BAB VI DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA TERHADAP
SUBAK EMBUKAN
6.1. Konversi Lahan Subak Embukan
Anggota petani Subak Embukan merupakan petani penggarap yang menggarap lahan sawah milik pura dan Subak Embukan diberikan tanggung
jawab oleh pura untuk mengelola lahan sawah tersebut secara khusus dalam hal pengalokasian air irigasi. Lahan garapan Subak Embukan cukup luas yaitu
mencapai 75 hektar dan terdiri dari 12 tempek. Setiap petani menggarap lahan sawah dengan luas lahan yang berbeda-beda untuk setiap anggotanya. Pada
Gambar 9 di bawah ini, ditunjukkan bahwa sebagian besar petani yaitu sebesar 67 persennya menggarap lahan dengan luas lahan mencapai 0,1 hektar sampai 0,3
hektar dan sebesar 23 persen dengan luas lahan 0,31 hektar sampai 0,5 hektar,
sedangkan sisanya yaitu sebesar 10 persen menggarap lahan dengan luas 0,5 hektar atau lebih dari luas lahan tersbut.
Gambar 9. Persentase Petani Responden Subak Embukan Berdasarkan Luas Lahan Garapan
Luas lahan garapan sebagian besar petani Subak Embukan berdasarkan data tersebut tergolong masih sempit yaitu hanya sekitar 15 are sampai 20 are. Namun
demikian, petani anggota subak tidak hanya menggarap pada satu lahan saja tetapi
juga pada beberapa lahan dengan tempek yang berbeda sehingga hasil panen yang diperoleh juga lebih banyak. Lahan sawah petani dikoordinir oleh kelian tempek.
Masing-masing tempek tersebut mempunyai luas lahan yang berbeda-beda. Tempek yang lahannya lebih luas cenderung memiliki anggota lebih banyak
dibandingkan dengan tempek dengan luas lahan lebih sempit. Berikut pada tabel di bawah ini akan ditampilkan tempek-tempek yang ada pada Subak Embukan
berserta luas tempek tersebut. Tabel 6. Jenis dan Luas Tempek Subak Embukan Desa Ababi, 2010
No Nama Tempek
Luas lahan are 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 11
12 Tempek Teben
Tempek Dulu Tempek Dause
Tempek Pancoan Tempek Ketipat
Tempek Wani Tempek Yeh Sumeng
Tempek Kelampwak Tempek Kedokan
Tempek Lime Busuh Tempek Tirta Gangga
Tempek Limut 1.190
1.073 924
896,5 748
605 498
420 345
336 245
220 Total
7.500,5 Sumber: Data Subak Embukan Desa Ababi, 2010
Tempek-tempek tersebut di atas kemudian tergabung dalam satu subak dengan luas lahan keseluruhan mencapai 75 hektar hingga tahun 2010. Sebelum
tahun 2010 yakni pada tahun 2006 luas lahan sawah Subak Embukan adalah 87 hektar. Hal ini berarti selama periode waktu empat tahun, lahan subak telah
berkurang sebesar 12 hektar. Berkurangnya lahan subak tersebut disebabkan
karena adanya alih fungsi lahan atau konversi lahan yang dilakukan untuk keperluan pariwisata, seperti yang dituturkan oleh Bapak INS bahwa:
“Dulu subak ini luasnya 87 hektar. Itu waktu tahun 2006. Sekarang luasnya sudah berkurang jadi 75 hektar. Lahannya yah dijual untuk
bangun penginapan dan rumah makan. ”
Seperti yang dipaparkan sebelumnya bahwa Subak Embukan adalah salah satu subak yang berdampingan langsung dengan kawasan objek wisata Tirta
Gangga. Sehingga lahan yang terkonversi sebagian besar digunakan untuk membangun sarana dan prasarana pariwisata seperti hotel, rumah makan, tempat
parkir dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden petani subak, diketahui
bahwa tidak terdapat salah satu orang pun dari anggota Subak Embukan yang melakukan fragmentasi lahan atau konversi lahan. Alasan utamanya ialah karena
lahan subak yang digarap oleh para petani bukanlah milik pribadi melainkan milik pura sehingga petani tidak mempunyai hak untuk menjual lahan tersebut. Hal ini
berarti bahwa konversi lahan yang terjadi bukanlah dilakukan oleh pihak petani subak melainkan oleh pihak pura sebagai pemilik dari lahan tersebut. Hal ini
diungkapkan oleh Bapak IKR bahwa: “Saya nda bisa menjual lahan ini karena ini bukan milik saya. Lahan
ini miliknya pura. Semua kami disini hanya sebagai penggarap saja. Kalau urusan lahan ini mau dijual atau nda, itu tergantung dari
pura”. Lahan subak yang dijual untuk dikonversi biasanya adalah wilayah-wilayah
yang berada dekat dengan jalan raya dan objek wisata. Wilayah tersebut dalam Subak Embukan diantaranya adalah Tempek Tirta Gangga dan Tempek Pancoan.
Kedua tempek tersebut letaknya berdampingan dengan Taman Tirta Gangga dan aksesnya dekat dari jalan raya. Kondisi tersebut merupakan faktor pendorong
yang kuat untuk melakukan konversi lahan. Selain itu, harga tanah yang mahal juga merupakan faktor pendukung untuk menjual lahan sawah tersebut.
Harga tanah di kawasan Desa Ababi khususnya yang dekat dengan kawasan pariwisata tergolong mahal. Harga tanah tersebut juga tergantung pada letaknya.
Semakin ke dalam atau jauh dari jalan raya, harga tanah cenderung lebih murah.
