Dampak pengembangan pariwisata terhadap keberlanjutan sumbak embukan (studi kasus:desa Ababi, kecamatan Abang, kabupaten Karangasem)

(1)

DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUBAK EMBUKAN

(Studi Kasus: Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem)

CHRISTIN DEBORA NGGAUK I34070015

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

ABSTRACT

CHRISTIN DEBORA NGGAUK. The Impact of Tourism Development on the Sustainability of Subak Embukan (Case Studies: Ababi Village, Abang Subdistrict, Karangasem Regency).

The objective of this study is to see observe and analyze the impact of tourism development on the sustainability of Subak Embukan as well as its agriculture production. Subak is a Balinese indigenous irrigation management institution. The study was conducted at the Subak Embukan located at Ababi Village, Abang sub-Regency, Karangasem Regency. The qualitative data were explored through in-depth interviews and field observations. Meanwhile a survey method to 30 farmers of the Subak Embukan‟s member was applied for gathering quantitative figures. The impacts were measure through with and without (tourism) approach.

The result shows that tourism that grew on Ababi Village of Bali has brought adverse impacts to Subak Embukan in terms of its paddy fields areas. In the last four years, through the permission of customary community elders, 12 out of 87 hectares of Subak Embukan land are converted for tourism facilities and infrastructure. So far, at a certain point, the decline of Subak’s paddy lands seems did not significantly influence the amount of member, institutional configuration and irrigation management capacity of the Subak. However, if the land conversion continues to grow, the sustainability of the Subak Embukan will be threatened in the future.

Keyword: Subak Embukan, land conversion, irrigation


(3)

RINGKASAN

CHRISTIN DEBORA NGGAUK. Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Keberlanjutan Subak Embukan: Studi Kasus Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. (Di bawah bimbingan SOERYO ADIWIBOWO)

Pariwisata sebagai komoditi ekspor, pada kenyataannya menjadi penggerak kehidupan perekonomian negara. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia tentunya menaruh harapan besar terhadap komoditi ekspor tersebut. Hal ini cukup beralasan karena Indonesia memiliki potensi pariwisata yang besar, baik dari wisata alamnya maupun wisata budayanya. Salah satu pulau di Indonesia yang berpotensi di sektor pariwisata ialah pulau Bali.

Bali merupakan daerah kunjungan wisata yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Perkembangan pariwisata yang cukup pesat di Bali tidak hanya terjadi di daerah perkotaan tetapi juga meluas hingga ke pedesaan. Pada dasarnya perkembangan pariwisata banyak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat sekitar maupun masyarakat luas. Namun dalam pengembangannya, sektor pariwisata ternyata memberikan dampak yang dapat mengancam sektor pertanian.

Sektor pertanian masyarakat Bali sangat terkait erat dengan keberadaan subak sebagai lembaga irigasi tradisional yang bertanggung jawab dalam hal pengelolaan air irigasi pertanian. Terkait dengan adanya kegiatan pariwisata, dalam proses pengembangannya secara tidak langsung menuntut adanya bangunan sarana dan prasarana yang mampu mendukung setiap kegiatan pariwisata. Proses pembangunan telah memberikan dampak terhadap berkurangnya lahan pertanian subak. Berdasarkan data DPTPH, diketahui bahwa rata-rata konversi lahan pertanian yang terjadi di Bali sebesar 913,20 hektar setiap tahunnya dan tidak hanya di perkotaan tetapi juga terjadi di pedesaan.

Desa Ababi yang terletak di Kecamatan Abang merupakan satu-satunya desa yang memiliki objek wisata budaya yang terkenal yaitu Tirta Gangga. Kawasan objek wisata ini berdampingan langsung Subak Embukan. Oleh karena


(4)

itu, dalam penelitian ini menjadi menarik untuk dikaji tentang sejauh manakah dampak pengembangan pariwisata di Bali terhadap keberlanjutan Subak Embukan yang terdapat di Desa Ababi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang didukung dengan data kuantitatif. Pendekatan kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dengan informan terkait dan observasi lapang. Data kuantitatif diperoleh melalui metode survei menggunakan kuesioner yang dilakukan terhadap responden anggota petani Subak Embukan yang berjumlah sebesar 30 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata yang berlangsung di Desa Ababi khususnya di kawasan wisata Tirta Gangga secara nonmaterial tidak berdampak terhadap keberlanjutan subak ditinjau dari aspek kelembagaanya, keanggotaan, dan pengelolaan irigasi Subak Embukan. Namun dari segi materialnya, pariwisata berdampak terhadap berkurangnya lahan Subak Embukan akibat adanya konversi lahan untuk keperluan kegiatan pariwisata. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh di lapangan, luas lahan Subak Embukan selama empat tahun terakhir yakni pada tahun 2006 hingga 2010 telah terkonversi sebesar 12 hektar dari 87 hektar. Hal ini berarti rata-rata konversi yang terjadi adalah sebesar tiga hektar atau 300 are setiap tahunnya. Jika konversi terus berlanjut maka dalam rentang waktu 22 hingga 24 tahun ke depan lahan subak akan habis dan berganti dengan kawasan wisata. Konversi lahan yang terjadi tidaklah dilakukan oleh para petani subak melainkan oleh pihak pura karena lahan tersebut adalah lahan milik pura dan petani hanya bekerja sebagai penggarap. Melihat kondisi yang demikian maka Dinas Pertanian setempat telah menetapkan kawasan “Jalur Hijau” yakni aturan yang menetapkan bahwa tidak diperbolehkan lagi adanya pembangunan di kawasan Tirta Gangga karena kawasan tersebut merupakan daerah pertanian yang subur yang dikelola oleh subak.


(5)

DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUBAK EMBUKAN

(Studi Kasus: Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem)

Oleh

Christin Debora Nggauk I34070015

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(6)

DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUBAK EMBUKAN

(Studi Kasus: Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem)

Oleh

Christin Debora Nggauk I34070015

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(7)

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:

Nama Mahasiswa NRP

Program Studi Judul

: : : :

Christin Debora Nggauk I34070015

Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Keberlanjutan Subak Embukan (Studi Kasus Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem) Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosaen Pembimbing

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Pengesahan: ___________________


(8)

LEMBAR PERNYATAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUBAK EMBUKAN: STUDI KASUS DESA ABABI,

KECAMATAN ABANG, KABUPATEN KARANGASEM” BELUM

PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Juli 2011

Christin Debora Nggauk NRP. I34070015


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 17 Maret 1989. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Elias Nggauk dan Ibu Sri Warisanti Ruhupatty. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Bhayangkara Waikabubak (1994-1995), Sekolah Dasar di SD Masehi Waikabubak I (1995-2001), Sekolah Menengah Pertama di SMP Kristen Waikabubak I (2001-2004), dan Sekolah Menengah Atas di SMA Kristen Waikabubak I (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama di IPB, penulis tergabung dalam Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) bagian Komisi Kesenian Divisi Dana dan Usaha. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian dalam beberapa event di IPB yang diselenggarakan oleh PMK, antara lain Workshop Musik (Divisi Acara), Malam Pujian dan Penyembahan (Divisi Acara), dan Natal Civitas Akademika IPB (Divisi Dekorasi). Selain itu, penulis juga mengikuti Program GO FIELD yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB di desa binaan PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA Tbk, Citereup periode 14 Juli-14 Agustus 2009.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan penyertaan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi yang berjudul ”Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Keberlanjutan Subak Embukan (Studi Kasus Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem)” merupakan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui dampak yang terjadi pada Subak Embukan akibat adanya kegiatan pariwisata.

Kegiatan pariwisata di Bali telah menjadi ujung tombak perekonomian Bali di samping kegiatan pertaniannya. Pariwisata tidak hanya terbatas pada wilayah perkotaan Bali, tetapi juga merambah hingga ke pedesaan. Desa Ababi adalah salah satu desa yang turut merasakan adanya pengembangan pariwisata. Terdapatnya objek wisata yang dikelilingi oleh lahan persawahan subak, semakin membuka peluang bagi pariwisata untuk terus mengembangkannya. Oleh karena itu, menjadi menarik untuk dikaji tentang berbagai dampak pengembangan pariwisata di Desa Ababi khususnya bagi Subak Embukan yang bersentuhan langsung dengan daerah objek wisata tersebut.

Penelitian ini dilakukan tidak hanya untuk memperoleh gelar sarjana, tetapi juga untuk menambah pengetahuan terkait dengan perubahan-perubahan pada kegiatan pertanian secara khusus pada lembaga irigasi tradisonal subak sebagai dampak dari berkembangnya kegiatan pariwisata. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.

Bogor, Juli 2011


(11)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan atas berkat dan penyertaan Tuhan sehingga penulis boleh diberi kelancaran dalam meyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain:

1. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. sebagai dosen pembimbing skripsi atas kesabarannya dalam membimbing, memberikan kritik dan saran yang membangun serta selalu memberikan motivasi yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Kedua orang tua tersayang Bapak Elias Nggauk dan Mama Sri Ruhupatty yang selalu menjadi motivasi bagi penulis dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih atas kasih sayang dan dukungan doa yang tiada henti kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Kakak tersayang yaitu Metty L. Bunga terimaksih atas dukungan, motivasi, doa, dan nasihat-nasihat yang selalu diberikan kepada penulis.

4. Keluarga besar Bapak Mangku I Nyoman Sudiara dan Ibu Ifonny Ruhupatty yang telah bersedia menjaga dan merawat penulis selama penulis berada di Karangasem. Terimakasih atas segala bantuannya baik material maupun nonmaterial yang diberikan kepada penulis selama penulis mencari data di lapangan.

5. Adik tersayang I Nengah Sutariada Agustina, I Gede Suryanata, I Komang Hedriani Satvika, I Kadek Chandra Sufonmita, dan kakak Dedi yang telah bersedia membantu penulis dalam mencari data di lapangan.

6. Kakak Emi Rensiana, Elfi, dan Nathan yang telah merawat dan membantu penulis baik bantuan material maupun nonmaterial selama berada di Denpasar dalam rangka mengurus perijinan penelitian.


(12)

7. Bapak Nyoman Sudha, Bapak Made Suhade, dan pihak petani anggota Subak Embukan yang telah banyak memberikan informasi terkait dengan penelitian penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Aparat Desa Ababi dan Kesbang Linmas Propinsi maupun Kabupaten yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan penelitian dan mengambil data di lapangan.

