Produksi etanol dari hidrolisat ampas tapioka

mendegradasi monomer gula yang terbentuk menjadi senyawa dengan bobot molekul lebih rendah lagi seperti asam astetat yang mengakibatkan penurunan pH atau furfural dan hidroksi metil furfural HMF yang mengakibatkan warna hidrolisat menjadi gelap. Agak berbeda dengan suhu, perbedaan lama pemanasan pendahuluan pada suhu hidrolisis yang tinggi 230 °C tidak terlalu berpengaruh terhadap kelarutan pati dalam ampas tapioka maupun pH hidrolisat Gambar 2.4, 2.7. Akan tetapi, terjadi penurunan kadar gula total dan sedikit peningkatan hasil glukosa dengan semakin lamanya pemanasan pendahuluan Gambar 2.4; Tabel 2.4. Oleh karena itu, dapat dikatakan suhu lebih berperan dalam proses hidrolisis ini. 6.3.Peranan pemanasan gelombang mikro pada hidrolisis ampas tapioka dalam medium asam Seperti halnya suhu, tingkat daya iradiasi juga berpengaruh terhadap hasil hidrolisis ampas tapioka. Pada proses hidrolisis dalam medium asam sulfat encer 0,5 terlihat bahwa kadar total padatan terlarut dan hasil glukosa yang diperoleh lebih tinggi pada proses menggunakan tingkat daya 550 W dibandingkan tingkat daya 330 W Gambar 4.1, 4.2. Peningkatan waktu pemanasan dan konsentrasi asam juga meningkatkan kadar total padatan terlarut dan hasil glukosa sampai titik tertentu, setelah itu tidak lagi terjadi peningkatan atau bahkan menurun. Peningkatan kadar total padatan terlarut dan hasil glukosa diiringi juga dengan peningkatan terbentuknya senyawa berwarna coklat di dalam hidrolisat, yang ditandai dengan semakin tingginya nilai absorbansi pada panjang gelombang 490 nm dan semakin tingginya kadar HMF Tabel 4.3, 4.4. Berbeda dengan dalam medium air, hasil glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis dalam medium asam jauh lebih tinggi. Dengan konsentrasi substrat yang sama 5 dapat diperoleh rendemen glukosa 80,80 dari bahan kering atau 91,52 basis pati setelah pemanasan pada tingkat daya 550 W selama 10 menit Gambar 4.2. Hasil glukosa yang diperoleh ini lebih rendah dari yang dilaporkan dalam Thongschul et al. 2010 yang melakukan hidrolisis ampas tapioka menggunakan asam khlorida, asam sulfat dan asam fosfat, namun dengan konsentrasi asam yang jauh lebih tinggi 0,75-2 N; 1 N HCl, H 2 SO 4 dan H 3 PO 4 masing-masing setara dengan 3,1; 2,7 dan 1,9 asam tersebut dan waktu hidrolisis yang lebih lama 15-60 menit. Hasil glukosa yang diperoleh pada penelitian ini setara atau lebih tinggi dari yang diperoleh peneliti lain menggunakan metode enzimatis 70-75 dari berat bahan kering, seperti yang dilaporkan oleh Rattanachmosri et al. 2009, Kosugi et al. 2009 dan Nair et al. 2011. Untuk memperoleh konsentrasi glukosa yang tinggi di dalam hidrolisat, maka dilakukan peningkatan konsentrasi substrat. Upaya ini terbukti dapat meningkatkan konsentrasi glukosa dalam substrat, namun menurunkan hasil glukosa Tabel 4.7. Efisiensi produksi glukosa atau perolehan glukosa tertinggi didapat pada konsentrasi substrat 15, tetapi perolehan ini tidak berbeda nyata dengan jika digunakan konsentrasi susbtrat 20. Oleh karena itu, optimasi proses dilakukan pada konsentrasi substrat 20. Hasil optimasi menunjukkan bahwa kondisi optimum hidrolisis ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro adalah dengan menggunakan konsentrasi asam sulfat 0,88 dan pemanasan 9 menit Gambar 4.5. Berdasarkan model persamaan matematis yang diperoleh pada kondisi ini, diestimasi akan didapat hasil glukosa 84,89 basis pati. Hasil validasi pada kondisi optimum diperoleh hasil glukosa 87,60 basis pati dengan konsentrasi glukosa 140 gL Tabel 4.10. Hasil dan konsentrasi glukosa yang diperoleh pada kondisi optimum ini lebih tinggi dari yang diperoleh melalui hidrolisis menggunakan kombinasi proses hidrotermal dan enzimatis 55 dari berat bahan kering; 105,8-116 gL pada konsentrasi substrat yang sama 20 yang memakan waktu proses yang lebih lama, yaitu 120 jam Kosugi et al. 2009. Konsentrasi glukosa yang diperoleh juga lebih tinggi dari yang diperoleh melalui hidrolisis menggunakan asam sulfat 4 dengan pemanasan konvensional 121 °C, 25 menit pada konsentrasi substrat yang sama 20 yang menghasilkan konsentrasi gula pereduksi sekitar 90 gL Srikanta et al. 1987.

