Pengaruh jumlah karbon aktif terhadap hidrolisat ampas tapioka

Tabel 4.1 Karakteristik karbon aktif Karbon Aktif Karakteristik 1 2 Bentuk Granul Granul Ukuran 10-20 mesh 10-20 mesh pH 6,01 6,91 Sifat adsorpsi - Daya serap I 2 mgg 1213,15 1075,41 - Daya serap biru metilena mgg 264,53 18,11 - Luas permukaan m 2 g 981,72 67,21 setelah penyeragaman 4.3.2. Pengaruh tingkat daya iradiasi gelombang mikro dan karbon aktif terhadap hidrolisat ampas tapioka 4.3.2.1. Kadar total padatan terlarut hidrolisat ampas tapioka Kadar total padatan terlarut di dalam hidrolisat ampas tapioka meningkat seiring meningkatnya lama pemanasan Gambar 4.1, kecuali pada hidrolisat yang dihasilkan dari hidrolisis pada tingkat daya iradiasi 550 W dengan penambahan KA1. Pemanasan yang lebih lama meningkatkan kelarutan komponen kimia, terutama pati dan hemiselulosa, di dalam ampas tapioka, sehingga kadar total padatan terlarutnya meningkat. Kekecualian yang terjadi pada hidrolisat dengan perlakuan seperti disebutkan di atas, yaitu kadar total padatan terlarut sedikit menurun dengan semakin lamanya waktu pemanasan, disebabkan terjadinya adsorpsi sebagian maltooligomer dengan derajat polimerisasi rendah yang terbentuk pada proses hidrolisis di permukaan KA1 yang mempunyai daya adsorpsi yang lebih tinggi daripada KA2. Pada tingkat daya iradiasi gelombang mikro yang lebih rendah 330 W diduga baru dihasilkan fraksi terlarut dengan derajat polimerisasi yang tinggi dan hanya sedikit dihasilkan fraksi terlarut berupa maltooligomer dengan derajat polimerisasi rendah. Molekul dengan derajat polimerisasi yang tinggi diduga tidak teradsorpsi oleh KA1 maupun KA2, sehingga total padatan terlarut pada tiap tingkat lama pemanasan yang sama di dalam semua hidrolisat relatif sama. Pada tingkat daya iradiasi 550 W sudah lebih banyak terbentuk maltooligomer. Maltooligomer ini diduga teradsorpsi di permukaan KA1 yang mempunyai luas permukaan atau daya adsorpsi tinggi, namun tidak teradsorpsi di permukaan KA2, sehingga kadar total padatan terlarut di dalam hidrolisat dengan perlakuan KA2 relatif sama dengan yang diperoleh dari perlakuan tanpa karbon aktif. Fenomena adsorpsi maltooligomer di permukaan karbon aktif juga terjadi pada penelitian sebelumnya Bab III serta telah dilaporkan oleh Moon et al. 1997, Yoo et al. 2005 dan Matsumoto et al. 2008, 2011. 1 2 3 4 5 6 Tanpa KA KA1 KA2 Tanpa KA KA1 KA2 Tot a l pa da ta n t e rl a ru t o Bri x 5 menit 7,5 menit 10 menit Gambar 4.1 Kadar total padatan terlarut di dalam hidrolisat ampas tapioka setelah hidrolisis dalam medium H 2 SO 4 0,5 menggunakan pemanasan gelombang mikro. Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata- rata ± SB Simpangan Baku n=3.