9. Seluruh pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem yang telah membantu penulis dalam memperoleh data dan informasi terkait penelitian penulis.

10. Teman-teman seperjuangan, Asih, Ayu, Anggi, Faris, Novita, Anas, Didi, Zuhe, Ali, Vika, serta KPM 44 yang selalu memberikan saran, kritik, dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Kakak Tiur Gabe (Wisma Jenius) yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman di “Wisma Jenius” sekaligus sahabat-sahabat tercinta dan tersayang: Leny, Loretta, Kade, Metha, Dewi, dan Christa yang selalu memberikan saran dan dukungan yang sangat luar bisa kepada penulis dalam penyelesaiaan skripsi ini.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaian skripsi ini.

Terimakasih atas bantuannya dan mohon maaf apabila penulis banyak menyusahkan atau banyak melakukan kesalahan selama penulis bersama kalian semua. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan juga bagi penulis pada khususnya.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ...

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I PENDAHULUAN ... 1.1.Latar Belakang ... 1.2.Perumusan Masalah ... 1.3.Tujuan Penelitian ... 1.4.Kegunaan Penelitian ... BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 2.1.Tinjauan Pustaka ...

2.1.1.Ruang Lingkup Pariwisata ... 2.1.2.Dampak Pengembangan Pariwisata ... 2.1.3.Konversi Lahan ... 2.1.4.Ruang Lingkup Irigasi ... 2.1.5.Irigasi Tradisonal Subak ... 2.1.6.Kelembagaan ... 2.3. Kerangka Pemikiran ... 2.2.Hipotesa penelitian ... 2.1.Definisi Operasional ... BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.2.Teknik Pengumpulan Data ... 3.3.Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 4.1.Profil Desa Ababi ...

4.1.1.Sejarah Desa Ababi ... 4.1.2.Lambang Desa Ababi ... 4.1.3.Keadaan Geografis Ababi ... 4.1.4.Keadaan Demografi Desa Ababi ...

xiii xv xvi xvii 1 1 3 4 4 5 5 5 9 11 13 15 18 20 22 22 24 24 24 26 27 27 27 29 30 31


(14)

4.2.Karakteristik Responden ... 4.3.Kegiatan Pertanian ... 4.4.Kegiatan Pariwisata Desa Ababi ... 4.4.1.Objek Wisata ... 4.4.2.Perkembangan Pariwisata ... 4.4.3.Sarana dan Prasarana Pariwisata ... 4.5. Ikhtisar ... BAB V SISTEM IRIGASI TRADISIONAL SUBAK EMBUKAN.... 5.1.Sejarah Subak Embukan ... 5.2.Komponen Budaya Subak Embukan... 5.2.1.Pola Pikir Pembagian Air Irigasi ... 5.2.2.Kegiatan Upacara Keagamaan ... 5.3.Komponen Sosial Subak Embukan ... 5.3.1.Kepengurusan Subak Embukan ... 5.3.2.Awig-Awig Subak Embukan ... 5.3.3.Pengalokasian Air Irigasi ... 5.4.Komponen Artefak Subak Embukan ... 5.4.1.Jaringan Irigasi Subak Embukan ... 5.4.2.Ketersediaan Air Irgasi ... 5.5.Ikhtisar ... BAB VI DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA

TERHADAP SUBAK EMBUKAN ... 6.1.Konversi Lahan Subak Embukan ... 6.2.Pola Mata Pencaharian ... 6.3.Keanggotaan Subak Embukan ... 6.4.Kelembagaan Subak Embukan ... 6.5.Pengelolaan Irigasi Subak Embukan ... 6.6.Ikhtisar ... BAB VII PENUTUP ... 7.1.Kesimpulan ... 7.2.Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... 35 37 38 38 39 42 45 46 46 46 47 50 53 53 55 57 58 58 59 60 62 62 66 70 73 75 76 77 77 79 80 83


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan

Golongan Umur Desa Ababi, 2010 ... 32 Tabel 2 Jumlah Kepala Keluarga (KK) Berdasarkan Tingkat

Kesejahteraan Desa Ababi, 2010 ... 32 Tabel 2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Desa Ababi, 2010 ... 33 Tabel 3 Jumlah Responden Petani Subak Embukan

Berdasarkan Jenis Pekerjaan Desa Ababi, 2010 ... 37 Tabel 4 Jumlah Kunjungan Wisatawan Ke Objek Wisata di

Kabupaten Karangasem Tahun 2008, 2009 dan 2010 ... 40 Tabel 6

Tabel 7

Jenis dan Luas Tempek Subak Embukan Desa Ababi, 2010 ... Produksi dan Penerimaan Responden Petani Subak Embukan Berdasarkan Luas Lahan Garapan per Tiga Bulannya ...

63

67 Tabel 8 Jumlah Tenaga Kerja yang Terserap di Sektor


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1 Gambar 2

Kerangka pemikiran ... Matriks Konsep, Variabel dan Metode Pengumpulan Data ...

21 25 Gambar 3 Lambang Desa Ababi ... 29 Gambar 4 Persentase Penduduk Berdasarkan Jenis Mata

Pencaharian Desa Ababi, 2010 ... 34 Gambar 5 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Objek Wisata Tirta

Gangga Bulan Januari-Desember 2010 ... 41 Gambar 6 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Objek Wisata Tirta

Gangga Tahun 2008, 2009 dan 2010 ... 42 Gambar 7 Jumlah Sarana Pariwisata di Kecamatan Abang Tahun

2010 ... 43 Gambar 8 Struktur Kepengurusan Subak Embukan ... 53 Gambar 9 Persentase Petani Responden Subak Embukan


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1 Peta Desa Ababi ... 84

Lampiran 2 Peta Subak Embukan ... 85

Lampiran 3 Daftar Nama Anggota Subak Embukan ... 86

Lampiran 4 Kuesioner dan Panduan Wawancara ... 88

Lampiran 5 Catatan Harian ... 94


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pariwisata merupakan fenomena kemasyarakatan yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok, organisasi, kebudayaan, dan sebagainya. Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan utama dalam menghasilkan devisa diberbagai negara. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, sangat menaruh harapan pada pariwisata sebagai „komoditas ekspor‟. Harapan ini cukup beralasan karena Indonesia memiliki potensi pariwisata yang besar baik dari segi alam maupun dari segi sosial budaya. Salah satu contohnya adalah pulau Bali yang terkenal dengan keunikan budaya dan keindahan alamnya.

Sebagai daerah tujuan utama wisata, Bali sangat terkenal dengan keindahan alamnya. Objek wisata alam yang beraneka ragam menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan baik wisatawan domestik maupun manca negara. Tidak hanya wisata alamnya, kehidupan masyarakat Bali yang sangat terkait dengan budaya dan ajaran agama Hindu juga menjadi salah satu objek wisata budaya yang sangat menarik untuk di nikmati.

Salah satu kegiatan masyarakat Bali bidang pertanian yang telah menyatu dengan budaya dan kegiatan keagamaan ialah kegiatan pengelolaan sumber daya air. Pada masyarakat Bali kegiatan pengelolaan sumber daya air diatur oleh organisasi tradisional yang dikenal dengan sebutan subak. Menurut Setiawan (1995) bahwa subak merupakan salah satu aset kelembagaan yang telah terbukti efektivitasnya dalam menyangga pembangunan pertanian di Bali. Sejarah irigasi yang panjang telah memberi kesempatan kepada petani untuk menumbuhkan kelembagaan pengelola air irigasi. Lembaga yang telah dikembangkan oleh petani menunjukkan bahwa petani mempunyai pengalaman dengan irigasi yang diteruskan dari generasi ke generasi. Selanjutnya pengalaman ini menumbuhkan suatu kearifan ekologis yang tajam di suatu lokasi, yang tercermin dalam bentuk pengetahuan tentang sifat sungai, lokasi-lokasi mata air, cara membuat saluran


(19)

pada lereng yang terjal, cara memperbaiki bendungan supaya kokoh, cara membagi air yang sesuai dengan ketersediaannya.

Sebagai lembaga pengelola sumber daya air, subak terdiri dari kumpulan petani-petani pemakai air irigasi dan bersifat sosial-teknis-religius serta otonom baik ke dalam maupun keluar. Berdasarkan hasil penelitian Wardana & Sudira, subak juga dalam proses pelaksanaannya berlandaskan pada Tri Hita Karana, yakni falsafah hidup yang diyakni oleh masyarakat Bali sebagai tiga hal yang menyebabkan manusia mencapai kesejahteraan, kebahagian dan kedamaian. Tiga hal tersebut terdiri dari: parhyangan, pawongan, dan palemahan.

Objek wisata alam maupun wisata budaya yang beraneka ragam merupakan salah satu faktor utama yang mendorong pesatnya perkembangan pariwisata di Bali. Banyak keuntungan yang diperoleh dengan berkembangnya pariwisata, antara lain ialah meningkatnya pendapatan daerah, terdapatnya peluang kerja atau usaha baru, peningkatan devisa negara, dan lain sebagainya. Namun sejalan dengan hal tersebut, pengembangan pariwisata juga mempunyai dampak terhadap pembangunan pertanian khususnya subak.

Dampak yang dirasakan subak akibat pengembangan pariwisata yang demikian pesat salah satunya ialah konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian. Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTPH) Propinsi Bali tahun 2006, selama periode waktu tahun 2000 hingga tahun 2005, total luas lahan sawah telah mengalami penurunan sekitar 4.566 hektar, yaitu dari 85.776 hektar menjadi 81.210 hektar. Dengan kata lain, rata-rata konversi lahan terjadi sebesar 913,20 hektar per tahunnya (sumber: DPTPH Bali 2006 – diolah).

Konversi lahan yang demikian besar setiap tahunnya, dapat mengacam keberlanjutan subak karena subak berhubungan dengan tanah yakni tempat bagi masyarakat subak menjalankan kewajiban pemeliharaan dan pelaksanaan upacara pada subak. Hal ini merupakan salah satu nilai penting dalam Tri Hita Karana sebagai pilar penting dalam mempertahankan keberlanjutan subak.

