Analisis dampak impor gula terhadap harga gula domestik dan industri gula Indonesia

(1)

Oleh:

AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A14302003

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(2)

RINGKASAN

AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN. Analisis Dampak Impor Gula Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia. Dibawah Bimbingan MANGARA TAMBUNAN.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kebijakan impor gula yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia, menganalisis dampak impor gula terhadap harga gula domestik, menganalisis dampak impor gula terhadap industri gula Indonesia, mengetahui dampak kebijakan impor gula yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Model analisis data yang digunakan adalah persamaan simultan. Masing-masing persamaan penelitian ini diduga dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS) dengan menggunakan program SAS version 8.1.

Pendugaan dan pengujian model ekonomi dengan kriteria statistik menunjukkan hasil yang memuaskan. Koefisien determinasi (R2) dari masing-masing persamaan struktural berkisar antara 0,576 sampai dengan 0,9647. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variable) yang ada dalam persamaan struktural mampu menjelaskan dengan baik peubah endogen (endogenous variable). Besaran nilai statistik khususnya uji F umumnya tinggi.

Impor yang tinggi serta harga internasional yang murah telah mempersulit posisi sebagian besar pabrik gula untuk bertahan dalam industri gula nasional apalagi untuk berkembang. Impor gula semakin terbuka lebar dan membanjir semenjak pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis termasuk gula dan tarif impor yang ditetapkan sebesar nol persen. Impor gula nasional yang besar telah menarik minat banyak pelaku pasar sehingga menimbulkan kesulitan pengendaliannya.

Kemelut pengelolaan impor gula terus berlangsung sehingga mendorong pemerintah melalui Departemen Perdagangan dan Perindustrian mengatur tataniaga dan impor seperti instrumen NPIK (Nomor Pengenal Importir Khusus) sampai penerapan kuota impor. Kebijakan tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun untuk mengontrol volume impor. Menanggapi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif impor melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 230/MPP/Kep/6/1999 yang memberlakukan tarif impor gula sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar.

Apabila terjadi kenaikan impor gula sebesar 86 persen, maka akan meningkatkan harga impor gula, meningkatkan harga gula eceran dalam negeri, penurunan konsumsi gula oleh masyarakat Indonesia. Kenaikan impor gula tersebut juga berdampak pada peningkatan stok gula dalam negeri, meningkatkan harga provenue gula dan mendorong peningkatan luas areal perkebunan tebu serta penurunan produktivitas tebu. Kebijakan menurunkan impor gula sebesar 98 persen akan berdampak pada penurunan harga impor gula dan diikuti oleh penurunan harga gula eceran, konsumsi meningkat serta berdampak pada penurunan stok gula dalam negeri. Kebijakan ini juga menyebabkan harga

provenue gula mengalami penurunan serta penurunan luas areal perkebunan tebu. Akan tetapi, produktivitas tebu justru meningkat.


(3)

Kebijakan mengimpor gula sebesar nol persen akan berdampak positif pada peningkatan produktivitas tebu. Selain itu, kebijakan tersebut juga berdampak pada penurunan harga impor gula dan penurunan harga gula eceran sehingga konsumsi gula dalam negeri meningkat. Dampak lainnya adalah stok gula dalam negeri mengalami penurunan dan harga provenue gula mengalami penurunan. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap perubahan luas areal perkebunan dimana luas areal perkebunan tebu mengalami penurunan. Sementara itu, produktivitas tebu mengalami peningkatan.

Berdasarkan hasil analisis simulasi kebijakan, kebijakan tataniaga impor gula tidak responsif atau bersifat inelastis terhadap perubahan harga gula eceran domestik dan industri gula Indonesia. Apabila impor gula semakin tinggi akan meningkatkan stok gula Indonesia sehingga penawaran gula akan meningkat. Kenaikan penawaran gula tersebut akan menurunkan harga gula eceran dalam negeri. Harga gula domestik berfluktuasi mengikuti dinamika harga internasional yang bergejolak mengikuti harga musiman, dimana harga tertinggi akan terjadi pada periode Mei-Agustus dan terendah pada bulan September-Oktober (Sudana

et. al , 2001). Salah satu faktor yang juga mempengaruhi harga gula eceran dalam negeri adalah harga gula impor dimana jika impor gula meningkat maka harga impor gula turun.

Menurut Susila (2005), salah satu faktor yang mempengaruhi harga gula eceran dalam negeri adalah harga impor gula yang berhubungan positif terhadap perubahan harga gula eceran. Turunnya harga gula eceran di pasar domestik ternyata membawa pengaruh yang negatif terhadap perubahan konsumsi gula domestik dimana konsumsi gula akan mengalami peningkatan. Kenaikan konsumsi ini tidak mampu dipenuhi sepenuhnya oleh produksi dalam negeri tetapi harus dipenuhi oleh impor gula dari negara lain. Hal ini dibuktikan dimana pabrik-pabrik gula di Indonesia pada saat ini tidak efisien lagi berproduksi akibat rendahnya harga gula internasional sehingga sulit bersaing dengan industri gula di luar negeri dan tidak ada perubahan dalam teknologi pergulaan.

Dengan dibebaskannya tataniaga gula sejak awal tahun 1998, maka harga gula eceran dalam negeri ditentukan oleh mekanisme pasar yang bersifat lelang (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2005). Seperti yang terjadi pada lelang bulan Agustus 2002 yang hanya mencapai Rp 2.650 per kg, sementara biaya produksi Rp 3.200 per kg sehingga sangat merugikan petani dan pabrik gula.

Dalam usaha meningkatkan produksi gula untuk mencapai swasembada gula sebaiknya lebih difokuskan pada peningkatan produktivitas. Sebagai negara importir, orientasi setiap kebijakan tetap diarahkan pada semakin menguatnya daya saing industri gula domestik dalam menghadapi perkembangan liberalisasi pasar gula dunia. Perlunya penguatan organisasi petani melalui model kemitraan antara petani penggarap dengan pabrik gula dalam suatu sistem usaha bersama serta adanya penelitian dan pengembangan sehingga industri gula dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Intervensi pemerintah masih tetap diperlukan untuk mengurangi dampak negatif liberalisasi perdagangan, dengan kata lain pasar gula domestik masih perlu diproteksi oleh pemerintah dari pengaruh fluktuasi harga dunia dan jumlah impor gula Indonesia.


(4)

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Agus Tri Surya Nainggolan A14302003

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(5)

Judul : ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA

Nama : Agus Tri Surya Nainggolan NRP : A14302003

Menyetujui, Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc NIP. 130 345 010

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr NIP 130 422 698


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Maret 2006

Agus Tri Surya Nainggolan A14302003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 17 Agustus 1984. Penulis merupakan anak ke empat dari empat bersaudara pasangan Bapak Drs. Walter Nainggolan dan Ibu Mariani Sitorus.

Penulis mengawali pendidikan di SD Katholik Budi Murni 2 Medan pada tahun 1990. Pada tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 10 Medan. Pendidikan sekolah menengah atas ditempuh penulis di SMU Negeri 2 Medan pada tahun 1999-2002. Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis pernah menjadi asisten Mata Kuliah Ekonomi Umum dan Pengantar Ilmu Kependudukan. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen dalam Komisi Pelayanan Anak.


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Dampak Impor Gula Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia. Skripsi ini disusun sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak impor gula terhadap harga gula domestik dan industri gula Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kebijakan impor gula di Indonesia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis berharap semoga hasil yang telah disajikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya penulis sendiri dan bagi yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Bogor, Maret 2006


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama menulis skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, arahan, dan bimbingan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis dan memberikan kritik serta saran dalam menulis skripsi ini.

2. Dr. Ir. Harianto, MS sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran bagi kesempurnaan skripsi ini.

3. Ir. Murdianto, MSi sebagai dosen penguji wakil departemen yang telah memberikan kritik dan saran bagi kesempurnaan skripsi ini.

4. Keluarga tercinta, Papa, Mama, Kak Tetty, Bang Apul, dan Bang Rudi yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis selama proses belajar ini.

5. Adrian Lubis, SP, MSi dan Wahidah, SP, MSi yang memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.

6. Anggi, Asti, Balduin, Bang Reinhard, Dimas, Dohana, Falentina, Hans Ceisar, Kak Ine, Mia, Nia, Noni, Rika, Tulus, Ury, Vera Lisnan, Viana, Vininta, dan teman-teman EPS’39 yang banyak memberikan dukungan dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

7. Semua pihak yang selama ini telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 5

Tujuan Penelitian ... 7

Kegunaan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Industri Gula di Indonesia ... 8

Kebijakan Pergulaan di Indonesia ... 10

Kebijakan Agribisnis Gula di Negara-Negara Produsen/Eksportir dan Importir Utama Dunia ... 13

2.3.1 Brasil ... 13

2.3.2 Mesir ... 14

2.3.3 India ... 15

2.3.4 China ... 17

2.3.5 Thailand ... 19

2.3.6 Jepang ... 20

2.3.7 Filipina ... 22

2.3.8 Australia ... 22

2.3.9 Fiji ... 23

2.3.10 Kuba ... 25

Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 27

III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teoritis ... 30


(11)

Harga ... 33

Teori Perdagangan Internasional ... 34

Keuntungan dan Kerugian bagi Indonesia Sebagai Negara Pengimpor Gula ... 37

Tarif ... 39

Kerangka Pemikiran Operasional ... 42

IV. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data ... 45

Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 46

Model Ekonometrika ... 47

4.3.1 Produksi Gula Total ... 49

4.3.2 Produksi Tebu ... 49

4.3.3 Luas Areal Perkebunan Tebu ... 49

4.3.4 Produktivitas Tebu ... 50

4.3.5 Harga Provenue Gula ... 51

4.3.6 Stok Gula Indonesia ... 52

4.3.7 Konsumsi Gula ... 52

4.3.8 Impor Gula ... 53

4.3.9 Harga Impor Gula ... 54

4.3.10 Harga Gula Eceran ... 55

4.4 Hipotesis ... 56

4.5 Identifikasi Model ... 57

4.6 Pengujian Model dan Hipotesis ... 61

4.6.1 Uji Kesesuaian Model ... 61

4.6.2 Uji Dugaan Variabel Secara Individu (Uji t) ... 63

4.6.3 Uji Terhadap Autokorelasi ... 63

4.6.4 Uji Terhadap Heteroskedastisitas ... 64

4.6.5 Uji Multikolinieritas ... 65

4.6.6 Konsep Elastisitas ... 66

4.6.7 Validasi Model ... 67

4.6.8 Simulasi Model Kebijakan ... 68


(12)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kebijakan Impor Gula di Indonesia ... 72

