oleh Khan et al. 1979 10 - 30, Palav dan Seetharaman 2007 33 - 50, serta Nicolic et al. 2008 33. Beberapa penelitian melaporkan penggunaan
parameter suhu yang digunakan dalam proses, misalnya dalam Yu et al. 1996, Matsumoto et al. 2008, 2011, dan Tsubaki et al. 2009, sedangkan sebagian
besar lainnya hanya melaporkan penggunaan tingkat, derajat atau persentase power ataupun besaran daya watt yang digunakan Kunlan et al. 2001; Pinkrova
et al . 2003; Palav dan Seetharaman 2007; Nicolic et al. 2008. Menurut Tsubaki
et al. 2009, gelatinisasi pati kentang dengan konsentrasi pati 25 bb mulai
terjadi pada suhu 120 °C. Selanjutnya, dinyatakan bahwa terjadi peningkatan proses terlarutnya pati di atas suhu tersebut, dan hampir semua jenis pati sudah
dapat terlarut pada suhu 200-220 °C yang disertai dengan terbentuknya warna akibat dekomposisi sekunder dari bahan yang dipanaskan. Waktu terlama yang
umum digunakan pada proses degradasi atau hidrolisis pati adalah 10 menit. Sebagian besar proses dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 10 menit.
Proses degradasi atau hidrolisis pati menggunakan iradiasi gelombang mikro dapat dilakukan dalam medium air maupun larutan asam seperti asam sulfat atau
asam klorida. Hidrolisis pati dapat dipercepat dengan penambahan garam-garam anorganik yang mengandung ion-ion Cl¯ atau SO
4 2
¯, dengan ion Cl¯ memberikan hasil yang lebih baik daripada ion sulfat Kunlan et al. 2001. Dibandingkan
dengan menggunakan pemanasan konvensional, proses hidrolisis tersebut berlangsung 100 kali lebih cepat. Sakarifikasi beberapa jenis pati juga meningkat
dengan adanya penambahan karbon aktif Matsumoto et al. 2008, 2011. Sejauh pengetahuan penulis, semua penelitian hidrolisis dan sakarifikasi dengan iradiasi
gelombang mikro menggunakan pati murni sebagai substrat. Penggunaan pati yang masih terikat kuat dalam matriks biomassa sebagai substrat pada proses
menggunakan iradiasi gelombang mikro belum dilaporkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dipelajari pengaruh iradiasi gelombang mikro terhadap hidrolisis
karbohidrat, khususnya pati, yang terdapat di dalam ampas tapioka, yang merupakan representasi pati yang terikat dalam matriks biomassa. Sebagai
perbandingan, dilakukan pula hidrolisis tapioka yang merupakan representasi pati yang sudah terekstraksi dari matriks biomassa.
2.2. Bahan dan Metode 2.2.1. Bahan
Ampas tapioka diperoleh dari industri rumah tangga tapioka di Kabupaten Bogor. Bahan dikeringkan pada suhu 60 °C selama 30 jam, kemudian dihaluskan
dan diayak sampai semua bahan lolos ayakan berukuran 20 mesh. Tepung ampas tapioka kering dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik dengan kapasitas
sekitar 500 g tepung. Tapioka dibeli dari salah satu toko swalayan di Jakarta. Bahan-bahan ini disimpan di dalam kontainer plastik dan ditutup rapat. Bahan-
bahan kimia yang digunakan adalah bahan dengan spesisfikasi untuk analisis.