Mengacu pada penjelasan di atas, maka menjadi menarik untuk dikaji mengenai pariwisata dan subak yang mempunyai kontribusi penting dalam


(20)

pembangunan Bali, tetapi dalam pengembangannya dapat menjadi ancaman bagi sektor lainnya.

1.2. Perumusan Masalah

Parwisata sebagai sektor unggulan yang mampu menggerakkan perekonomian Bali, dalam pengembangannya tidak hanya membawa dampak positif tetapi juga dampak negatif. Banyaknya kunjungan wisatawan baik domestik maupun manca negara, merupakan salah satu manfaat dari pariwisata karena dapat menambah pendapatan daerah maupun pendapatan negara dari pajak yang diterima. Namun, manfaat tersebut berjalan beriringan dengan kerugian yang ditimbulkan. Salah satunya adalah semakin menyempitnya areal pertanian karena tuntutan pemenuhan kebutuhan di sektor non-pertanian.

Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTPH) Propinsi Bali tahun 2006, selama tahun 2000 hingga tahun 2005 total luas lahan sawah telah mengalami penurunan sekitar 4.566 hekar, yaitu dari 85.776 hektar menjadi 81.210 hektar. Dengan kata lain, selama periode tersebut, rata-rata luas lahan sawah yang telah terkonversi sebesar 913,20 hektar per tahunnya. Konversi lahan sawah terluas terdapat di Kabupaten Jembrana, Buleleng dan Tabanan masing-masing sebesar 262,4 hektar, 188,2 hektar dan 173,6 hektar. Sementara itu, konversi lahan di Kabupaten Badung, Denpasar, Giannyar, Bangli dan Karangasem berturut-turut mencapai luas sebesar 116,80 hektar, 75,80 hektar, 62,60 hektar, 25 hektar dan 8,80 hektar (sumber: DPTPH Bali 2006 – diolah).

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, konversi lahan pertanian yang kian besar dapat menjadi ancaman bagi sistem subak sebagai penyangga pembangunan pertanian Bali, sehingga dalam penelitian ini menjadi menarik untuk dikaji sejauh mana dampak pengembangan pariwisata di Bali terhadap keberlanjutan Subak Embukan yang khususnya dalam penelitian ini difokuskan di Desa Ababi?


(21)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah diuraikan di atas, disusun beberapa tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mengkaji dampak pengembangan parwisata di Bali terhadap keberlanjutan pertanian khususnya kelembagaan Subak Embukan di Desa Ababi.

2. Menelaah pengaruh lanjut yang timbul sebagai akibat pudarnya kelembagaan Subak Embukan di Desa Ababi.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak, diantaranya pihak akademisi, pihak masyarakat, dan pihak pemerintah. Adapun manfaat yang dapat diperoleh yaitu:

1. Bagi Akademi

Penelitian ini dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam mengkaji secara ilmiah mengenai keberlanjutan subak sebagai lembaga irigasi tradisional terkait dengan adanya pariwisata. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi atau literatur untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat menambah wawasan khususnya bagi masyarakat subak terkait dampak yang muncul karena adanya pengaruh dari sektor pariwisata dan membantu masyarakat dalam menyikapi dampak tersebut yang dapat mengancam keberlanjutan sistem subak.

3. Bagi Pemerintah

Penelitian ini dapat menjadi acuan atau masukan atau bahan pertimbangan dalam merencanakan kebijakan-kebijakan terkait dengan pengembangan sektor pariwisata yang akan berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem subak.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Ruang Lingkup Pariwisata

Pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lainnya, dengan maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam (Yoeti, 1982).

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.9. Tahun 1990 tentang kepariwisataan yang dimaksud dengan:

1. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata.

2. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.

3. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.

4. Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata.

5. Usaha pariwisata adalah kegiatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau menyediakan atau mengusahakan objek dan daya tarik wisata, usaha sarana pariwisata dan usaha lain yang terkait dibidang tersebut.

6. Objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata.

7. Kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.

Pariwisata dalam pengertiannya mengandung tiga unsur yaitu manusia (unsur insani sebagai pelaku kegiatan pariwisata), tempat (unsur fisik yang


(23)

sebenarnya tercakup oleh kegiatan itu sendiri), dan waktu (unsur tempo yang dihabiskan dalam perjalanan itu sendiri selama berdiam di tempat tujuan (Wahab, 1987).

Penyelenggaraan kepariwisataan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 dilakukan dengan tujuan untuk: (a) memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata; (b) memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa; (c) memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja; (d) meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; (e) mendorong pendayagunaan produksi nasional. Hal ini dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian dan juga sebagai upaya mendorong peningkatan mutu lingkungan hidup, objek dan daya tarik wisata, nilai-nilai budaya bangsa yang menuju ke arah kemajuan adab, mempertinggi derajat kemanusiaan, kesusilaan, dan ketertiban umum guna memperkukuh jati diri bangsa dalam rangka perwujudan wawasan nusantara. Oleh karena itu, pembangunan objek dan daya tarik wisata tersebut tetap harus dilakukan dengan memperhatikan :

a. Kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan. b. Kehidupan ekonomi dan sosial budaya.

c. Nilai-nilai agama, adat-istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

d. Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup. e. Kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri.

Sifat pariwisata yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara keseluruhan, mengharuskan dilaksanakannya penyelenggaraan kepariwisataan secara terpadu oleh pemerintah, badan usaha, dan masyarakat. Peran serta masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya di dalam penyelenggaraan kepariwisataan ini memegang peranan penting demi terwujudnya pemerataan, pendapatan dan pemerataan kesempatan berusaha. Terkait dengan peran serta masyarakat tersebut, perlu diberikan arahan agar pelaksanaan berbagai usaha pariwisata yang dilakukan dapat saling mengisi, saling berkaitan, dan saling


(24)

menunjang satu dengan yang lainnya. Untuk mencapai maksud tersebut, pemerintah melakukan pembinaan terhadap kegiatan kepariwisataan, yaitu dalam bentuk pengaturan, pemberian bimbingan, dan pengawasan. Kegiatan-kegiatan kepariwisataan yang menyangkut aspek pembangunan, pengusahaan, dan kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah serta perkembangan yang begitu pesat di bidang kepariwisataan perlu diikuti dengan pengaturan yang sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia (UU RI No.9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan)

Seperti halnya dengan kegiatan-kegiatan kepariwisataan, pengelolaan kawasan pariwisata yang banyak dibangun diberbagai wilayah perlu mendapat pengamanan agar tidak terjadi ketimpangan terhadap masyarakat di sekitarnya, sehingga dapat mewujudkan adanya keserasian dan keseimbangan. Undang-undang kepariwisataan yang bersifat nasional dan menyeluruh sangat diperlukan sebagai dasar hukum dalam rangka pembinaan dan penyelenggaraan kepariwisataan, khususnya yang menyangkut objek dan daya tarik wisata, usaha pariwisata, peran serta masyarakat, serta pembinaannya. Undang-undang ini memberikan ketentuan yang bersifat pokok dalam penyelenggaraan kepariwisataan, sedangkan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Terkait dengan pengembangan suatu daerah tujuan wisata, Butler (1980) seperti yang dikutip oleh Pitana dan Gayatri (2005) membagi perkembangan suatu destinasi (DTW) yang dikenal dengan istilah destination area life cycle menjadi tujuh fase yang bersifat siklik, yaitu: eksplorasi, keterlibatan, pembangunan, konsolidasi, stagnasi, penurunan, dan peremajaan.

1. Ekplorasi (exploration) atau penemuan

Daerah tujuuan wisata baru mulai ditemukan dan dikunjungi secara terbatas dan sporadis, khususnya bagi wisatawan petualang. Pada tahap ini terjadi kontak yang tinggi antara wisatawan dengan masyarakat lokal karena wisatawan menggunakan fasilitas lokal yang sudah tersedia. Karena jumlah yang terbatas dan frekuensi yang jarang maka dampak sosial-budaya dan sosial-ekonomi pada tahap ini masih sangat kecil.


(25)

2. Keterlibatan (involvement)

Dengan meningkatnya jumlah kunjungan, maka sebagian masyarakat lokal mulai menyediakan berbagai fasilitas yang memang khusus diperuntukkan bagi wisatawan. Kontak antara wisatawan dengan masyarakat lokal masih tinggi dan masyarakat sudah mulai mengubah pola-pola sosial yang ada untuk merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Di sinilah mulainya suatu daerah menjadi destinasi wisata yang ditandai oleh adanya advertensi atau promosi.

3. Pembangunan (development)

Investasi dari luar mulai masuk, serta mulai munculnya pasar pariwisata secara sistematis. Daerah semakin terbuka secara fisik dan advertensi (promosi) semakin intensif. Fasilitas lokal sudah tersisih atau digantikan oleh fasilitas yang benar-benar touristik dengan standar internasional dan atraksi buatan sudah mulai dikembangkan. Berbagai barang dan jasa impor sudah menjadi keharusan termasuk tenaga kerja asing untuk mendukung perkembangan industri pariwisata yang pesat.

4. Konsolidasi (consolidation)

Pariwisata sudah dominan dalam struktur ekonomi daerah dan dominasi ekonomi ini dipegang oleh jaringan internasional atau major chains and franchises. Jumlah kunjungan wisatawan masih naik tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Pemasaran semakin gencar dan diperluas, untuk mengisi berbagai fasilitas yang sudah dibangun. Fasilitas lama sudah mulai ditinggalkan atau tidak laku.

5. Stagnasi (stagnation)

Kapasitas berbagai faktor telah terlampaui (di atas dukung carrying capacity), sehingga menimbulkan masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kalangan industri sudah mulai bekerja berat untuk memenuhi kapasitas dan fasilitas yang dimiliki khususnya dengan mengharapkan repeater guests atau wisata konvensi/bisnis. Pada fase ini, atraksi buatan sudah mendominasi atraksi asli alami (baik budaya maupun alam), citra awal sudah meluntur dan destinasi tidak lagi popular.


(26)

6. Penurunan (decline)

Wisatawan sudah beralih ke destinasi baru atau pesaing dan yang tinggal hanya „sisa-sisa‟, khususnya wisatawan yang datang untuk berakhir pekan. Banyak fasilitas wisata sudah beralih atau dialihkan fungsinya untuk kegiatan non-pariwisata sehingga destinasi semakin tidak menarik bagi wisatawan. Pariwisata lokal mungkin meningkat lagi, terkait dengan harga yang merosot turun dengan melemahnya pasar. Destinasi bisa berkembang menjadi destinasi kelas rendah (a tourism slum) atau sama sekali secara total kehilangan diri sebagai destinasi wisata.