5.2 Hasil Dugaan Model ... 73

5.3 Dugaan Model Ekonometrika ... 74

5.3.1 Luas Areal Perkebunan Tebu ... 74

5.3.2 Produktivitas Tebu ... 77

5.3.3 Harga Provenue Gula ... 79

5.3.4 Stok Gula Indonesia ... 82

5.3.5 Konsumsi Gula ... 83

5.3.6 Impor Gula ... 85

5.3.7 Harga Impor Gula ... 88

5.3.8 Harga Gula Eceran ... 89

VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN 6.1 Hasil Validasi Model ... 93

6.2 Evaluasi Dampak Alternatif Kebijakan Impor Gula Tahun 1976-2004 ... 94

6.2.1 Kebijakan Menaikkan Impor Gula Sebesar 86 Persen ... 95

6.2.2 Kebijakan Menurunkan Impor Gula Sebesar 98 Persen ... 96

6.2.3 Kebijakan Impor Gula Sebesar Nol Persen ... 98

6.3 Dampak Kebijakan Impor Gula yang Diterapkan oleh Pemerintah Indonesia ... 99

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 102

7.2 Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman 1. Luas Areal Perkebunan Tebu, Jumlah Tebu, Rendemen, Jumlah Hablur

Tahun 1993-2004 ... 1

2. Produksi, Konsumsi, dan Impor Gula Indonesia Tahun 1993-2004 ... 3

3. Perubahan Kesejahteraan Sebagai Akibat Pemberlakuan Tarif ... 41

4. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Luas Areal Perkebunan Tebu .... 75

5. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Produktivitas Tebu ... 77

6. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Provenue Gula ... 80

7. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Stok Gula Indonesia ... 82

8. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Gula ... 84

9. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Impor Gula ... 86

10. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Impor Gula ... 88

11. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Gula Eceran ... 90

12. Hasil Validasi Model Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia Tahun 1976-2004 ... 94

13. Dampak Alternatif Kebijakan Menaikkan Impor Gula Sebesar 86 Persen Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia Tahun 1976-2004... 95

14. Dampak Alternatif Kebijakan Menurunkan Impor Gula Sebesar 98 Persen Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia Tahun 1976-2004... 97

15. Dampak Alternatif Kebijakan Impor Gula Sebesar Nol Persen Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia Tahun 1976-2004 ... 98


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional ... 36

2. Perdagangan Internasional di Sebuah Negara Pengimpor ... 38

3. Dampak Pemberlakuan Tarif ... 40

4. Diagram Alur Kerangka Berfikir ... 45


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

1. Perkembangan Kebijakan Pergulaan Nasional ... 109

2. Hasil Pendugaan Parameter Model Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia dengan Metode 2SLS ... 111

3. Hasil Validasi Model dan Nilai Simulasi Dasar ... 115

4. Hasil Simulasi Penurunan Impor Gula Sebesar 98 Persen ... 118

5. Hasil Simulasi Kenaikan Impor Gula Sebesar 86 Persen ... 119


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gula merupakan salah satu komoditas pangan pokok yang memiliki arti dan posisi yang strategis di Indonesia. Kedudukan gula sebagai bahan pemanis utama belum dapat digantikan oleh bahan pemanis lainnya, seperti madu, gula merah, atau bahan pemanis buatan lainnya. Hal ini disebabkan gula masih merupakan bahan pemanis dominan yang digunakan baik oleh rumah tangga maupun industri sehingga gula menjadi komoditi pertanian di Indonesia yang mempunyai fungsi permintaan yang cukup besar, bahkan cenderung meningkat tiap tahunnya. Namun, komoditi gula masih menghadapi masalah, yaitu ketidakseimbangan antara produksi dengan kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat.

Tabel 1. Luas Areal Perkebunan Tebu, Jumlah Tebu, Rendemen, dan Jumlah Hablur Tahun 1993-2004

Tahun Luas area (ha)

Jumlah tebu Rendemen (%)

Jumlah hablur (ton) (ton/ha) (ton) (ton/ha) 1993 420.687 32.337.637 76,9 7,60 2.469.589 5,90 1994 428.726 30.486.135 71,1 8,02 2.448.833 5,71 1995 420.630 30.083.264 71,5 6,97 2.096.054 4,98 1996 403.266 28.603.532 70,9 7,32 2.094.195 5,19 1997 385.669 27.953.841 72,5 7,83 2.189.975 5,68 1998 378.293 27.177.766 71,8 5,49 1.491.553 3,94 1999 340.800 21.401.834 62,8 6,96 1.488.599 4,37 2000 340.660 24.031.355 70,5 7,04 1.690.667 4,96 2001 344.441 25.186.254 73,1 6,85 1.725.467 5,01 2002 350.723 25.533.431 72,8 6,88 1.755.434 5,01 2003 335.725 22.631.109 67,4 7,21 1.631.919 4,87 2004 344.793 26.743.179 77,6 7,67 2.051.644 5,95

Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2005

Berdasarkan Tabel 1, produksi gula dalam negeri secara umum mengalami penurunan. Penurunan terbesar terjadi pada tahun 1993-1999. Produksi gula paling rendah tercapai pada tahun 1999, yaitu sebesar 1.488.599 ton. Penurunan


(17)

produksi gula beberapa tahun terakhir disebabkan oleh 1) penurunan luas areal tebu di sawah, 2) penurunan produktivitas dan rendemen karena cepatnya bergeser areal tebu dari sawah ke lahan kering, serta berkembangnya areal tebu keprasan. Seperti diketahui, produktivitas gula pasir di lahan sawah lebih tinggi dibandingkan dengan di lahan tegalan. Berkurangnya luas areal tebu sebagai akibat dikeluarkannya INPRES No.5/1998 pada tanggal 21 Januari 1998 yang membebaskan petani dari kewajiban petani untuk menanam tebu. Luas areal tebu mengalami penurunan dari 420.687 hektar pada tahun 1993 menjadi 344.793 hektar pada tahun 2004. Rendahnya rendemen industri gula nasional juga turut mempengaruhi penurunan produksi gula. Kondisi pabrik gula yang telah tua dan kesulitan tebang/angkut telah mempengaruhi rendemen dan kualitas tebu sehingga biaya produksi gula lebih mahal. Pada kurun waktu 1930-1940, rendemen gula dapat mencapai 12 persen lebih, sementara saat ini hanya berkisar 5-8 persen.

Pada periode 2000-2004, produksi gula dalam negeri mulai mengalami peningkatan dimana pada tahun 2004, produksi gula mencapai 2.051.644 ton. Hal ini disebabkan karena pemerintah mengeluarkan kebijakan, yaitu penetapan harga

provenue gula pasir produksi petani yang bertujuan untuk menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi. Selain itu, pemerintah juga menetapkan tarif spesifik untuk impor gula mentah sebesar Rp 550/kg (setara 20 persen) dan gula putih Rp 700/kg (setara 25 persen) yang berlaku hingga sekarang untuk merangsang petani menanam tebu. Walaupun telah dikenakan tarif spesifik, masuknya impor gula ke Indonesia belum dapat dikendalikan. Selain lemahnya pengawasan, tarif bea masuk gula impor saat ini masih sangat rendah ditambah tidak diberlakukannya hambatan non tarif untuk gula impor.


(18)

Tabel 2. Produksi, Konsumsi, dan Impor Gula Indonesia Tahun 1993-2004 Tahun Produksi (ton) Konsumsi (ton) Impor (ton)

1993 2.469.589 2.699.917 260.791

1994 2.448.833 2.941.217 128.399

1995 2.096.054 3.179.083 687.963

1996 2.094.195 3.073.765 975.830

1997 2.189.975 3.373.522 1.336.563

1998 1.491.553 2.739.295 1.730.473

1999 1.488.599 2.999.872 2.187.133

2000 1.690.667 3.020.312 1.230.835

2001 1.725.467 3.085.822 1.353.070

2002 1.755.434 3.190.539 1.453.105

2003 1.631.919 3.300.811 1.693.377

2004 2.051.644 3.388.808 1.314.626

Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2005)

Tabel 2 menunjukkan bahwa produksi gula dalam negeri tidak seimbang dengan konsumsi dalam negeri. Konsumsi gula secara nasional terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, dan pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman yang memerlukan gula sebagai bahan bakunya. Pada tahun 2004, konsumsi gula mencapai 3.388.808 ton. Konsumsi gula diperkirakan akan mencapai 3,5 juta ton pada tahun 2005 dan akan terus meningkat jumlahnya di tahun-tahun selanjutnya. Di sisi lain, industri gula nasional belum bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat. Hal ini disebabkan karena penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah. Untuk mencukupi kebutuhan gula tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang tataniaga impor gula yang mulai diberlakukan sejak tahun 1967. Impor gula Indonesia terus mengalami kenaikan. Impor gula naik dari 260.791 ton pada tahun 1993 menjadi 1.314.626 pada tahun 2004. Menurut Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (2004), tingginya impor gula Indonesia tersebut disebabkan oleh tiga hal, yaitu: 1) rendahnya harga gula di pasar internasional sebagai akibat surplus pasokan dan


(19)

distorsi kebijakan dari negara-negara eksportir, 2) rendahnya proteksi pemerintah terhadap produk-produk pertanian termasuk gula, dan 3) produksi gula dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional.

Rendahnya harga gula di pasar internasional dibandingkan dengan biaya rata-rata produksi gula dalam negeri, memukul industri gula dan petani tebu di Indonesia dan juga mengindikasikan adanya perdagangan yang tidak adil (unfair trade) pada komoditas gula. Hal tersebut dilakukan negara produsen gula sebagai upaya perlindungan terhadap industri gula domestiknya. Harga gula dunia yang rendah tersebut diakibatkan adanya dumping yang dilakukan oleh negara penghasil gula (produsen gula), pemberian subsidi untuk pembelian sarana produksi dan peralatan pertanian, subsidi ekspor, pemberlakuan tarif impor dan sebagainya. Perubahan harga gula dunia akan diikuti oleh harga gula di Indonesia. Dengan kondisi nilai tukar rupiah yang cenderung fluktuatif dan kondisi produksi gula dalam negeri yang belum dapat memenuhi kebutuhan nasional, pemerintah beranggapan gula impor tetap diperlukan karena produksi gula dalam negeri hanya mampu menyediakan 50 persen kebutuhan nasional (Suhendratno, 2004).

