Analisis Unsur Hara Tanah

sangat tinggi pH lebih dari 9,0 karena banyak mengandung garam Na Anonim 1991.

5.4.2.2 Analisis Unsur Hara Tanah

Analisis unsur hara tanah yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur hara tanah terutama yang berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman, khususnya tanaman kehutanan. Unsur-unsur hara yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah unsur hara yang termasuk kedalam unsur hara esensial. Pengambilan sampel dilakukan pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran menggunakan metode tanah terusik dengan kedalaman 20 cm. Pada Tabel 20 dapat dilihat penetapan unsur hara tanah. Tabel 20. Analisis kimia unsur hara pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran Kondisi hutan Kedalaman P ppm Ca Mg K Na Hutan Primer 20 cm 2.54 0.40 0.40 0.11 0.92 Hutan setelah ditebang 20 cm 2.37 0.38 0.20 0.12 0.66 Hutan setelah penjaluran 20 cm 2.71 0.49 0.48 0.20 1.61 Berdasarkan Tabel 20 kandungan unsur hara pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran menunjukkan kandungan unsur hara yang rendah. Kandungan Ca mempunyai nilai berkisar antara 0,38 sampai 0,49. Kandungan Mg mempunyai nilai berkisar antara 0,20 sampai 0,48, Kandungan K mempunyai nilai berkisar antara 0,11 sampai 0,20, dan kandungan Na mempunyai nilai berkisar antara 0,66 sampai 1,61. Kandungan kation basa yang rendah Ca, Mg, P dan Na menyebabkan tingkat kejenuhan basa juga rendah. Unsur hara fosfor P merupakan salah satu unsur hara yang keberadaannya dipengaruhi oleh kation asam. Pada kondisi asam dengan kandungan Fe dan Al yang tinggi maka ion P akan diikat oleh kation asam sehingga unsur P tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini sependapat dengan Poerwowidodo 1992 yang menyatakan kemasaman tanah memegang peranan penting pada ketersediaan P. Sedangkan menurut Hardjowigeno 2003 pada tanah masam unsur P tidak dapat diserap oleh tanaman karena difiksasi oleh Al, sedangkan pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap oleh tanaman karena difiksasi oleh Ca. Sedangkan untuk penetapan tingkat kesuburan hara esensial pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Penetapan tingkat kesuburan tanah berdasarkan hasil analisis kimia tanah Kondisi hutan Kedalaman cm N C-org KTK KB Status kesuburan tanah Hutan Primer 20 0.15 1.52 9.59 19.08 Sedang Hutan setelah Ditebang 20 0.16 1.68 8.98 15.14 Sedang Hutan setelah Penjaluran 20 0.12 1.20 8.69 31.99 Sedang Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya baik di kehutanan maupun pertanian. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik Anonim 1991. Berdasarkan tabel diatas kandungan C-organik dalam tanah menunjukkan nilai yang rendah. Nilai terendah terdapat pada hutan setelah penjaluran yaitu sebesar 1,20. Bahan organik tanah sangat menentukan interaksi antara komponen abiotik dan biotik dalam ekosistem tanah. Musthofa 2007 dalam penelitiannya menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari 2 persen, Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi maka sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan bahan organik sangat erat berkaitan dengan KTK Kapasitas Tukar Kation. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir Hardjowigeno 2003. Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik dan pengapuran serta pemupukan. Kejenuhan basa merupakan perbandingan dari jumlah kation basa yang ditukarkan dengan kapasitas tukar kation yang dinyatakan dalam persen. Kejenuhan basa rendah berarti tanah kemasaman tinggi dan kejenuhan basa mendekati 100 tanah bersifal alkalis. Tampaknya terdapat hubungan yang positif antara kejenuhan basa dan pH. Akan tetapi hubungan tersebut dapat dipengaruhi oleh sifat koloid dalam tanah dan kation-kation yang diserap. Tanah dengan kejenuhan basa sama dan komposisi koloid berlainan, akan memberikan nilai pH tanah yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan derajat disosiasi ion H + yang diserap pada permukaan koloid Anonim, 1991. Sedangkan untuk nilai kejenuhan basa KB pada hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran mempunyai nilai berkisar antara 15,14 sampai 31,99, dimana nilai ini masuk dalam kriteria tidak subur. Kejenuhan basa selalu dihubungkan sebagai petunjuk mengenai kesuburan sesuatu tanah. Kemudahan dalam melepaskan ion yang dijerat untuk tanaman tergantung pada