6.4. Peranan karbon aktif pada hidrolisis dan kinerja fermentasi

Penggunaan karbon aktif terbukti dapat meningkatkan hasil glukosa pada proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro dalam medium air Gambar 3.1. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Matsumoto et al. 2011 yang melakukan hidrolisis pati jagung menggunakan pemanasan gelombang mikro dengan penambahan karbon aktif. Karbon aktif merupakan bahan yang mempunyai sifat menyerap mengabsorpsi energi gelombang mikro dan kemudian mengubahnya menjadi energi panas. Sifat ini digambarkan dengan nilai dielectric loss tangent tan δ, yaitu semakin tinggi nilai tan δ suatu bahan, maka semakin besar kemampuan bahan tersebut menyerap energi gelombang mikro dan mengubahnya menjadi panas Gabriel et al. 1998; Menendez et al. 2010. Dielectric loss tangent terdiri dari dua parameter, yaitu konstanta dielektrik dielectric constant dan dielectric loss factor. Konstanta dielektrik ε′ menggambarkan berapa banyak energi yang diserap dan berapa banyak yang dipantulkan, sedangkan dielectric loss factor ε′′ menggambarkan dissipasi energi listrik dalam bentuk panas pada bahan. Dielectric loss tangent diperoleh dari ε′′ε′. Menurut Menendez et al. 2010, pada 2,45 GHz dan 298 K air suling mempunyai nilai tan δ sebesar 0,12, sedangkan karbon aktif sebesar 0,57-0,80. Walaupun nilai tan δ karbon aktif yang digunakan pada penelitian ini tidak dianalisis, kemungkinan besar nilainya lebih besar daripada tan δ air suling. Hal ini diduga merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya peningkatan hidrolisis ampas tapioka dalam medium air. Selain itu, keberadaan karbon aktif juga diduga mengakibatkan terbentuknya mikroplasma hot spot pada titik-titik tertentu di permukaan karbon aktif yang menghasilkan suhu yang sangat tinggi, sehingga dapat mempercepat reaksi Zhang et al. 2007. Akan tetapi, fenomena hot spot ini tidak hanya terjadi pada permukaan karbon aktif, namun juga di lokasi lain. Pada lokasi-lokasi ini terjadi peningkatan suhu yang sangat tinggi yang disebabkan oleh tidak seragamnya pemanasan yang terjadi karena adanya ketergantungan sifat elektromagnetik dan sifat termal bahan terhadap suhu yang sifatnya tidak linear Jones et al. 2002. Penggunaan karbon aktif pada hidrolisis dalam medium air juga berdampak positif dengan dihasilkannya hidrolisat dengan warna yang lebih terang Gambar 3.4; Tabel 3.2, karena karbon aktif mengadsorpsi senyawa berwarna coklat, seperti furfural dan HMF, yang merupakan hasil degradasi sekunder karbohidrat. Semakin banyak karbon aktif yang ditambahkan, maka semakin rendah HMF dalam hidrolisat Tabel 3.3. Namun demikian, jika karbon aktif yang ditambahkan semakin banyak, pada titik tertentu terjadi penurunan hasil glukosa, yang diduga disebabkan oleh teradsorpsinya sebagian maltooligomer di permukaan karbon aktif, sehingga maltooligomer tersebut tidak terhidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa. Pada hidrolisis dalam medium asam sulfat, penambahan karbon aktif 10- 50 dari berat ampas tapioka, baik yang mempunyai luas permukaan atau daya adsorpsi tinggi maupun rendah, menurunkan hasil glukosa sekitar 10-15 Gambar 5.2. Ada beberapa kemungkinan yang mengakibatkan hal ini. Pertama, nilai dielectric loss tangent tan δ asam