Ketergantungan yang besar pada impor gula dapat mengakibatkan ketidakpastian dan ketidakstabilan harga gula domestik yang akan menyebabkan ketidakstabilan pendapatan para petani tebu. Impor gula yang besar juga telah menarik minat banyak pelaku pasar, sehingga menimbulkan kesulitan pengendaliannya. Untuk menciptakan medan persaingan yang lebih adil bagi industri gula dalam negeri, pada pertengahan tahun 2002, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen dan importir terdaftar dan


(20)

membatasi volume gula impor. Importir Indonesia yang dapat melakukan impor gula dari luar negeri adalah PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).

1.2 Perumusan Masalah

Sebagai salah satu industri manufaktur yang tertua, industri gula Indonesia pernah mencapai zaman keemasan pada tahun sekitar 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu, pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14,8 persen dan rendemen mencapai 11-13,8 persen. Namun, perkembangan selanjutnya industri gula Indonesia lambat laun mengalami degradasi struktural dan sulit untuk bangkit kembali, hingga pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu importir gula terpenting di dunia saat ini. Industri gula yang ada sekarang tidak mungkin lagi dapat memenuhi kebutuhan gula nasional yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan dan dapat memenuhi kebutuhan gula nasional. Ketidakseimbangan pasokan atau produksi dengan permintaan gula nasional tersebut menimbulkan keharusan bagi pemerintah untuk mengimpor gula, sehingga sering terjadi gula impor berlebih di Indonesia termasuk ketika musim giling para importir tetap mendatangkan gula dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena harga gula luar negeri jauh lebih murah dibandingkan harga gula dalam negeri.

Sejak diberlakukannya perjanjian pertanian WTO tanggal 1 Januari 1995, perekonomian gula Indonesia makin terpuruk karena membanjirnya impor, terutama sejak krisis ekonomi 1997. Impor gula Indonesia terus mengalami


(21)

kenaikan semenjak pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk gula. Implikasi terbesar kebijakan ini adalah impor gula terbuka lebar karena pada saat itu tarif impor gula adalah nol persen. Saat itu adalah era membanjirnya gula impor ke pasar Indonesia. Impor yang melebihi kebutuhan semakin menekan harga gula domestik sehingga harga gula domestik menjadi tidak menentu dan cenderung di bawah biaya produksi produsen domestik. Pembatasan impor yang hanya dilakukan oleh produsen adalah usaha pemerintah untuk membatasi dan mengendalikan volume impor sehingga harga gula dalam negeri dan harga gula di tingkat petani dapat ditingkatkan. Kebijakan importir produsen tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh stok gula dalam negeri yang sudah terlalu banyak dan adanya gula impor ilegal. Situasi ini membuat harga gula di pasar domestik tetap rendah.

Sehubungan dengan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah antara lain:

1. Bagaimana kebijakan impor gula yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia?

2. Bagaimana dampak impor gula terhadap harga gula domestik? 3. Bagaimana dampak impor gula terhadap industri gula Indonesia?

4. Bagaimana dampak kebijakan impor gula yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia?


(22)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1. Mengetahui kebijakan impor gula yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia.

2. Menganalisis dampak impor gula terhadap harga gula domestik. 3. Menganalisis dampak impor gula terhadap industri gula Indonesia.

4. Mengetahui dampak kebijakan impor gula yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada:

1. Penulis, penelitian ini berguna untuk melatih kemampuan penulis dalam menganalisis masalah sesuai dengan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah dan menambah pengetahuan penulis mengenai industri gula nasional.

2. Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan informasi bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan peningkatan industri gula nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan petani tebu pada khususnya serta mengurangi ketergantungan impor gula.

3. Peneliti-peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan bahan pertimbangan atau perbandingan untuk penelitian selanjutnya.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Industri Gula di Indonesia

Industri gula merupakan suatu proses yang mencakup dua kegiatan pokok, yaitu usaha penanaman tebu dan usaha memperoleh gula kristal dari bahan baku tebu (Balai Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula, 1981). Usaha penanaman tebu merupakan suatu penerapan teknologi budidaya, yaitu melakukan penanaman tebu pada lahan yang sesuai dengan memberikan input sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh hasil tebu dengan kualitas yang cocok untuk diolah menjadi gula serta dengan kualitas yang secara ekonomis dapat bersaing dengan usaha tanaman lain pada lahan yang sama. Usaha pengelolaan tebu menjadi gula merupakan penerapan teknologi maju yang cukup rumit berupa perpaduan teknologi fisikawi dan kimiawi. Sifat-sifat industri gula tersebut menerangkan bahwa pada masa sebelum perang, industri gula hanya ditangani oleh perusahaan-perusahaan besar baik dalam usaha penanaman tebu maupun dalam usaha pengelolaannya.

Industri gula di Indonesia sudah dimulai sejak abad 16, mencapai puncak produksinya pada tahun 1930, yaitu sebesar 3 juta ton dengan luas areal 200.000 hektar (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2004). Pada tahun 1930 tercatat ada sekitar 179 pabrik gula. Produksi gula terus meningkat sehingga pada tahun 1931 Indonesia dapat mengekspor gula sebanyak 2 juta ton (Yenni, 2005). Adanya krisis ekonomi dunia pada tahun 1929 berpengaruh negatif pada perkembangan industri gula khususnya di Jawa. Jumlah pabrik gula pada tahun 1935 sebanyak 39 buah dengan tingkat produksi hanya 583.028 ton. Keadaan ini terus berlangsung hingga pada masa pendudukan Jepang yang kurang tertarik untuk


(24)

mengembangkan industri gula di Jawa karena kebutuhan mereka sudah terpenuhi dari Taiwan yang dijajah Jepang sejak akhir abad ke XIX. Di samping itu, merosotnya harga gula dan sulitnya transportasi akibat perang telah memukul industri gula di Jawa.

Pada periode 1936-1940, jumlah pabrik masih sekitar 85 buah dengan tingkat produksi antara 1,3-1,7 juta ton. Sejak dicapainya kemerdekaan, sektor industri gula di Indonesia mencoba untuk bangkit kembali. Berdasarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 1975, sistem industri gula dirubah secara mendasar yang bertujuan untuk memantapkan produksi gula nasional dan meningkatkan pendapatan petani dengan peralihan sistem sewa menjadi Tebu Rakyat. Akan tetapi, program tersebut belum berhasil memenuhi permintaan atau konsumsi dalam negeri sebagai akibat dari peningkatan pendapatan masyarakat. Pada beberapa dekade terakhir (1991-2001), industri gula Indonesia mulai me nghadapi berbagai masalah internal dan eksternal yang cukup signifikan. Salah satu indikator masalah internal yang cukup mengkhawatirkan adalah kecenderungan volume gula impor yang terus meningkat dengan laju pertumbuhan 21,62 persen per tahun. Selain itu, adanya Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang membebaskan petani dalam mengusahakan lahannya sehingga menanam tebu tidak lagi merupakan kewajiban tetapi pilihan bebas petani berdasarkan rasional ekonomi. Pabrik gula mengalami kesulitan dalam memperoleh pasokan bahan baku sehingga industri gula semakin tidak efisien. Intervensi dengan intensitas tinggi yang dilakukan oleh negara produsen dan konsumen merupakan salah satu faktor eksternal yang menghambat perkembangan industri gula di Indonesia.


(25)

2.2 Kebijakan Pergulaan di Indonesia

Dalam pembangunan industri gula nasional, pemerintah telah menerapkan beberapa instrumen kebijakan yang diarahkan untuk mendorong perkembangan industri gula Indonesia (Lampiran 1). Kebijakan tersebut mempunyai dimensi cukup luas yang mencakup input, produksi, distribusi, dan harga. Kebijakan yang paling signifikan di antara berbagai kebijakan produksi dan input adalah kebijakan TRI yang tertuang dalam Inpres No. 9/1975 tanggal 22 April 1975. Penerbitan kebijakan ini sebagai respon atas adanya defisit penyediaan gula semakin besar sebagai akibat konsumsi gula yang terus meningkat karena perekonomian nasional tumbuh cukup pesat yang disertai dengan peningkatan jumlah penduduk. Bersamaan dengan itu, harga gula di pasar internasional melambung tinggi.

Pada awal tahun 1990-an, kinerja pergulaan nasional terus menurun, baik dari segi areal, prodktivitas maupun produksi. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan Inpres No. 5/1997 yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan perkebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Inpres tersebut juga mempertegas peran Menteri Pertanian dalam pengembangan industri gula, baik melalui penyediaan bibit dan bimbingan teknis, peningkatan peran lembaga penelitian maupun menghilangkan berbagai pungutan yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan tebu rakyat (Sudana et. al, 2000). Namun, Inpres tersebut dicabut dengan Inpres No. 5/1998 yang membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No. 12/1992.

Kebijakan produksi yang cukup signifikan pada tahun 2003/2004 adalah pengembangan program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas gula


(26)

nasional. Pemerintah mencanangkan tercapainya swasembada gula pada tahun 2007 dengan produksi 3 juta ton dan produktivitas rata-rata 8 ton gula/ha. Di samping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula di pasar domestik. Secara garis besar, dinamika kebijakan distribusi dan perdagangan dapat dibagi menjadi empat tahapan utama, yaitu kebijakan Era Isolasi (1980-1997), Era Perdagangan Bebas (1997-1999), Era Transisi (1999-2002), dan Era Proteksi dan Promosi (2003-sekarang).

Pada Era Isolasi, Keppres No. 43/1971 merupakan salah satu contoh intervensi pemerintah dalam pemasaran gula. Keppres tersebut didukung oleh Surat Mensekneg No. B. 136/APBN Sekneg/3/74 agar berjalan efektif. Keppres tersebut pada dasarnya memberi wewenang kepada BULOG untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. Kebijakan selanjutnya pada era ini adalah Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987 mengenai harga gula. Instrumen utama kebijakan tersebut adalah penetapan harga provenue dan harga jual gula yang dikelola oleh BULOG. “Era Perdagangan Bebas” terjadi ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia yang ditandai dengan dihapuskannya sekat isolasi pasar domestik. Dalam upaya peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis termasuk gula. Implikasi terbesar dari kebijakan ini adalah impor gula terbuka lebar karena pada saat itu tarif impor gula adalah nol persen.

Ketika krisis ekonomi mulai berkurang pada tahun 1999, harga gula di dalam negeri justru menurun secara signifikan. Penurunan tersebut disebabkan


(27)

oleh terus menurunnya harga gula dunia dan tidak adanya tarif impor. Situasi tersebut merupakan awal dimulainya kebijakan yang bersifat transisi. Untuk melindungi produsen, pada “Era Transisi” ini pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 282/KPTS-IV/1999 yang kembali menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2.500 per kg. Kebijakan ini ternyata tidak efektif karena tidak didukung oleh rencana tindak lanjut yang jelas, misalnya pemerintah tidak mempunyai dana dalam jumlah yang memadai sehingga harga gula petani tetap mengalami ketidakpastian. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Keputusan Menteri No. 364/MPP/Kep/8/1999 sehingga pemerintah dapat membatasi dan mengendalikan volume impor.

