peningkatan tarif maksimal sebesar 25 dari bound tariff saat ini yang ditambahkan ke dalam applied tariff, atau 25 poin persentase ditambahkan ke dalam applied tariff secara langsung. Pilihan ditentukan dari tarif mana yang lebih besar. 5. Ketika volume impor bernilai 115 namun tidak melebihi 135 peningkatan volume 15 hingga 35 terhadap base imports. Maka remedy yang digunakan adalah peningkatan tarif maksimal sebesar 40 dari current bound tariff ditambahkan ke dalam applied tariff, atau 40 poin persentase ditambahkan ke dalam applied tariff secara langsung. Pilihan ditentukan dari tarif mana yang lebih besar. 6. Ketika volume impor bernilai melebihi 135 peningkatan volume lebih dari 35 terhadap base imports. Maka remedy yang digunakan adalah penerapan tarif sebesar 50 dari bound tariff saat ini yang ditambahkan ke dalam applied tariff , atau 50 poin persentase ditambahkan ke dalam applied tariff secara langsung. Pilihan ditentukan dari tarif mana yang lebih besar. Sedangkan untuk price-based, Trigger price-based SSM adalah penurunan harga sebesar 15 atau lebih 85 atau kurang dari harga referensi. Tarif yang diberlakukan tidak lebih dari 85 gap antara harga impor dan harga trigger. Untuk kasus ketiga komoditas hortikultura dalam penelitian ini, tidak terjadi trigger price-based SSM kecuali untuk jeruk pada tahun 2004 dan 2005 sehingga lebih direkomendasikan untuk membentuk SSM berdasarkan volume-based SSM. Misalkan pada penelitian ini, terjadi trigger B pada komoditas kentang dan jeruk pada tahun 2012, namun tidak terpicu trigger pada komoditas bawang merah, maka diputuskan pada tahun 2013 untuk memberlakukan SSM untuk kedua komoditas tersebut, maka perhitungan peningkatan tarif berdasarkan data tarif WTO adalah sebagai berikut: 1. Untuk komoditas kentang, applied tariff Indonesia terhadap kentang adalah 20 dengan bound tariff sebesar 50. Berdasarkan SSM, peningkatan tarif terhitung adalah 40 dari bound tariff 50 ditambahkan kedalam applied tariff atau menambahkan 40 poin nilai ke dalam applied tariff, bergantung kepada nilai yang lebih besar. Pilihan peningkatan tarif adalah 40 atau 60. jika diberlakukan SSM untuk komoditas kentang, pada tahun 2013 Indonesia dapat meningkatkan tarif untuk komoditas kentang hingga maksimal 60. 2. Untuk komoditas jeruk orange, dengan applied tariff sebesar 5 dan bound tariff sebesar 50, berdasarkan perhitungan yang sama maka didapat pilihan peningkatan tarif sebesar 25 atau 45. jika diberlakukan SSM untuk komoditas jeruk orange, jika diberlakukan SSM untuk komoditas jeruk orange, pada tahun 2013 Indonesia dapat meningkatkan tarif untuk komoditas jeruk orange hingga maksimal 45 3. Untuk komoditas jeruk mandarin, dengan applied tariff sebesar 20 dan bound tariff sebesar 50, berdasarkan perhitungan yang sama maka didapat pilihan peningkatan tarif sebesar 40 atau 60. jika diberlakukan SSM untuk komoditas jeruk mandarin, pada tahun 2013 Indonesia dapat meningkatkan tarif untuk komoditas jeruk mandarin hingga maksimal 60 4. Jika dimisalkan komoditas bawang merah juga terjadi trigger yang sama, dengan applied tariff sebesar 6.3 dan bound tariff sebesar 40, berdasarkan perhitungan yang sama maka didapat pilihan peningkatan tarif sebesar 22.3 atau 46.3. jika diberlakukan SSM untuk komoditas bawang merah, pada tahun 2013 Indonesia dapat meningkatkan tarif untuk komoditas bawang merah hingga maksimal 46.3 Perhitungan SSM diatas merupakan rekomendasi kebijakan yang tetap sesuai dengan posisi Indonesia sekarang yang tidak lepas dari perdagangan internasional yang diawasi oleh WTO. SSM merupakan bentuk proteksi WTO terhadap negara berkembang, sebagaimana WTO tetap menginginkan hilangnya tarif perdagangan secara mutlak, di sisi lain juga dilakukan proteksi dalam bentuk peningkatan tarif untuk melindungi produsen domestik dari gempuran impor. Peningkatan tarif melalui SSM juga akan berguna untuk meredam importir atas volume impor yang meningkat terus menerus karena terjadi kenaikan biaya, di sisi lain juga meningkatkan harga barang impor sehingga tidak menggerus harga produsen domestik. Peningkatan tarif ini juga sesuai dengan pembuktian model VECM sebelumnya yang tertuang dalam output IRF dan FEVD bahwa tingginya impor saat 2002 hingga 2012 harus diredam, apabila peningkatan tarif ini nyata berpengaruh maka guncangan dari import surge dan price fall bisa diredam pengaruhnya terhadap harga domestik. Di sisi lain, pemberlakuan SSM juga dibatasi hanya untuk satu tahun dan tidak dapat dilakukan berturut-turut untuk produk yang sama. Berdasarkan gambar 5.1 sampai 5.4 dapat dilihat bahwa fluktuasi yang tercipta akibat guncangan impor hanya bergerak selama satu tahun, setelah periode 12 hingga 24 nilai dari IRF bisa dikatakan stabil. Oleh karena itu SSM sudah tepat digunakan dalam jangka waktu setahun untuk meredam guncangan impor yang akan terjadi. Hal ini dapat menjadi rekomendasi yang baik bagi kebijakan perlindungan petani terhadap gempuran impor di Indonesia, terutama dengan memberikan insentif bagi pengimpor untuk meredam impor dengan peningkatan tarif. Sayangnya impor yang terjadi di Indonesia ditemukan berasal dari jalur tidak resmi, sehingga pemberlakuan tarif tidak berlaku bagi barang-barang ilegal tersebut dan seringkali terjadi pada komoditas hortikultura. Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang sangat rentan terhadap tindakan impor ilegal, dimana pada umumnya impor ilegal berasal dari pintu yang tidak ditetapkan atau pelabuhan yang berada di area free trade zone seperti Batam