Ikhtisar GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

pariwisata yang sedikit. Namun khususnya untuk kawasan wisata Tirta Gangga, jumlah prasarana dan sarana tersebut sudah termasuk banyak karena lingkungan sekitar objek wisata Tirta Gangga merupakan daerah persawahan yang subur. Sehingga jika terus dilakukan pembangunan maka akan terjadinya konversi lahan Adapun jumlah sarana dan prasarana yang sedikit di kawasan wisata Tirta Gangga disebabkan karena akses untuk mencapai kawasan tersebut sangat dekat dari pusat kota Karangasem yaitu sekitar enam kilo meter dari kota Amlapura dan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua ataupun roda empat dalam rentang waktu 15 menit sampai 20 menit. Jarak dan waktu tempuh yang dekat menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan pengunjung untuk menginap atau tidak menginap di kawasan tersebut. Biasanya kebanyakan wisatawan yang berkunjung ke Tirta Gangga menghabiskan waktunya hanya untuk berkeliling disekitar taman atau berfoto-foto selama beberapa jam ataupun ada yang sekedar datang karena ingin merasakan tempat pemandian di taman Tirta Gangga. Setelah itu mereka beristirahat di rumah atau warung makan atau restauran sekitar dan kemudian melanjutkan kembali perjalanan atau kembali ke tempatnya lagi. Sedikitnya wisatawan yang menginap di lokasi tersebut menyebabkan hotel yang dibangun juga lebih sedikit dan lebih banyak membangun rumahwarung makan atau restauran.

4.5. Ikhtisar

Bab ini secara keseluruhan memberikan gambaran tentang profil Desa Ababi yang mencakup kondisi geografis dan demografinya serta perkembangan kegiatan pariwisata yang berlangsung di desa tersebut. Desa Ababi adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Sebagian besar wilayah Desa Ababi didominasi oleh areal persawahan yang subur. Hal ini menyebabkan sumber mata pencaharian utama masyarakat di desa ini bertumpu pada sektor pertanian. Umumnya petani di Desa Ababi tergabung dalam lembaga irigasi tradisonal yang disebut subak . Secara khusus yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah Subak Embukan yang terdapat di Desa Ababi. Petani di desa ini juga rata-rata tidak memiliki lahan sehingga mereka bekerja hanya sebagai petani penggarap. Lahan sawah yang digarap merupakan lahan milik pura. Oleh karena lahan tersebut adalah lahan garapan maka terdapat sistem bagi hasil antara petani dengan pemilik lahan sebesar satu banding dua. Satu untuk petani dan dua untuk pemiliki lahan. Desa Ababi merupakan salah satu desa di Kecamatan Abang yang memiliki kawasan objek wisata budaya yaitu taman Tirta Gangga. Perkembangan pariwisata yang berlangsung di Bali tidak hanya dirasakan oleh lingkungan perkotaan tetapi juga oleh lingkungan pedesaan. Salah satunya kawasan wisata Tirta Gangga. Dahulu taman ini digunakan untuk kegiatan persembayangan. Namun dengan semakin berkembangnya kegiatan pariwisa, kawasan ini pun mulai dikomersialkan sebagai objek wisata budaya dengan tujuan untuk memperkenalkan budaya Bali kepada masyarakat sekitar dan masyarakat di luar. Adanya kawasan wisata Tirta Gangga pada kenyataannya mampu menarik perhatian wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara. Hal ini terbukti dari data-data kunjungan wisatawan yang diperoleh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan setiap tahunnya selama tiga periode terakhir. Berkembangnya kawasan wisata ini secara tidak langsung menuntut adanya pembangunan sarana dan prasarana pariwisata yang mempu mendukung kelancaran kegiatan pariwisata. Pembangunan sarana dan prasarana pariwisata di Desa Ababi jika dibandingkan dengan Desa Purwakerti dan Desa Bunutan tergolong cukup sedikit jumlahnya. Namun jika diteliti lebih jauh, data-data menunjukkan bahwa pembangunan sarana dan prasarana pariwisata kawasan Tirta Gangga telah menghabiskan lahan persawahan sebanyak 12 hektar selama kurun waktu empat tahun terakhir. Lahan persawahan tersebut merupakan lahan Subak Embukan. Hal ini berarti setiap tahunnya lahan subak telah berkurang sebesar tiga hektar atau 300 are untuk keperluan pariwisata. Mengkonversi lahan subak sama halnya dengan mengurangi sumber mata pencaharian utama masyarakat Desa Ababi.

BAB V SISTEM IRIGASI TRADISIONAL SUBAK EMBUKAN

5.1. Sejarah Subak Embukan

Subak Embukan adalah salah satu subak yang berada di Desa Ababi Kecamatan Abang. Keberadaan Subak Embukan tidak diketahui secara tepatnya pada tahun berapa. Namun menurut para petani, subak tersebut sudah ada sejak sebelum Gunung Agung meletus pada tahun 1963. Meletusnya Gunung Agung ini menyebabkan wilayah Subak Embukan berkurang menjadi 87 hektar hingga pada tahun 2006. Hal ini karena banyak batu-batu yang berasal dari letusan Gunung Agung yang menumpuk dan menutupi areal persawahan sehingga lahan tersebut tidak dapat digunakan lagi untuk menanam padi. Hal ini diungkapkan oleh Bapak IGD yang menyatakan bahwa: “subak embukan ini sudah ada sebelum Gunung Agung meletus. Waktu kena letusan gunung, wilayahnya jadi kurang karena banyak batu-batu yang menumpuk jadi nda bisa lagi dijadikan sawah. Susah untuk dibajak.” Asal nama Subak Embukan sendiri diambil dari bahasa setempat yaitu “embukan” yang berarti mata air dan “subak” yang berarti perkumpulan. Subak Embukan berarti perkumpulan petani yang memanfaatkan mata air yang sama. Sesuai dengan namanya, daerah Subak Embukan dikelilingi oleh banyak mata air yang mengaliri air irigasi ke sawah-sawah petani. Terdapat tiga mata air besar yang menjadi sumber air irigasi Subak Embukan yaitu Kaliasem, Jagad Satru, dan Dauh. Selain dialiri oleh tiga mata air besar, masing-masing tempek pada subak juga dialiri oleh mata air-mata air kecil yang terdapat pada setiap tempek. Seperti pada umumnya masyarakat Bali yang menganut falsafah Tri Hita Karana, begitu juga halnya dengan Subak Embukan yang menjadikan Tri Hita Karana sebagai pedoman bagi setiap anggota subak dalam melakukan kegiatan- kegiatan yang terkait dengan subak dan juga sebagai pedoman dalam menentukan awig-awig subak. Falsafah ini kemudian dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam tiga bentuk ajaran, yaitu Parhyangan yakni mengatur hubungan manusia