derajat kejenuhan basa. Tanah sangat subur bila kejenuhan basa 80, berkesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50-80 dan tidak subur jika kejenuhan basa 50 . Hal ini didasarkan pada sifat tanah dengan kejenuhan basa 80 akan membebaskan kation basa dapat dipertukarkan lebih mudah dari tanah dengan kejenuhan basa 50 Anonim, 1991. Namun secara umum jenis-jenis dipterocarpaceae dapat tumbuh di daerah yang kurang subur. Hal ini disebabkan karena akar pada pohon jenis-jenis dipterocarpaceae berasosiasi dengan mikoriza sehingga dapat mengjangkau unsur hara yang keberadaannya jauh dari tempat tumbuhnya. Apabila dibandingkan antara hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran pada umumnya hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kandungan unsur hara di areal hutan setelah dilakukan penjaluran lebih tinggi dibandingkan hutan primer dan hutan setelah dilakukan penebangan. Hal ini disebabkan oleh adanya keterbukaan tajuk yang cukup dari kegiatan pemanenan sehingga sinar matahari dapat langsung mengenai lantai hutan. Kondisi ini akan memacu terjadinya proses dekomposisi dari unsur hara tanah oleh mikroorgaisme meningkat. Namun dengan adanya keterbukaan tajuk ini akan mengakibatkan terjadinya leaching yang meningkat serta laju run-off yang membawa unsur hara yang telah terurai meningkat. Menurut van Dam 1967 ukuran gap tidak mempengaruhi laju dekomposisi dari daun, tanaman berkayu, kayu bagi tanaman dan bunga, tetapi keberadaannya mempercepat laju dekomposisi dari humus di permukaan tanah dibandingkan dengan hutan primer. Meskipun terjadi peningkatan dekomposisi di lantai hutan dan tersedianya unsur hara yang cukup bagi tanaman tetapi dengan adanya gap ini akan menyebabkan terjadinya leaching sehingga unsur hara yang telah terdekomposisi menjadi sedikit tersedia bahkan tidak tersedia bagi tanaman.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur TPTJ di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal. Kerusakan dipengaruhi oleh kelerengan, lebar tajuk, diameter pohon dan kegiatan penyaradan. 2. Penurunan jumlah jenis tertinggi pada hutan setelah tebangan tingkat vegetasi pancang sebesar 12 jenis pada kelerengan datar 0-15 dan hutan setelah penjaluran tingkat vegetasi pohon sebesar 28 jenis pada kelerengan datar 0-15. 3. Keanekaragaman jenis pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran untuk tingkat vegetasi semai 2,78-3,24, tingkat pancang 2,78-3,44, tingkat tiang 2,88-3,22 dan tingkat pohon 2,48-3,63. Sehingga menurut Shannon-wiener keanekaragaman tergolong tinggi karena mempunyai nilai 2,00. 4. Penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur TPTJ menyebabkan keterbukaan dan kerusakan tegakan sebesar 38,98 pada kelerengan datar 0-15, 46,20 pada kelerengan sedang 15-25 dan 30,8 pada kelerengan curam 25-45. 5. Struktur tanah pada hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran berupa butiran dengan bobot isi berkisar antara 0,86- 1,37 dan kadar air berkisar antara 28,17-38,28, pH H 2 O berkisar antara 3,8-4,0 dan KCL berkisar antara 3,0-3,1.

Dokumen yang terkait

Komposisi dan struktur tegakan areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia Intensif (TPII) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawti, Kalimantan Tengah

3 49 107

Komposisi dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)

3 21 271

Model Struktur Tegakan Pasca Penebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

1 19 70

Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

1 24 109

Perkembangan tegakan pada areal bekas tebangan dengan teknik silvikultur Tebang pilih tanam Indonesia intensif (TPTII) (Di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

0 11 232

Kualitas tanah pada sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur(TPTJ) di areal kerja IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma provinsi Kalimantan Tengah

1 14 77

Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII): studi kasus di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah

2 16 96

Struktur, Komposisi Tegakan dan Riap Tanaman Shorea parvifolia Dyer. pada Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif

0 2 160

Kualitas Tanah pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat

0 6 30

Struktur tegakan pasca penebangan pada sistem tebang pilih tanam jalur di konsesi hutan PT Erna Djuliawati

1 7 37