terhadap distribusi maltooligosakarida dari fraksi terlarut menggunakan High Performance Liquid Chromatography
HPLC dengan kolom MCI CK04SS ukuran 7,5 x 200 mm, detektor refraktif indeks Shodex SE-51, pompa Jasco PU-
980, pemanas kolom Jasco CO-965, dan degasser Jasco DG 980-50. Pelarut yang digunakan adalah air dengan kecepatan elusi 0,3 mLmenit. Perhitungan
dilakukan menggunakan Jasco Chrom NAV data station. Kadar glukosa ditentukan menggunakan Glucose CII test kit Wako Junyaku, Co., Osaka,
dengan rincian prosedur seperti pada Lampiran 3. Rendemen glukosa dihitung berdasarkan berat bahan kering, yang dinyatakan sebagai dari berat bahan
kering dan berdasarkan pati dalam bahan starch-based theoretical yield, yang dinyatakan sebagai dari teoritis. Nilai pH hidrolisat diukur menggunakan pH
meter, dan pembentukan warna coklat ditentukan dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang 490 nm sebagaimana dalam Warrand dan Janssen 2007
serta Whistler dan Daniel 1985 dan dengan menganalisis kadar hidroksi metil furfural HMF mengikuti metode SNI 01-3545-2004 yang mengacu pada AOAC
980.23-1999 BSN 2004. Rincian prosedur analisis disajikan pada Lampiran 3.
2.2.5. Analisis residu ampas tapioka
Residu ampas tapioka dianalisis komposisi gula netralnya menggunakan HPAEC sebagaimana dijelaskan pada Bab 2.2.2. setelah dilakukan hidrolisis
bahan 3 bv menggunakan asam sulfat 72 pada suhu 120 °C selama 1 jam. Residu ampas tapioka dianalisis pula morfologi permukaannya menggunakan Low
Voltage Scanning Electron Microscope LV SEM Keyence VE-8800.
2.3. Hasil dan Pembahasan 2.3.1. Komposisi ampas tapioka
Analisis proksimat ampas tapioka Tabel 2.1 menunjukkan bahwa kandungan utama ampas tapioka adalah karbohidrat. Ampas tapioka mengandung
abu dan lemak dalam jumlah yang sangat kecil, masing-masing kurang dari 0,5, dan mengandung protein kasar 4,79 dari berat bahan kering. Hasil analisis ini
hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Sriroth et al. 2000 yang menyatakan bahwa kadar karbohidrat ampas tapioka adalah sekitar 95. Kadar pati ampas
tapioka 79,45 yang digunakan pada penelitian ini jauh lebih tinggi dan kadar serat kasarnya 4,84 jauh lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Sriroth et al.
2000, Srinorakutara et al. 2006, dan Kunhi et al. 1981, yaitu masing-masing 60-70, dan 10-27. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan sumber
ampas tapioka. Ampas tapioka untuk penelitian ini berasal dari industri rumah tangga tapioka di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dimana ubikayu dikupas sebelum
diparut untuk selanjutnya diproses menggunakan peralatan yang sangat sederhana, sedangkan yang digunakan oleh peneliti lain berasal dari industri besar. Pada
industri besar ubikayu tidak dikupas terlebih dahulu melainkan langsung diparut atau dihancurkan untuk proses lebih lanjut menggunakan peralatan yang lebih
baik yang memungkinkan proses ekstraksi pati yang lebih efisien. Dengan demikian, kadar pati yang tersisa dalam ampas tapioka dari industri rumah tangga
di Bogor akan lebih besar, sedangkan kadar seratnya menjadi lebih kecil karena proses ekstraksi pati yang kurang efisien dan dikupasnya kulit ubikayu sebelum
pengolahan. Hasil analisis kadar pati dan serat kasar terhadap contoh ampas tapioka yang berasal dari industri rumah tangga di Bogor dan industri kecil serta
industri besar tapioka di Propinsi Lampung Tabel 2.1 menguatkan alasan ini. Selain itu, hasil survei Siregar 2006 pada beberapa industri tapioka di Propinsi
Lampung juga menunjukkan adanya perbedaan rendemen tapioka yang diperoleh dari industri kecil 22 dan industri besar tapioka 25.