4.3.2.2. Hasil glukosa

Hasil hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro pada dua tingkat daya iradiasi Gambar 4.2 menunjukkan bahwa pada tingkat daya iradiasi 330 W dan lama pemanasan 5 dan 7,5 menit hasil glukosa yang diperoleh sangat rendah. Hasil glukosa baru terlihat meningkat setelah pemanasan selama 10 menit, terutama pada hidrolisat dengan penambahan KA2. Pada tingkat daya iradisai yang lebih tinggi 550 W dan lama pemanasan 5 menit hasil glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis dengan penambahan KA2 lebih tinggi daripada yang diperoleh dari proses tanpa penambahan karbon aktif maupun dengan penambahan KA1. Akan tetapi, pada pemanasan yang lebih lama, hasil glukosa dari proses hidrolisis tanpa penambahan karbon aktif melampaui hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisis dengan penambahan karbon aktif, dan mencapai maksimum 80,80 dari berat bahan kering atau 91,52 basis pati pada pemanasan selama 10 menit. Hasil glukosa yang rendah di dalam hidrolisat Tingkat daya 330 W Tingkat daya 550 W yang diperoleh dari proses hidrolisis dengan penambahan karbon aktif diduga karena terjadinya adsorpsi maltooligomer pada permukaan karbon aktif, terutama pada permukaan KA1 yang mempunyai daya adsorpsi yang lebih tinggi daripada KA2. Maltooligomer yang teradsorpsi tersebut terhindar dari proses hidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa. Fenomena ini telah dijelaskan sebelumnya pada Bab III. Selain itu, glukosa yang terbentuk pada proses hidrolisis pun dapat teradsorpsi di permukaan karbon aktif. Pada proses analisis glukosa yang terdeteksi hanyalah glukosa yang dalam keadaan bebas, tidak teradsorpsi pada permukaan karbon aktif. Oleh karena itu, kadar glukosa yang berada bebas dalam hidrolisat menjadi lebih rendah, dan hasil glukosa pun menjadi lebih rendah dari yang seharusnya. 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 5 7,5 10 Lama pemanasan menit H a s il g luk os a Tanpa KA KA1 KA2 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 5 7,5 10 Lama pemanasan menit H a s il gl uk o s a Tanpa KA KA1 KA2 Gambar 4.2 Hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisis ampas tapioka dalam medium H 2 SO 4 0,5 menggunakan iradiasi gelombang mikro pada tingkat daya iradiasi 330 W a dan 550 W b. Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB Simpangan Baku n=2. Hasil glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis dalam medium asam sulfat ini 91,52 basis pati jauh lebih tinggi daripada yang diperoleh dari proses hidrolisis dalam medium air, baik tanpa maupun dengan penambahan karbon aktif, yaitu masing-masing 32,41 dan 52,27 basis pati Bab II dan III. Ikatan glikosidik, termasuk yang terdapat pada polisakarida seperti pati, bersifat lebih stabil di dalam medium netral ataupun alkalis. Di dalam medium asam ikatan glikosidik lebih mudah terputus karena di dalam medium tersebut lebih banyak mengandung ion hidrogen yang diperlukan untuk reaksi pemutusan ikatan glikosidik. Hasil glukosa tertinggi yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi a b daripada yang diperoleh dari proses hidrolisis asam 36.40-41.34 dari bahan kering Yoonan et al. 2004, hidrolisis enzimatis 70 dari bahan kering Rattanachomsri et al. 2009, atau kombinasi hidrotermal dan enzimatis 75 dari bahan kering Kosugi et al. 2009; Nair et al. 2011, namun lebih rendah dari hasil yang diperoleh Thongchul et al. 2010 melalui proses hidrolisis asam klorida, sulfat dan fosfat dan pemanasan konvensional pada suhu 121 °C, 15 psig dengan konsentrasi asam yang jauh lebih tinggi 1-1,75 N dan waktu pemanasan yang lebih lama 15-60 menit. Jadi, hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro terbukti merupakan metode hidrolisis alternatif yang potensial untuk dikembangkan.

