Ketiga tahapan ini kemudian dirumuskan kembali ke dalam model dasar, dengan penjabaran sebagai berikut:
t t-n
t it
t t-n
t i
it it
t t-n
t i
it i
it it
t t-n
t i
it i
it 3i
it it
t t-n
t i
it i
it 3i
it i
it it
25 26
27
28
29 Dimana:
i dan j = variabel j alias i
t = periode waktu bulan
n = panjang lag
PW
t
= harga dunia pada waktu t PM
t
= harga impor pada waktu t QM
t
= volume impor pada waktu t PC
t
= harga konsumen pada waktu t PF
t
= harga produsen pada waktu t
-
= lag variabel i pada n periode sebelumnya
ij
= restriksi variabel i terhadap variabel j
it j
= vector orthogonal shocks variabel j yang diakibatkan oleh variabel i pada waktu t
Dari kerangka di atas, kemudian disusunlah kemungkinan penggunaan dua model berdasarkan pada data time series yang digunakan. Model SVAR akan
digunakan apabila data-data penelitian stasioner pada level, apabila data tersebut tidak stasioner pada level namun tidak terkointegrasi, maka akan digunakan
model VAR first difference. Opsi lain adalah menggunakan model VECM apabila data-data penelitian yang digunakan tidak stasioner pada level dan
terkointegrasi. 3.3.4.2 Model Restriksi SVAR
Berdasarkan McCarthy 2000, Khan dan Ahmed 2009, dan Setiyanto 2011. Penggunaan model SVAR dalam penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh non-recursive ortogonal dari error term untuk analisis impulse respons
. Maka model SVAR akan memasukkan sejumlah restriksi untuk mengidentifikasi komponen struktural ortogonal dari error term. Restriksi yang
harus dimasukkan ke dalam model SVAR adalah sebanyak
n n
dengan n = jumlah variabel restriksi jangka pendek. Maka pada penelitian ini diberikan
restriksi sebanyak 15 buah. Asumsi awal sebelum menyusun model restriksi adalah Indonesia sebagai
negara small open economy sehingga fenomena yang terjadi adalah dampak ketika ada perubahan harga domestik yang disebabkan oleh harga perubahan harga
impor namun tidak berlaku sebaliknya tidak ada contemporaneous feedback. Struktur dasar model ini dimulai shock berupa perubahan harga dunia yang dapat
menyebabkan terjadinya banjir impor dalam bentuk penurunan harga impor, peningkatan volume impor, atau keduanya. Perubahan volume dan harga impor
kemudian akan mengubah kondisi pasar domestik yang dimulai dari perubahan di sisi konsumsi masyarakat dengan perubahan harga konsumen. Perubahan pola
konsumsi dengan tingkat harga yg baru kemudian akan memengaruhi tingkat harga produsen. Model restriksi ini didasarkan atas model SVAR yang telah
disusun sebelumnya dengan matriks sebagai berikut:
| |
b b
3
b
3
b b
b
3
b b
b
3
b |
| |
| e
it
e
it
e
it
e
it
e
it
| |
ij
| |
it it
it it
it
| |
B e
z 30
dimana: b
ij
= elemen matriks
B koefisien
yang menyatakan
hubungan contemporaneous
antara variabel i dan j e
it
= elemen matriks e error term dari orthogonal shocks pada variabel i untuk waktu t
ij
= restriksi variabel i terhadap variabel j
it i
= elemen matriks vector orthogonal shocks dari variabel i untuk waktu t
i dan j = variabel j alias i t
= periode waktu bulan PW
= harga dunia Rp per kg PM
= harga impor Rp per kg QM
= volume impor kg PC
= harga konsumen Rp per kg PF
= harga produsen Rp per kg
3.3.4.3 Vector Error Correction Model VECM
Vector Error Correction Model adalah VAR terestriksi yang digunakan
untuk variabel yang nonstasioner tetapi memiliki potensi untuk terkointegrasi. Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak
stasioner pada level tetapi terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Oleh karena itu,
VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Dengan demikian, dalam VECM terdapat speed
of adjustment
dari jangka panjang ke jangka pendek Firdaus 2011. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel
endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal juga
sebagai error, karena deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui series parsial penyesuaian jangka pendek. Spesifikasi
VECM secara umum adalah sebagai berikut:
y
t
t y
t
∑
k
y
t k
i t
31 Dimana:
y
t
= vektor yang berisi variabel yang diabalisis dalam penelitian = vektor intercept
= vektor koefisien regresi t
= time trend =
x
, dimana mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang y
t-
= variabel in-level
k
= matriks koefisien regresi k-1
= ordo VECM dari VAR
t
= error term
3.3.5 Innovation Accounting
3.3.5.1 Impulse Respons Function
Impulse Respons Function IRF adalah suatu metode yang digunakan untuk
menentukan respon suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu. Hal ini dikarenakan shock variabel misalnya ke-I tidak hanya berpengaruh terhadap
variabel ke-I itu saja tetapi ditransmisikan kepada semua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag. Dengan kata lain IRF
mengukur pengaruh suatu shock pada suatu waktu kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan di masa yang akan datang Firdaus 2011.