7. Peremajaan (rejuvenation)

Perubahan secara dramatis bisa terjadi (sebagai hasil dari berbagai usaha dari berbagai pihak), menuju perbaikan atau peremajaan. Peremajaan ini bisa terjadi karena adanya inovasi dalam pengembangan produk baru atau menggali dan memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya yang sebelumnya belum dimanfaatkan.

2.1.2. Dampak Pengembangan Pariwisata

Pariwisata sebagai suatu kegiatan secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa dampak terhadap masyarakat setempat. Dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata mencakup: dampak terhadap sosial-ekonomi, dampak terhadap sosial-budaya, dan dampak terhadap lingkungan (Pitana dan Gayatri, 2005).

1. Dampak terhadap sosial dan ekonomi

Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen, 1984 dalam Pitana dan Gayatri, 2005), yaitu: dampak terhadap penerimaan devisa, dampak terhadap pendapatan masyarakat, dampak terhadap kesempatan kerja, dampak terhadap harga-harga, dampak terhadap distribusi manfaat atau keuntungan, dampak terhadap kepemilikan dan kontrol, dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dampak terhadap pendapatan pemerintah. Pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu memberikan dampak


(27)

positif diantaranya: peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak dan keuntungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya. Selain dampak positif terdapat juga dampak negatif dari pembangunan pariwisata, diantaranya: semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat, memburuknya kesenjangan antar daerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi, munculnya neo-kolonialisme, dan sebagainya.

2. Dampak terhadap sosial dan budaya

Pizam dan Milman (1984) dalam Pitana dan Gayatri (2005) mengklasifikasikan dampak pariwisata terhadap sosial-budaya menjadi enam, yaitu: dampak terhadap aspek demografis (jumlah penduduk, umur, perubahan piramida kependudukan), dampak terhadap mata pencaharian (perubahan pekerjaan, distribusi pekerjaan), dampak terhadap aspek budaya (tradisi, keagamaan, bahasa), dampak terhadap transformasi norma (nilai, norma, peranan seks), dampak terhadap modifikasi pola konsumsi (infrastruktur, komoditas) dan dampak terhadap lingkungan (polusi, kemacetan lalu lintas). Sifat dan bentuk dari dampak sosial-budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pitana (1999) dalam Pitana dan Gayatri (2005) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang ikut menentukan dampak sosial-budaya tersebut antara lain: jumlah wisatawan (baik absolut maupun relatif terhadap jumlah penduduk lokal), objek dominan yang menjadi sajian wisata dan kebutuhan wisatawan terkait dengan sajian tersebut, sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan (apakah alam, situs arkeologi, budaya kemasyarakatan, dan lainnya), struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di daerah tujuan wisata, perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal dan laju atau kecepatan pertumbuhan pariwisata.


(28)

3. Dampak terhadap lingkungan

Dampak pengembangan pariwisata menurut Yoeti (2008), antara lain: pembuangan sampah sembarangan (selain menyebabkan bau tidak sedap, juga membuat tanaman disekitarnya mati); pembuangan limbah hotel, restoran, dan rumah sakit yang merusak air sungai, danau atau laut; kerusakan terumbu karang sebagai akibat nelayan tidak lagi memiliki pantai untuk mencari ikan, karena pantai telah dikaveling untuk membangun hotel dan restoran. Akibatnya para nelayan membom terumbu karang dan pada akhirnya tidak ada lagi daya tarik pantai; perambahan hutan dan perusakan sumber-sumber hayati yang tidak terkendali sehingga menyebabkan hilangnya daya tarik wisata alam.

2.1.3. Konversi Lahan

Sitorus (2002) mengemukakan bahwa lingkup agraria terdiri dari dua yaitu objek agraria dan subjek agraria. Objek agraria adalah sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik dan subjek agraria adalah pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Tanah sebagai salah satu jenis sumber agraria merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan menjadi faktor produksi yang penting bagi usahatani. Pandangan tanah sebagai sumberdaya dalam pertanian dapat juga dihat dari arti penting tanah bagi pemanfaat hasil-hasil pertanian. Petani memerlukan tanah untuk lahan usaha tani. Pada umumnya, petani yang akses terhadap sumberdaya tanah berpenghasilan dari sektor pertanian. Namun, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan ini menyebabkan konversi lahan sulit untuk dihindari.

Menurut Sihaloho (2004) konversi lahan adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian. Dua faktor penting yang mempengaruhi konversi lahan ini adalah pertumbuhan industri dan pemukiman yang secara terus-menerus akan mengalami perubahan dengan laju konversi yang tinggi. Hal ini juga diikuti dengan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha


(29)

swasta dan pemerintah itu sendiri. Faktor keberpihakan ini akan berimplikasi pada menurunnya hasil (produksi) pertanian. Faktor lainnya yaitu pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, marginalisasi ekonomi atau kemiskinan ekonomi. Konversi pada lahan pertanian dapat berimplikasi terhadap berbagai aspek seperti aspek sosial ekonomi, politik, dan sosial budaya yang juga terkait dengan kesejahteraan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pengertian lain dari konversi lahan juga dinyatakan oleh Utomo (1992) yakni perubahan penggunaan lahan oleh manusia yang dapat bersifat permanen dan juga bersifat sementara. Dikatakan bersifat tidak permanen jika lahan sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu karena pada tahun berikutnya dapat dijadikan sawah lagi. Namun, jka lahan sawah berubah menjadi kawasan pemukiman maka konversi ini bersifat permanen dan biasanya memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan konversi yang bersifat tidak permanen. Secara empiris menurut Iqbal dan Sumaryanto (2007), lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi lahan adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh: (1) kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga tinggi; (2) daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; (3) akibat pola pembangunan dimasa sebelumnya, infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering; dan (4) pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainyya cenderung berlangsung cepat di wilayah dengan topografi seperti itu ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.

Alih fungsi lahan merupakan keputusan dari pengguna lahan oleh masyarakat. Jayadinata (1992) menyatakan bahwa faktor penentu dalam penggunaan lahan bersifat sosial, ekonomi, dan kepentingan umum. Perilaku masyarakat menjadi penentu dalam penggunaan lahan karena terdapat nilai-nilai sosial dalam hubungan dengan penggunaan lahan yaitu yang berhubungan dengan kebiasaan, sikap moral, pantangan, pengaturan pemerintah, peninggalan kebudayaan, pola tradisional, dan sebagainya. Penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi. Dalam kehidupan


(30)

ekonomi, daya guna dan biaya adalah merupakan pertimbangan penting. Kepentingan umum juga merupakan penentu dalam penggunaan lahan. Kepentingan umum ini meliputi: kesehatan, keamanan, moral, kemudahan, keindahan, kenyamanan, dan sebagainya.

Proses alih fungsi lahan yang terjadi, menurut Winoto (1995) dipengaruhi oleh dua faktor yaitu sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan sistem non kelembagaan. Kedua faktor tersebut diperkuat juga oleh strategi pembangunan wilayah yang bias terhadap pembangunan perkotaan dengan basis ekonomi yang bertumpu pada pembangunan industri. Strategi ini menyebabkan terpusatnya investasi pedesaan ke sektor perkotaan, sedangkan sektor pedesaan hanya mendapat imbas dari perekonomian kota.

2.1.4. Ruang Lingkup Irigasi

Irigasi sebagai suatu sistem tidaklah bersifat mandiri, tetapi selalu berkaitan dengan sistem lainnya yang lebih luas. Sebagai unit produksi, sistem irigasi merupakan salah satu subsistem dari suatu wilayah pertanian. Sebagai unit hidrologis, irigasi merupakan subsistem dari daerah aliran sungai. Sesuai dengan hakekat yang demikian, penyusunan perencanaan, kebijaksanaan, dan pengelolaan sistem irigasi memerlukan masukan dari berbagai disiplin untuk menjamin adanya keserasian antara sasaran-sasaran dan tujuan pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun dari masyarakat petani.

Irigasi oleh Vaughn et.al (19920 didefinisikan sebagai pengunaan air pada tanah untuk keperluan penyediaan cairan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanam-tanaman. Adapun juga definisi yang paling umum dan termasuk sebagai irigasi adalah penggunaan air pada tanah untuk setiap jumlah delapan kegunaan yakni:

1. Menambah air ke dalam tanah untuk menyediakan cairan yang diperlukan untuk pertumbuhan tanam-tanaman.

2. Untuk menyediakan jaminan panen pada saat musim kemarau yang pendek. 3. Untuk mendinginkan tanah dan atmosfir sehingga menimbulkan lingkungan


(31)

4. Untuk mengurangi bahaya pembekuan.

5. Untuk mencuci atau mengurangi garam dalam tanah. 6. Untuk mengurangi bahaya erosi tanah.

7. Untuk melunakkan pembajakan dan gumpalan tanah.

8. Untuk memperlambat pembentukan tunas dengan pendinginan karena penguapan.

Keadaan lingkungan air merupakan determinan yang paling penting dari pengelolaan irigasi. Oleh karena itu, pemberian air irigasi dapat dilakukan dalam lima cara, yaitu: (1) dengan penggenangan, (2) dengan menggunakan alur, besar atau kecil, (3) dengan menggunakan air di bawah permukaan tanah melalui sub irigasi, sehingga menyebabkan permukaan air tanah naik, (4) dengan penyiraman (springkling), atau (5) dengan sistem cucuran (trickle).

Peraturan Pemerintah (PP) No.23/1982 Pasal 1, menyatakan tentang pengertian irigasi, bangunan irigasi, daerah irigasi, dan petak irigasi telah dibakukan sebagai berikut:

a. Irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian.

b. Jaringan irigasi adalah saluran dan bangunan yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan pengambilan, pembagian pemberian dan penggunaannya. Terdapat juga konsep lain dari jaringan irigasi yaitu prasarana irigasi yang pada pokoknya terdiri dari bangunan dan saluran pemberi air pengairan beserta perlengkapannya (Kartasapoetra, 1994).

c. Daerah irigasi adalah kesatuan wilayah yang mendapat air satu jaringan irigasi.

d. Petak irigasi adalah petak tanah yang memperoleh air irigasi.

