larutan I
2
BM 126,90 menggambarkan daya serap karbon aktif terhadap senyawa dengan bobot molekul rendah, sedangkan daya serap terhadap larutan biru
metilena BM 319,86 menggambarkan daya serap karbon aktif terhadap senyawa dengan bobot molekul lebih tinggi. Luas permukaan karbon aktif ditentukan
berdasarkan daya serapnya terhadap larutan biru metilena. Walaupun perbedaan daya serap kedua karbon aktif terhadap larutan I
2
dan biru metilena tidak terlalu besar, namun hal ini tetap berpotensi mempengaruhi hasil hidrolisis ampas
tapioka yang berupa senyawa oligosakarida, monosakarida dan hasil degradasinya yang mempunyai bobot molekul yang bervariasi.
Tabel 3.1 Karakteristik karbon aktif Karbon Aktif
Karakteristik KAG KAT
Bentuk Granul Tepung
Ukuran 10-20 mesh
30-60 mesh pH 6,01
5,04 Sifat adsorpsi
- Daya serap I
2
mgg 1213,15
1222,48 - Daya serap biru metilena mgg
264,53 295,44
- Luas permukaan m
2
g 981,72 1096,44
3.3.2. Pengaruh suhu dan jenis karbon aktif terhadap hidrolisat ampas tapioka
Proses pelarutan komponen kimia dalam ampas tapioka berbeda pada hidrolisat yang diberi dua macam karbon aktif yang berbeda. Fraksi terlarut
dalam hidrolisat dengan perlakuan pemanasan gelombang mikro 180-230 °C selama 5 menit dan KAG menurun dengan semakin meningkatnya suhu hidrolisis,
sedangkan dalam hidrolisat dengan KAT meningkat dengan meningkatnya suhu hidrolisis Gambar 3.1a. Pada suhu 180-210 °C fraksi terlarut di dalam hidrolisat
dengan perlakuan KAT lebih rendah dari fraksi terlarut di dalam hidrolisat dengan perlakuan KAG. Hal ini diduga karena sifat adsorpsi KAT yang lebih baik dari
KAG seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.1, sehingga kemungkinan lebih banyak hasil hidrolisis berupa maltooligomer yang teradsorpsi di permukaan KAT.
Diduga maltooligomer yang teradsorpsi adalah maltooligomer dengan derajat polimerisasi yang tinggi. Semakin tinggi suhu hidrolisis maka semakin banyak
maltooligomer yang terbentuk. Ketika lebih banyak maltooligomer terbentuk, barulah maltooligomer tersebut tidak teradsorpsi dan berada di dalam hidrolisat,
kemudian terdeteksi sebagai fraksi terlarut di dalam hidrolisat. Pada KAG proses adsorpsi tersebut baru terjadi setelah pemanasan pada suhu 200-210 °C, yaitu saat
sudah banyak terbentuk maltooligomer dengan derajat polimerisasi yang lebih rendah. Hal ini ditandai dengan persentase fraksi terlarut di dalam hidrolisat yang
menurun pada pemanasan 200-210 °C. Ada kemungkinan KAG tidak mengadsorpsi maltooligomer dengan derajat polimerisasi tinggi seperti halnya
KAT. Menurut Matsumoto et al. 2008, arang aktif tepung yang digunakan pada hidrolisis pati jagung 1 g20 mL, 200 °C, 10 menit dapat mengadsorpsi
maltooligosakarida, mulai dari maltosa sampai dengan maltononaosa. Teradsorpsinya maltooligomer dan glukosa di permukaan kedua karbon aktif di
atas pada hidrolisis pati jagung menggunakan iradiasi gelombang mikro juga telah dilaporkan oleh Matsumoto et al. 2011, terbukti dengan didapatinya maltosa dan
glukosa setelah dilakukan desorpsi karbon aktif menggunakan etanol 50. Walaupun fraksi terlarut yang terbentuk selama hidrolisis pada suhu 180-230 °C
tidak dilaporkan, namun hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kecepatan sakarifikasi pada hidrolisat dengan penambahan KAG karbon aktif C pada suhu
180 dan 190 °C lebih tinggi dari kecepatan sakarifikasi pada hidrolisat dengan KAT karbon aktif D. Fenomena fraksi terlarut pada hidrolisat yang diberi
karbon aktif ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya Bab 2.3.3.1 menggunakan cara yang sama namun tanpa penambahan karbon aktif yang
memperlihatkan bahwa fraksi terlarut ampas tapioka dalam hidrolisat relatif konstan setelah perlakuan iradiasi gelombang mikro pada suhu 180-230 °C. Hal
ini turut menguatkan dugaan terjadinya adsorpsi maltooligomer di permukaan karbon aktif.
Berbeda dengan fraksi terlarut dalam hidrolisat, hasil glukosa yang diperoleh Gambar 3.1b dan profil elusi maltooligomer Gambar 3.2 dari proses hidrolisis
ampas tapioka menggunakan kedua jenis karbon aktif ternyata mempunyai kemiripan satu sama lain. Perubahan profil elusi hidrolisat ampas tapioka dari
suhu 200 °C sampai dengan 210 °C Gambar 3.2a dan 3.2b disertai pula dengan proses degradasi komponen berbobot molekul tinggi menjadi oligomer berbobot
molekul rendah, termasuk glukosa. Oleh karena itu, mulai suhu 200 °C sudah terlihat adanya glukosa dalam jumlah yang cukup banyak. Hasil glukosa
mencapai maksimum 52,27 basis pati dengan konsentrasi 20 gL dicapai setelah dilakukan pemanasan gelombang mikro pada suhu 220 °C. Tanpa
penambahan karbon aktif, glukosa dalam jumlah yang cukup banyak baru terlihat pada suhu 220 °C dan mencapai maksimum 32,41 dari teoritis pada suhu
230 °C Bab 2.3.3.2.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
170 180
190 200
210 220
230 Suhu
o
C F
raks i T
e rl
ar u
t
Air tanpa KA Air + KAG
Air + KAT
10 20
30 40
50
170 180
190 200
210 220
230 Suhu
o
C H
asi l G
lu ko
s a
Air tanpa KA Air + KAG
Air + KAT
Gambar 3.1 Fraksi terlarut dalam hidrolisat ampas tapioka a dan hasil glukosa b setelah iradiasi gelombang mikro selama 5 menit. Nilai pada
titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB Simpangan Baku n=3.
Kurva persentase fraksi terlarut dan hasil glukosa pada Gambar 3.1 menunjukkan bahwa persentase fraksi terlarut lebih tinggi daripada hasil glukosa.
Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam fraksi terlarut, selain glukosa terdapat juga hasil hidrolisis yang masih dalam bentuk maltooligomer, gula penyusun
hemiselulosa seperti xilosa, galaktosa, mannosa, rhamnosa dan arabinosa, serta senyawa-senyawa dengan bobot molekul lebih rendah yang berasal dari hasil
degradasi glukosa dan gula-gula penyusun hemiselulosa tadi. Pengaruh karbon aktif dalam meningkatkan hidrolisis ternyata jauh lebih
besar pada tapioka, dimana pati yang terdapat di dalamnya sudah dalam keadaan bebas, tidak terikat dalam matriks serat biomassa. Dalam hidrolisat tapioka yang
diperoleh dari perlakuan dengan penambahan karbon aktif, maltooligomer mulai terlihat pada suhu 180 °C Gambar 3.3a dan hasil glukosa mencapai maksimum
a b