Pada penelitian ini IRF digunakan untuk menggambarkan dampak dari guncangan banjir impor komoditas hortikultura berupa kenaikan volume impor
dan penurunan harga impor terhadap harga domestik. 3.3.5.2
Forecast Error Variance Decomposition
Firdaus 2011 menjelaskan Forecast Error Variance Decomposition FEVD adalah metode yang dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan suatu
variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini mencirikan suatu struktur dinamis dalam
model VARVECM. Dalam metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel dalam memengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu
yang panjang.
FEVD merinci ragam dari peramalan galat menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Dengan
menghitung persentase kuadrat prediksi galat k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain maka dapat dilihat seberapa
besar perbedaan antara error variance sebelum dan sesudah terjadinya shock yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari variabel lain. Melalui FEVD dapat
diketahui secara pasti faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi dari variabel tertentu. FEVD pada penelitian ini digunakan untuk melihat kontribusi banjir
impor dalam pembentukan harga domestik, dimana secara umum terjadi peningkatan impor kentang dari tahun ke tahun.
3.4 Analisis Deteksi Banjir Impor
Berdasarkan draft Modalities pada Juli 2008, SSM dibagi menjadi dua jenis yaitu Volume-based SSM dan Price-based SSM. Volume-based SSM dapat
dimulai dengan rata-rata impor dalam tiga tahun terakhir, yang kemudian dijadikan sebagai base imports apabila tahun dasar yang digunakan adalah 2013,
maka trigger safeguard akan terjadi apabila impor meningkat sebesar tingkat tertentu dibandingkan dengan rata-rata impor yang terjadi pada tahun 2010-2012.
Berdasarkan draft Modalities revisi Desember 2008, trigger dan remedy dari volume-based
SSM dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: A. Ketika volume impor bernilai 110 namun tidak melebihi 115
peningkatan volume 10 hingga 14.99 terhadap base imports. Maka remedy yang digunakan adalah peningkatan tarif maksimal sebesar 25 dari bound
tariff saat ini yang ditambahkan ke dalam applied tariff, atau 25 poin
persentase ditambahkan ke dalam applied tariff secara langsung. Pilihan ditentukan dari tarif mana yang lebih besar
5
. B. Ketika volume impor bernilai 115 namun tidak melebihi 135
peningkatan volume 15 hingga 34.99 terhadap base imports. Maka remedy yang digunakan adalah peningkatan tarif maksimal sebesar 40 dari current
bound tariff ditambahkan ke dalam applied tariff, atau 40 poin persentase
ditambahkan ke dalam applied tariff secara langsung. Pilihan ditentukan dari tarif mana yang lebih besar.
C. Ketika volume impor bernilai melebihi 135 peningkatan volume lebih dari 35 terhadap base imports. Maka remedy yang digunakan adalah penerapan
tarif sebesar 50 dari bound tariff saat ini yang ditambahkan ke dalam applied tariff
, atau 50 poin persentase ditambahkan ke dalam applied tariff secara langsung. Pilihan ditentukan dari tarif mana yang lebih besar.
Namun perlu diingat, volume-based SSM tidak dapat berlaku ketika volume impor bersifat negligible secara nyata terhadap produksi dan konsumsi domestik
berdasarkan draft Modality revisi Desember 2008 pasal 131, namun berdasarkan G-33, tidak ada pembatasan sifat manifestly negligible dari produk impor yang
akan diberlakukan SSM.