Berdasarkan beberapa cakupan pengertian tentang irigasi dan jaringan irigasi tersebut di atas, maka disusun suatu rumusan pengertian irigasi yaitu suatu bentuk kegiatan penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian dan


(32)

penggunaan air untuk pertanian dengan menggunakan satu kesatuan saluran dan bangunan berupa jaringan irigasi (Pusposutardjo, 2001).

Irigasi dalam proses penyediaan dan distribusi air didukung oleh sarana dan prasarana irigasi yaitu berupa jaringan irigasi. Jaringan irigasi dapat digolongan menjadi dua bagian berdasarkan pengelolaannya yaitu jaringan irigasi utama dan jaringan irigasi tersier (Kartasapoetra, Sutedjo, & Pollein, 1994).

a. Jaringan irigasi utama

Meliputi bangunan bendung, saluran-saluran primer dan sekunder termasuk bangunan-bangunan utama dan pelengkap, saluran pembawa dan saluran pembuang. Bangunan utama merupakan bangunan yang mutlak diperlukan bagi eksploitasi, meliputi bangunan pembendung, bangunan pembagi dan bangunan pengukur. Bangunan bendung berfungsi agar permukaan air sungai dapat naik dengan demikian memungkinkan untuk disalurkan melalui pintu pemasukan ke saluran pembawa. Bangunan pembagi berfungsi agar air pengairan dapat didistribusikan di sepanjang saluran pembawa (saluran primer) ke lahan-lahan pertanaman melalui saluran sekunder dan saluran tersier. Terdapat juga bangunan ukur yang berfungsi mengukur debit air yang masuk ke saluran pembawa, dengan demikian distribusi air pengairan ke lahan-lahan pertanaman melalui saluran-saluran sekunder dan saluran tersier dapat terkontrol dengan baik, sesuai dengan pola pendistribusian air pengairan yang telah dirancang.

b. Jaringan irigasi tersier

Merupakan jaringan air pengairan di petak tersier, mulai air keluar dari bangunan ukur tersier, terdiri dari saluran tersier dan kuarter termasuk bangunan pembagi tersier dan kuarter, serta bangunan pelengkap lainnya yang terdapat di petak tersier.

2.1.5. Irigasi Tradisional Subak

Sistem irigasi pertanian di Bali dikelola oleh suatu lembaga yang disebut subak. Subak merupakan salah satu kelembagaan yang telah terbukti evektivitasnya dalam menyangga pembangunan pertanian Bali. Sejarah irigasi


(33)

yang panjang telah memberi kesempatan bagi petani untuk menumbuhkan kelembagaan pengelola air irigasi. Apabila sarana fisik sebuah jaringan irigasi merupakan “perangkat kerasnya” maka lembaga tersebut merupakan “perangkat lunaknya” yang mutlak diperlukan untuk mengelola air irigasi (Setiawan, 1995). Subak dengan kearifan lokalnya senantiasa berupaya dan berusaha untuk memecahkan segala masalah yang di hadapi dengan tujuan agar mencapai tujuan hidup yakni kesejahteraan lahir dan batin. Hal ini sesuai dengan dengan ajaran hindu “Moksartham Jagadhitaya Ca Iti Dharmah” yang artinya tujuan agama Hindu mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin.

Subak adalah masyarakat hukum adat Bali yang bersifat sosio-agraris-religius, yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus sebagai suatu organisasi di bidang pengaturan air dan lain-lain persawahan dari suatu sumber di dalam suatu daerah1. Selanjutnya, dijelaskan juga pengertian subak yang lain yaitu “subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosio agraris religius yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai suatu organisasi di bidang tata guna air di tingkat usaha tani2. Berdasarkan definisi tersebut, lebih lanjut subak dapat dijelaskan sebagai suatu lembaga irigasi tradisional bersifat sosio-teknis-religius dan terdiri dari kumpulan petani-petani pemakai air irigasi yang sawahnya terikat dari satu aliran sungai. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah subak hanya didasarkan pada hamparan sawah yang menerima air dari satu aliran air dan sangat dipengaruhi oleh lokasi, perbedaan topografi, sumber air, keadaaan tanah, jumlah anggota, keadaan sosial, ekonomi, dan tradisi setempat. Oleh karena itu, subak tidak berkaitan dengan batas-batas wilayah administrasi desa ataupun kecamatan.

Penyelenggaran kegiatan-kegiatan pada subak bersifat otonom sehingga subak tidak mempunyai kaitan dengan perintah dan tidak bertanggung jawab terhadap kepala desa, lembaga desa, lembaga pemerintah, maupun lembaga desa lainnya. Selain itu, subak juga berlandaskan pada Tri Hita Karana yaitu falsafah hidup yang diyakni oleh masyarakat Bali sebagai tiga hal yang menyebabkan

1

Peraturan Daerah propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1972, Tentang Irigasi

2


(34)

manusia mencapai kesejahteraan, kebahagian dan kedamaian3. Tiga hal tersebut terdiri dari: (1) parhyangan, yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan; (2) pawongan, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia; dan (3) palemahan, yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya.

Nilai-nilai Tri Hita Karana pada masyarakat subak diwujudkan dalam tiga komponen yaitu (1) aspek budaya yang meliputi kegitan-kegiatan keagamaan dan pola pikir anggota subak dalam pengelolaan irigasi; (2) aspek sosial yang meliputi penyediaan dan distribusi air, kepengurusan subak, dan awig-awig; (3) aspek artefak atau kebendaan yang meliputi sarana dan prasarana irigasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Hita Karana merupakan pilar penting untuk mempertahankan keberlanjutan subak.

Subak dalam pengelolaan sumber daya air, memiliki seperangkat aturan yang disusun dan ditentukan secara musyawarah dan bersifat mengikat bagi anggotanya. Peraturan dalam subak disebut awig-awig yaitu berisi tentang aturan-aturan terkait dengan tata kelakuan dan hukuman atas tindakan-tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota subak. Pelanggaran yang terjadi akan disampaikan kepada kelian subak dan hukuman selanjutnya akan ditetapkan pada pertemuan berikutnya. Umumnya pelanggaran yang timbul berkaitan dengan keterlambatan datang pada suatu pekerjaan subak, sama sekali tidak datang, datang tanpa membawa alat yang dibutuhkan, serta pencurian air. Hukuman dari setiap pelanggaran yang dibuat biasanya berupa denda. Peraturan mengenai waktu menanam juga termuat dalam “awig-awig” subak yang disebut “kerta mase” yakni peraturan subak tentang penertiban penanaman di sawah menurut masa atau musim yang ditetapkan oleh subak (Arya, 1980 dalam Suyatna, 1982).

Berdasarkan penelitian Grader (1960) dalam Ambler (1991) menyebutkan bahwa subak mempunyai dua kewajiban utama subak yaitu: pekaryan dan penyubaktian. Pekaryan merupakan kewajiban di luar keagamaan antara lain; membuat, memelihara dan memperbaiki bendungan, terowongan, saluran air dan juga jalan subak. Penyubaktian merupakan kewajiban yang ada hubungannya dengan keagamaan antara lain; membuat sesajen dan sembayang di pura subak.

3


(35)

Selain dua kewajiban utama tersebut, subak juga memiliki fungsi dalam hal perolehan air, alokasi air, pengadaan sumber daya, dan menyelesaikan berbagai perselisihan atau konflik yang terjadi.

Selain memiliki seperangkat aturan, subak juga memiliki struktur kepengurusan. Susunan pengurus pada setiap subak berbeda-beda. Perbedaan susunan pengurus ini disesuaikan dengan kebutuhan subak. Semakin besar anggota subak, semakin luas sawahnya, dan semakin menyebar tempat tinggal anggota maka pengurus subak juga semakin banyak. Adapun struktur kepengurusan subak terdiri dari: pekaseh atau kelian (ketua), kelian tempek, kesinoman (juru arah), dan kerama subak (anggota). Gabungan dari beberapa subak atau beberapa tempek disebut Subak Gede dan ketuanya disebut Kelian Gede. Penggabungan biasanya terjadi karena air yang diperoleh berasal dari satu sumber.

2.1.6. Kelembagaan

Umumnya kelembagaan sering diartikan sebagai organisasi yang dalam banyak hal dapat merancukan pengertian yang sebenarnya dari kelembagaan tersebut, seperti yang dipaparkan oleh Schmid (1978) dalam Tonny (2004) bahwa kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggungjawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu. Kelembagaaan mengarahkan perilaku individu dan masyarakat agar sejalan dengan tujuan umum (publik) yang ditetapkan.

Secara lebih khas kelembagaan dapat dipahami sebagai sistem pengorganisasian dan kontrol terhadap sumberdaya yang merupakan gugus kesempatan bagi pelaku yang mendukung kelembagaan tersebut dalam melaksanakan aktifitasnya. Kelembagaan seperti ini dicirikan oleh batas yuridiksi, property rights, dan aturan representasi. Batas yuridiksi diartikan sebagai wilayah


(36)

kekuasaan atau batas wewenang (otoritas) yang dimiliki suatu kelembagaan. Perubahan batas yuridiksi ditentukan oleh perasaan se-komunitas, eksternalitas, homogentitas, dan skala ekonomi. Ciri property rights dipahami sebagai suatu hukum, adat, dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar orang dan antar organisasi sosial terhadap sumberdaya. Sedangkan aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut.

Rintuh (2003) juga memaparkan tentang pendapat para ahli bahwa kelembagaan dapat diartikan sebagai suatu norma atau kaidah peraturan atau organisasi yang memudahkan koordinasi dalam membentuk harapan masing-masing yang mungkin dapat dicapai dengan saling bekerja sama. Kelembagaan yang dimaksud meliputi semua lembaga sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain baik dalam bentuk organisasi maupun tradisi dan pranata yang terdapat dalam masyarakat yang terdiri dari unsur publik, swasta, dan lembaga swadaya.