4.3.2.3. Nilai pH

Hasil pengukuran pH hidrolisat menunjukkan tidak adanya kecenderungan tertentu pada pH hidrolisat akibat perlakuan pemanasan gelombang mikro pada tingkat daya iradiasi, penambahan karbon aktif maupun lama pemanasan yang bebeda. Nilai pH awal suspensi ampas tapioka dalam asam sulfat 0,5 adalah 1,88 dan pH hidrolisat berkisar 1,67 sampai dengan 1,93 Tabel 4.2, tidak jauh berbeda dengan pH awal suspensi tapioka. Fenomena ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya Bab II dan Bab III, yaitu nilai pH menurun selama berlangsungnya proses hidrolisis ampas tapioka yang diduga disebabkan terbentuknya asam organik selama proses hidrolisis. Walaupun tidak ada kecenderungan tertentu dalam perubahan pH, pada proses hidrolisis dalam medium asam dapat terbentuk asam-asam organik, seperti asam asetat Thongchul et al. 2011 atau senyawa-senyawa yang bersifat asam. Karena senyawa-senyawa tersebut sifatnya lebih lemah dari asam sulfat, maka keberadaannya di dalam hidrolisat tidak mengakibatkan terjadinya perubahan pH yang berarti.

4.3.2.4. Senyawa berwarna coklat

Senyawa furfural dan HMF yang membuat warna hidrolisat menjadi coklat biasanya merupakan inhibitor pada proses fermentasi, sehingga keberadaannya dalam hidrolisat penting untuk diestimasi jumlahnya. Pada tingkat daya iradiasi 330 W secara visual tidak terlihat adanya senyawa berwarna coklat dalam hidrolisat. Hal ini ditunjukkan dengan nilai absorbansi pada 490 nm yang sangat rendah Tabel 4.3 serta tidak terdeteksinya senyawa HMF Tabel 4.4. Bahkan, nilai absorbansi pada 490 nm pada beberapa hidrolisat tidak dapat diestimasi atau diukur karena larutan yang terbentuk keruh atau tidak jernih, kemungkinan karena hidrolisis pati baru menghasilkan produk depolimerisasi dengan ukuran molekul cukup besar seperti maltodekstrin. Pada tingkat daya iradiasi yang lebih tinggi 550 W terbentuknya senyawa berwarna coklat dapat terlihat jelas pada hidrolisat yang berasal dari perlakuan tanpa penambahan karbon aktif dan yang berasal dari perlakuan penambahan KA2, keduanya dengan lama pemanasan 10 menit. Kadar HMF kedua hidrolisat tersebut hampir sama Tabel 4.4, sehingga dapat disimpulkan bahwa KA2 bukan merupakan bahan pengadsorpsi HMF yang baik. Hal ini sesuai dengan daya serapnya terhadap biru metilena dan luas permukaannya yang sangat rendah Tabel 4.1. Tabel 4.2 Nilai pH hidrolisat ampas tapioka setelah hidrolisis dalam medium asam sulfat 0,5 menggunakan pemanasan gelombang mikro Daya W Waktu menit Tanpa Karbon Aktif Dengan Karbon Aktif 1 Dengan Karbon Aktif 2 5 1,79 ± 0,06 1,75 ± 0,02 1,70 ± 0,01 330 7,5 1,86 ± 0,03 1,67 ± 0,04 1,64 ± 0,03 10 1,86 ± 0,02 1,75 ± 0,04 1,67 ± 0,04 5 1,93 ± 0,03 1,73 ± 0,03 1,87 ± 0,01 550 7,5 1,67 ± 0,03 1,77 ± 0,02 1,85 ± 0,01 10 1,82 ± 0,01 1,84 ± 0,02 1,84 ± 0,01 Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB Simpangan Baku n=3 Reaksi pencoklatan yang terjadi di dalam hidrolisat asam pada penelitian ini tidak sehebat yang terjadi di dalam hidrolisat dengan medium air pada penelitian sebelumnya Bab II dan Bab III yang ditandai dengan nilai absorbansi pada 490 nm dan kadar HMF yang lebih rendah di dalam hidrolisat asam. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yu et al. 1996 yang melakukan hidrolisis pati murni dalam medium HCl 0,5 M 10 bv menggunakan iradiasi gelombang mikro pada suhu 95 °C selama 5 menit, dengan hasil seluruh pati terhidrolisis sempurna tanpa produk samping yang berwarna. Menurut Whistler dan Daniel 1985, reaksi pencoklatan non enzimatis, baik reaksi karamelisasi maupun reaksi Maillard berlangsung lebih cepat pada pH yang lebih tinggi. Di dalam larutan