2.2. Rezim Nilai Tukar
Pilihan dari rezim nilai tukar dan dampak dalam ekonomi sebuah negara merupakan salah satu dari banyak topik yang sering dikaji dalam kebijakan
ekonomi. Rezim ini dilihat sebagai dasar ekonomi yang hanya memengaruhi variabel nominal ekonomi dalam negara yang terlibat dan tidak pada tingkah laku
riilnya. Pada awalnya ada dua jenis rezim yang dipakai oleh sebuah negara berdasarkan model Mundell-Flemming yaitu rezim nilai tukar tetap fixed
exchange rate dan rezim nilai tukar mengambang floating exchange rate. Dua
rezim ini disebut juga sebagai bipolar view karena menyoroti kemudahan dalam pengaturan sangat ketat super-fixed arrangnment atau acuan yang tegas hard
pegs seperti currency boards atau dolarisasi sepihak sebagai jalan untuk
membeli kepercayaan yang dibutuhkan untuk menghindari serangan spekulasi mata uang Sturzenegger dan Yeyati, 2002. Currency boards adalah aturan
dimana bank sentral memegang mata uang yang cukup untuk mendukung mata uang yang domestik.
Pada rezim nilai tukar tetap, bank sentral sebuah negara menentukan dan mengumumkan nilai kurs dan siap membeli dan menjual mata uang domestik
untuk mempertahankan kurs sesuai dengan tingkat yang ditentukan Mankiw, 2000. Artinya, bank sentral sebuah negara harus memiliki cadangan devisa untuk
membiayai apabila terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran sehingga nilai tukar dapat dipertahankan. Sebagai contoh, apabila Bank Sentral Amerika Fed
menetapkan nilai tukar tetap pada mata uang yen sebesar 150 yen per dolar. Ini menunjukkan bahawa Bank Sentral Amerika Fed siap untuk memberi 1 US
untuk ditukar dengan 150 yen atau memberi 150 yen untuk ditukar dengan 1 US. Untuk menjalankan kebijakan ini, Fed sebagai bank sentral Amerika harus
menyediakan cadangan dolar untuk dicetak dan cadangan yen yang harus dibeli sebelumnya. Secara histori, rezim nilai tukar tetap telah ada pada tahun 1950-an
dan 1960-an, dimana banyak negara ekonomi dunia, termasuk Amerika Serikat menyepakati perjanjian Bretton-Woods. Perjanjian Bretton-Woods berisi sistem
moneter internasional yang disepakati oleh banyak negara untuk menentukan mata uang negara secara tetap kepada mata uang jangkar saat itu yakni dolar Amerika
Serikat US. Sistem ini mempunyai tujuan yaitu menghindarkan diri dari
kemungkinan terlalu berfluktuasinya nilai tukar yang menagadopsi rezim mengambang bebas dan sistem Bretton-Woods disusun untuk menghindarkan dari
dari kemungkinan negara-negara anggota melakukan devaluasi nilai mata uangnya untuk menyelesaikan ketidakseimbangan neraca pembayaran yang
dihdapi. Tetapi perkembangan sistem Bretton-Woods hanya sampai pada tahun 1970-an dan sejak tahun 1970-an, fluktuasi nilai tukar riil melonjak secara
dramatis. Pada rezim nilai tukar mengambang bebas, kurs ditentukan oleh pasar dan
dibiarkan berfluktuasi dengan bebas untuk menanggapi kondisi perekonomian yang sedang berubah. Pada rezim ini, nilai tukar nominal e menyesuaikan untuk
mencapai keseimbangan simultan di pasar barang dan pasar uang. Selain itu bank sentral negara tersebut tidak ikut campur dalam penentuan nilai tukar. Kelebihan
dari rezim nilai tukar mengambang bebas adanya penyesuaian yang lebih baik apabila terjadi defisit atau surplus neraca pembayaran, memberikan kesempatan
lebih banyak pada individu atau bank sentral untuk menyusun kembali portofolio, dan bank sentral tidak perlu memiliki cadangan devisa yang banyak untuk
menjaga likuiditas sehingga bank sentral memiliki kesempatan yang lebih untuk melakukan yang lebih independen.
Rezim nilai tukar yang diadopsi oleh sebuah negara mempunyai pengaruh dan peranan yang cukup signifikan dalam meminimalisasi resiko dari fluktuasi
nilai tukar yang mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Mussa 1986 substansi dan perbedaan sistematik dalam pola fluktuasi
nilai tukar riil menyangkal hipotesis kenetralan rezim nilai tukar nominal. Kenetralan rezim nilai tukar ini konsisten dengan model market-clearing sebagai
penentu harga tingkat nasional. Model market-clearing menjelaskan bahwa tingkat komoditi yang ditawarkan sama dengan tingkat komoditi yang diminta.
