Penentuan persentase dan analisis fraksi terlarut
ikatan α-1,4 pada maltosa, α-1,6 pada isomaltosa, dan β-1,4 pada selobiosa,
masing-masing 1,55 x 10
5
, 0,40 x 10
5
, dan 0,66 x 10
5
. Hal ini juga mencerminkan bahwa ikatan
α-1,4 glikosidik jauh lebih mudah untuk dihidrolisis oleh asam, dibandingkan dengan ikatan
α-1,6 atau ikatan β-1,4 glikosisdik. Oleh karena itu, diperlukan energi yang lebih besar atau suhu yang lebih tinggi untuk
mendegradasi komponen selulosa dalam ampas tapioka dibandingkan dengan yang diperlukan untuk mendegradasi komponen pati.
Hasil glukosa yang diperoleh dari hasil hidrolisis ampas tapioka meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hidrolisis dan mencapai maksimum 28,59
dari bahan kering atau 32,41 basis pati pada suhu 230 °C, selanjutnya menurun pada suhu 240 °C Tabel 2.4. Hal ini berbeda dengan hasil glukosa dari tapioka
yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan mencapai maksimum 58,76 dari bahan kering atau 55,11 basis pati pada suhu 240 °C.
Hasil glukosa yang lebih rendah dari ampas tapioka kemungkinan disebabkan oleh keberadaan granula pati pada ampas tapioka yang masih terikat atau
terperangkap dalam matriks non pati pada biomassa ampas tapioka yang menyulitkan terjadinya hidrolisis pati. Dengan berat bahan yang sama, jumlah
pati yang terdapat dalam ampas tapioka juga lebih rendah daripada yang terdapat dalam tapioka. Selain itu, glukosa yang terbentuk pada hidrolisat ampas tapioka
berpeluang lebih besar dan lebih cepat terdegradasi melalui reaksi Maillard karena di dalam ampas tapioka terkandung gugus amino dari protein. Dengan demikian,
pada suhu 240 °C hasil glukosa dari ampas tapioka sudah mengalami penurunan, sedangkan dari tapioka masih terus meningkat. Hasil glukosa dari ampas tapioka
sedikit meningkat dengan meningkatnya waktu pemanasan pendahuluan pada suhu 230 °C, sedangkan hasil glukosa dari tapioka sedikit menurun. Hasil
glukosa maksimum yang diperoleh baik dari ampas tapioka maupun tapioka yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil glukosa dari hidrolisis tepung
gandum 23,9 pati menggunakan irradiasi gelombang mikro pada suhu 191- 198 °C selama 20 menit Khan et al. 1979. Hasil glukosa yang diperoleh pada
penelitian ini masih lebih rendah daripada yang dihasilkan oleh metode lain, misalnya hidrolisis asam 36,40-41,34 Yoonan et al. 2004, hidrolisis
enzimatis 70 Rattanachomsri et al. 2009, atau kombinasi hidrotermal dan
enzimatis 75 Kosugi et al. 2009. Hanya saja, proses-proses tersebut
memakan waktu lebih lama, 90 menit untuk hidrolisis asam dan 48-72 jam untuk hidrolisis enzimatis, sedangkan proses menggunakan gelombang mikro memakan
waktu hanya beberapa menit saja. Tabel 2.4 Hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisis ampas tapioka dan tapioka
menggunakan pemanasan gelombang mikro
Perlakuan Hasil Glukosa bahan kering
Hasil Glukosa basis pati Ampas Tapioka
Tapioka Ampas Tapioka
Tapioka Suhu °C
a
210 0,93 ± 0,19
1,49 ± 0,71 1,06 ± 0,21
1,40 ± 0,66 220
3,84 ± 0,50 8,89 ± 3,41
4,35 ± 0,56 8,34 ± 3,19
230 28,59 ± 1,92
37,39 ± 4,43 32,41 ± 2,17
35,07 ± 4,16 240
22,43 ± 0,71 58,76 ± 2,68
25,44 ± 0,81 55,11 ± 2,51
Pemanasan Pendahuluan
menit
b
2 23,76 ± 0,67
69,27 ± 4,17 26,95 ± 0,76
64,97 ± 3,91 3
24,50 ± 1,89 69,39 ± 2,58
27,78 ± 2,14 65,08 ± 2,42
4 25,35 ± 3,96
63,75 ± 7,65 28,74 ± 4,49
59,78 ± 7,17 5
26,76 ± 4,74 64,31 ± 1,78
30,35 ± 5,37 60,32 ± 1,67
6 27,41 ± 3,43
58,91 ± 0,75 31,08 ± 3,88
55,25 ± 0,71 Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB Simpangan Baku n=3
a
Pemanasan pendahuluan 4 menit dan pemanasan pada suhu yang diinginkan 5 menit
b
Suhu 230 °C untuk ampas tapioka dan 240 °C untuk tapioka dan pemanasan 5 menit