2.2.2. Analisis bahan baku
Analisis proksimat kadar air, abu, lemak dan protein kasar bahan baku ampas tapioka dan tapioka dilakukan sebagai berikut. Kadar air ditentukan
menggunakan alat uji kadar air moisture tester MA 35 Sartorius Mechatronics, Sartorius AG, Goettingen, Jerman pada suhu 105 °C. Kadar abu ditentukan
dengan cara memanaskan bahan pada 600 °C selama 3 jam. Kadar lemak ditentukan dengan cara ekstraksi Soxhlet dan kadar protein dengan metode
Kjeldahl. Kadar serat kasar ditentukan dengan mengacu pada Standar Nasional Indonesia SNI 01-2891-1992 butir 11. Kadar pati dan amilosa bahan masing-
masing ditentukan menggunakan Total Starch Kit Megazyme Ltd., Ireland yang mengacu pada standar AOAC Official Method 996.11 dan AmyloseAmylopectin
Kit Megazyme Ltd., Ireland. Prosedur analisis yang rinci disajikan pada Lampiran 1. Komposisi relatif karbohidrat dalam ampas tapioka ditentukan
dengan melakukan analisis terhadap komposisi relatif gula netral yang terdapat dalam kedua bahan tersebut. Bahan 3 bv dihidrolisis menggunakan asam
sulfat 72 pada suhu 120 °C selama 1 jam. Hasil hidrolisis dianalisis menggunakan High-Performance Anion Exchange Chromatography HPAEC
pada sistem Dionex DX-500 Sunnyvale, CA, AS dengan detektor ED-40 dan 1.0 mM NaOH sebagai fase bergerak.
Sifat morfologi ampas tapioka dan tapioka dianalisis menggunakan Scanning Electron Microscope
SEM tipe VE-8800 Low Voltage Keyence, Co. ,
Osaka, Jepang. Pola spektrum difraksi sinar X dan kristalinitas bahan dianalisis
menggunakan Difraktometer sinar X tipe Ultima IV Rigaku Company, Tokyo, Jepang. Pengukuran dilakukan pada selang 2
4-32° pada 40 kV, 20 mA dan kecepatan 2° per menit.
2.2.3. Hidrolisis pati menggunakan iradiasi gelombang mikro
Oven gelombang mikro yang digunakan pada penelitian ini adalah oven gelombang mikro MycroSYNTH Lab Station 2.450 MHz Milestone Inc.,
Shelton, CT, AS. Oven gelombang mikro ini merupakan oven multi mode yang dilengkapi dengan termometer termokopel untuk memonitor suhu dan waktu
pemanasan ril di dalam reaktor. Suhu dan waktu pemanasn dikontrol dengan cara melakukan input kondisi proses melalui PID algorithm pada unit PC easyWAVE
3 software, Milestone, Inc., Shelton, CT, AS. Suspensi bahan dalam air 1g20 mL dimasukkan ke dalam tabung Teflon
®
berkapasitas 100 mL dan diaduk menggunakan pengaduk magnetik agar diperoleh suspensi yang homogen.
Campuran kemudian dihidrolisis pada suhu 140-240 °C dengan lama pemanasan
pendahuluan waktu yang digunakan untuk menaikkan suhu dari suhu ruang ke suhu yang diinginkan 4 menit dan lama pemanasan pada suhu yang diinginkan 5
menit. Setelah iradiasi gelombang mikro, campuran dalam tabung segera didinginkan dengan merendamnya dalam bak berisi es. Selanjutnya, iradiasi
gelombang mikro dilakukan pada suhu 230 °C untuk ampas tapioka dan 240 °C untuk tepung tapioka, masing-masing dengan lama pemanasan pendahuluan 2-6
menit dan lama pemanasan 5 menit.
2.2.4. Penentuan persentase dan analisis fraksi terlarut
Hidrolisat ampas tapioka disentrifugasi pada suhu 10 °C, 5.000 g selama 15 menit. Residu dipisahkan dari supernatan, dicuci tiga kali dengan air suling 30
mL dan disentrifugasi pada suhu 10 °C, 5.000 g selama 15 menit setelah setiap pencucian. Residu kemudian dikeringkan menggunakan pengering beku.
Persentase bahan terlarut dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut. Fraksi terlarut = Berat bahan awal – berat residu x 100 Berat bahan awal.
Kadar gula total ditentukan menggunakan metode fenol asam sulfat Wrolstad et al.
2005, seperti tersaji pada Lampiran 3. Selanjutnya, dilakukan analisis