Kerapatan dan Frekuensi Jenis

Pada kondisi hutan setelah penebangan mengalami penurunan jumlah jenis yang hampir merata pada setiap tingkat vegetasi di setiap tingkat kelerengan. Penurunan jumlah jenis terbesar terdapat pada tingkat pancang di kelerengan 0- 15 yaitu sebanyak 12 jenis. Penurunan jenis tersebut diakibatkan adanya kegiatan pemanenan, penyaradan dan pembersihan lahan sebelum penebangan. Pada kondisi hutan setelah penjaluran mengalami penurunan jumlah jenis pada tingkat pohon di kelerengan 0-15 sebanyak 28 jenis dan kelerengan 25- 45 sebanyak 15 jenis, pada tingkat tiang di kelerengan 0-15 sebanyak 5 jenis. Sedangkan pada tingkat semai dan pancang mengalami kenaikan di semua kelerengan. Kenaikan jumlah jenis terbesar terdapat pada tingkat semai di kelerengan 15-25 yaitu sebanyak 15 jenis. Sedangkan kenaikan jumlah jenis terbesar terdapat pada tingkat pancang di kelerengan 0-15 yaitu sebanyak 14 jenis. Kenaikan jenis tersebut diakibatkan karena pengukuran dilakukan pada plot bekas tebangan tahun 2007 yang dilakukan penjaluran pada tahun 2008, yang mana telah terjadi pembukaan tajuk, perbedaan tempat tumbuh dan masuknya cahaya matahari yang optimal sampai ke lantai hutan sehingga memacu pertumbuhan semai dan pancang di dalam hutan.

