Analisis Permukaan Respon Optimasi hidrolisis ampas tapioka pada konsentrasi substrat tinggi

karbon aktif 1 g seperti pada hidrolisat ampas tapioka yang penambahannya dilakukan sebelum fermentasi. Selain itu, disiapkan pula larutan blanko substrat yang berisi air suling sebagai pengganti hidrolisat ampas tapioka atau glukosa.

5.2.5. Persiapan inokulum S.cerevisiae

Biakan S. cerevisiae diinokulasikan pada medium agar miring PDA Potato Dextrose Agar, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 5-7 hari. Sebanyak 5 mL medium YPG pH 5 dengan komposisi yeast extract 10 gL, pepton 20 gL dan glukosa 50 gL yang telah disterilisasi dimasukkan ke dalam medium agar miring yang telah ditumbuhi S. cerevisiae. Setelah itu, S. cerevisiae dirontokkan dan diinokulasikan ke dalam 25 mL medium YPG, kemudian diinkubasi di dalam waterbath shaker pada suhu 30 °C selama 24 jam. Densitas optikal OD inokulum yang diperoleh diukur pada panjang gelombang 600 nm, sedangkan penghitungan jumlah sel direct microscopic count dilakukan menggunakan haemocytometer. Pada penelitian ini diperoleh nilai OD 0,548 dan jumlah sel 1,3 x 10 8 . Inokulum yang diperoleh siap untuk diinokulasikan ke dalam medium fermentasi, yaitu hidrolisat ampas tapioka dan larutan glukosa.

5.2.6. Fermentasi hidrolisat ampas tapioka dengan S. cerevisiae

Semua hidrolisat dan larutan glukosa yang telah disiapkan disterilisasi pada suhu 121 °C selama 15 menit, lalu didinginkan. Setelah itu, ke dalamnya ditambahkan 3 mL inokulum S. cerevisiae, sehingga total volume hidrolisat, larutan glukosa maupun blanko substrat adalah 30 mL. Fermentasi dilakukan pada gyratory shaker dengan kecepatan 150 rpm dan suhu ruang. Pengambilan contoh dilakukan setelah fermentasi berlangsung selama 24, 48, 72, 96 dan 120 jam. Hidrolisat H1A dan H1B diamati sampai jam ke 96 karena dari hasil penelitian pendahuluan glukosa di dalam kedua hidrolisat ini sudah habis setelah inkubasi selama 72 jam. Hasil fermentasi disentrifugasi pada kecepatan 8.000 rpm, 5 °C selama 20 menit, lalu supernatan yang diperoleh dipisahkan dari residunya. Selanjutnya, terhadap supernatan yang diperoleh dari hasil fermentasi dilakukan pengukuran pH menggunakan pH meter dan kadar total padatan terlarut menggunakan ATAGO Hand Refractometer N-20, serta penentuan kadar glukosa menggunakan Glucose CII test kit Wako Junyaku, Co., Osaka, gula total metode fenol asam sulfat dan gula pereduksi metode Somogyi-Nelson. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 3. Kadar etanol di dalam supernatan dianalisis menggunakan gas kromatografi Shimadzu 14B dengan kolom Carbowax 20M dan detektor FID Flame Ionization Detector. Suhu kolom 80 °C isotermal dan tekanan udara, hidrogen dan nitrogen masing-masing 50, 70 dan 150 kPa. Sebagai larutan standar eksternal digunakan etanol. Kadar etanol dinyatakan dalam vv. Selanjutnya, dihitung produksi etanol gL, produktivitas etanol gLjam, dan hasil etanol g etanol g glukosa awal; g etanol g glukosa yang dikonsumsi; berdasarkan bahan kering ampas tapioka. Perhitungan untuk memperoleh nilai-nilai tersebut disajikan pada Lampiran 4. 5.3. Hasil dan Pembahasan 5.3.1. Pengaruh jumlah karbon aktif pada proses hidrolisis terhadap hasil glukosa dan kadar HMF hidrolisat ampas tapioka Dari penelitian sebelumnya Bab III dan Bab IV telah diketahui bahwa penambahan karbon aktif pada proses hidrolisis asam menggunakan iradiasi gelombang mikro di satu sisi menguntungkan dengan terhambatnya pembentukan senyawa berwarna coklat yang biasanya bersifat inhibitor pada proses fermentasi, namun di sisi lain kurang menguntungkan karena hasil glukosa yang diperoleh menjadi berkurang. Oleh karena itu, pada percobaan ini dilakukan variasi penambahan karbon aktif yang berkisar 10-50 dari berat ampas tapioka agar dapat diestimasi jumlah atau persentase karbon aktif yang ditambahkan untuk menghasilkan hidrolisat dengan kadar HMF yang cukup rendah 20 mg100 g dan hasil glukosa yang masih cukup tinggi, sekitar 80 basis pati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan karbon aktif, baik KA1 maupun KA2, sebesar 10 sudah terjadi penurunan kadar HMF yang tinggi, yaitu dari sekitar 70 menjadi sekitar 35, atau turun sekitar 50 Gambar 5.2. Dengan penambahan karbon aktif 10 dan 15 kadar HMF pada hidrolisat dengan KA1 sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pada hidrolisat dengan KA2. Namun, pada penambahan karbon aktif 20, 25 dan 50, kadar HMF pada hidrolisat dengan KA1 jauh lebih rendah dibandingkan pada hidrolisat dengan KA2 Gambar 5.2. Hal ini diduga berkaitan dengan sifat adsorpsi karbon aktif, yaitu daya adsorpsi KA1 lebih tinggi daripada KA2 Tabel 4.1. 20 40 60 80 100 120 10 15 20 25 50 Karbon aktif H asi l g lu ko sa 10 20 30 40 50 60 70 80 90 H M F m g 1 g Rendemen KA1 Rendemen KA2 HMF KA1 HMF KA2 Gambar 5.2 Pengaruh jumlah karbon aktif KA terhadap hasil glukosa dan kadar HMF hidrolisat ampas tapioka. Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB Simpangan Baku n=2. Penambahan karbon aktif juga mengakibatkan hasil glukosa mengalami sedikit penurunan, yaitu dari sekitar 87 menjadi 79 atau turun sekitar 10-15 pada semua tingkat penambahan karbon aktif Gambar 5.2. Hal ini disebabkan terjadinya adsorpsi maltooligomer di permukaan karbon aktif sehingga maltooligomer tersebut tidak terdegradasi lebih lanjut menjadi glukosa Moon et al. 1997, Yoo et al. 2005, Matsumoto et al. 2008, 2011. Fenomena adsorpsi maltooligomer pada karbon aktif telah dijelaskan pada Bab III dan IV. Disamping itu, sebagian glukosa yang terbentuk dapat pula teradsorpsi pada permukaan karbon aktif seperti yang terlihat pada hasil percobaan menggunakan larutan glukosa Gambar 5.4 dan 5.5. 5.3.2. Pengaruh karbon aktif terhadap proses fermentasi 5.3.2.1. Nilai pH hidrolisat ampas tapioka Nilai pH pada hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif H0 mengalami penurunan secara nyata setelah 72 jam fermentasi, sedangkan pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif 1 H1A dan H1B penurunan nilai pH yang nyata sudah terlihat setelah 48 jam fermentasi dan pada hidrolisat dengan