Bedasarkan pasal 140 draft yang sama, Volume-based SSM dapat diterapkan dapat diterapkan selama maksimum 12 bulan dari awal permohonan
penerapan safeguard, kecuali jika produk bersifat musiman, maka SSM berlaku selama enam bulan atau selama periode musiman berlaku. Untuk penerapan SSM
berikutnya pada produk yang sama, maka rata-rata dari volume impor tiga tahun akan menggunakan base imports pada tahun yang baru tersebut, kecuali base
imports
tahun baru tersebut lebih kecil dari tahun penerapan sebelumnya. Setelah pemberlakuan dua periode SSM terhadap produk yang sama, maka produk
tersebut tidak boleh memberlakukan SSM selama dua periode ke depan. Price-based
SSM dimulai dari penentuan rata-rata tingkat harga impor selama tiga tahun sebelumnya sebagai starting point harga referensi. Trigger
5
Misalkan negara X memiliki 60 bound tariff dan 30 applied tariff, negara tersebut memiliki dua pilihan yaitu:
2560+30=45 atau 25+30=55
Maka pada saat terjadi peningkatan volume impor 10-15 persen, tarif akan dinaikkan sebesar 55 Sumber: http:www.wto.orgenglishtratop_eagric_eguide_agric_safeg_e.htm
price-based SSM adalah penurunan harga sebesar 15 atau lebih 85 atau
kurang dari harga referensi. Tarif yang diberlakukan tidak lebih dari 85 gap antara harga impor dan harga trigger.
4 GAMBARAN UMUM
4.1 Perkembangan Komoditas Hortikultura di Indonesia 4.1.1 Perkembangan Perdagangan Internasional dan Produksi Hortikultura
Indonesia Selama periode 2002 hingga 2012, terpantau tingkat produksi, ekspor, dan
impor kentang di Indonesia. Berdasarkan Tabel 4.1, dari tahun ke tahun, terlihat produksi komoditas kentang cenderung stagnan dengan tingkat produksi berkisar
sekitar satu juta ton, dengan penurunan produksi yang signifikan pada tahun 2002 yang cukup rendah sebesar 893 824 ton dan pada tahun 2011 sebanyak 955 488
ton. Ekspor kentang Indonesia dari tahun ke tahun selama periode 2002-2012 justru semakin menurun, dimana pada tahun 2002 tercatat ekspor kentang
Indonesia sebanyak 27 363 ton kemudian semakin menurun hingga akhirnya pada tahun 2012 hanya sebanyak 4 936 ton. Sebaliknya, impor kentang Indonesia
selama periode 2002-2012 meningkat hingga 1994.35 dengan pertumbuhan impor rata-rata sebesar 17 .
Peningkatan impor yang signifikan dari tahun 2008 sebesar lima ribu ton menjadi sebelas ribu ton pada tahun 2009 diduga kuat dipengaruhi oleh penurunan
tarif impor dari 25 menjadi 20 . Pada tahun-tahun berikutnya, tarif kentang semakin menurun hingga saat ini dibebaskan dari tarif, sehingga dapat
dibayangkan potensi banjir impor kentang yang dapat terjadi dengan kondisi seperti ini.