Apabila sejalan dengan hipotesis kenetralan rezim nilai tukar nominal, seharusnya rasio harga tingkat nasional harus menunjukkan dengan jelas kesamaan derajat
fluktuasi di bawah rezim nilai tukar nominal tetap. Sebagai gambaran, fluktuasi nilai tukar riil di bawah rezim nilai tukar mengambang bebas, rasio harga tingkat
nasional menunjukkan fluktuasi terlalu kecil di bawah rezim nilai tukar tetap.
Sedangkan stabilitias nilai tukar riil di bawah rezim nilai tukar tetap, rasio harga tingkat nasional menunjukkan fluktuasi terlalu kecil di bawah rezim mengambang
bebas. Seharusnya, rasio harga tingkat nasional di bawah rezim nilai tukar mengambang bebas pergerakannya tidak cukup untuk mengimbangi fluktuasi nilai
tukar nominal di bawah rezim nilai tukar mengambang bebas itu sendiri dan dengan demikian untuk menjaga kesimbangan stabilitas kurs riil dikaji melalui
rezim nilai tukar tetap. Kesimpulan akhir yang diperoleh rasio harga di tingkat nasional menunjukkan fluktuasi terlalu kecil, di bawah salah satu rezim nilai
tukar, yang menyiratkan hipotesis kenetralan rezim nilai tukar nominal. Berdasarkan model Mundell-Fleming, kaitan antara dampak kebijakan
dengan rezim nilai tukar yang diadopsi oleh suatu negara dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1. Kaitan antara Dampak Kebijakan dengan Rezim Nilai Tukar Rezim Kurs
Mengambang Tetap
berdampak pada Kebijakan
Y e
NX Y
e NX
Ekspansi Fiskal ↑
↓ ↑
Ekspansi Moneter ↑
↓ ↑
Hambatan Impor ↑
↑ ↑
Sumber: Mankiw, 2000
Tabel 2.1. diperlihatkan arah dari pengaruh berbagai kebijakan ekonomi terhadap pendapatan Y, kurs nominal e, dan neraca perdagangan NX. Tanda “↑ ”
menunjukkan bahwa variabel meningkat, tanda “↓ ” menunjukkan variabel menurun, tanda “0” menunjukkan tidak ada dampak.
Pada perkembangannya rezim nilai tukar mengalami perubahan seperti adanya rezim nilai tukar tertambat pegged exchange rate dimana suatu negara
menambatkan mata uangnya dengan suatu mata uang atau sekelompok mata uang lain yang biasanya merupakan mata uang negara mitra dagang utama. Ini berarti
mata uang tersebut bergerak mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya. Jadi mata uang yang ditambatkan tidak mengalami fluktuasi terhadap mata uang
lain, tetapi mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya.
Kemudian rezim nilai tukar merangkak crawling peg rates dimana negara melakukan sedikit perubahan dalam nilai mata uangnya secara periodik dengan
tujuan bergerak menuju suatu nilai tertentu pada rentang waktu tertentu. Keuntungan dari rezim ini adalah suatu negara dapat mengatur penyesuaian
kursnya dalam periode yang lebih lama dibandingkan rezim nilai tukar tertambat. Ada lagi yang disebut rezim nilai tukar mengambang bebas terkendali managed
floating exchange rate system dimana suatu negara menerapkan nilai tukar
mengambang terkendali apabila bank sentral melakukan intervensi di pasar valuta asing tetapi tidak ada komitmen untuk mempertahankan nilai tukar secara berkala
atau mengurangi tingkat fluktuasi pada tingkat moderat, serta mencegah pergerakan nilai yang terlalu besar Simorangkir dan Sueno, 2005 dalam
Partisiwi, 2008.
Tabel 2.2. Rezim Nilai Tukar Negara dalam Seluruh Kawasan Negara
Mata Uang Sistem Nilai Tukar
Indonesia Rupiah
Mengambang Terkendali Malaysia
Ringgit Mengambang Terkendali
Singapura Dollar Singapura
Mengambang Terkendali Filipina
Peso Filipina Mengambang Bebas
Thailand Bath
Mengambang Terkendali Jepang
Yen Mengambang Bebas
Korea Selatan Won
Mengambang Bebas Australia
Dollar Australia Mengambang Bebas
New Zealand Dollar New Zealand
Mengambang Bebas China
Yuan Merangkak Crawling Peg
India Rupee
Mengambang Terkendali Jerman
Euro Mengambang Bebas
Perancis Euro
Mengambang Bebas Inggris
Poundsterling Mengambang Bebas
Kanada Dollar Kanada
Mengambang Bebas Meksiko
Peso Meksiko Mengambang Bebas
Amerika Serikat Dollar Amerika Serikat
Mengambang Bebas
Sumber: IMF, De Facto Classification of Exchange Rate Regimes and Monetary Policy Frameworks
, 2008
2.3. Teori Paritas Daya Beli