Irigasi Tradisional Subak Tinjauan Pustaka 1. Ruang Lingkup Pariwisata

penggunaan air untuk pertanian dengan menggunakan satu kesatuan saluran dan bangunan berupa jaringan irigasi Pusposutardjo, 2001. Irigasi dalam proses penyediaan dan distribusi air didukung oleh sarana dan prasarana irigasi yaitu berupa jaringan irigasi. Jaringan irigasi dapat digolongan menjadi dua bagian berdasarkan pengelolaannya yaitu jaringan irigasi utama dan jaringan irigasi tersier Kartasapoetra, Sutedjo, Pollein, 1994. a. Jaringan irigasi utama Meliputi bangunan bendung, saluran-saluran primer dan sekunder termasuk bangunan-bangunan utama dan pelengkap, saluran pembawa dan saluran pembuang. Bangunan utama merupakan bangunan yang mutlak diperlukan bagi eksploitasi, meliputi bangunan pembendung, bangunan pembagi dan bangunan pengukur. Bangunan bendung berfungsi agar permukaan air sungai dapat naik dengan demikian memungkinkan untuk disalurkan melalui pintu pemasukan ke saluran pembawa. Bangunan pembagi berfungsi agar air pengairan dapat didistribusikan di sepanjang saluran pembawa saluran primer ke lahan-lahan pertanaman melalui saluran sekunder dan saluran tersier. Terdapat juga bangunan ukur yang berfungsi mengukur debit air yang masuk ke saluran pembawa, dengan demikian distribusi air pengairan ke lahan-lahan pertanaman melalui saluran-saluran sekunder dan saluran tersier dapat terkontrol dengan baik, sesuai dengan pola pendistribusian air pengairan yang telah dirancang. b. Jaringan irigasi tersier Merupakan jaringan air pengairan di petak tersier, mulai air keluar dari bangunan ukur tersier, terdiri dari saluran tersier dan kuarter termasuk bangunan pembagi tersier dan kuarter, serta bangunan pelengkap lainnya yang terdapat di petak tersier.