Tabel 4.1 Perkembangan total produksi, ekspor, dan impor Indonesia untuk komoditas jeruk dan kentang tahun 2002-2011 dalam ton
Tahun Kentang
Jeruk Bawang Merah
Produksi Ekspor
Impor Produksi
a
Ekspor
b
Impor
c
Produksi Ekspor
Impor
2002 893 824 27 363
2 336 968 132
500 74 785
766 572 6816
32929 2003
1 009 979 18 656 2 404
1 529 824 188
55 504 762 795
5402 42008
2004 1 072 040 16 422
3 148 2 071 084
1 129 94 207
757 399 4637
48927 2005
1 009 619 13 644 5 031
2 214 019 617
83 371 732 609
4259 53071
2006 1 011 911 18 607
4 211 2 565 543
184 94 687
794 931 15701
78462 2007
1 003 733 9 652
5 559 2 625 884
103 112 692 802 810
9357 107649
2008 1 071 543
7 958 5 345
2 467 632 18 137 623
853 615 12314
128015 2009
1 176 304 6 308 11 727
2 131 768 10 208 542
965 164 12759
63755 2010
1 060 805 6 772 24 204
2 028 904 4 191 599
1 048 934 3232
70573 2011
955 488 5 117 78 419
1 818 949 17 215 420
893 124 13791
156381 2012
1 094 240 4 936 46 588
1 611 784 3 211 886
964 221 18754
95156
Sumber: BPS 2013;
a
gabungan produksi jeruk siam dan keprok;
b
gabungan seluruh ekspor jeruk orange
dan mandarin, baik segar maupun dikeringkan;
c
gabungan impor jeruk orange dan mandarin
segar
Pada komoditas Jeruk, dari tahun ke tahun juga cukup fluktuatif namun tidak meningkat atau menurun secara berangsur. Tahun 2002 merupakan tahun
dengan produksi jeruk terendah yaitu sebanyak 968 132 ton, dan tahun 2006
merupakan tahun produksi tertinggi dengan 2 625 884 ton dengan rata-rata pertumbuhan produksi selama kurun waktu 2002-2012 hanya sebesar 2.40 .
Impor jeruk Indonesia cukup fluktuatif namun memiliki kecenderungan untuk terus meningkat. Pada tahun 2002 tercatat impor jeruk indonesia sebanyak
74 785 ton kemudian menurun pada tahun 2003 menjadi 55 504 ton. Setelah itu, mulai tahun 2004, impor jeruk Indonesia terus meningkat mulai dari 94 207 ton
pada tahun tersebut dan terus meningkat hingga pada tahun 2012 menjadi sebanyak 211 886 ton. Namun secara keseluruhan impor jeruk Indonesia tumbuh
dengan rata-rata 14.14 . Ekspor jeruk Indonesia terbilang cukup rendah dibandingkan impor dan produksinya, nilainya sangat berfluktuatif dan cenderung
tidak stabil seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.1. Hal ini disebabkan karena produksi jeruk Indonesia terfokus untuk memenuhi konsumsi dalam negeri saja
sehingga ekspor bukan merupakan fokus dari produksi jeruk Indonesia. 4.1.2 Perkembangan
Share Impor Komoditas Kentang, Jeruk, dan Bawang Merah di Indonesia
Selama tahun 2012, sebagaimana Gambar 4.1 terpantau impor kentang Indonesia berasal dari berbagai negara di dunia, dimana pasokan terbanyak datang
dari negara Belanda sebanyak 23 dari total volume impor kentang tahun 2012. Pasokan tertinggi berikutnya datang dari Amerika Serikat 16 kemudian
Australia 13 , China 10 , dan Jerman 9. Selain itu terdapat impor dari berbagai negara Selandia Baru, Denmark, Belanda, dan beberapa negara lain
dengan share kurang dari satu .
Sumber: Kementan 2013, diolah
Gambar 4.1 Share impor kentang Indonesia per negara asal tahun 2012 Pada Gambar 4.2 dapat dilihat share dari impor jeruk Indonesia yang
didominasi oleh China sebesar 77 dari total volume impor Indonesia pada tahun 2012. Selain dari China, terdapat sebagian kecil impor jeruk misalnya dari
Pakistan sebesar 5 , kemudian Argentina dan Australia sebesar 4 , dan Amerika Serikat 3 . Sisanya, terdapat impor kecil yang berasal dari negara-
Belanda 23
USA 16
Australia 13
Kanada 12
China 10
Jerman 9
Lain-lain 17
negara lain misalnya Brazil, Mesir, Malaysia, Thailand, Taiwan, dan beberapa negara lain.
Sumber: Kementan 2013, diolah
Gambar 4.2 Share impor jeruk Indonesia per negara asal tahun 2012 Pada Gambar 4.3, impor bawang merah Indonesia didominasi oleh tiga
negara, yaitu India dan dua lainnya berasal dari ASEAN, yaitu Vietnam dan Thailand. Indonesia juga mengimpor sebanyak satu dari China, dan sisanya
berasal dari Malaysia dan Myanmar.