Pengertian kelembagaan didefinisikan juga oleh Koendjoroningrat (1965) sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada serangkaian aktifitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam masyarakat. Definisi tersebut menekankan pada tata kelakuan yang mencakup norma-norma dan perilaku yang terus menerus mendukung pencapaian tujuan-tujuan tertentu yang bernilai secara kolektif. Sistem norma yang mengatur hidup dengan tujuan tertentu apabila diwujudkan dalam hubungan antar manusia disebut organisasi.

Sejalan dengan hal tersebut, Norman Uphoff (1986) dalam Tonny (2004) menyebutkan bahwa organisasi merupakan bentuk dari institusi pada tingkat tata kelakuan dalam kehidupan sehari-hari yang ditandai dengan adanya peranan dan struktur, sementara yang lainnya tampil dengan pengaruh-pengaruh abstrak. Institusi sebagai kompleks norma-norma dan perilaku yang muncul sepanjang waktu dengan melayani tujuan-tujuan yang khusus dan penting dapat berbentuk kongkrit dan spesifik. Uphoff juga membedakan antara institusi dan organisasi dalam pengertian institusi yang bukan organisasi (seperti: hak ulayat,


(37)

perkawinan), institusi yang sekaligus organisasi (seperti: Bank Central Asia, Asosiasi), dan organisasi yang bukan institusi (sepeti: Organisasi Atletik).

Berdasarkan beberapa pengertian kelembagaan yang telah dipaparkan tersebut, kelembagaan yang akan menjadi fokus kajian ialah terkait dengan kelembagaan irigasi baik kelembagaan irigasi sebagai suatu pranata maupun kelembagaan irigasi sebagai suatu organisasi yang ditandai dengan adanya peranan dan struktur. Pada bidang irigasi telah dikenal berbagai lembaga baik yang bersifat tradisional seperti subak di Bali, ulu-ulu atau ili-ili di Jawa, raksabumu, ngalambang, penganir atau centeng di Jawa Barat maupun kelompok tani yang baru dikembangkan oleh pemerintah.

Menurut Robert Chambers (1977) dalam Kalo (1979) suatu lembaga pengairan harus mempunyai 4 fungsi yaitu: (1) menentukan keputusan strategis tentang penggunaan air irigasi yang meliputi: waktu pemberian, jumlah air yang dialokasikan, areal yang perlu diprioritaskan, tanaman yang akan ditanam dan pemeliharaan saluran irigasi, (2) melaksanakan keputusan-keputusan yang telah ditentukan, (3) mengawasi kelancaran air yang telah dialokasikan, dan (4) melakukan pengamanan serta penuntutan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pemakaian air irigasi. Dilihat dari fungsi dan pengertiannya suatu lembaga pengairan baik yang sederhana maupun kompleks harus mempunyai kemampuan mengorganisir anggota-anggotanya dalam pengelolaan pengairan yang ada seefisien mungkin.

Konsep kelembagaan yang telah dipaparkan tersebut di atas, dalam sistem subak dibedakan menjadi dua bagian yakni kelembagaan dalam bentuk aturan-aturan dan kelembagaan dalam bentuk struktur yang terdiri dari berbagai peran di dalamnya. Aturan yang dimaksud dalam hal ini adalah “awig-awig” sebagai pedoman bagi setiap anggota subak dan struktur yakni kepengurusan yang terdapat dalam subak terkait dengan peran serta tugas dan tanggung jawab setiap anggota.


(38)

2.2. Kerangka Pemikiran

Pariwisata sebagai penggerak perekonomian Bali, dalam perkembangan dan pengembangannya memiliki dampak terhadap aspek kehidupan masyarakat khususnya masyarakat sekitar objek wisata. Banyaknya kunjungan wisatawan secara tidak langsung menuntut adanya pemenuhan sarana dan prasarana yang mampu mendukung terselenggaranya kegiatan pariwisata. Hal ini tentunya akan berdampak pada sektor pertanian dalam hal terjadinya konversi lahan, fragmentasi lahan dan pola mata pencaharian. Dampak pariwisata terhadap sektor pertanian ini, selanjutnya akan mempengaruhi keberlanjutan dari sistem subak yang ditinjau dari kelembagaan subak, jumlah keanggotaan subak dan pengelolaan jaringan irigasi. Selain sektor pariwisata, keberlanjutan sistem subak juga dipengaruhi oleh komponen budaya, sosial, dan artefak. Hal ini karena ketiga komponen tersebut merupakan perwujudan dari nilai-nilai Tri Hita Karana yang merupakan pilar penting untuk mempertahankan keberlanjutan dan kelestarian subak.

Alur kerangka pemikiran yang menggambarkan dampak pengembangan pariwisata terhadap keberlanjutan subak, secara ringkas dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Keterangan: hubungan pengaruh

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Keberlanjutan Subak

- Kelembagaan subak - Jumlah keanggotaan

subak

- Pengelolaan jaringan

irigasi

Sektor Pertanian

- Konversi Lahan - Fragmentasi Lahan - Pola mata

pencaharian

Pariwisata

- Jumlah wisatawan - Jumlah sarana dan

prasarana wisata

Artefak

- Ketersedian jaringan

irigasi

- Ketersediaan air

Budaya

- Pola pikir dalam

pembagian air irigasi

- Kegiatan keagamaan

Sosial

- Kepengurusan subak

- Penyediaan dan distribusi air irigasi - awig-awig


(39)

2.3. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan tersebut, hipotesis penelitian yang diajukan adalah pariwisata di Bali berdampak terhadap keberlanjutan Subak Embukan di Desa Ababi ditinjau dari segi kelembagaan, jumlah keanggotaan subak, dan pengelolaan jaringan irigasi.

2.4. Definisi Operasional

Untuk mengukur variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka dikemukakan rumusan batasan serta operasionalisasi dari masing-masing variabel tersebut. Adapun variabel-variabel yang akan dioperasionalkan adalah:

1. Jumlah wisatawan adalah banyaknya pengunjung objek wisata dengan motivasi tertentu seperti memperoleh kesenangan, kepuasan, pengujian, observasi, dan penelitian (Barika, 2009). Banyaknya jumlah kunjungan wisatawan akan diukur dalam rentang waktu tiga tahun.

2. Jumlah sarana dan prasarana wisata adalah banyaknya fasilitas, infrastruktur dan atau pelayanan umum yang dibangun untuk mendukung kegiatan pariwisata.

3. Konversi lahan pertanian adalah kecepatan transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari pemanfaatan untuk sawah menjadi pemanfaatan non-sawah (Budiman, 2009). Konversi lahan akan diukur dalam hektar per tahun.

4. Fragmentasi lahan adalah banyaknya petani anggota subak yang melakukan pembagian tanah yang disebabkan oleh sistem pewarisan, jual-beli, hibah, persewaan dan penyakapan (Wastutiningsih dan Subejo, 2004). Fragmentasi lahan akan diukur dalam hektar per tahun.

5. Pola mata pencaharian adalah banyaknya anggota yang melakukan nafkah ganda atau bekerja selain sebagai petani pada sektor pariwisata.

6. Kelembagaan subak adalah perubahan norma atau nilai atau aturan-aturan yang berlaku dalam sistem subak (Syahyuti, 2006).


(40)

7. Jumlah keanggotaan subak adalah banyaknya anggota subak yang tidak lagi tergabung dalam subak dalam rentang waktu lima tahun.

8. Pengelolaan jaringan irigasi adalah frekuensi kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi.


(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian yang dilakukan berlokasi di Bali tepatnya di Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan salah satu lokasi yang subaknya telah terkena dampak dari pengembangan pariwisata. Lokasi yang menjadi tempat penelitian yaitu Subak Embukan yang merupakan satu-satunya subak di Desa Ababi yang secara langsung berdampingan atau mengililingi kawasan objek wisata di desa tersebut. Pengumpulan data dilakukan sejak bulan April sampai Mei 2011. Pengolahan data dan hasil penulisan laporan dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2011.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan didukung oleh data kuantitatif. Penelitian kualitatif digunakan untuk menerangkan dan memberikan pemahaman secara mendalam mengenai suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali berbagai realitas dan proses sosial yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian.

Pengambilan data kualitatif diperoleh dengan melakukan observasi langsung dilapangan, wawancara mendalam, dan dokumen tertulis. Data-data yang terkumpul akan disusun secara sisitematis dan apa adanya dalam bentuk catatan harian tanpa unsur analisis di dalamnya. Catatan harian merupakan data mentah yang nantinya akan diolah dan dianalisis untuk penarikan kesimpulan.

Data kuantitatif diperoleh dengan metode survei menggunakan kuesioner untuk mencari informasi faktual secara detail tentang hal-hal yang sedang menggejala dan mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan (Wahyuni dan Muljono 2009). Metode survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu


(42)

populasi dan bertujuan untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variable melalui pengujian hipotesa atau explanatory research (Singarimbun dan Effendi 1989).

Teknik dan metode pengumpulan data di lapangan secara lebih jelas akan ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Konsep Variabel Metode Pengumpulan Data

Pariwisata

- Jumlah wisatawan - Pengumpulan data sekunder di tingkat kabupaten dan kecamatan

- Jumlah sarana dan prasarana wisata

- Pengumpulan data sekunder di tingkat kecamatan dan desa

Sektor pertanian

- Konversi lahan

- Pengumpulan data primer menggunakan kuesioner

- Respondennya adalah anggota petani subak di Desa Sidemen

- Fragmentasi lahan

- Pola mata pencaharian

Keberlanjutan subak

- Kelembagaan subak yaitu nilai-nilai atau aturan yang berlaku dalam subak

- Jumlah keanggotaan subak

- Pengelolaan jaringan irigasi

Budaya

- Pola pikir dalam pembagian air irigasi

- Pengumpulan data primer melalui wawancara mendalam dan observasi

- Pengumpulan data sekunder yang diperoleh melalui dokumen tertulis dan studi literatur dari hasil penelitian-penelitian ilmiah terdahulu

- Sumber utama informasi adalah pengurus subak

- Kegiatan keagamaan

Sosial

- Kepengurusan subak

- Penyediaan dan distribusi air irigasi

- Awig-awig

Artefak

- Ketersediaan jaringan irigasi

- Ketersediaan air irigasi

Gambar 2. Matriks Konsep, Variabel dan Metode Pengumpulan Data

Banyaknya responden yang dipilih dalam penelitian ini yaitu berjumlah 30 orang yang dijumpai peneliti pada saat melakukan pengambilan data di lapangan. Responden tersebut merupakan anggota petani yang tergabung dalam Subak


(43)

Embukan. Unit analisis dalam pengambilan data kuantitatif adalah individu yaitu anggota petani subak. Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi responden dan informan. Informan yang dipilih dalam penelitian ini meliputi para kelian subak atau pengurus subak dan tempek serta pihak Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) Dinas Pertanian Kecamatan Abang.