Kebijakan importir-produsen ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Menanggapi tekanan ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif impor melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 230/MPP/Kep/6/1999. Tekanan terus-menerus yang dihadapi industri gula domestik serta meningkatnya kesadaran bahwa negara lain melakukan proteksi yang cukup intensif, mendorong pemerintah mengembangkan kebijakan yang dikenal sebagai “Era Kebijakan Proteksi dan Promosi “ yang dimaksudkan untuk menciptakan medan persaingan yang lebih adil bagi industri dalam negeri. Untuk itu, pada pertengahan tahun 2002, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor dan membatasi volume gula impor yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 643/MPP/Kep/9/2002. Pada tanggal 17 September 2004, kebijakan tataniaga impor direvisi untuk mempertegas atau


(28)

memperkuat dari esensi kebijakan menjadi Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan 522/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula. Importir Terdaftar (IT) gula yang mendapatkan izin impor tidak boleh mengalihkan impor gulanya ke perusahaan lain tetapi dapat bekerja sama. Importir Terdaftar yang mengimpor gula harus menyangga gula di tingkat petani sebesar Rp 3.400/kg.

2.3 Kebijakan Agribisnis Gula di Negara-Negara Produsen/Eksportir dan Importir Utama Dunia

2.3.1 Brasil

Brasil merupakan eksportir gula terbesar di dunia, kemudian diikuti oleh Uni Eropa, Australia, Thailand dan Guatemala. Meskipun mengalami pasang-surut jumlah gula yang diekspor, posisi sebagai eksportir terbesar tetap tidak tergantikan oleh negara produsen/eksportir lain. Brasil merupakan salah satu negara penghasil gula yang mempunyai sejarah yang paling panjang, yaitu sekitar 5 abad. Pengalaman yang panjang tersebut tentu saja merupakan pijakan yang sangat kokoh untuk mengembangkan agribisnis gula, baik bagi pemerintah, swasta maupun para petani tebu. Satu hal lagi yang menjadikan industri gula di Brasil sangat efisien adalah industri pengolahan tebu seluruhnya dikelola oleh swasta.

Pemerintah Brasil menyediakan bantuan kredit kepada petani maupun pengusaha gula dengan tingkat suku bunga kredit yang lebih rendah dari suku bunga pasar. Hingga pertengahan tahun 1990-an, Brasil pernah menerapkan kebijakan proteksi dan promosi terhadap beberapa komoditi pertanian utama, termasuk tebu, melalui instrumen tarif impor yang tinggi, persyaratan lisensi impor yang rumit serta bantuan pemasaran untuk melindungi sektor pertanian.


(29)

Untuk produk-produk pertanian utama seperti jagung, kakao, kedelai, beras dan gula, pemerintah Brasil menerapkan kebijakan promosi berupa harga dasar, pengadaan cadangan stok dengan melakukan pembelian langsung pada saat harga komoditi utama tersebut jatuh dan memberikan kredit yang disubsidi kepada para petani. Namun seiring dengan krisis ekonomi yang melanda Brasil pada pertengahan tahun 1990-an dan pemberlakuan era liberalisasi perdagangan, kebijakan-kebijakan tersebut mulai dihilangkan. Pemerintah Brasil melakukan deregulasi yang cukup mendasar pada tahun 1997 untuk komoditas gula dengan memberikan kebebasan penuh kepada setiap pihak yang terkait dalam mata rantai pembudidayaan tebu serta perdagangannya. Pemberlakuan harga minimum ditiadakan dan digantikan dengan mekanisme pasar murni.

Sejak Pemerintah Brasil menyerahkan sepenuhnya usahatani tebu pada pasar, maka tidak dikenal lagi pemberian subsidi bagi proses produksi maupun konsumsi. Industri gula Brasil saat ini mempunyai daya saing yang tidak tertandingi di antara negara-negara produsen lainnya sehingga pemerintah Brasil memfokuskan diri pada upaya menciptakan perdagangan internasional yang adil, bebas dari proteksionisme yang berlebihan.

2.3.2 Mesir

Pengelolaan gula di Mesir berada di bawah perusahaan Sugar & Integrated Industries Co. (SIIC) yang didirikan pada tahun 1881. Saat ini melalui SIIC, Mesir sedang mengembangkan industri gula baik di dalam maupun di luar Mesir. Pada bulan April 2001, pemerintah Mesir pernah melarang pengusaha swasta untuk mengimpor gula sebagai proteksi terhadap industri gula dalam negeri. Salah satu kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Mesir untuk mendukung


(30)

agribisnis gula adalah membeli seluruh produksi gula yang diproduksi di Mesir oleh Kementerian Suplai dan Perdagangan Dalam Negeri untuk dijual di pasar dalam negeri. Kebijakan ini selain untuk membantu kesejahteraan petani juga menjaga stabilitas harga gula di dalam negeri. Pemerintah Mesir juga memberikan subsidi untuk melakukan pembelian tebu petani, membangun infrastruktur, seperti modernisasi jaringan irigasi dan pembangunan sarana transportasi.

Pemerintah Mesir telah membentuk Dewan Gula Nasional untuk mendukung pelaksanaan kebijakan agribisnis gula yang dikoordinasikan oleh Departemen Pertanian. Meskipun total produksi dalam negeri masih belum memenuhi kebutuhan pasar domestik, Pemerintah Mesir mengeluarkan kebijakan untuk mengekspor gula berkualitas tinggi yang hasilnya digunakan untuk biaya impor gula dengan harga yang lebih murah. Sejak tahun 2002, Pemerintah Mesir juga telah menurunkan tarif impor raw sugar dari 24 persen menjadi 5 persen dan

refinery sugar dari 26 persen menjadi 6 persen. 2.3.3 India

India adalah negara keempat terbesar di dunia setelah Rusia, Brasil, dan Kuba dalam memproduksi gula tebu. Kebijakan promosi yang diterapkan oleh pemerintah India antara lain adalah penetapan harga minimum (harga dasar) tebu yang disebut Statutory Minimum Price (SMP) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sementara setiap negara bagian menetapkan State Advised Prices (SAP) yang lebih tinggi dari SMP. Dengan adanya SMP ini, para petani tebu mendapat jaminan harga minimum tertentu dari tebu yang dihasilkan. Selain itu, Pemerintah India juga memberikan dukungan melalui pembangunan infrastruktur jaringan


(31)

irigasi dan sarana perhubungan untuk memperlancar mobilitas tebu dari lahan petani ke pabrik gula.

Kebijakan lain yang cukup penting adalah reservasi daerah tebu (reserved area of the mills). Melalui kebijakan ini, petani tebu diminta untuk memasok tebu ke pabrik gula tertentu dan pabrik tersebut wajib untuk mengolah semua tebu yang diterimanya. Kebijakan ini ditetapkan oleh Pemerintah India untuk mengatur pasokan tebu dari petani ke pabrik gula agar tidak saling berebut dan untuk menghindari ketidakteraturan siklus produksi. Berkaitan dengan kebijakan kredit, Pemerintah India baru-baru ini telah merevisi The Sugar Development Fund Act

(1982) agar dapat membayar pengeluaran untuk transportasi internal dan ongkos angkut pengapalan ekspor gula dan memberikan pinjaman dengan suku bunga rendah bagi proyek pengembangan yang menggunakan hasil industri berbahan baku tebu.

Kebijakan pemasaran gula di dalam negeri India ada dua, yaitu gula untuk masyarakat berpendapatan rendah dan gula untuk masyarakat berpendapatan menengah ke atas. Untuk mendukung kebijakan gula murah, Pemerintah India mengharuskan setiap pabrik gula untuk menyisihkan sekitar 10 persen dari total gula yang dihasilkan. Gula yang disisihkan dikenal sebagai the levy quota yang dialokasikan ke pemerintah negara bagian untuk Public Distribution System

(PDS) dengan harga di bawah harga pasar. Gula murah harganya ditetapkan berdasarkan wilayah dan SMP dari tebu ditambah ongkos konversi yang direkomendasikan oleh The Bureau of Industrial Cost and Prices. Gula di luar


(32)

diatur oleh pemerintah dengan menentukan monthly release quota untuk menjamin stabilitas harga.

Untuk mendorong ekspor gula, Pemerintah India juga memberikan subsidi ekspor berupa levy exemption terhadap jumlah gula yang diekspor. Pemerintah pusat juga memberikan pengurangan pajak pembelian tebu untuk gula yang diekspor. Selain itu, Pemerintah India juga memberikan reimbursement terhadap

internal transport cost kepada pabrik gula yang akan mengekspor gula yang dihasilkannya. Untuk meningkatkan ekspor gula, Pemerintah pusat India juga telah memutuskan untuk menetralisasi ocean freight disadvantage yang dialami India dengan memberikan reimbursement kepada pabrik gula sebesar Rs. 350 per ton (Rp. 70.000 per ton). Pemerintah India menetapkan tarif impor sebesar 66,4 persen ditambah biaya tambahan sebesar Rs. 85 per kuintal (Rp. 17.000 per kuintal) untuk melindungi produksi gula domestik. Dukungan kebijakan Pemerintah India terhadap agribisnis gula yang terakhir adalah pembentukan

buffer stock yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 2 juta ton. Semua biaya penyimpanan ditanggung oleh pemerintah, sehingga pemerintah dapat mengatur jumlah gula di pasar dalam negeri India yang pada akhirnya stabilitas harga dapat dengan mudah dicapai.