Sumber: Kementan 2013, diolah
Gambar 4.3 Share Impor Bawang Merah Indonesia per negara asal tahun 2012
China 77
Pakistan 5
Argentina 4
Australia 4
USA 3
Lain-lain 7
Vietnam 39
China 1
Lain- lain
1 Thailand
38 India
21
4.2 Implementasi Perlindungan Komoditas Hortikultura di Indonesia
Secara umum, Indonesia memiliki berbagai perlindungan hortikultura. Beberapa kementerian seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian
Perdagangan memiliki cara masing-masing dalam upaya melindungi komoditas hortikultura, mulai dari perlindungan mengenai produksi hingga perekonomian.
Misalnya Kementerian Pertanian memiliki Direktorat Perlindungan Hortikultura yang secara umum melakukan penyiapan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur, dan criteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi.
Kementerian Perdagangan juga melakukan perlindungan terhadap hortikultura terutama impor. Misalnya baru-baru ini berdasarkan Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Permendag nomor 16M- DAGPER42013 yang mengatur persyaratan impor dan pengimpor produk
hortikultura, yang kemudian dirubah dilengkapi dengan Permendag Nomor 16M-DAGPER82013 yang pada intinya mewajibkan realisasi impor produk
hortikultura minimal 80 dari persetujuan impor pasal 14A dan memberlakukan perhatian kepada harga referensi hortikultura.
Harga referensi yang dimaksud diatur dalam Keputusan Direktur jenderal Perdagangan dalam Negeri selaku Ketua Tim Teknis Pemantau Harga Produk
Hortikultura Nomor 118PDNKEP2013 tentang penetapan harga referensi produk hortikultura. pada SK tersebut ditetapkan harga referensi untuk tiga
komoditas hortikultura dimana ketiganya merupakan komoditas yang memengaruhi inflasi di Indonesia, yaitu cabe merah sebesar Rp 26 300.00 per
kilogram, cabe rawit merah sebesar Rp 28 000.00 per kilogram, dan bawang merah segar sebesar Rp 25 700.00 per kilogram. SK ini merupakan instrumen
importasi ketiga komoditas tersebut yang digunakan untuk mempertimbangkan masa panen dan ketersediaan stok dalam negeri.
Dalam hal safeguard, Kementerian Perdagangan memiliki Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia atau KPPI. Berdasarkan Kepmendag nomor
84MPPKep22003, KPPI bertugas sebagai unit lembaga independen yang menangani hal-hal yang berkaitan dengan upaya menanggulangi lonjakan barang
impor yang pelaksanaannya berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perjanjian WTO. KPPI seringkali melakukan evaluasi safeguard
terhadap komoditas yang berpotensi terjadi banjir impor. Misalnya pada 2014, KPPI mengumumkan respon atas safeguard yang diminta oleh PT Ispat Indo dan
PT Krakatau Steel Persero Tbk KRAS mengenai impor produk dengan kode HS 7213.91.10.00 dan 7213.91.20.00 yang merupakan produk olahan besi. Kedua
perusahaan tersebut mengalami kerugian atau ancaman adanya kerugian bisnis yang cukup serius karena lonjakan impor
6
. Sayangnya sejauh yang dapat dipantau, pengajuan safeguard hortikulura segar tidak terdeteksi. Berdasarkan WTO,
Indonesia memiliki hak atas 14 produk 4 produk HS 4 digit
7
namun tidak ada produk hortikultura di dalamnya.
