Pendahuluan Rekayasa proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro untuk produksi etanol
ampas tapioka menurunkan kristalinitasnya, terutama kristalinitas serat yang ada di dalam ampas tapioka. Penggilingan terhadap pati yang diekstrak dari ubikayu
menjadi tapioka yang berbentuk tepung halus ternyata tidak terlalu banyak menurunkan kristalinitasnya Tabel 2.3. Dari hasil analisis di atas diduga
komponen serat lebih berperanan dalam menentukan kristalinitas ampas tapioka sebelum mengalami penggilingan, sedangkan setelah mengalami penggilingan
komponen pati diduga lebih berpenanan terhadap kristalinitas ampas tapioka. Pada hidrolisis dengan menggunakan pemanasan gelombang mikro kristalinitas
ampas tapioka diduga akan mengalami penurunan karena terhidrolisisnya komponen pati dalam ampas tapioka.
Gambar 2.2 Difraktogram sinar X ampas tapioka dan tapioka. Tabel 2.3 Kristalinitas ampas tapioka dan tapioka
Bahan Kondisi Kristalinitas
Ampas tapioka Sebelum digiling
42,61 Sesudah digiling
15,57 Tapioka Sebelum
digiling 20,93 Sesudah digiling
17,89 2.3.3. Pengaruh iradiasi gelombang mikro terhadap karbohidrat dalam
ampas tapioka 2.3.3.1. Kelarutan
Pengamatan secara visual terhadap suspensi ampas tapioka sebelum pemanasan gelombang mikro menunjukkan bahwa hampir semua komponen
ampas tapioka tidak larut dalam air. Setelah perlakua menggunakan pemanasan gelombang mikro beberapa komponen sedikit demi sedikit mulai terlarut.
Kelarutan ampas tapioka meningkat seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan gelombang mikro dan mencapai maksimum ± 92 pada suhu 210-
220 °C, kemudian sedikit menurun pada suhu di atas 220 °C Gambar 2.3. Pati dalam ampas tapioka lebih sulit larut dibandingkan dengan pati tapioka yang
seluruhnya sudah larut mulai suhu 140 °C, suhu terendah yang digunakan pada penelitian ini. Meningkatnya kelarutan senyawa karbohidrat dalam ampas
tapioka karena meningkatnya suhu pemanasan ditandai juga dengan meningkatnya kadar gula total dalam fraksi terlarut hidrolisat ampas tapioka.
Kadar gula total mencapai sekitar 78 dan meningkat secara bertahap sampai suhu 210 °C Gambar 2.3. Terjadi sedikit penurunan kadar gula total pada suhu
200 °C, namun dilihat dari nilai simpangan baku data pada suhu 190, 200 dan 210 °C, maka kadar gula total pada suhu 200 °C tidak berbeda dengan pada suhu
190 dan 200 °C. Di atas 210 °C kadar gula total menurun karena terjadinya degradasi sekunder pada karbohidrat yang telah mengalami depolimerisasi
menjadi molekul-molekul dengan berat molekul lebih rendah, seperti furfural, hidroksi metil furfural, asam asetat, dan lain-lain. Hal ini juga terlihat dari
menurunnya nilai pH dan meningkatnya nilai absorbansi pada 490 nm serta kadar HMF secara drastis pada hidrolisat setelah mendapat perlakuan pemanasan pada
suhu di atas 210 °C. Gambar 2.6 dan 2.9. Perbedaan lama pemanasan pendahuluan pada suhu 230 °C tidak
berpengaruh terhadap kelarutan komponen kimia dalam ampas tapioka Gambar 2.4. Hal ini menandakan bahwa suhu lebih berpengaruh terhadap kelarutan
senyawa kimia, terutama karbohidrat dalam ampas tapioka, dibandingkan dengan lama pemanasan pendahuluan. Peningkatan waktu pemanasan pendahuluan pada
suhu tinggi menurunkan kadar gula total Gambar 2.4. Hal ini disebabkan semakin banyaknya gula yang terdegradasi menjadi senyawa dengan berat
molekul lebih rendah seiring meningkatnya lama pemanasan pendahuluan.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240
Suhu
o
C P
e rs
en ta
se
Fraksi terlarut Gula Total
Gambar 2.3 Pengaruh suhu pemanasan gelombang mikro terhadap kelarutan dan gula total hidrolisat ampas tapioka pemanasan pendahuluan 4 menit,
pemanasan pada suhu yang diinginkan 5 menit. Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB Simpangan Baku n=3.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
1 2
3 4
5 6
Pemanasan pendahuluan menit P
e rs
en ta
se
Fraksi terlarut Gula Total
Gambar 2.4 Pengaruh lama pemanasan pendahuluan terhadap kelarutan dan kadar gula total hidrolisat ampas tapioka suhu 230 °C, 5 menit. Nilai pada
titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB n=3.