Pati dalam ampas tapioka mengandung amilosa sebesar 21,36. Kadar amilosa ini hampir sama dengan kadar amilosa dalam tapioka 20,47. Kadar
amilosa ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Zobel 1988, dan lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Atichokudomchai et al. 2000 dan Wickramasinghe et
al. 2009, namun masih dalam selang kadar amilosa 16-24 ubikayu
Mbougueng et al. 2008. Senyawa karbohidrat lain yang terkandung dalam ampas tapioka adalah hemiselulosa yang mengandung galaktan, xilan, arabinan,
dan mannan serta selulosa yang mengandung glukan. Jenis karbohidrat yang sama dilaporkan oleh Kosugi et al. 2009. Adapun komposisi relatif
monosakarida atau gula netral hasil hidrolisis karbohidrat yang terkandung dalam ampas tapioka dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.1 Komposisi kimia ampas tapioka dan tapioka
Komponen Ampas
Tapioka Tapioka
1 2 3 4 5 Air
11,48 7,74
7,02 12,77
10,56 10,75
Abu Basis
basah 0,33 0,72 0,68 0,80 1,31 0,10 Basis
kering 0,37 0,78 0,73 0,90 1,45 0,11 Protein
kasar Basis
basah 4,30 2,23 2,56 2,15 2,46 0,00 Basis
kering 4,79 2,40 2,74 2,42 2,72 0,00 Lemak
kasar Basis
basah 0,15 1,12 0,55 0,74 1,53 1,07 Basis
kering 0,17 1,21 0,59 0,83 1,69 1,19 Karbohidrat
Basis basah 83,74 88,19 89,19 83,55 84,14 88,08
by difference Basis kering 94,67 95,61 95,94 95,85 94,14 98,70
Serat kasar Basis basah
4,34 3,01
4,74 9,02
10,44 0,12
Basis kering 4,84
3,24 5,07
10,17 11,54
0,13 Pati
Basis basah 71,27
68,43 68,35
59,67 54,96
86,74 Basis kering
79,45 73,73
73,15 67,29
60,76 96,06
Amilosa dari pati 21,36
- -
- -
20,07 1 = bahan penelitian, asal industri rumah tangga, Bogor lolos 20 mesh
2 dan 3 = asal industri rumah tangga, Bogor 4 = asal industri kecil, Lampung
5 = asal industri besar, Lampung
Tabel 2.2 Komposisi relatif gula netral dalam ampas tapioka Komponen
Persentase relatif Arabinosa
0,49 ± 0,11 Rhamnosa
0,72 ± 0,13 Galaktosa
2,86 ± 0,39 Glukosa
94,04 ± 0,08 Xilosa
2,07 ± 0,99 Mannosa
0,05 ± 0,01
2.3.2. Sifat morfologis dan fisis ampas tapioka
Hasil analisis sifat morfologis ampas tapioka menunjukkan bahwa granula pati dalam ampas tapioka ukuran 10-16
m terikat pada matriks serat biomassa ampas tapioka Gambar 2.1a. Hal ini berbeda dengan granula pati tapioka
ukuran 10 - 23 m yang sudah bebas dari matriks bahan asalnya Gambar 2.1b.
Karena masih terikat dalam matriks biomassa, dan posisinya masih terkurung oleh matriks serat biomassa, maka diduga proses degradasi pati yang terdapat dalam
ampas tapioka akan lebih sulit dibandingkan dengan degradasi pati dalam tapioka. Proses penggilingan yang dilakukan untuk memperkecil ukuran partikel akan
meningkatkan luas permukaan partikel dan memotong sebagian matriks serat yang
membungkus granula pati dalam ampas tapioka, sehingga diharapkan dapat memberi akses yang lebih besar terhadap granula pati yang akan dihidrolisis.
Gambar 2.1 Citra SEM ampas tapioka a dan tapioka b.
Difraktogram sinar X pada ampas tapioka dan tapioka Gambar 2.2 menunjukkan bahwa kedua bahan mempunyai puncak yang kuattinggi pada nilai
2 sebesar 16°, 17°, 18°, dan 23°. Tipe spektrum ini mendekati spektrum pati
tipe A seperti halnya pati jagung. Spektrum ini juga hampir sama dengan spektrum pati tapioka yang mempunyai puncak yang kuat pada 15°, 17°, 18° dan
23° seperti yang dilaporkan oleh Atichokudomchai et al. 2001. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa pati tapioka mempunyai dua tipe spektrum sinar X,
yaitu A dan C Sair 1967 atau spektrum tipe C Zobel 1988, namun pola C berubah ke A setelah perlakuan panas dalam keadaan lembab Sair 1967; Zobel
1988. Semula diduga proses pengeringan yang dilakukan dalam proses produksi tapioka menyebabkan berubahnya tipe spektrum tapioka maupun ampas tapioka
dari C ke A. Namun, hasil analisis spektrum kedua bahan yang dikeringkan dengan menggunakan pengering beku masih tetap menunjukkan pola spektrum
yang sama, yaitu mendekati pola spektrum pati tipe A. Ampas tapioka mengandung pati dan serat, dimana masing-masing
mempunyai sifat kristalinitas. Hasil analisis difraksi sinar X menunjukkan bahwa kristalinitas ampas tapioka yang digunakan pada penelitian ini lolos ayakan 20
mesh adalah 15,57. Nilai kristalinitas ini jauh lebih rendah dari nilai kristalinitas ampas tapioka yang tidak mengalami penggilingan, yaitu 42,61
Tabel 2.3. Hal ini menandakan bahwa penggilingan yang dilakukan terhadap
a b
ampas tapioka menurunkan kristalinitasnya, terutama kristalinitas serat yang ada di dalam ampas tapioka. Penggilingan terhadap pati yang diekstrak dari ubikayu
menjadi tapioka yang berbentuk tepung halus ternyata tidak terlalu banyak menurunkan kristalinitasnya Tabel 2.3. Dari hasil analisis di atas diduga
komponen serat lebih berperanan dalam menentukan kristalinitas ampas tapioka sebelum mengalami penggilingan, sedangkan setelah mengalami penggilingan
komponen pati diduga lebih berpenanan terhadap kristalinitas ampas tapioka. Pada hidrolisis dengan menggunakan pemanasan gelombang mikro kristalinitas
ampas tapioka diduga akan mengalami penurunan karena terhidrolisisnya komponen pati dalam ampas tapioka.
Gambar 2.2 Difraktogram sinar X ampas tapioka dan tapioka. Tabel 2.3 Kristalinitas ampas tapioka dan tapioka
Bahan Kondisi Kristalinitas
Ampas tapioka Sebelum digiling
42,61 Sesudah digiling
15,57 Tapioka Sebelum
digiling 20,93 Sesudah digiling
17,89 2.3.3. Pengaruh iradiasi gelombang mikro terhadap karbohidrat dalam
ampas tapioka 2.3.3.1. Kelarutan
Pengamatan secara visual terhadap suspensi ampas tapioka sebelum pemanasan gelombang mikro menunjukkan bahwa hampir semua komponen