Sejarah Subak Embukan SISTEM IRIGASI TRADISIONAL SUBAK EMBUKAN

BAB V SISTEM IRIGASI TRADISIONAL SUBAK EMBUKAN

5.1. Sejarah Subak Embukan

Subak Embukan adalah salah satu subak yang berada di Desa Ababi Kecamatan Abang. Keberadaan Subak Embukan tidak diketahui secara tepatnya pada tahun berapa. Namun menurut para petani, subak tersebut sudah ada sejak sebelum Gunung Agung meletus pada tahun 1963. Meletusnya Gunung Agung ini menyebabkan wilayah Subak Embukan berkurang menjadi 87 hektar hingga pada tahun 2006. Hal ini karena banyak batu-batu yang berasal dari letusan Gunung Agung yang menumpuk dan menutupi areal persawahan sehingga lahan tersebut tidak dapat digunakan lagi untuk menanam padi. Hal ini diungkapkan oleh Bapak IGD yang menyatakan bahwa: “subak embukan ini sudah ada sebelum Gunung Agung meletus. Waktu kena letusan gunung, wilayahnya jadi kurang karena banyak batu-batu yang menumpuk jadi nda bisa lagi dijadikan sawah. Susah untuk dibajak.” Asal nama Subak Embukan sendiri diambil dari bahasa setempat yaitu “embukan” yang berarti mata air dan “subak” yang berarti perkumpulan. Subak Embukan berarti perkumpulan petani yang memanfaatkan mata air yang sama. Sesuai dengan namanya, daerah Subak Embukan dikelilingi oleh banyak mata air yang mengaliri air irigasi ke sawah-sawah petani. Terdapat tiga mata air besar yang menjadi sumber air irigasi Subak Embukan yaitu Kaliasem, Jagad Satru, dan Dauh. Selain dialiri oleh tiga mata air besar, masing-masing tempek pada subak juga dialiri oleh mata air-mata air kecil yang terdapat pada setiap tempek. Seperti pada umumnya masyarakat Bali yang menganut falsafah Tri Hita Karana, begitu juga halnya dengan Subak Embukan yang menjadikan Tri Hita Karana sebagai pedoman bagi setiap anggota subak dalam melakukan kegiatan- kegiatan yang terkait dengan subak dan juga sebagai pedoman dalam menentukan awig-awig subak. Falsafah ini kemudian dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam tiga bentuk ajaran, yaitu Parhyangan yakni mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, Palemahan yakni mengatur hubungan manusia dengan lingkungan, dan Pawongan yakni mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Parhyangan diwujudkan dengan adanya Pura Bedugul yang merupakan tempat mengadakan sembayang dalam kegiatan-kegiatan subak. Pura Bedugul adalah pura kecil yang digunakan untuk melakukan persembayangan pada setiap kegiatan subak. Pura ini dibangun pada setiap tempek sehingga pada saat melakukan upacara secara berkelompok, setiap tempek dapat melakukannya di kelompok tempeknya sendiri. Palemahan diwujudkan dengan adanya saluran irigasi yang dibangun secara gotong royong dan Pawongan yang diwujudkan dengan adanya awig-awig serta sangkepan krama. Wilayah Subak Embukan pada tahun 2010 berkurang menjadi 75 hektar dari luas sebelumya yakni 87 hektar pada tahun 2006. Hal ini terjadi karena adanya alih fungsi lahan subak untuk kepentingan kegiatan non-pertanian. Subak ini kemudian terbagi menjadi 12 tempek yaitu: Pancoan, Lime Busuh, Tirta Gangga, Dulu, Teben, Ketipat, Yeh Sumeng, Dause, Limut, Kedokan, Kelampwak dan Wani. Masing-masing tempek memiliki penjuru arah yakni seorang kelian ketua tempek yang dibantu oleh sekretaris dan bendahara. Pembagian anggota ke masing-masing tempek dilakukan untuk mempermudah pengalokasian air ke sawah dan pengaturan tugas bagi setiap penjuru arah. 5.2. Komponen Budaya Subak Embukan 5.2.1. Pola Pikir Pembagian Air Irigasi