2.3.4 China

Sejak tahun 1949, RRC telah menjadi negara pengimpor gula karena produksi domestik yang kurang mencukupi. Pada tahun 1991-1993, China sempat mengalami surplus gula hingga mencapai sekitar 1,5 juta ton dan pada saat itu untuk pertama kalinya China melakukan ekspor gula. Mengingat pentingnya komoditas gula, Pemerintah China mengambil kebijakan untuk mengendalikan


(33)

pengembangan agribisnis gula nasional. Keterlibatan atau campur tangan pemerintah dalam industri gula sangat besar pada masa awal industri gula di RRC Dalam masa dijalankannya kebijakan reformasi dan keterbukaan, Pemerintah RRC menerapkan serangkaian kebijakan untuk mendukung dan mengembangkan industri gula, antara lain: 1) menerapkan sistem tanggung jawab produksi keluarga di wilayah pedesaan yang membangkitkan antusiasme para petani untuk meningkatkan produksi gula, 2) memberikan insentif berupa pangan beras atau serealia lain untuk petani tebu, sehingga menjamin kecukupan pangan para petani tebu untuk menanam tebu, dan 3) memberikan subsidi berupa pembangunan irigasi pada lahan-lahan yang ditanami tebu, menyediakan traktor dan pupuk serta teknik budidaya tebu yang optimal. Sejak tahun 1991, Pemerintah China juga telah melakukan deregulasi perdagangan gula domestik, seperti pembeli dan pabrik gula dapat langsung melakukan transaksi tanpa melalui perantara, sehingga meningkatkan fleksibilitas pemasaran. Selain itu, pemerintah juga telah melepaskan kendali harga gula eceran.

Pemerintah China saat ini juga telah melepaskan seluruh kendali pembelian dan kontrak penjualan gula dan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar sehingga harga gula domestik berfluktuasi cukup tajam. Pemerintah China juga sudah tidak memberikan lagi subsidi langsung kepada para petani tebu, bahkan saat ini Pemerintah China menerapkan pajak pendapatan yang cukup tinggi terhadap pabrik gula sebesar 33 persen dan PPN sebesar 17 persen. Kebijakan proteksi yang dilakukan oleh Pemerintah China adalah menerapkan kuota impor pada tahun 2002 sebesar 1,76 juta ton; 1,85 juta ton pada tahun 2003; dan 1,94 juta ton pada tahun 2004 dengan tarif sebesar 30 persen untuk gula putih


(34)

(white sugar) dan 20 persen bagi gula mentah (raw sugar). Impor di atas kuota yang telah ditetapkan akan dikenakan tarif impor sebesar 76 persen.

2.3.5 Thailand

Produksi gula pertama kali di Thailand terjadi dalam masa pemerintahan Kerajaan Sukhotai (1257-1350). Produksi tersebut terus berkembang dan akhirnya berubah dalam skala komersial. Thailand merupakan produsen gula keenam terbesar di dunia dan konsumen gula terbesar ke-12 di dunia. Suksesnya agribisnis tebu di Thailand disebabkan oleh: 1) memadainya harga tebu yang diterima petani, 2) lingkungan industri yang mendukung, dan 3) dukungan pemerintah dalam memperluas dan merealokasi pabrik gula ke beberapa wilayah perkebunan tebu. Kebijakan agribisnis gula di Thailand dijalankan oleh Cane and Sugar Board, yang keanggotaannya terdiri dari para wakil petani (grower), pabrik gula (miller), dan pemerintah. Pemerintah juga memberikan subsidi suku bunga kredit usahatani bagi petani tebu.

Berdasarkan Undang-Undang Gula tahun 1984, pemerintah telah menetapkan rumus bagi hasil antara petani tebu dengan pabrik gula, yaitu petani tebu menerima 70 persen pendapatan dari penjualan gula dan molasses di pasar domestik dan internasional, sementara pabrik gula menerima 30 persennya.

Sebelum terbentuk Asosiasi Petani Tebu, harga tebu ditentukan langsung oleh pabrik gula berdasarkan kontrak awal yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Namun setelah terbentuk Asosiasi Petani Tebu, harga tebu ditentukan berdasarkan hasil negosiasi antara perwakilan Asosiasi dengan pabrik gula yang biasanya dilakukan satu bulan sebelum mulai panen tebu (bulan Oktober-Nopember). Pemerintah Thailand juga menetapkan kebijakan pemasaran gula di


(35)

pasar domestik dan luar negeri berdasarkan sistem kuota. Ada 3 jenis kuota yang telah ditetapkan selama ini. Pertama, Kuota A, yaitu penetapan kuota gula pasir (refined sugar) yang diperuntukkan bagi konsumsi domestik, yang besarnya sekitar 1,9 juta ton per tahun. Besarnya kuota berdasarkan perkiraan kecenderungan pertumbuhan kebutuhan gula domestik pada awal musim tanam tebu. Setiap pabrik gula hanya dapat menjual gula pasir ke pasar domestik sesuai dengan jatahnya. Kedua, Kuota B, yaitu penetapan kuota gula mentah (raw sugar) yang ditujukan untuk keperluan ekspor, yang biasanya ditetapkan sebesar 800 ribu ton per tahun dengan harga referensi ekspor. Ketiga, Kuota C, yaitu kuota yang ditetapkan untuk perusahaan swasta yang akan mengekspor gula, baik prime quality of sugar maupun raw sugar, setelah pabrik gula memenuhi kewajiban melaksanakan kuota A dan B. Untuk melindungi petani dan industri gula dalam negeri, Pemerintah Thailand melakukan proteksi dengan menerapkan kuota tarif impor sebesar 13.700 ton. Tarif impor dalam kuota ditetapkan sebesar 65 persen, sedangkan untuk di luar kuota sebesar 96 persen. Tingkat tarif impor tersebut sama untuk white sugar maupun raw sugar.

2.3.6 Jepang

Pemerintah Jepang telah merumuskan kebijakan peningkatan produksi gula melalui: 1) peningkatan permintaan gula di dalam negeri, 2) menjaga kestabilan produksi dengan memperbaiki kualitas lahan pertanian, 3) meningkatkan efisiensi usahatani tebu melalui mekanisasi pertanian dan penggunaan bibit unggul. Saat ini, Jepang sedang mengalami masalah penurunan permintaan gula tebu di pasar domestik sehingga pendapatan perusahaan juga mengalami penurunan yang cukup tajam. Selain itu, biaya produksi gula juga


(36)

mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu sekitar 60 persen untuk pengadaan bahan baku dan 40 persen untuk pengolahan dan pengepakan. Untuk menghindari kehancuran industri gula, Pemerintah Jepang kemudian mengambil kebijakan dengan memberikan dana promosi produksi kepada perusahaan gula. Kebijakan ini ternyata mampu mengatasi peningkatan ongkos pengolahan dan pengepakan, sehingga ongkos produksi secara total juga sudah mengalami penurunan yang cukup signifikan karena sekitar 40 persen ongkos produksi gula tebu di Jepang ada pada kegiatan pengolahan dan pengepakan.

Kebijakan promosi yang sangat penting di Jepang adalah penetapan harga dasar (harga terendah) yang harus diterima oleh petani tebu dengan mempertimbangkan biaya produksi, supply-demand, harga gula domestik dan situasi ekonomi lainnya. Selain itu, Pemerintah Jepang memberika n bantuan kepada pabrik gula untuk menutup selisih harga jual dengan harga bahan baku dan biaya manufaktur. Harga bahan baku gula tebu 3,9 kali lipat lebih tinggi dari harga jual gula tebu. Bantuan dana yang diberikan kepada pabrik gula ini sekitar 80 persen berasal dari dana regulasi.

Sejak tahun 2000, Asosiasi Usaha Promosi Industri Bibit Pertanian juga memberikan subsidi untuk gula domestik senilai harga terendah produsen + biaya standar kargo + biaya manufaktur – harga gula tahun sebelumnya. Selain kebijakan insentif harga dasar, Pemerintah Jepang pada tahun 2003 juga sudah menganggarkan dana untuk beberapa kegiatan, yaitu: 1) memberikan tunjangan kepada petani yang berhasil memperoleh produktivitas tana man tebu di atas rata-rata, 2) pengganti kerugian apabila terjadi bencana angin topan, 3) bantuan promosi gula.


(37)

2.3.7 Filipina

Filipina merupakan salah satu negara yang mencanangkan program swasembada gula, sehingga agribisnis gula merupakan salah satu sektor prioritas yang mendapat perhatian utama pemerintah. Kebijakan umum industri gula di Filipina, antara lain: 1) free enterprise, yaitu baik penduduk lokal maupun asing dapat berpartisipasi dalam perdagangan gula selama mempunyai kapabilitas keuangan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah, 2) gula yang diproduksi di dalam negeri diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan prioritas berikutnya adalah memenuhi kuota ekspor gula ke Amerika Serikat, dan 3) impor gula diusahakan dalam bentuk raw sugar agar dapat memberikan keuntungan pada refiners. Pemerintah Filipina juga membuat kebijakan harga yang melindungi petani tebu sekaligus juga melindungi konsumen gula. Pemerintah Filipina melakukan intervensi pasar agar stabilitas harga terjamin, walaupun tetap juga memperhatikan fluktuasi harga gula di pasar internasional. Kebijakan lain yang cukup penting adalah dukungan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur pertanian, seperti pembangunan jalan, pembangunan jaringan irigasi dan peralatan pendukung untuk mendorong peningkatan produktivitas tebu. Berkaitan dengan perdagangan internasional, Pemerintah Filipina menetapkan tarif impor gula sebesar 65 persen dan sedang diusulkan untuk ditingkatkan menjadi 80 persen.

2.3.8 Australia

Australia saat ini merupakan salah satu eksportir gula mentah utama di dunia. Pemerintah Federal (Commonwealth) Australia menyadari pentingnya industri gula bagi wilayah pedesaan maupun nasional dan telah mengeluarkan


(38)

berbagai kebijakan yang komprehensif untuk membantu industri gula dan para petani tebu. Pemerintah Federal mengeluarkan The Sugar Industry Reform Program (SIRP) yang mengatur agribisnis gula di negara bagian Queensland, New South Wales, dan Australia Barat. SIRP merupakan upaya untuk menangani kebutuhan-kebutuhan industri gula dalam jangka pendek dan jangka panjang berupa bantuan langsung yang mencakup bantuan penghasilan dan subsidi bunga kredit untuk tujuan peremajaan tanaman serta membantu pelaku industri yang akan keluar dari usahanya (exit the sugar industry).

Bantuan langsung yang dirancang dalam SIRP antara lain: 1) Income Support Payment, dialokasikan sebesar A$ 36 juta untuk membantu petani tebu dan pemanen tebu, 2) Interest Rate Subsidies, bantuan subsidi suku bunga kredit untuk petani tebu, 3) Regional Projects Assistance, dialokasikan sebesar A$ 60 juta untuk mendukung proses restrukturisasi industri gula jangka menengah dan panjang, 4) Exit Assistance, bantuan kepada petani yang akan meninggalkan bisnis industri gula, yang besarnya A$ 45.000 per petani (dengan syarat asetnya bernilai A$ 167.500). Berkaitan dengan perdagangan internasional, Australia saat ini menerapkan liberalisasi perdagangan secara penuh. Industri dalam negeri sudah tidak menerima subsidi ekspor lagi dari pemerintah dan tata niaga impor sudah ditiadakan. Australia juga sudah tidak membatasi lagi jumlah impor gula dan menerapkan tarif impor gula yang relatif rendah dengan kisaran 0-5 persen. Bahkan untuk beberapa produk gula, dibebaskan dari tarif impor.