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner, wawancara mendalam dan observasi. Data sekunder diperoleh melalui dokumen tertulis yang diperoleh dari lokasi penelitian, seperti: peta lokasi, data potensi desa dan data lainnya yang dapat memberikan informasi terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Selain itu, pengumpulan data kualitatif juga diperoleh melalui studi literatur seperti buku, tesis, disertasi, skripsi dan hasil penelitian terdahulu lainnya.

3.3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data kualitatif dilakukan dengan menyusun semua data mentah dengan sistematis dan selanjutnya dinalisis dalam bentuk teks naratif sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk pengolahan data kuantitaif, hasil pengumpulan data melalui kuesioner kemudian di editing untuk meneliti kembali apakah data tersebut sudah cukup siap untuk diklasifikasi dan diolah lebih lanjut. Data-data kuantitatif tersebut, kemudian dimasukkan ke lembar penyimpanan data dalam Microsoft Excel 2007. Data yang telah diolah, selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel atau diagram dengan tujuan untuk memberikan informasi yang dapat mendukung data kualitatif yang telah diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi. Hasil analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan untuk menjawab tujuan penelitian.


(44)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Profil Desa Ababi 4.1.1. Sejarah Desa Ababi

Nama asli Desa Ababi dalam Purana Desa Adat Ababi adalah “Karaman Ihara Babi.” Sejak zaman kerajaan di Bali, sebagian dari lembaran purana tersebut hilang sehingga hanya tersisa tiga lembar. Kini satu di antara tiga lembar purana tersebut telah pecah. Purana merupakan kumpulan cerita kuno yang terkumpul dari kalangan rakyat yang mengisahkan kehidupan para Dewa tentang penciptaan semesta. Purana desa ini terbuat dari tembaga dengan tulisan huruf Bali kuno atau para huruf Bali. Berdasarkan penelitian Dinas Kepurbakalan terhadap purana tersebut pada bulan Agustus tahun 1980, diperkirakan bahwa Desa Adat Ababi telah berdiri sejak zaman pemerintahan Raja Sri Anaka Wungsu di Bali. Mengacu pada Purana Desa Adat Ababi, nama Desa Ababi yakni “Karaman Ihara Babi” memiliki beberapa pengertian yakni:

 Karaman yang artinya masyarakat atau krama

 Ihara yang artinya pohon eha (sejenis pohon penghijauan yang tumbuh di lereng-lereng tebing)

 Babi yang artinya buah pohon eha yang bernama buah babi

Berdasarkan ketiga pengertian tersebut maka “Karaman Ihara Babi memiliki arti sebagai masyarakat yang bernaung di bawah pohon eha yang sedang berbuah. Pohon eha ini juga memiliki hubungannya dengan cerita mata air eha yang terdapat di Desa Ababi atau juga terkait dengan pertama kalinya masyarakat Ababi tiba dan bermukim di bawah pohon eha yang sedang berbuah.

Asal-usul nama Desa Ababi sendiri juga berasal dari tiga kata yaitu “Karaman Ihara Babi”. Karaman yang berarti masyarakat, Hara yang berarti pohon eha, dan Babi yang berarti buah eha, kemudian oleh masyarakat disebut dengan Hara Babi atau Eha Babi yang selanjutnya menjadi Ababi.

Purana Desa Ababi menceritakan bahwa Raja Bali pernah mengutus “pakiran-kiran” (tim peneliti) untuk meneliti laporan Prajuru Desa Adat Ababi


(45)

yang memohon bebas upeti. Setibanya di Desa Ababi, pakiran-kiran yang dipimpin oleh Dang Acarya Kuturan Lembu Kara langsung mengadakan penelitian dan sesuai dengan laporan Prajuru Desa akhirnya Desa Ababi di bebaskan dari upeti. Raja Bali juga memerintahkan agar masyarakat Desa Ababi tetap berhati-hati dalam bercocok tanam serta tetap melaksanakan pemberantasan hama secara berkala niskala. Desa Adat Ababi hingga saat ini masih melaksanakan perintah Raja Bali tersebut, yaitu mengadakan Upacara Palebon Jero Ketut (pengabenan tikus). Upacara tersebut bertujuan untuk memberantas tikus-tikus dan kemudian tikus tersebut diupacarakan (ngaben) dengan maksud untuk mengembalikan ke alam aslinya.

Selain cerita tersebut di atas, dalam Purana Desa Adat Ababi diceritakan juga bahwa konon pada zaman dahulu kala Dewi kemakmuran yaitu Betara Dewi Dabuh pernah memberikan suatu anugrah suci kepada wong (orang-orang) Desa Ababi setelah sebelumnya Ida Betara melewati beberapa Desa seperti Tianyar, Culik, dan Abang. Dikisahkan dalam perjalanannya, Ida Betara membawa sebungkus air yang dibungkus dengan daun kumbang sejenis daun talas. Setelah tiba di Desa Ababi, sebagian besar air tersebut akan ditumpahkan oleh Ida Betara dengan syarat harus dilakukannya upacara “Bukakak Kebo Metanduk Emas.” Orang-orang Desa Ababi menyetujui serta menyanggupi permintaan Ida Betara tersebut dan seketika itu juga air tersebut ditumpahkan di bawah pohon Eha sehingga sampai saat ini mata air tersebut di beri nama Air Eha.

Sisa dari air yang telah ditumpahkan di Desa Ababi kemudian dibawa oleh Ida Betara ke Desa Jungutan (Desa Adat Sibetan) dan dengan permintaan serta persyaratan yang sama, Ida Betara menumpahkan air yang berasal dari titisan air. Tempat tersebut kemudian diberi nama Telaga Tiista (Telaga Tista). Daun kumbang sebagai pembungkus air tersebut dilemparkan di atas telaga tista dan sampai saat ini disebut kumbang. Desa Ababi sejak dahulu kala telah memiliki akar kebudayaan yang sangat kuat. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya purana dan awig-awig desa. Desa babi juga telah mengalami pemekaran menjadi lima Desa Adat yaitu Kesimpar, Peladung, Kertasari, Tampuangan dan Jasi. Oleh karena Desa Adat tersebut merupakan bekas wilayah Desa Ababi maka hingga saat ini masih terdapat hubungan kerja atau ikatan antara desa-desa tersebut.


(46)

4.1.2. Lambang Desa Ababi

Berdasarkan Purana Desa Adat Ababi, lambang desa Ababi juga mencerminkan “Karaman Ihara Babi” yang terdiri dari beberapa simbol seperti: perisai dasar lambang segi lima, pohon eha, akar pohon eha, pohon eha bercabang tiga dengan mahkota daun segitiga, kerbau bertanduk mas, mata air, batu besar, api pedupaan dan motto yang mengikat pada lambang. Agar lebih jelas, pada gambar berikut akan ditunjukkan lambang desa Ababi dengan simbol-simbolnya.

Gambar 3. Lambang Desa Ababi

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa lambang tersebut terdiri dari banyak simbol. Namun dari keseluruhan simbol yang ada, terdapat tiga simbol utama yang penting pada lambang tersebut yaitu:

- Pohon eha yang mencirikan masyarakat Ababi pada waktu pertama kalinya diceritakan tiba dan bernaung di bawah pohon eha yang berbuah (Hara Babi)

- Kerbau yang bertanduk emas menanduk tanah sehingga keluar air, merupakan ciri korban suci masyarakat Ababi untuk upacara kemakmuran. Upacara ini dilakukan sebagai wujud ucapan terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kemurahannya mengaruniai air untuk kepentingan kemakmuran bumi.


(47)

- Api pedupaan yang membakar tikus merupakan wujud dari keyakinan memberantas hama secara keyakinan dan ilmiah.

Secara keseluruhan arti dari lambang desa Ababi adalah atas dasar pengayoman dari Pancasila dan UUD 1945 dengan kedamaian masyarakat Ababi bergotong royong membangun desa, memberantas kemelaratan dan musuh-musuh pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebenaran. Lambang dari Desa Ababi telah disepakati dan disyahkan melalui musyawarah desa dalam sidang Lemudes pada tanggal 27 Januari 1981, bertempat di Kantor Perbekel Desa Ababi.

4.1.3. Kondisi Geografis Desa Ababi

Desa Ababi merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem yang memiliki luas wilayah sebesar 1.060.535 hektar dan berada pada ketinggian rata-rata ± 573 meter di atas permukaan air laut dengan suhu minimum sebesar 290c dan suhu minimum sebesar 350c. Desa Ababi juga memiliki curah hujan sebesar 2887,7 milimeter dengan kelembapan udara sebesar 5 – 15 0c.

Wilayah desa Ababi terdiri dari 12 dusun atau banjar, yaitu: Banjar Ababi, Banjar Tanah Lengis, Banjar Besang, Banjar Pikat, Banjar Umanyar, Banjar Gunaksa, Banjar Bias, Banjar Sadimara, Banjar Kuhun, Banjar Abianjero, Banjar Tumpek, dan Banjar Tukad Bungbung. Beberapa nama dusun atau banjar tersebut memiliki persamaan nama dengan beberapa tempat di Klungkung. Hal ini mencirikan bahwa Desa Ababi mempunyai hubungan yang erat dengan Kerajaan Klungkung yakni orang-orang Klungkung yang berpindah ke Desa Ababi yang ditugaskan Kerajaan Bali untuk mengamankan desa pada waktu itu. Selain memiliki dua belas banjar, Desa Ababi juga memiliki satu Desa Adat atau Desa Pakraman Ababi yang terdiri dari: lima Banjar Adat Murwa (Ngarep), tiga Banjar Adat Pemade, dua Banjar Adat Pragunung, dan tiga Desa Adat Sasempalan.