sulfat kemungkinan lebih tinggi daripada tan δ karbon aktif, walaupun sejauh ini belum diperoleh literatur yang melaporkan nilai tan δ asam sulfat. Dugaan ini berdasarkan nilai tan δ asam asetat dan asam formiat, masing-masing 0,174 dan 0,722 Gabriel et al. 1998, yang merupakan asam organik dan bersifat sebagai asam lemah. Kedua adalah karena adanya ion hidrogen pada asam sulfat yang dapat mempercepat terjadinya pemutusan ikatan glikosidik pada rantai molekul penyusun pati. Oleh karena itu, tanpa karbon aktif pun proses hidrolisis dalam medium asam sudah dapat berjalan dengan hasil glukosa yang tinggi. Adapun karbon aktif yang berada di dalam hidrolisat mengadsorpsi beberapa produk hidrolisis seperti maltooligomer, glukosa ataupun senyawa-senyawa hasil degradasi gula sederhana seperti HMF dan furfural, sehingga hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisat yang diberi perlakuan karbon aktif lebih rendah daripada tanpa karbon aktif. Karbon aktif dengan sifat adsorpsi yang sangat berbeda memberikan perbedaan dalam penurunan kadar HMF. Karbon aktif dengan luas permukaan atau daya adsoprsi yang tinggi dapat menurunkan kadar HMF lebih tinggi daripada karbon aktif dengan luas permukaan atau daya adsorpsi yang rendah. Untuk mempelajari lebih jauh peran karbon aktif terhadap kinerja fermentasi, maka proses fermentasi dilakukan pada hidrolisat tanpa karbon aktif, hidrolisat dengan karbon aktif ditambahkan pada proses hidrolisis dan hidrolisat dengan karbon aktif ditambahkan sebelum fermentasi. Sifat adsorpsi karbon aktif dan keberadaan karbon aktif dalam hidrolisat ternyata berpengaruh terhadap kinerja fermentasi pada hidrolisat. Karbon aktif dengan luas permukaan atau daya adsorpsi tinggi dapat meningkatkan produktivitas etanol dalam hidrolisat 0,44- 0,55 gLjam, sedangkan karbon aktif dengan luas permukaan atau daya adsorpsi yang rendah tidak 0,28-0,33 gLjam Tabel 5.2. Hasil penelitian penambahan karbon aktif ke dalam hidrolisat ampas tapioka sebelum fermentasi menyokong hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ikegamai et al. 2000 sehubungan dengan dugaan bahwa glukosa yang teradsorpsi di permukaan karbon aktif masih tetap dapat difermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae, sehingga walaupun konsentrasi glukosa menurun setelah penambahan kabon aktif, hasil etanol yang diperoleh tetap tinggi 32 dari berat ampas tapioka kering Tabel 5.3. Terjadinya fermentasi glukosa yang teradsorpsi di permukaan karbon aktif diduga berkaitan dengan proses kesetimbangan molekul glukosa di dalam larutan. Pada proses adsorpsi terjadi keseimbangan antara molekul yang diadsorpsi dan molekul dalam larutan. Ketika sebagian molekul glukosa dikonsumsi oleh khamir, maka untuk menjaga kesetimbangan terjadi desorpsi molekul glukosa dari permukaan karbon aktif ke dalam larutan, sehingga semua glukosa yang terbentuk pada proses hidrolisis tetap dapat difermentasi oleh khamir. Namun demikian, hal ini perlu dikaji lebih jauh dengan memperhatikan aspek-aspek lain yang terjadi pada sistem fermentasi heterogen ini, misalnya kecepatan difusi komponen- komponen yang ada di dalam hidrolisat pada permukaan karbon aktif. Pada hidrolisat dengan karbon aktif yang ditambahkan ke dalam suspensi ampas tapioka sebelum hidrolisis, walaupun