5.1.2.1 Kerapatan dan Frekuensi Jenis

Kerapatan tegakan pohon per hektar dapat digunakan untuk menganalisis apakah tegakan pada hutan tersebut sudah pulih terutama untuk jenis komersial yang akan ditebang pada daur berikutnya. Tabel 6. Kerapatan jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran Kondisi hutan Kelerengan Kerapatan Semai Pancang Tiang Pohon Hutan Primer 0-15 20375.00 3413.33 1436.67 271.00 15-25 19916.67 3440.00 1235.00 297.67 25-45 23416.67 3440.00 631.67 208.00 Hutan Setelah Penebangan 0-15 9083.33 1660.00 836.67 153.33 15-25 7000.00 1633.33 691.67 170.67 25-45 13250.00 2093.33 413.33 135.67 Hutan Setelah Penjaluran 0-15 26625.00 4093.33 615.00 173.86 15-25 28250.00 4473.33 856.67 170.08 25-45 30333.33 5180.00 708.33 132.95 Kerapatan suatu individu dapat diketahui dengan cara menghitung jumlah suatu jenis individu per luasan. Dari Tabel 6 dapat dilihat nilai kerapatan antara kondisi hutan primer dan hutan setelah penebangan secara umum mengalami penurunan untuk masing-masing pada tingkatan vegetasi di setiap kelerengan. Penurunan kerapatan terbesar untuk hutan setelah penebangan pada tingkat semai terjadi di kelerengan 15-25 sebesar 12916.67, pada tingkat pancang terjadi di kelerengan 15-25 sebesar 1806.67, pada tingkat tiang terjadi di kelerengan 0-15 sebesar 600.00 dan pada tingkat pohon terjadi di kelerengan 15-25 sebesar 127.00. Penurunan yang besar pada tingkat vegetasi semai dan pancang disebabkan karena rusak tertimpa oleh pohon yang ditebang dan penyaradan serta penyiapan daerah pengaman untuk kegiatan penebangan. Sedangkan untuk hutan setelah penjaluran penurunan kerapatan terbesar terjadi di tingkat tiang pada kelerengan 0-15 sebesar 221.67 dan pada tingkat pohon terjadi di kelerengan 25-45 sebesar 2.71. Untuk tingkat semai dan tingkat pancang terjadi peningkatan pada semua kelerengan, hal ini disebabkan karena pengukuran dilakukan pada plot bekas tebangan tahun 2007 yang dilakukan penjaluran pada tahun 2008, yang mana telah terjadi pembukaan tajuk, perbedaan tempat tumbuh dan masuknya cahaya matahari yang optimal sampai ke lantai hutan sehingga telah terjadi pertumbuhan semai dan pancang di dalam hutan yang akan meningkatkan nilai kerapatan. Mengacu pada pedoman Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI harus tersedia minimal 400 batanghektar untuk tingkat semai, 200 batanghektar untuk tingkat pancang, 75 batanghektar untuk tingkat tiang dan 25 batanghektar untuk tingkat pohon jenis komersial dan sehat yang tersebar merata Departemen Kehutanan, 1993. Sehingga kondisi hutan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur TPTJ telah memenuhi syarat. Sedangkan untuk perubahan frekuensi pada kondisi hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran dapat dilihat pada Tabel 7. Sedangkan frekuensi jenis pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Frekuensi jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran Kondisi hutan Kelerengan Kelompok kayu Tingkat vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon Hutan primer 0-15 DL 0,00 0,59 0,19 0,66 KD 83,45 75,73 80,38 79,80 KTD 16,55 23,68 19,42 19,54 15-25 DL 0,82 0,00 0,00 0,82 KD 88,52 80,42 84,13 83,69 KTD 10,66 19,58 15,87 15,50 25-45 DL 3,49 3,41 1,00 2,48 KD 81,59 72,44 75,00 75,68 KTD 14,92 24,15 24,00 21,85 Hutan setelah pebangan 0-15 DL 0,00 0,98 0,29 1,05 KD 87,71 79,02 81,10 78,68 KTD 12,29 20,00 18,60 20,26 15-25 DL 0,00 0,00 0,00 0,98 KD 92,25 79,03 82,20 83,09 KTD 7,75 20,97 17,80 15,93 25-45 DL 2,46 3,11 0,96 2,30 KD 82,27 76,00 74,16 75,08 KTD 15,27 20,89 24,88 22,62 Hutan setelah penjaluran 0-15 DL 1,83 1,23 0,00 1,08 KD 76,66 72,95 80,37 87,05 KTD 21,51 25,82 19,63 11,87 15-25 DL 2,79 1,93 0,00 0,93 KD 74,46 79,15 78,04 78,64 KTD 22,75 18,92 21,96 20,43 25-45 DL 1,71 1,52 0,30 1,07 KD 79,06 76,85 75,00 77,94 KTD 19,23 21,63 24,70 21,00 Keterangan : DL: Dilindungi, KD: Komersial ditebang, KTD: Komersial tidak ditebang Berdasarkan Tabel 7 frekuensi jenis pada hutan setelah tebangan pada kelerengan datar 0-15 di berbagai tingkat vegetasi mengalami penurunan akibat adanya kegiatan pemanenan. Pada kondisi hutan ini sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial tidak ditebang. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 4,26, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 3,68, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 0,82 dan pada tingkat pohon penurunan yang terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang sebesar 1,12. Pada kelerengan sedang 15-25 di berbagai tingkat vegetasi mengalami penurunan akibat adanya kegiatan pemanenan, pada kondisi hutan ini sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang. Pada tingkat semai penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial tidak ditebang 2,91, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 1,39, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 1,93 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 0,6. Pada kelerengan curam 25-45 penurunan pada berbagai tingkat vegetasi juga terjadi akibat adanya kegiatan pemanenan, pada kondisi hutan ini sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu dilindungi. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 1,03, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 0,3, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 0,04 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 0,18. Pada kelerengan curam ini juga terjadi penurunan frekuensi pada kelompok kayu komersial ditebang pada tingkat vegetasi tiang sebesar 0,84 dan pada tingkat vegetasi pohon terjadi penurunan sebesar 0,6. Sedangkan frekuensi jenis pada hutan setelah penjaluran pada kelerengan datar 0-15 di berbagai tingkat vegetasi mengalami penurunan akibat adanya kegiatan pemanenan dan pembersihaan jalur tanam selebar 3 meter, pada kondisi hutan ini sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 11,05, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 6,07, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 0,73 dan pada tingkat pohon penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial tidak ditebang sebesar 8,39. Pada kelerengan sedang 15-25 di berbagai tingkat vegetasi mengalami penurunan akibat adanya kegiatan pemanenan dan pembersihaan jalur tanam selebar 3 meter, pada kondisi hutan ini sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 17,79, pada tingkat pancang penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial tidak ditebang sebesar 2,05, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 4,16 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 4,45. Pada kelerengan curam 25-45 penurunan pada berbagai tingkat vegetasi juga terjadi akibat adanya kegiatan pemanenan dan pembersihaan jalur tanam selebar 3 meter, pada kondisi hutan ini sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu dilindungi. Pada tingkat semai penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang sebesar 3,21, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 1,59, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 0,66 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 1,23.

5.1.2.2 Dominansi Jenis

Dokumen yang terkait

Komposisi dan struktur tegakan areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia Intensif (TPII) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawti, Kalimantan Tengah

3 49 107

Komposisi dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)

3 21 271

Model Struktur Tegakan Pasca Penebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

1 19 70

Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

1 24 109

Perkembangan tegakan pada areal bekas tebangan dengan teknik silvikultur Tebang pilih tanam Indonesia intensif (TPTII) (Di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

0 11 232

Kualitas tanah pada sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur(TPTJ) di areal kerja IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma provinsi Kalimantan Tengah

1 14 77

Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII): studi kasus di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah

2 16 96

Struktur, Komposisi Tegakan dan Riap Tanaman Shorea parvifolia Dyer. pada Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif

0 2 160

Kualitas Tanah pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat

0 6 30

Struktur tegakan pasca penebangan pada sistem tebang pilih tanam jalur di konsesi hutan PT Erna Djuliawati

1 7 37