Bentuk wilayah desa ini juga berbeda-beda menurut letaknya. Sebelah utara Desa Ababi merupakan daerah dataran tinggi yang berbatasan langsung dengan Desa Pidpid atau Abang. Sebelah timur adalah daerah dengan tanah berbukit kecil


(48)

yang sebagian besarnya area persawahan dan berbatasan dengan Desa Tiyingtali. Sebelah baratnya adalah daerah datar yang berbatasan dengan Desa Budakeling dan Bhuana Giri. Bagian selatan berbatasan dengan Desa Padangkerta dan merupakan daerah dataran rendah dan sawah. Sedangkan daerah bagian tengah-tengah Desa Ababi berbentuk tanah berbukit kecil (tidak datar).

Jarak pusat pemerintahan Desa Ababi dengan ibu kota Karangasem adalah sekitar tujuh kilometer ke arah utara dari pusat kota Amlapura dan jarak dengan ibukota Denpasar adalah 83 kilometer. Sarana transportasi yang digunakan adalah transportasi darat berupa motor, mobil atau bus. Jika menggunakan kendaraan motor atau mobil, lama waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan dari Denpasar ke Amlapura sekitar 1 jam 40 menit dan dari Amlapura ke Ababi sekitar 15 menit. Sedangkan lama waktu perjalanan jika menggunakan bus atau transportasi umum yakni sekitar 3 jam dari Denpasar ke Amlapura dan sekitar 20 menit dari Amlapura ke Desa Ababi.

4.1.4. Kondisi Demografi Desa Ababi

Desa Ababi memiliki jumlah penduduk sebanyak 9138 jiwa yang terdiri atas penduduk laki-laki sejumlah 4474 jiwa dan penduduk perempuan sejumlah 4664 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2553 jiwa. Pada Tabel 1 diperlihatkan jumlah dan persentase penduduk laki-laki dan perempuan menurut golongan umur. Berdasarkan data yang terdapat pada tabel tersebut, menunjukkan bahwa dari 100 persen jumlah penduduk desa Ababi, sebanyak 40 persen atau sebanyak 3.817 jiwa adalah penduduk dengan golongan umur 16-55 tahun. Penduduk yang termasuk dalam golongan umur tersebut merupakan penduduk dengan usia produktif yakni telah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sebanyak 31 persen adalah penduduk dengan golongan umur diatas 55 tahun, dan 29 persen adalah penduduk dengan golongan usia 0-15 tahun.

Data pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa persentase penduduk laki-laki yang berusia 0-15 tahun lebih kecil dibandingkan dibandingkan dengan persentase penduduk perempuan dengan golongan usia yang sama yakni 27 persen untuk penduduk laki-laki dan 31 persen untuk penduduk perempuan. Sebaliknya,


(1)

awig yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota subak terkait. Selain awig-awig pada tingkat subak juga terdapat awig-awig pada tingkat tempek dan hanya berlaku bagi semua anggota tempek terkait.

Sumber air pada Subak Embukan ada tiga yaitu Dauh, Jagad Satru, dan Kaliasem. Ini adalah tiga mata air utama pada subak. Tempek embukan ini ada dua bagian. Bagian utara irigasi disebut embukan dulu dan bagian utara tirta gangga disebut embukan teben. Pada subak ini panen padi dilakukan empat kali dalam setahun. Namun, terkadang jika debit air kecil atau mengalami kekurangan air maka akan tanaman padi akan diganti dengan tanaman palawija dan sebulan telahnya baru kembali mulai menanam padi.

Terkait dengan pariwisata, tidak berpengaruh terhadap Subak Embukan. Memang terdapat lahan yang dijual untuk pembangunan di sektor pariwisata dan lebih banyak pada sebelah Timur karena lebih dekat dengan jalan raya dan dengan kawasan wisata Tirta Gangga. Kalau tempek embukan ini letaknya sangat di dalam jadi tidak mungkin untuk dijual. Anggota subak bisa dibilang berkurang dan bisa juga dibilang bertambah. Pertambahan anggota terjadi karena pada satu petak sawah dapat di garap oleh dua orang. Hal ini biasanya terjadi pada beberapa orang yang menggarap dilahan yang luas atau menggarapa dibeberapa tempek. Sejauh ini tidak terdapat pada perubahan pada subak. Upacara rutin masih dilaksanakan. Begitu juga dengan sangkepan kerama yakni 6 bulan skali dan sebulan sekali pada tingkat tempek. Awig-awig masih tetap dilaksanakan.

Pada Subak Embukan dalam hal pengolahan tanah masih menggunakan tenaga sapi. Untuk panen padi tidak seragam dilakukan oleh semua anggota. Hal ini karena waktu tanam yang berbeda-beda dan sesuaikan dengan sistem perkelenderan masyarakat Bali. Hasil panen padi sebagiannya akan diberikan kepada pihak pura selaku pemilik lahan subak tersebut. Bagi petani yang menggarap bersama teman atau saudaranya, maka hasil panen akan dibagi secara merata. Padi yang dipanen dihitung per blek padi. Satu blek setara dengan empat kilogram padi dan di hargai Rp20.000,00. Secara pribadi, padi hasil panen tidak saya jual tetapi dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Petani di Bali belum ada yang merasa untung karena padi biasanya terkena serangan hama yang menyebabkan padi menjadi kemerah-merahan sehingga tidak bisa dipanen. Seperti tahun ini panen padi juga tidak terlalu bagus.

Hari/Tanggal : Sabtu, 16 April 2011 Narasumber : Bapak IKK (kelian tempek) Lokasi : Tempek Tirta Gangga Hasil Wawancara : Pola mata pencaharian

Subak Embukan memiliki 12 tempek dan tempek tirta gangga merupakan tempek yang jumlah lahannya paling sempit yaitu 225 are. Tempek tirta gangga ini juga memperoleh air irigasi yang berasal dari mata air di taman Tirta Ganga. Umumnya setiap anggota petani di subak ini memiliki pekerjaan sampingan lainnya selain sebagai petani. Biasanya kami bekerja sebagai tukang atau bekerja sebagai buruh bangunan atau buruh pabrik. Pekerjaan ini dilakukan sambil menunggu musim panen tiba. Pekerjaan ini tidak menentu di bulan apa saja, karena tergantung pada permintaan terhadap pekerjaan ini. Biasanya pekerjaan sampingan dilakukan untuk menambah penghasilan petani karena jika mengandalkan dari hasil bertani saja tidak dapat mencukupi


(2)

kebutuhan sehari-hari. Hari kerjanya berkisar antara 20 sampai 30 hari selama enam atau tujuh jam sehari. Dalam hal penggarapan sawah, jika hasil garapan tidak bagus atau pihak pura tidak merasa puas terhadap hasil panen tersebut, maka pihak pura dapat mengambil kembali lahan sawah yang digarap. Namun, proses pengambilan tersebut harus diberitahukan kepada kelian. Lahan tesebut dapat diambil kembali oleh pihak pura dengan syarat pihak pura harus membayar kepada petani terkait sejumlah uang yang telah ditentukan. Apabila pihak pura tidak mampu untuk membayarnya maka lahan sawah tidak dapt diambil dan petani terkait masih tetap dapat menggarapnya.

Pariwisata di desa ini memang cukup berkembang. Wisatawan juga banyak yang melakukan kunjungan ke Tirta Gangga. Meskipun demikian, anggota petani Subak Embukan tidak ada yang bekerja pada sektor pariwisata. Masayarakat di desa ini khususnya anggota subak embukan semuanya masih bertumpu pada sektor pertanian dan masih merupakan sumber mata pencaharian utama. Bergabung sebagai anggota subak embukan merupakan keinginan masing-masing anggota. Untuk kepengurusan dalam subak embukan, petani yang terlibat sebagai pengurus dipilih berdasarkan hasil musyawarah bersama. Pengurus yang terlibat harus benar-banr siap menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, khususnya bagi yang menjabat sebagai pekaseh. Subak Embukan selain mempeoleh dana dari hasil iuran masing-masing anggota, terdapat juga dana yang berasal dari sumbangan masyarakat sekitar. Dana ini digunakan untuk keperluan sembayang.

Hari/Tanggal : Selasa, 3 Mei 2011 Narasumber : Bapak MS (PPL)

Lokasi : Kantor Kecamatan Dinas Pertanian Abang

Hasil Wawancara :Konversi lahan dan upaya pemerintah dalam menanggulanginya

Subak Embukan merupakan salah satu wilayah kerja PPL di Desa Ababi. PPL biasannya bertugas untuk memberikan penyuluhan terkait dengan hama, bibit, dan program-program pertanian bantuan pemerintah dalam pertanian. Subak Embukan merupakan satu-satunya subak yang bersentuhan langsung dengan kawasan wisata Tirta Gangga. Daerah disekitar kawasan Tirta Gangga telah dibangun beberapa penginapan, rumah makan, dan lainnya yang mendukung kegiatan pariwisata tersebut. Pembangunan sarana ini menghabiskan sekitar 12 hektar lahan Subak Embukan selama kurun waktu empat tahun terakhir. Kondisi demikian menyebabkan Dinas Pertanian Abang memberlakukan kawasan “Jalur Hijau” yakni aturan yang menetapkan bahwa tidak diperbolehkan lagi adanya pemabangunan sarana dan prasarana pariwisata disekitar kawasan Tirta Gangga dan lingkungan subak. Tujuan ditetapkannya aturan ini ialah agar menekan laju konversi lahan karena mengingat sekeliling kawasan Tirta Gangga adalah lahan persawahan yang dikelola oleh subak.

Sejak mulai dikembangkannya kegiatan pariwisata di desa ini, tidak terjadi perubahan pada mata pencaharian pada masyarakat subak secara khusus. Pertanian sawah masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi petani. Aturan pada Subak Embukan juga tidak ada yang berubah dan masih terus dijalankan sebagamana mestinya. Pengaruh pariwisata yang jelas terlihat jelas yaitu adanya konversi lahan subak.


(3)

Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian

Bagian Barat Lahan Persawahan Subak Embukan


(4)

Pura Bedugul sebagai tempat persembayangan


(5)

Klien Tempek Tirta Gangga Responden Petani Subak Embukan (Aktivitas di pagi Hari)

Anggota Subak Embukan Tempek Teben Kelian Tempek Embukan Dulu


(6)

Objek Wisata Taman Tirta Gangga, Desa Ababi