produktivitas etanolnya tinggi 0,44 gLjam, hasil etanol yang diperoleh 29 dari berat ampas tapioka kering lebih rendah dari hidrolisat tanpa karbon aktif 31 dari berat ampas tapioka kering Tabel 5.2, 5.3. Hal ini memperkuat dugaan bahwa pada hidrolisat ini ada sebagian maltooligomer yang teradsorpsi di permukaan karbon aktif dan maltooligomer tersebut tidak terhidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa, sehingga tidak dapat dikonversi menjadi etanol oleh S. cerevisiae. Hasil etanol g etanol g glukosa awal dari ampas tapioka yang dihasilkan dari penelitian ini 0,46-0,50 g etanol g glukosa awal sedikit lebih rendah daripada yang didapatkan Thongchul et al. 2010 melalui proses hidrolisis enzimatis dan fermentasi dengan Rhizopus oryzae 0,52-0,59 g etanol g glukosa, namun hasil yang diperoleh Thongchul et al. 2010 ini perlu diklarifikasi karena nilainya lebih besar dari 0,511, yaitu nilai tertinggi yang mungkin diperoleh dari hasil konversi glukosa menjadi etanol. Dalam hal ini perlu diteliti apakah R. oryzae dapat mengkonversi gula sederhana dari hemiselulosa, seperti xilosa, menjadi etanol, sehingga hasil etanol yang diperoleh lebih besar dari 0,511 g etanol g glukosa. Hasil etanol yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari yang diperoleh Kosugi et al. 2009 melalui proses hidrolisis hidrotermal dan enzimatis serta fermentasi dengan S. cerevisiae 0,31 g etanol g glukosa maupun proses hidrotermal dan S. cerevisiae yang direkayasa mempunyai aktivitas glukoamilase 0,30 g etanol g glukosa. Adapun hasil etanol berdasarkan berat ampas tapioka kering 27-32 lebih tinggi daripada yang diperoleh Kunhi et al. 1981 melalui hidrolisis enzimatis dan fermentasi dengan S. cerevisiae, yaitu 27,050. Dengan demikian, hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro dengan penambahan karbon aktif dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif metode hidrolisis ampas tapioka menjadi glukosa yang selanjutnya akan digunakan untuk produksi etanol, dengan hasil yang setara atau lebih baik dari metode lain yang telah diteliti.

6.5. Potensi penggunaan pemanasan gelombang mikro untuk proses hidrolisis ampas tapioka

Salah satu alasan utama penggunaan pemanasan gelombang mikro pada proses kimia, termasuk hidrolisis bahan berpati seperti ampas tapioka adalah karena prosesnya yang berlangsung cepat, jauh lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan pemanasan konvensional. Hal ini disebabkan oleh perbedaan mekanisme pemanasan pada kedua metode. Proses pemanasan gelombang mikro dapat berlangsung dengan cepat karena energi dari gelombang elektromagnetik dapat menembus langsung ke dalam bahan yang dipanaskan, sedangkan pada pemanasan konvensional energi panas dari suatu sumber panas harus dipindahkan melalui proses konduksi atau konvenksi sebelum sampai pada bahan yang dipanaskan. Selain pengaruh akibat pemanasan, beberapa peneliti juga menduga bahwa penggunaan gelombang mikro mempunyai pengaruh yang bersifat non termal, misalnya terjadinya mutarotasi α-D-glukosa di dalam campuran etanol air setelah perlakuan pemanasan gelombang mikro Pagnota et al. 1993 atau terhidrolisisnya pati yang teretrogradasi oleh pemanasan gelombang mikro yang sebelumnya tidak dapat terhidrolisis pada pemanasan konvensional Yu et al.