Simpulan dan Saran Rekayasa proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro untuk produksi etanol

72 basis pati setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 200 °C selama 5 menit Gambar 3.3b. Hasil ini sebanding dengan hasil hidrolisis pati jagung menggunakan pemanasan gelombang mikro dan karbon aktif yang sama dimana dicapai kecepatan sakarifikasi maksimum 67,3 setelah hidrolisis selama 12 menit pada suhu 190 °C Matsumoto et al. 2011. Gambar 3.2 Kromatogram HPLC dari senyawa glukosa dan maltooligomer dalam hidrolisat ampas tapioka dengan perlakuan karbon aktif granul KAG a dan karbon aktif tepung KAT b. Puncak nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 menunjukkan glukosa dan maltooligomer dengan derajat polimerisasi DP 2-7. Pengaruh positif karbon aktif terhadap reaksi hidrolisis menggunakan pemanasan gelombang mikro diduga karena adanya hot spot pada permukaan karbon aktif yang tidak rata Zhang et al. 2007. Permukaan karbon aktif yang tidak rata ini pada beberapa bagian tertentu mengalami pemanasan yang hebat dibandingkan bagian lain di sekelilingnya, sehingga menghasilkan hot spot yang dapat mempercepat reaksi, termasuk proses hidrolisis. Menurut Zhang et al. 2007, suhu hot spot ini dapat mencapai 1200 °C. Namun demikian, dugaan atau asumsi ini perlu diteliti lebih lanjut. a b 10 20 30 40 50 60 70 80 170 180 190 200 210 220 230 240 Suhu o C H asi l G lu ko sa Air tanpa KA Air + KAG Gambar 3.3 Kromatogram HPLC dari senyawa glukosa dan maltooligomer dalam hidrolisat a dan hasil glukosa b dari tapioka setelah hidrolisis selama 5 menit menggunakan iradiasi gelombang mikro tanpa dan dengan penambahan karbon aktif granul KAG. Puncak nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 pada a menunjukkan glukosa dan maltooligomer dengan derajat polimerisasi DP 2-7. Nilai pH hidrolisat ampas tapioka dengan perlakuan penambahan karbon aktif juga dipengaruhi oleh suhu sebagaimana halnya pada hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif Bab 2.3.3.3. Pada Tabel 3.2 dapat dilihat bahwa pH hidrolisat dengan penambahan KAG maupun KAT menurun seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan gelombang mikro. Terbentuknya beberapa senyawa asam organik sebagai hasil degradasi sekunder senyawa karbohidrat diduga merupakan penyebab terjadinya penurunan pH pada hidrolisat. Penurunan nilai pH hidrolisat tepung terigu yang diperoleh dari proses hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro juga dilaporkan oleh Khan et al. 1979. Pada proses hidrolisis pati tepung gandum menggunakan proses hidrotermal dalam medium air dengan wadah yang tertutup rapat Lorenz dan Johnson 1972 mengamati terjadinya penurunan pH dan mengidentifikasi terbentuknya beberapa senyawa asam dengan jumlah rantai karbon 1 sampai dengan 6, seperti asam formiat, asetat, butirat, isobutirat, valerat, isovalerat, kaproat dan isokaproat. Mereka menduga asam-asam ini terbentuk akibat proses oksidasi senyawa aldehida. Thongchul et al. 2010 melaporkan terbentuknya asam asetat pada b a hidrolisat ampas tapioka setelah melalui proses hidrolisis menggunakan asam klorida 1-2 N. Menurut Harmsen et al. 2010, asam asetat diturunkan dari gugus asetil hemiselulosa. Penambahan karbon aktif sangat berpengaruh terhadap penampilan atau warna hidrolisat ampas tapioka Gambar 3.4. Nilai absorbansi pada 490 nm maupun kadar HMF hidrolisat dengan perlakuan karbon aktif lebih rendah dibandingkan pada hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif Tabel 3.2. Karbon aktif sudah lama dikenal dapat menyerap zat warna maupun berbagai polutan bahan kimia. Karbon aktif yang digunakan pada hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro ini juga menyerap senyawa HMF dan senyawa berwarna gelap lainnya yang terbentuk selama hidrolisis. Oleh karena itu, penambahan karbon aktif pada proses hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro memberikan pengaruh positif tambahan dengan menghasilkan hidrolisat dengan warna yang lebih terang. Karena senyawa berwarna coklat yang biasanya merupakan senyawa furfural dan HMF merupakan inhibitor pada proses fermentasi, maka penambahan karbon aktif pada proses hidrolisis juga bermanfaat bagi proses lanjutan, misalnya fermentasi glukosa menjadi etanol. Hidrolisat yang diperoleh dari perlakuan dengan penambahan KAG berwarna lebih gelap dibandingkan dengan yang diperoleh dari perlakuan dengan penambahan KAT Tabel 3.2. Hal ini diduga berhubungan dengan luas permukaan dan sifat adsorpsi kedua jenis karbon aktif, yaitu KAG mempunyai luas permukaan yang lebih kecil dan kapasitas adsorpsi yang sedikit lebih rendah daripada KAT Tabel 3.1. Namun demikian, hasil glukosa yang diperoleh dari perlakuan dengan kedua jenis karbon aktif hampir sama dan jumlah fraksi terlarut pada hidrolisat dengan penambahan KAG lebih tinggi daripada hidrolisat dengan penambahan KAT. Disamping itu, KAG lebih mudah ditangani selama proses berlangsung, sehingga lebih memudahkan dalam proses. Atas dasar jumlah fraksi terlarut, hasil glukosa dan kemudahan dalam proses, maka pada penelitian selanjutnya digunakan KAG. Gambar 3.4 Hidrolisat ampas tapioka dari pemanasan gelombang mikro 180- 230 °C selama 5 menit dalam medium air dengan penambahan karbon aktif granul kiri dan karbon aktif tepung kanan. Tabel 3.2 Pengaruh suhu pemanasan dan jenis karbon aktif terhadap nilai pH dan pembentukan senyawa berwarna coklat dalam hidrolisat ampas tapioka Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB Simpangan Baku n=3, kecuali untuk HMF ± SB n=2 tt = tidak terdeteksi nilai absorbansi 0 pada pengukuran HMF atau larutan keruh dan tidak jernih pada pengukuran absorbansi pada 490 nm