2.3.9 Fiji

Fiji adalah salah satu negara yang ekonominya sangat tergantung pada sektor pertanian, khususnya agribisnis gula. Namun demikian, masa depan


(39)

agribisnis gula di Fiji menghadapi beberapa masalah penting yang mau tidak mau harus ditanggulangi. Produksi gula Fiji terancam oleh semakin menurunnya lahan pertanian yang dapat ditanami tebu akibat konversi lahan. Selain itu, kondisi buruk mesin-mesin penggilingan dan penggunaan tenaga kerja yang berlebihan mengakibatkan biaya produksi menjadi tinggi, sehingga mengurangi daya saing gula Fiji di pasar internasional. Masalah yang penting lagi adalah selama ini agribisnis gula bertahan bukan karena kekuatan daya saingnya, namun berkat komitmen Uni Eropa untuk membeli gula Fiji dengan harga khusus (dikenal dengan Sugar Protocol), yaitu pembelian tiga sampai empat kali lipat dari harga pasaran dunia. Namun, penerapan harga khusus ini mendapat tentangan yang keras dari Australia, Brasil, dan Thailand sehingga program ini akan dihentikan pada tahun 2007. Sehubungan dengan itu, Pemerintah Fiji pada tahun 2002 telah memutuskan untuk menata kembali industri gula nasionalnya. Langkah awal yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem sewa lahan agar lahan yang dapat ditanami tebu tidak mengalami penurunan yang sangat drastis. Selain itu, pemerintah Fiji memberikan bantuan kredit sebesar US$ 5.000 per orang bagi petani yang akan membuka lahan tebu baru dan bantuan bibit unggul tebu.

Untuk mengamankan industri gula yang sangat strategis ini, Pemerintah Fiji telah membuat dua Undang-Undang yang berkaitan langsung dengan agribisnis gula, yaitu Sugar Industry Act dan Fiji Sugar Corporation (FSC) Act. Sugar Industry Act yang tujuan utamanya untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat dalam agribisnis gula, baik petani maupun penggilingan. Berkaitan dengan tata niaga ekspor gula, Pemerintah Fiji menetapkan kebijakan untuk mengutamakan ekspor ke Uni Eropa karena memanfaatkan paket


(40)

preferensi. Namun, secara keseluruhan pasar gula Fiji mengenal ada empat harga, yaitu: 1) preferential market dari Sugar Protocol dan Special Preferential Sugar Agreement dengan Uni Eropa, 2) perjanjian bilateral (saat ini hanya dengan Amerika Serikat), 3) mengikuti harga pasar dunia (ekspor ke Jepang dan Malaysia), dan 4) harga untuk kawasan Pasifik melalui Regional Sugar Arrangement (RSA). Dengan pengaturan harga tersebut, maka harga penjualan untuk keempat pasar dimaksud tidak sama. Sesuai Sugar Protocol, harga gula untuk Uni Eropa ditetapkan sebesar US$ 524-US$ 583 per ton, sementara harga penjualan gula ke Amerika Serikat sebesar US$ 423 per ton dan harga internasional adalah US$ 135 per ton. Untuk pasar regional di kawasan Pasifik, Fiji menetapkan harga sebesar US$ 293 per ton. Untuk melindungi pasar dalam negeri, Fiji juga menetapkan tarif impor sebesar 27 persen ditambah PPN sebesar 12,5 persen.

2.3.10 Kuba

Industri gula merupakan sentra pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Saat ini, Kuba adalah negara pengekspor gula kelima terbesar di dunia setelah Brasil, Uni Eropa, Australia, dan Thailand, namun peranan industri gula Kuba telah menurun drastis atau semakin terpuruk akibat bubarnya blok sosialis yang selama ini menjadi pasar dan mitra dagang Kuba, meningkatnya harga minyak bumi serta merosotnya harga gula di pasar internasional. Untuk mencegah keterpurukan lebih lanjut, Pemerintah Kuba pada tahun 2002 telah merestrukturisasi dan memangkas industri gulanya hingga 50 persen.

Kebijakan promosi yang ditetapkan oleh Pemerintah Kuba untuk mendukung agribisnis gula, antara lain menyediakan lahan tebu serta


(41)

infrastrukturnya, seperti jalan usahatani, jaringan irigasi, bibit, pupuk, teknologi budidaya, transportasi, kredit, dan penyuluhan. Sebagian lahan tebu milik pemerintah diserahkan kepada rakyat melalui koperasi. Kebijakan lain yang sangat penting adalah seluruh hasil tebu dibeli oleh pemerintah dan tebu merupakan komoditas yang paling terjamin di Kuba, sehingga banyak petani yang lebih memilih menanam tebu dibandingkan dengan tanaman pangan yang lain. Perkebunan tebu di Kuba ada 2 jenis, yaitu perkebunan pemerintah dan perkebunan rakyat. Walaupun perkebunan tebu pemerintah sepenuhnya juga dikerjakan oleh rakyat, namun ada perbedaan perlakuan yang sangat mendasar dengan perkebunan tebu rakyat yang bukan pemerintah. Petani tebu perkebunan pemerintah mendapat insentif yang lebih besar, berupa gaji bulanan, perumahan, pupuk, bantuan teknis, suku bunga kredit yang lebih rendah (4 persen per tahun), pelayanan sosial, sekolah, dan kesehatan.

Selain kebijakan di tingkat usahatani, Pemerintah Kuba juga menetapkan kebijakan di tingkat industri pengolahan tebu. Seluruh industri gula di Kuba adalah milik pemerintah dan pada tahun 2003 telah dialokasikan anggaran sekitar US$ 510 juta untuk industri gula dan bantuan subsidi sekitar US$ 80 juta. Harga gula ditentukan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Harga, sementara alokasi anggaran pengembangan industri gula dirumuskan oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Gula. Tata niaga gula ditentukan oleh Kementerian Perekonomian dan Perencanaan, Kementerian Keuangan dan Harga, dan Kementerian Perdagangan Dalam Negeri.

Gula yang dihasilkan oleh pabrik gula dibeli oleh Conazucar, suatu badan usaha pemerintah yang dibentuk oleh Kementerian Gula dan didistribusikan oleh


(42)

Kementerian Perdagangan Dalam Negeri. Gula yang didistribusikan di dalam negeri diberi subsidi dan dipatok harga sebesar 6 sen peso nasional per pon (450 gram). Setiap warga diberi jatah sebesar 5 pon gula subsidi setiap bulannya. Untuk warga asing dan warga Kuba yang membeli gula melebihi 5 pon dikenakan harga US$ 1,80 per kg. Berkaitan dengan perdagangan internasional, kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kuba saat ini difokuskan pada pemberian subsidi ekspor yang diberikan melalui badan usaha pemerintah yang bernama Cuba Azucar International (CAI S.A).

2.4 Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian mengenai gula telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu, seperti peneliti-penelitian mengenai peranan industri gula dalam perekonomian nasional yang dilakukan oleh Arianto (2003). Alat analisis yang digunakan adalah analisis Input-Output yang merupakan salah satu alat analisis yang dapat melihat hubungan antar sektor dalam suatu perekonomian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa industri gula memiliki keterkaitan ke depan yang rendah dibandingkan dengan keterkaitan ke belaka ng. Dengan demikian, industri gula merupakan industri yang memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan sektor hulunya tetapi tidak atau kurang memiliki kemampuan untuk mendorong sektor hilirnya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa industri gula merupakan salah satu industri penting yang dapat meningkatkan output, pendapatan, dan lapangan kerja di sektor itu sendiri dan di sektor perekonomian lainnya di Indonesia.


(43)

Kajian yang dilakukan oleh Suparno (2004) mengenai dampak kebijakan tataniaga gula terhadap kesejahteraan petani tebu di Indonesia menunjukkan bahwa produktivitas tebu sangat responsif terhadap produksi tebu dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Impor gula juga sangat responsif terhadap produksi gula total dan pendapatan riil per kapita dalam jangka pendek dan jangka panjang. Kenaikan pendapatan riil per kapita juga dapat meningkatkan impor gula Indonesia baik jangka pendek maupun jangka panjang. Di sisi lain, harga nominal eceran gula tidak responsif terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek, tetapi responsif dalam jangka panjang.

Dampak kebijakan pra liberalisasi perdagangan gula pada tahun 1980-1994 terhadap keragaan industri gula Indonesia menunjukkan bahwa program ekstensifikasi tanaman tebu dapat meningkatkan produksi gula domestik sebesar 28,7 persen, tetapi belum menyelesaikan masalah ketergantungan pada gula impor. Selanjutnya, dampak kebijakan dan non kebijakan pasca liberalisasi perdagangan gula pada tahun 1995-2002 terhadap keragaan industri gula Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan penghapusan tataniaga gula BULOG dapat menurunkan produksi gula sebesar 40,53 persen karena gula domestik tidak mampu bersaing dengan gula impor yang memiliki harga yang lebih murah. Perubahan kesejahteraan petani tebu pra liberalisasi perdagangan gula menunjukkan bahwa kebijakan program ekstensifikasi tanaman tebu mampu meningkatkan kesejahteraan bersih masyarakat secara umum sebesar Rp 10,48 triliun, sedangkan kesejahteraan petani tebu pasca liberalisasi perdagangan gula menunjukkan bahwa kebijakan penghapusan tataniaga gula oleh BULOG menurunkan kesejahteraan bersih masyarakat sebesar Rp 3,44 triliun.


(44)

Mahardhika (2004) melakukan studi tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor gula Indonesia dengan menggunakan persamaan regresi linier berganda. Penelitian ini menunjukkan bahwa produksi gula nasional dipengaruhi oleh tiga peubah penjelas, yaitu luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula domestik tahun sebelumnya. Peningkatan ketiga peubah penjelas tersebut akan meningkatkan produksi gula nasional. Sedangkan untuk model impor gula Indonesia dipengaruhi oleh empat peubah penjelas, yaitu produksi gula domestik tahun sebelumnya, konsumsi gula nasional, harga riil gula internasional, dan tarif impor.

