keluarganya. Secara keseluruhan, pada setiap kelas persentase total pendapatan terhadap total pengeluaran didapatkan nilai positif yaitu nilai yang lebih besar dari
100 untuk persentase total pendapatan terhadap pengeluaran. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan responden mencukupi untuk membiayai
kebutuhan sehari-hari. Menurut Suharjito 2000, hutan rakyat hanya merupakan pendapatan
sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10 dari pendapatan total. Namun pada hutan rakyat di Pasir Madang justru dirasakan
peran yang sangat penting dan dapat menjadi hal yang bermanfaat secara kontinyu karena memberikan pendapatan lebih besar dari 10 terhadap pendapatan total.
Kontribusi yang besar dari hutan rakyat di daerah Pasir Madang memberikan dampak yang positif bagi petani hutan rakyat dari segi ekonomi.
Dapat dibandingkan bahwa hutan rakyat pada penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pendapatan sebesar 22,9 pada kelas 1, 29,1 pada kelas2,
61,5 pada kelas 3 dan 79,1 pada kelas 4, sedangkan pada penelitian Rachman sebesar 79,5. Agak sedikit berbeda jika dibandingkan dari hasil penelitian
Rachman dimana hasil hutan rakyat dari produk kayu memberikan kontribusi sebesar 6,5 Sedangkan pada penelitian ini hasil hutan rakyat dari produk kayu
sebesar 8,1 pada kelas 1, 13,8 pada kelas 2, 33,7 pada kelas 3 dan 55 pada kelas 4. Hal ini karena adanya pebedaan komoditas yang diusakan oleh petani
dimana pada penelitian Rachman komoditas utamanya adalah buah-buahan.
5.7. Garis Kemiskinan dan Kesejahteraan
Setelah mengetahui besarnya kontribusi dari hutan rakyat, dapat dihitung juga tingkat kemiskinan pada responden di daerah Pasir Madang, tingkat
kemiskinan ini dihitung untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dari responden. Suatu masyarakat belum tentu dapat dikatakan bebas dari kemiskinan dan belum
dikatakan sejahtera jika penghasilannya belum bisa memenuhi kebutuhan minimumnya. Sajogyo 1997 dalam Indaryanti, dkk 2006 menyatakan konsep
miskin atau tidak miskin tidak hanya bebas dari ancaman kelangsungan hidup secara fisikbiologis saja, tetapi juga harus mampu untuk hidup dan berfungsi
sebagai anggota masyarakat di lingkungan setempat. Pada lokasi penelitian, contoh penerapan konsep tidak miskin adalah mampu memenuhi kebutuhan
pangannya, mempunyai kelebihan uang untuk ditabung dan jika ada tetangga yang mempunyai hajat mengadakan acara atau syukuran maka masyarakat lain
ikut serta mengeluarkan biaya guna membantu pembiayaan acara tersebut. Pada penelitian ini tingkat kemiskinan seseorang dihitung menggunakan
standar pengukuran kemiskinan menurut Prof. Dr. Sajogyo. Garis kemiskinan mencangkup konsepsi nilai ambang kecukupan pangan dan menghubungkan
tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan kalori dan protein. Data hasil perhitungan garis kemiskinan untuk menentukan
kesejahteraan responden disajikan pada gambar berikut :
Gambar 7. Grafik jumlah dan persentase garis kemiskinan
Mengacu pada teori garis kemiskinan Sajogyo, hanya 10 orang atau 36,6 yang pendapatan perkapitanya di bawah standar konsep tidak miskin. Kategori ini
masuk kedalam kategori miskin sebesar 33,3 dari responden, yaitu rata-rata pengeluaran perkapitanya antara Rp. 1.224.000,- sampai Rp. 2.176.000,00, dan
kategori nyaris miskin sebesar 3,3, rata-rata pengeluaran perkapitanya kurang dari Rp. 1.224.000,-. Sedangkan untuk responden yang termasuk dalam kategori
tidak miskin sebanyak 19 orang dari 30 responden atau sebesar 63,3. Perhitungan dan pengelompokkan ini berasal dari perhitungan pengeluaran
perkapita dari masing-masing rumah tangga responden yang dibandingkan dengan harga beras perkilogram yang dikonsumsi oleh responden. Harga beras yang
dikonsumsi responden adalah sebesar Rp. 6.800,00kg yaitu beras jenis Muncul-1. Hasil perhitungan yang diperoleh berdasarkan standar garis kemiskinan
Sayogyo, jika pengeluaran perkapita rumah tangga 320 kg nilai tukar berasorangtahun atau pada kasus di Pasir Madang ini 320 kg x Rp. 6.800,00 =
Rp. 2.176.000,00, maka responden tersebut dapat dikategorikan tidak miskin. Untuk kategori miskin yaitu apabila pengeluaran perkapita rumah tangga antara
180 sampai 320 kg atau antara Rp. 1.224.000,- sampai Rp. 2.176.000,-. Untuk kategori nyaris miskin
≤ 180 kg nilai tukar berasorang pertahun atau ≤ 180 kg x Rp 6.800,00 = Rp. 1.224.000,-. Dari perhitungan maka diperoleh sebagian besar
resonden atau 63,3 dari jumlah responden kehidupannya berada di lapisan ambang kecukupan pangan. Rumah tangga dalam lapisan ini mampu mencapai
kebutuhan minimun pangan. Akan tetapi tidak semua responden di Pasir Madang ini merupakan warga yang hidup diatas garis kemiskinan menurut teori Sajogyo.
Masih terdapat sekitar 36,6 dari responden yang hidup berada di bawah garis kemiskinan menurut teori Sajogyo ini. Grafik diatas juga memperlihatkan
penurunan secara signifikan dari jumlah responden yang tidak miskin sampai responden yang paling miskin. Hal ini menunjukkan kondisi masyarakat tersebut
termasuk kategori cukup baik dari segi pemenuhan kebutuhannya karena telah mampu membiayai kebutuhan rumah tangganya.
Dalam menentukan miskin dan tidak miskinnya rumah tangga, teori Sajogyo ini masih kurang relevan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 9 dimana rumah
tangga miskin menurut teori Sajogyo pun bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini terlihat pada Tabel 10 dimana penghasilannya bisa lebih besar daripada
pengeluaran. Dalam usaha penuntasan kemiskinan, hutan rakyat memiliki peranan yang sangat penting. Hal ini juga dapat dilihat pada tabel 9 dimana peran hutan
rakyat dapat memberikan penghasilan tambahan bagi petani sehingga petani dapat memcukupi kebutuhan hidupnya. Pada tabel 10 juga menunjukkan bahwa hutan
rakyat dapat memberikan manfaatnya dan ini menunjukkan bahwa hutan rakyat berperan cukup penting dalam usaha menuntasakan kemiskinan terutama pada
masyarakat di pedesaan yang mengusahakan hutan rakyat.
5.8. Nilai Motivasi