2.1.5. Irigasi Tradisional Subak

Sistem irigasi pertanian di Bali dikelola oleh suatu lembaga yang disebut subak. Subak merupakan salah satu kelembagaan yang telah terbukti evektivitasnya dalam menyangga pembangunan pertanian Bali. Sejarah irigasi yang panjang telah memberi kesempatan bagi petani untuk menumbuhkan kelembagaan pengelola air irigasi. Apabila sarana fisik sebuah jaringan irigasi merupakan “perangkat kerasnya” maka lembaga tersebut merupakan “perangkat lunaknya” yang mutlak diperlukan untuk mengelola air irigasi Setiawan, 1995. Subak dengan kearifan lokalnya senantiasa berupaya dan berusaha untuk memecahkan segala masalah yang di hadapi dengan tujuan agar mencapai tujuan hidup yakni kesejahteraan lahir dan batin. Hal ini sesuai dengan dengan ajaran hindu “Moksartham Jagadhitaya Ca Iti Dharmah” yang artinya tujuan agama Hindu mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin. Subak adalah masyarakat hukum adat Bali yang bersifat sosio-agraris- religius, yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus sebagai suatu organisasi di bidang pengaturan air dan lain-lain persawahan dari suatu sumber di dalam suatu daerah 1 . Selanjutnya, dijelaskan juga pengertian subak yang lain yaitu “subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosio agraris religius yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai suatu organisasi di bidang tata guna air di tingkat usaha tani 2 . Berdasarkan definisi tersebut, lebih lanjut subak dapat dijelaskan sebagai suatu lembaga irigasi tradisional bersifat sosio-teknis-religius dan terdiri dari kumpulan petani-petani pemakai air irigasi yang sawahnya terikat dari satu aliran sungai. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah subak hanya didasarkan pada hamparan sawah yang menerima air dari satu aliran air dan sangat dipengaruhi oleh lokasi, perbedaan topografi, sumber air, keadaaan tanah, jumlah anggota, keadaan sosial, ekonomi, dan tradisi setempat. Oleh karena itu, subak tidak berkaitan dengan batas-batas wilayah administrasi desa ataupun kecamatan. Penyelenggaran kegiatan-kegiatan pada subak bersifat otonom sehingga subak tidak mempunyai kaitan dengan perintah dan tidak bertanggung jawab terhadap kepala desa, lembaga desa, lembaga pemerintah, maupun lembaga desa lainnya. Selain itu, subak juga berlandaskan pada Tri Hita Karana yaitu falsafah hidup yang diyakni oleh masyarakat Bali sebagai tiga hal yang menyebabkan 1 Peraturan Daerah propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1972, Tentang Irigasi 2 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1982, Tentang Irigasi manusia mencapai kesejahteraan, kebahagian dan kedamaian 3 . Tiga hal tersebut terdiri dari: 1 parhyangan, yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan; 2 pawongan, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia; dan 3 palemahan, yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Nilai-nilai Tri Hita Karana pada masyarakat subak diwujudkan dalam tiga komponen yaitu 1 aspek budaya yang meliputi kegitan-kegiatan keagamaan dan pola pikir anggota subak dalam pengelolaan irigasi; 2 aspek sosial yang meliputi penyediaan dan distribusi air, kepengurusan subak, dan awig-awig; 3 aspek artefak atau kebendaan yang meliputi sarana dan prasarana irigasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Hita Karana merupakan pilar penting untuk mempertahankan keberlanjutan subak. Subak dalam pengelolaan sumber daya air, memiliki seperangkat aturan yang disusun dan ditentukan secara musyawarah dan bersifat mengikat bagi anggotanya. Peraturan dalam subak disebut awig-awig yaitu berisi tentang aturan- aturan terkait dengan tata kelakuan dan hukuman atas tindakan-tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota subak. Pelanggaran yang terjadi akan disampaikan kepada kelian subak dan hukuman selanjutnya akan ditetapkan pada pertemuan berikutnya. Umumnya pelanggaran yang timbul berkaitan dengan keterlambatan datang pada suatu pekerjaan subak, sama sekali tidak datang, datang tanpa membawa alat yang dibutuhkan, serta pencurian air. Hukuman dari setiap pelanggaran yang dibuat biasanya berupa denda. Peraturan mengenai waktu menanam juga termuat dalam “awig-awig” subak yang disebut “kerta mase” yakni peraturan subak tentang penertiban penanaman di sawah menurut masa atau musim yang ditetapkan oleh subak Arya, 1980 dalam Suyatna, 1982. Berdasarkan penelitian Grader 1960 dalam Ambler 1991 menyebutkan bahwa subak mempunyai dua kewajiban utama subak yaitu: pekaryan dan penyubaktian. Pekaryan merupakan kewajiban di luar keagamaan antara lain; membuat, memelihara dan memperbaiki bendungan, terowongan, saluran air dan juga jalan subak. Penyubaktian merupakan kewajiban yang ada hubungannya dengan keagamaan antara lain; membuat sesajen dan sembayang di pura subak. 3 http:i-lib.ugm.ac.idjurnaldetail.php?dataId=4858, diunduh pada 7 Oktober 2010 Selain dua kewajiban utama tersebut, subak juga memiliki fungsi dalam hal perolehan air, alokasi air, pengadaan sumber daya, dan menyelesaikan berbagai perselisihan atau konflik yang terjadi. Selain memiliki seperangkat aturan, subak juga memiliki struktur kepengurusan. Susunan pengurus pada setiap subak berbeda-beda. Perbedaan susunan pengurus ini disesuaikan dengan kebutuhan subak. Semakin besar anggota subak, semakin luas sawahnya, dan semakin menyebar tempat tinggal anggota maka pengurus subak juga semakin banyak. Adapun struktur kepengurusan subak terdiri dari: pekaseh atau kelian ketua, kelian tempek, kesinoman juru arah, dan kerama subak anggota. Gabungan dari beberapa subak atau beberapa tempek disebut Subak Gede dan ketuanya disebut Kelian Gede. Penggabungan biasanya terjadi karena air yang diperoleh berasal dari satu sumber.

2.1.6. Kelembagaan