Penelitian yang dilakukan oleh Widowati (2004) menelaah tentang pengaruh tarif impor gula terhadap industri gula Indonesia. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan model ekonometrik gula dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS). Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan tarif impor gula sebesar 25 persen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap industri gula Indonesia kecuali terhadap konsumsi. Tarif impor tersebut menyebabkan harga domestik, areal dan produksi lebih tinggi masing-masing 11,11 persen, 10,97 persen, dan 7,47 persen bila dibandingkan dengan tarif meningkat masing-masing sebesar 11,6 persen dan 15 persen. Selain itu, impor gula pada tahun 2000 menurun sebesar 8,41 persen. Meskipun demikian, kebijakan ini menurunka n surplus konsumen sebesar 15,6 persen tetapi mampu menciptakan tambahan lapangan kerja di industri gula sebesar 79,38 ribu orang atau sebesar 10,97 persen.


(45)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis

3.1.1 Teori Permintaan dan Penawaran

Permintaan adalah jumlah barang yang sanggup dibeli oleh para pembeli pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku pada saat itu. Menurut Daniel (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan adalah:

1. Harga barang yang bersangkutan

Keadaan harga suatu barang mempengaruhi jumlah permintaan terhadap barang tersebut. Bila harga naik maka permintaan akan barang tersebut akan turun. Sebaliknya, bila harga turun maka permintaan akan barang tersebut akan naik. Hubungan harga dengan permintaan adalah hubungan yang negatif dengan catatan faktor lain yang mempengaruhi jumlah permintaan dianggap tetap.

2. Harga barang lain

Terjadinya perubahan harga pada suatu barang akan berpengaruh pada permintaan barang lain. Keadaan ini bisa terjadi bila kedua barang tersebut mempunyai hubungan, apakah saling menggantikan (substitusi) atau saling melengkapi (komplemen). Bila tidak berhubungan, maka tidak akan ada saling pengaruh.

3. Selera

Selera merupakan variabel yang mempengaruhi besar-kecilnya permintaan. Selera dan pilihan konsumen terhadap suatu barang bukan


(46)

saja dipengaruhi oleh struktur umur konsumen, tetapi juga karena faktor adat dan kebiasaan setempat, tingkat pendidikan, atau lainnya.

4. Jumlah penduduk

Semakin banyak jumlah penduduk makin besar pula barang yang dikonsumsi dan semakin besar/naik juga jumlah permintaan akan barang tersebut.

5. Tingkat pendapatan

Perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi banyaknya barang yang dikonsumsi. Secara teoritis, peningkatan pendapatan akan meningkatkan konsumsi.

Penawaran adalah jumlah suatu barang atau jasa yang rela dan mampu dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan kondisi tertentu (Pappas dan Hirschey, 1995). Jumlah produksi yang ditawarkan di pasaran berasal dari produksi pada waktu tertentu dan persediaan (inventory) dari periode-periode sebelumnya. Perubahan pada penawaran dapat terjadi karena adanya pengaruh dari beberapa faktor, seperti:

1. Harga komoditi itu sendiri

Harga komoditi itu sendiri mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah yang ditawarkan, cateris paribus. Semakin tinggi harga suatu komoditi, maka semakin banyak jumlah komoditi yang akan ditawarkan oleh para produsen/penjual. Sebaliknya, semakin rendah harga suatu komoditi, maka semakin sedikit jumlah komoditi yang ditawarkan oleh para produsen/penjual.


(47)

Berbagai komoditi dapat disubstitusi atau saling komplemen dalam produksi maupun dalam konsumsi. Jika harga komoditi substitusi meningkat, maka penawaran komoditi yang bersangkutan akan menurun. Sebaliknya, penurunan harga komoditi substitusi aka n meningkatkan penawaran komoditi yang bersangkutan. Sementara untuk barang komplementer, kenaikan harga komoditi tersebut akan menyebabkan peningkatan komoditi yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya, penurunan harga barang komplementer akan menyebabkan turunnya penawaran komoditi yang bersangkutan.

3. Teknologi

Bila terjadi perubahan atau peningkatan pada teknologi dalam proses produksi maka akan terjadi perubahan pada produksi yang cenderung meningkat. Bila produksi meningkat karena perubahan teknologi berarti penawaran pun akan meningkat.

4. Harga input (faktor-faktor produksi)

Apabila harga faktor produksi turun, maka produsen akan menambah penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan meningkat. Jika harga faktor produksi meningkat, maka produsen akan cenderung mengurangi penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan menurun. Turunnya hasil/produksi secara otomatis menyebabkan turunnya penawaran.

5. Jumlah produsen

Jika jumlah produsen bertambah, maka produksi yang ditawarkan akan meningkat.


(48)

6. Tujuan perusahaan

Dalam teori ekonomi, perusahaan diasumsikan bertujuan untuk mencapai laba yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, terdapat juga perusahaan yang tidak berorientasi kepada maksimisasi laba sehingga perusahaan tersebut dapat meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa terlalu memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan.

7. Pajak dan subsidi

Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk berproduksi. Dengan demikian, penawaran komoditi tersebut akan berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan meningkatkan keuntungan sehingga penawaran komoditi tersebut akan meningkat.

3.1.2 Harga

Harga barang-barang yang diperdagangkan ditentukan oleh penawaran dan permintaan (Krugman dan Obstfeld, 2003). Perpotongan kurva permintaan dengan kurva penawaran suatu barang dalam suatu pasar menentukan harga pasar (harga keseimbangan) untuk barang tersebut. Pada kondisi itu, kuantitas barang yang diminta oleh pembeli adalah sama dengan kuantitas yang ditawarkan oleh penjual. Dengan kata lain, keseimbangan harga pasar merupakan hasil interakasi kekuatan penawaran dan permintaan barang di pasar.

Dalam perekonomian pasar, harga merupakan tanda atau sinyal yang mengarahkan keputusan ekonomi sehingga melakukan alokasi terhadap sumberdaya yang langka. Untuk setiap barang dalam perekonomian, harga barang


(49)

memberikan jaminan bahwa penawaran dan permintaan berada dalam keseimbangan. Menurut Nicholson (1995), harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai: 1) pemberi informasi tentang jumlah komoditi yang sebaiknya dipasok oleh produsen untuk memperoleh laba maksimum dan 2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum. Kenaikan dalam permintaan menyebabkan keseimbangan harga meningkat sehingga permintaan mempengaruhi harga secara positif, sedangkan penawaran mempengaruhi harga secara negatif, dimana jika penawaran meningkat maka harga akan cenderung turun disebabkan kuantitas barang yang ditawarkan produsen lebih besar daripada yang dibutuhkan atau yang diinginkan oleh konsumen.

3.1.3 Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional dalam arti sempit merupakan suatu gugus masalah yang timbul sehubungan dengan pertukaran komoditi (fisikal) antar negara (Gonarsyah, 1983). Dengan meningkatnya taraf hidup dan kebutuhan masyarakat, kemajuan teknologi dan komunikasi serta terjadinya perubahan politik di dunia, tidak ada satu negara atau kelompok ma napun yang terisolasi dari negara lain. Perdagangan internasional berlangsung atas dasar saling percaya dan saling menguntungkan, mulai dari barter hingga transaksi jual-beli antara para pedagang (traders) dari berbagai belahan wilayah hingga di luar batas negara. Menurut Mahardhika (2004), pada dasarnya faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional dari suatu negara ke negara lain bersumber dari keinginan memperluas pemasaran komoditi ekspor dan memperbesar penerimaan devisa dalam penyediaan dana pembangunan dari negara yang bersangkutan.


(50)

Perdagangan internasional terutama timbul karena adanya perbedaan-perbedaan harga relatif di antara negara (Ball dan McCulloch, 2000). Perbedaan-perbedaan ini berasal dari Perbedaan-perbedaan dalam biaya produksi, yang diakibatkan oleh:

1. Perbedaan dalam karunia Tuhan atas faktor produksi. Tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditas yang diperdagangkan karena faktor-faktor alam yang tidak mendukung.

2. Kemampuan suatu negara dalam menyerap dan menerapkan teknologi untuk menghasilkan komoditas tertentu pada tingkat yang lebih efisien. 3. Perbedaan dalam efisiensi pemanfaatan faktor produksi.

4. Nilai tukar suatu negara terhadap negara lain.

Berdagang dengan negara lain kemungkinan dapat memperoleh keuntungan, yakni dapat membeli barang yang harganya lebih rendah dan mungkin dapat menjual ke luar negeri dengan harga yang relatif lebih tinggi. Perdagangan internasional juga dapat terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran suatu negara. Permintaan akan sesuatu barang sangat ditentukan oleh selera dan pendapatan. Selera dapat memainkan peranan penting dalam menentukan permintaan akan sesuatu barang antar berbagai negara. Apabila persediaan suatu barang di satu negara tidak cukup untuk memenuhi permintaan, negara tersebut dapat mengimpor dari negara lain. Selain itu, permintaan akan sesuatu barang ditentukan oleh pendapatan. Kita dapat menduga bahwa ada hubungan antara pendapatan satu negara dengan pembelian barang luar negeri (impor). Jika pendapatan naik, maka pembelian barang-barang dan jasa (dari dalam negeri maupun impor) dapat mengalami kenaikan. Teori perdagangan


(51)

internasional menunjukkan bahwa bangsa-bangsa atau suatu negara akan memperoleh suatu tingkat kehidupan yang lebih tinggi dengan melakukan spesialisasi dalam barang-barang dimana mereka memiliki keunggulan komparatif dan mengimpor barang-barang yang mempunyai kerugian komparatif.

Pasar di Hubungan Perdagangan Pasar di Negara 1 Internasional Negara 2

Px Px Px

Sx A” P3 A’

P3

Ekspor Sx E* S

P2 B* B’ E’

B E

P1 Impor

A A* D Dx

Dx

0 x 0 x 0 x

Sumber: Salvatore, 1997

Gambar 1. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional

Pada Gambar 1, sebelum terjadinya perdagangan internasional, harga di negara 1 adalah sebesar P1 sedangkan harga di negara 2 sebesar P3. Penawaran di

pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih besar daripada P1,

sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari P3. Pada saat harga internasional sama dengan harga P2, maka di

negara 2 terjadi kelebihan permintaan sebesar A’B’E’. Jika harga internasional sebesar P2, maka di negara 1 akan terjadi excess supply sebesar ABE. Perpaduan

antara kelebihan penawaran di negara 1 dan kelebihan permintaan di negara 2 akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional, yaitu sebesar P2.


