Analisis bahan baku Bahan dan Metode 1. Bahan

dilakukan pada suhu 210 °C. Terbentuknya maltooligomer dan glukosa dalam jumlah yang besar dalam hidrolisat ampas tapioka dan tapioka semakin terlihat dengan jelas setelah hidrolisis pada suhu 220 dan 230 °C, yang menandakan semakin banyaknya pati yang terhidrolisis menjadi maltooligosakarida dan glukosa. Pada suhu 240 °C hampir semua senyawa dengan berat molekul besar dalam hidrolisat tapioka terkonversi menjadi glukosa, sedangkan dalam hidrolisat ampas tapioka masih ada senyawa dengan berat molekul besar yang tidak terhidrolisis, yang diduga merupakan komponen selulosa. Gambar 2.5 Kromatogram HPLC hasil degradasi pati dalam ampas tapioka a dan tapioka b setelah pemanasan gelombang mikro selama 5 menit pada berbagai suhu. Puncak nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 menunjukkan glukosa dan maltooligomer dengan derajat polimerisasi DP 2-7. Seperti diketahui, pati tersusun dari rantai glukosa dengan ikatan α-1,4 yang lurus dan bercabang melalui ikatan α-1,6, sedangkan selulosa tersusun dari rantai glukosa dengan ikatan β-1,4. Rantai glukosa dengan struktur β-1,4 yang lurus ini memungkinkannya berada berdekatan satu sama lain, sehingga akan terbentuk ikatan hidrogen di dalam maupun di antara rantai-rantai tersebut Dhepe dan Fukuoka 2007. Hal ini membuat selulosa mempunyai struktur yang lebih kaku, lebih stabil dan lebih sulit untuk didegradasi. Menurut Whistler dan Daniel 1985, konstanta kecepatan reaksi orde pertama hidrolisis 0,1 M HCl, 80 °C ikatan α-1,4 pada maltosa, α-1,6 pada isomaltosa, dan β-1,4 pada selobiosa, masing-masing 1,55 x 10 5 , 0,40 x 10 5 , dan 0,66 x 10 5 . Hal ini juga mencerminkan bahwa ikatan α-1,4 glikosidik jauh lebih mudah untuk dihidrolisis oleh asam, dibandingkan dengan ikatan α-1,6 atau ikatan β-1,4 glikosisdik. Oleh karena itu, diperlukan energi yang lebih besar atau suhu yang lebih tinggi untuk mendegradasi komponen selulosa dalam ampas tapioka dibandingkan dengan yang diperlukan untuk mendegradasi komponen pati. Hasil glukosa yang diperoleh dari hasil hidrolisis ampas tapioka meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hidrolisis dan mencapai maksimum 28,59 dari bahan kering atau 32,41 basis pati pada suhu 230 °C, selanjutnya menurun pada suhu 240 °C Tabel 2.4. Hal ini berbeda dengan hasil glukosa dari tapioka yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan mencapai maksimum 58,76 dari bahan kering atau 55,11 basis pati pada suhu 240 °C. Hasil glukosa yang lebih rendah dari ampas tapioka kemungkinan disebabkan oleh keberadaan granula pati pada ampas tapioka yang masih terikat atau terperangkap dalam matriks non pati pada biomassa ampas tapioka yang menyulitkan terjadinya hidrolisis pati. Dengan berat bahan yang sama, jumlah pati yang terdapat dalam ampas tapioka juga lebih rendah daripada yang terdapat dalam tapioka. Selain itu, glukosa yang terbentuk pada hidrolisat ampas tapioka berpeluang lebih besar dan lebih cepat terdegradasi melalui reaksi Maillard karena di dalam ampas tapioka terkandung gugus amino dari protein. Dengan demikian, pada suhu 240 °C hasil glukosa dari ampas tapioka sudah mengalami penurunan, sedangkan dari tapioka masih terus meningkat. Hasil glukosa dari ampas tapioka sedikit meningkat dengan meningkatnya waktu pemanasan pendahuluan pada suhu 230 °C, sedangkan hasil glukosa dari tapioka sedikit menurun. Hasil glukosa maksimum yang diperoleh baik dari ampas tapioka maupun tapioka yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil glukosa dari hidrolisis tepung gandum 23,9 pati menggunakan irradiasi gelombang mikro pada suhu 191- 198 °C selama 20 menit Khan et al. 1979. Hasil glukosa yang diperoleh pada penelitian ini masih lebih rendah daripada yang dihasilkan oleh metode lain, misalnya hidrolisis asam 36,40-41,34 Yoonan et al. 2004, hidrolisis enzimatis  70 Rattanachomsri et al. 2009, atau kombinasi hidrotermal dan