3.3.3. Pengaruh suhu terhadap residu ampas tapioka

Analisis terhadap morfologi residu ampas tapioka Gambar 3.5 menunjukkan bahwa matriks biomassa ampas tapioka belum banyak berubah setelah iradiasi gelombang mikro pada suhu 190 °C. Degradasi matriks biomassa baru terlihat pada contoh dengan perlakuan pemanasan pada suhu 210 °C. Hal ini menandakan sebagian komponen amorf pada matriks ampas tapioka sudah terdegradasi dan terlarut dalam hidrolisat. Bentuk bundel serat, yang diduga merupakan bundel serat selulosa masih terlihat utuh sampai dengan pemanasan pada suhu 230 °C. Hal ini mengindikasikan bahwa selulosa mengandung gugus kristalin yang menjadikannya tahan terhadap pemanasan gelombang mikro pada suhu tersebut. Hasil analisis ini mirip dengan hasil analisis terhadap morfologi residu ampas tapioka dari proses hidrolisis tanpa penambahan karbon aktif pada Bab 2.3.3.5 yang memperlihatkan bagian matriks yang berupa bundel serat Suhu Karbon Aktif Granul KAG Karbon Aktif Tepung KAT °C pH Absorbansi pada 490 nm HMF mgg pH Absorbansi pada 490 nm HMF mgg 180 3,84 ± 0,17 0,102 ± 0,013 tt 3,97 ± 0,23 tt tt 190 3,67 ± 0,05 0,147 ± 0,028 tt 3,92 ± 0,22 tt tt 200 3,57 ± 0,02 0,196 ± 0,025 0,72 ± 0,43 3,87 ± 0,25 tt 0,13 ± 0,02 210 3,35 ± 0,04 0,247 ± 0,006 5,87 ± 0,83 3,58 ± 0,11 0,001 ± 0,000 1,73 ± 0,15 220 3,13 ± 0,06 0,376 ± 0,028 20,58 ± 0,10 3,26 ± 0,06 0,008 ± 0,000 9,83 ± 0,18 230 2,89 ± 0,04 0,759 ± 0,069 56,60 ± 4,53 3,07 ± 0,09 0,029 ± 0,006 22,44 ± 1,41 180 190 200 210 220 230 180 190 200 210 220 230