(52)

sebesar ABE, sedangkan negara 2 akan mengimpor gula sebesar A’B’E’. Besar

ABE akan sama dengan A’B’E’ di pasar internasional. Dengan kata lain, besarnya ekspor suatu komoditi dalam perdagangan internasional akan sama dengan besarnya impor komoditi tersebut. Harga yang terjadi di pasar internasional merupakan harga keseimbangan antara penawaran dan permintaan dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan mempengaruhi penawaran dunia, sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga dunia. 3.1.4 Ke untungan dan Kerugian bagi Indonesia Sebagai Negara Pengimpor

Gula

Sebelum adanya perdagangan, harga domestik ternyata lebih mahal/tinggi daripada harga yang berlaku di pasar dunia. Pada saat perdagangan antar negara dilangsungkan, harga domestik akan bergerak atau langsung turun menyesuaikan dengan harga yang berlaku di pasar internasional (Gambar 2). Pada Gambar 2 tersebut, kurva penawaran menunjukkan produksi gula domestik, sedangkan kurva permintaan menunjukkan kuantitas konsumsi gula domestik. Garis horizontal yang ditarik dari titik harga dunia dapat ditafsirkan sebagai kurva penawaran negara-negara lain. Kurva penawaran ini bersifat elastis sempurna karena Indonesia adalah perekonomian kecil, sehingga berapa pun ia membeli, ia harus tunduk pada harga dunia yang berlaku. Impor sama dengan selisih antara kuantitas permintaan domestik dengan kuantitas penawaran gula di dalam negeri berdasarkan harga dunia atau harga yang berlaku di pasar internasional.

Pembukaan hubungan dagang antar negara oleh Indonesia menimbulkan keuntungan dan kerugian serta tidak semua pihak memperoleh keuntungan. Dalam kasus ini, perdagangan membuat harga domestik turun menyamai harga


(53)

dunia. Para produsen domestik jelas dirugikan karena harga yang mereka peroleh lebih rendah. Sebaliknya, konsumen domestik akan memperoleh keuntungan karena mereka dapat membeli gula dengan harga yang lebih murah.

Harga

Penawaran dalam negeri

A

Harga sebelum perdagangan

B D

Harga sesudah

perdagangan C IMPOR Harga Dunia

Permintaan dalam negeri

Qs Qd Kuantitas

Sumber: Mankiw, 2000

Gambar 2. Perdagangan Internasional di Sebuah Negara Pengimpor Perubahan-perubahan atau surplus konsumen dan surplus produsen yang mengukur kenaikan atau kesejahteraan konsumen dan produsen tersebut juga digambarkan pada Gambar 2. Sebelum hubungan dagang dibuka, surplus konsumennya dilambangkan oleh bidang A, surplus produsen oleh bidang B + D, dan surplus totalnya bidang A + B + C. Pada saat harga domestik turun setelah perdagangan internasional dibuka, surplus konsumen naik menjadi A + B + D, surplus produsennya menjadi C. Dengan demikian, surplus total sesudah perdagangan menjadi A + B + C + D.

Kalkulasi tersebut secara jelas menunjukkan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan oleh dibukanya hubungan dagang di sebuah negara


(54)

pengimpor. Konsumen diuntungkan karena surplus konsumennya bertambah senilai bidang B + D. Sebaliknya, produsen mengalami kerugian karena surplus produsen turun senilai bidang B. Namun karena keuntungan yang diterima konsumen itu melebihi kerugian produsen, yakni senilai bidang D, maka surplus total Indonesia mengalami peningkatan. Menurut Mankiw (2000), analisis terhadap kasus negara pengimpor ini menghasilkan dua kesimpulan pokok sebagai berikut:

1. Jika suatu negara membuka hubungan dagang internasional dan menjadi pengimpor atas suatu barang, maka produsen domestik barang itu akan dirugikan, sedangkan konsumen domestik akan barang itu akan diuntungkan.

2. Pembukaan hubungan dagang itu akan menguntungkan negara yang bersangkutan secara keseluruhan karena keuntungan yang terjadi melebihi kerugiannya.

3.1.5 Tarif

Tarif (tariff) adalah pajak yang dikenakan terhadap barang-barang yang diproduksi di luar negeri dan dijual di dalam negeri (Mankiw, 2000). Pemberlakuan tarif terhadap impor gula tidak akan memunculkan dampak yang berarti, jika ternyata Indonesia menjadi pengekspor gula. Jika tidak ada perusahaan atau penduduk Indonesia yang mengimpor gula, maka tentunya tarif impor itu tidak dipersoalkan. Tarif itu akan bernilai penting jika Indonesia menjadi negara pengimpor gula setelah ia menjalin hubungan dagang dengan negara-negara lain. Gambar 3 memperlihatkan situasi pasar gula Indonesia. Jika perdagangan bebas dimungkinkan, maka harga domestik akan sama dengan harga


(55)

dunia. Penerapan tarif akan memperbesar harga gula impor melebihi harga dunianya dan kelebihannya itu sama dengan besaran tarif yang diterapkan. Dengan adanya tarif itu, para produsen gula domestik dapat menjual produknya dengan harga yang sama dengan harga dunia plus tarif ke pasar domestik. Akibatnya, harga gula baik impor maupun produk domestik di Indonesia akan naik sebanyak tarif tadi sehingga mendekati harga domestik yang berlaku sebelum Indonesia menjalin hubungan dagang dengan negara-negara lain.

Harga

Penawaran dalam negeri

A

Harga sesudah B

penerapan tarif

C D E F Tarif

Harga sebelum

Penerapan tarif G Harga Dunia

Permintaan dalam negeri QS1 QS2 QD2 QD1 Kuantitas Sumber: Mankiw, 2000

Gambar 3. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor

Perubahan harga ini tentu saja mempengaruhi perilaku para penjual dan pembeli domestik. Oleh karena tarif itu menaikkan harga domestik, maka kuantitas permintaan gula domestik pun turun dari QD1 menjadi QD2, sedangkan

kuantitas penawaran domestik naik dari QS1 menjadi QS2. Dengan demikian,

penerapan tarif menurunkan kuantitas impor dan mendorong pasar domestik mendekati kondisi equilibrium tanpa perdagangan.


(56)

Para penjual domestik diuntungkan karena tarif menaikkan harga domestik sedangkan pembeli domestik mengalami kerugian. Di samping itu, pemerintah akan memperoleh pendapatan baru dari tarif itu. Untuk mengetahui berapa banyak keuntungan dan kerugiannya, dapat dilihat dari perubahan-perubahan atas surplus konsumen, surplus produsen, dan pendapatan pemerintah. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perubahan Kesejahteraan Sebagai Akibat Pemberlakuan Tarif Uraian Sebelum Tarif Sesudah Tarif Perubahan Surplus Konsumen A + B + C + D + E

+ F

A + B - (C + D + E + F)

Surplus Produsen G C + G + C

Pendapatan Pemerintah

Tidak ada E + E

Surplus Total A + B + C + D + E + F + G

+ B + C + E + G

- (D + F)

Sumber: Mankiw, 2000.

Sebelum penerapan tarif, harga domestik sama dengan harga dunia. Surplus konsumen, yakni bidang yang terletak antara kurva permintaan dan garis harga dunia, sama nilainya dengan luas bidang A + B + C + D + E + F. Sedangkan surplus produsen, yakni bidang yang terletak antara kurva penawaran dan garis harga dunia, senilai luas bidang G. Pendapatan pemerintah sama dengan nol. Surplus totalnya (penjumlahan surplus konsumen, surplus produsen, serta pendapatan pemerintah senilai luas bidang A + B + C + D + E + F + G.

Begitu pemerintah memberlakukan tarif, maka harga domestik melonjak melebihi harga dunia. Surplus konsumen berkurang menjadi bidang A + B. Surplus produsen bertambah menjadi bidang C + G. sedangkan pendapatan pemerintah, yakni tarif impor dikalikan kuantitas impor setelah pajak ditetapkan, adalah bidang E. Jadi, setelah tarif diterapkan, surplus totalnya menjadi A + B + C


(1)

Judul : ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA

Nama : Agus Tri Surya Nainggolan NRP : A14302003

Menyetujui, Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc NIP. 130 345 010

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr NIP 130 422 698


(2)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Maret 2006

Agus Tri Surya Nainggolan A14302003


(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 17 Agustus 1984. Penulis merupakan anak ke empat dari empat bersaudara pasangan Bapak Drs. Walter Nainggolan dan Ibu Mariani Sitorus.

Penulis mengawali pendidikan di SD Katholik Budi Murni 2 Medan pada tahun 1990. Pada tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 10 Medan. Pendidikan sekolah menengah atas ditempuh penulis di SMU Negeri 2 Medan pada tahun 1999-2002. Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis pernah menjadi asisten Mata Kuliah Ekonomi Umum dan Pengantar Ilmu Kependudukan. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen dalam Komisi Pelayanan Anak.


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Dampak Impor Gula Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia. Skripsi ini disusun sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak impor gula terhadap harga gula domestik dan industri gula Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kebijakan impor gula di Indonesia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis berharap semoga hasil yang telah disajikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya penulis sendiri dan bagi yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Bogor, Maret 2006


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama menulis skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, arahan, dan bimbingan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis dan memberikan kritik serta saran dalam menulis skripsi ini.

2. Dr. Ir. Harianto, MS sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran bagi kesempurnaan skripsi ini.

3. Ir. Murdianto, MSi sebagai dosen penguji wakil departemen yang telah memberikan kritik dan saran bagi kesempurnaan skripsi ini.

4. Keluarga tercinta, Papa, Mama, Kak Tetty, Bang Apul, dan Bang Rudi yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis selama proses belajar ini.

5. Adrian Lubis, SP, MSi dan Wahidah, SP, MSi yang memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.

6. Anggi, Asti, Balduin, Bang Reinhard, Dimas, Dohana, Falentina, Hans Ceisar, Kak Ine, Mia, Nia, Noni, Rika, Tulus, Ury, Vera Lisnan, Viana, Vininta, dan teman-teman EPS’39 yang banyak memberikan dukungan dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

7. Semua pihak yang selama ini telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 5

Tujuan Penelitian ... 7

Kegunaan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Industri Gula di Indonesia ... 8

Kebijakan Pergulaan di Indonesia ... 10

Kebijakan Agribisnis Gula di Negara-Negara Produsen/Eksportir dan Importir Utama Dunia ... 13

2.3.1 Brasil ... 13

2.3.2 Mesir ... 14

2.3.3 India ... 15

2.3.4 China ... 17

2.3.5 Thailand ... 19

2.3.6 Jepang ... 20

2.3.7 Filipina ... 22

2.3.8 Australia ... 22

2.3.9 Fiji ... 23

2.3.10 Kuba ... 25

Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 27

III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teoritis ... 30