6
http:industri.kontan.co.idnewskras-ajukan-petisi-safeguard-ke-kppi
7
Lampiran 25
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengujian Pra-Estimasi
Sebelum memasuki pembentukan model yang digunakan dalam analisis untuk penelitian, terlebih dahulu dilakukan pengujian pra-estimasi. Tujuan dari
pengujian pra-estimasi adalah untuk memastikan penggunaan model yang paling tepat. Nilai ini penting dilakukan agar analisis berdasarkan model dapat
menghasilkan hasil yang valid dan andal. 5.1.1 Uji Stasioneritas Data
Metode yang digunakan untuk menguji kestasioneran data untuk penelitian ini adalah dengan Augmented Dickey-Fuller Test atau uji ADF. Uji ADF yang
dilakukan pada penelitian ini membandingkan antara nilai t-statistics yang dihasilkan oleh variabel dengan critical value pada level satu , lima , dan
sepuluh . Jika nilai mutlak t-statistics lebih besar dibandingkan dengan nilai mutlak critical value, maka data tersebut memiliki unit root, atau dengan kata lain
data tersebut tidak stasioner pada tingkat tersebut, maka harus dilakukan differencing
terhadap data hingga data tersebut tidak memiliki unit root lagi. Penelitian yang menggunakan data tidak stasioner dapat menghasilkan
regresi semu spurious regression, hal tersebut dapat berakibat kepada analisis yang meleset, misalkan regresi menggambarkan hubungan satu variabel dengan
variabel lain yang signifikan secara statistik, namun pada kenyataannya tidak demikian. Hal ini sangat beresiko terhadap adanya missleading dari kesimpulan
penelitian. Tabel 5.1 secara mendalam membandingkan pengujian stasioneritas data berdasarkan uji ADF.
Hasil pengujian akar unit unit root untuk data penelitian menunjukkan bahwa pada komoditas kentang, hanya Harga Impor PM Kentang yang stasioner
pada level, pada komoditas Jeruk, data yang stasioner hanya Harga Dunia PW Jeruk, dan untuk komoditas bawang merah, terdapat dua variabel yang stasioner
pada level yaitu harga dunia PW bawang merah, dan volume impor QM bawang merah.
Tabel 5.1 Hasil Pengujian Akar Unit berdasarkan Augmented Dickey-Fuller Test
Komoditas Variabel
Level First difference
t-statistics Hasil
t-statistics Hasil
Kentang PW
-2.4107 tidak stasioner
-9.682773 stasioner
QM -2.49716
tidak stasioner -12.30012
stasioner PM
-6.873387 stasioner
-10.37203 stasioner
PC -0.073785
tidak stasioner -9.534433
stasioner PF
-0.553379 tidak stasioner
-9.232840 stasioner
Jeruk PW
-3.885324 stasioner
-8.18717 stasioner
QM -0.636181
tidak stasioner -10.32487
stasioner PM
-2.215484 tidak stasioner
-10.92966 stasioner
PC 1.114315
tidak stasioner -6.703077
stasioner PF
-0.736152 tidak stasioner
-14.33466 stasioner
Bawang Merah
PW -5.664603
stasioner -9.400508
stasioner QM
-7.524478 stasioner
-8.486992 stasioner
PM -2.357373
tidak stasioner -17.25475
stasioner PC
-0.463631 tidak stasioner
-8.719095 stasioner
PF -0.756243
tidak stasioner -8.805292
stasioner
Sumber: Lampiran 1 hingga 6; PW=harga dunia, QM=volume impor, PM= harga impor, PC= harga konsumen, PF= harga produsen; Nilai t-statistics ADF dibandingkan dengan critical value
dari uji ADF, dimana critical value 1 level adalah -3.481623, 5 level adalah -2.883930, dan 10 level adalah -2.578788
Data penelitian kemudian diuji akar unitnya pada tingkat first difference. Berdasarkan Tabel 5.1, semua variabel yang digunakan pada penelitian sudah
stasioner, artinya tidak terdapat akar unit di dalam data penelitian tersebut. Penggunaaan data first difference pada penelitian memiliki kekurangan karena
informasi jangka panjang pada penelitian menjadi hilang, namun terdapat resiko lain seperti yang sudah disebutkan sebelumnya jika menggunakan data level yang
tidak stasioner. Maka berdasarkan uji stasioneritas pada data yang digunakan, VAR pada level tidak dapat digunakan karena sebagian besar data tidak stasioner
pada level, kemungkinan penelitian dapat dilakukan dengan dua metode yaitu VAR first difference atau VECM.
5.1.2 Penentuan Selang Optimal
Penentuan selang optimal dalam mengestimasi model VAR penting dilakukan guna menghindari masalah autokorelasi. Terdapat beberapa indikator
untuk menggambarkan lag optimal yang dapat menjadi acuan, diantaranya Likelihood Ratio
LR, Final Prediction Error FPE, Akaika Information Criterion
AIC, Schawrz Information Criterion SC, ataupun Hannan-Quinn Criterion
HQ. Pada penelitian ini digunakan SC sebagai penguji lag optimal.