Sebaliknya semakin dekat dengan jalan raya dan kawasan wisata, harga tanah akan semakin mahal. Harga tanah rata-rata berkisar antara 35 juta sampai dengan
75 juta per are. Untuk tanah yang letaknya strategis yaitu dekat dengan jalan dapat mencapai harga 75 juta per are atau lebih dari harga tersebut. Hal ini sesuai
dengan penuturan Bapak IGD yang mengungkapkan bahwa: “Kalau di tempek saya nda ada yang di jual karena ini letaknya ke
dalam dan juga ini milik pura, jadi bukan hak saya. Walaupun ada pariwisata di tempat ini tapi ini nda ada pengaruhnya dengan sawah
saya. Dulu di sini memang pernah ada yang bilang mau dijadikan tempat wisata tapi nda tau kenapa sampai sekarang nda ada lagi
kabarnya. Kalau yang lahannya di jual itu banyaknya di Pancoan atau Tirta Gangga yang dekat dengan jalan. Harga tanahnya juga
mahal, sekitar 70 atau 75 juta. Itu harga satu arenya.
” Selama empat tahun terakhir, wilayah subak yang sudah terkonversi adalah
sebesar 12 hektar. Angka tersebut tergolong kecil jika dibandingkan dengan konversi lahan yang terjadi secara keseluruhan di Bali. Namun, untuk kawasan
Desa Ababi dan Subak Embukan angka tersebut tergolong sangat besar. Data-data sebelumnya menunjukkan bahwa jumlah sarana dan prasarana pariwisata yang
terdapat di Desa Ababi khususnya di kawasan Tirta Gangga termasuk dalam jumlah kecil tetapi pada kenyataannya pembangunan fasilitas tersebut telah
menghabiskan lahan pertanian sebesar 12 hektar. Jika dibiarkan terus berlanjut maka dalam rentang waktu 22 sampai 24 tahun ke depan lahan sawah Subak
Embukan akan habis dan berganti dengan kawasan wisata. Apabila wilayah subak tersebut habis terkonversi atau terjual maka banyak petani akan kehilangan
pekerjaan dan beralih ke mata pencaharian di luar sektor pertanian. Hal ini berarti jumlah petani akan semakin berkurang dan sektor pertanian menjadi terabaikan.
Namun, hal yang paling penting adalah apabila tidak ada lagi wilayah subak maka kelembagaan subak juga akan menjadi pudar. Dampaknya adalah tidak terdapat
lagi kegiatan-kegiatan upacara keagamaan yang dilakukan oleh subak, awig-awig subak tidak lagi dapat dijalankan. Pudarnya kelembagaan subak berarti secara
tidak langsung telah menghilangkan salah satu warisan budaya Bali. Melihat kondisi yang demikian serta memikirkan keberlanjutan Subak
Embukan maka oleh pemerintah ditetapkan bahwa kawasan Tirta Gangga dan
sekitarnya merupakan kawasan “Jalur Hijau” yaitu kawasan yang ditetapkan atau dilarang untuk segala kegiatan pembangunan di bidang pariwisata yang berujung
pada konversi lahan, seperti yang diungkapkan oleh Bapak MS selaku petugas Dinas Pertanian. Beliau menyatakan bahwa:
“Di sekitar daerah Tirta Gangga ke arah Timurnya, sudah ditetapkan sebagai jalur hijau. Artinya nda boleh lagi ada
pembangunan untuk kegiatan pariwisata atau lainnya. Karena sebagian besarnya daerah di situ sawah semua.
” Dampak yang dirasakan oleh Subak Embukan karena adanya kegiatan
pariwisata tidak hanya masalah konversi lahan tetapi juga masalah yang terkait dengan kebersihan lingkungan irigasi Subak Embukan. Sebelum adanya
pembangunan fasilitas pariwisata seperti penginapan yang terdapat disekitar kawasan subak dan Tirta Gangga, saluran irigasi terbebas dari limbah. Namun,
seiring dengan adanya penginapan-penginapan yang semakin banyak dibangun serta fasilitas pariwisata lainnya menyebabkan lingkungan subak menjadi kotor.
Kekecewaan ini diungkapkan langsung oleh pekaseh ketua Subak Embukan yaitu Bapak NS yang menuturkan bahwa:
“Pariwisata memang nda ada pengaruhnya pada subak. Tapi pengaruh negatifnya bu, dengan ada penginapan terus juga ada
restauran, saluran irigasinya jadi tercemar dengan limbah kotoran dan sampah-sampah yang dari tempat pariwisata itu. Waktu itu saya
biarkan saja, tapi karena sering terjadi dan petani juga mulai rasa terganggu akhirnya saya tegur mereka. Sampai sekarang sudah nda
ada lagi kotoran atau sampah yang dibuang ke saluran irigasi dan disekitar sawah.
” Kegiatan pariwisata yang berlangsung di Desa Ababi pada kenyataannya
memiliki pengaruh yang negatif terhadap keberlanjutan Subak Embukan. Konversi lahan yang terjadi selama kurun waktu empat tahun terakhir, apabila
tidak diperhatikan dengan serius maka akan mengancam keberlanjutan Subak Embukan itu sendiri. Dapat dibayangkan bahwa pada awalnya lahan yang dijual
adalah lahan-lahan yang berada dekat dengan jalan. Setelah lahan tersebut terkonversi, secara tidak langsung membuka peluang bagi lahan-lahan yang
berada di belakangnya atau yang sebelumnya terletak jauh ke dalam untuk ikut dikonversi karena aksesnya yang semakin dekat dengan kawasan wisata.
Adan ya penetapan kawasan “Jalur Hijau” di sekitar lingkungan subak
diharapkan dapat menjadi senjata ampuh untuk meminimalkan atau bahkan menghentikan kegiatan konversi lahan apabila dilaksanakan dengan benar dan
tepat.
6.2. Pola Mata Pencaharian