Pengelolaan Hutan Rakyat oleh Petani di Wilayah Penelitian

pembatas lahan atau juga dalam bentuk larikan-larikan, sehingga lebih menyerupai sistem agroforestry. Baik pada model pertama maupun model kedua terlihat jelas bahwa petani berusaha memanfaatkan ruang lahan mereka dengan semaksimal mungkin dengan jenis tanaman kayu-kayuan maupun palawija sehingga sulit dijumpai areal lahan yang kosong. Gambar 2. Pola hutan rakyat di Pasir Madang Hutan rakyat yang terdapat di areal penelitian dibangun diatas lahan-lahan HGU. Letak hutan rakyat tersebut pada umumnya tidak berjauhan dari tempat tinggal petani. Luasan hutan rakyat yang dimiliki rumah tangga petani pada umumnya relatif kecil dan sebagian besar berada di bawah 0,5 ha. Gambar 3. Diagram proporsi sebaran luas kepemilikan hutan rakyat di Desa Pasir Madang.

5.2. Pengelolaan Hutan Rakyat oleh Petani di Wilayah Penelitian

Pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian pada umumnya masih dilakukan secara tradisional. Para petani melakukan budidaya penanaman sengon atau jenis lainnya dengan kurang memperhatikan aspek-aspek silvikultur tanaman, karena keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki. Tahapan kegiatan dalam budidaya hutan rakyat di wilayah penelitian terdiri dari beberapa kegiatan yang meliputi kegiatan-kegiatan pengadaan bibit, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. a. Pengadaan benih dan bibit Benih atau bibit tanaman yang digunakan petani umumnya berasal dari penjual ataupun menemukan dilingkungan mereka sekitar. Kemudian petani menyemai sendiri atau membeli langsung dalam bentuk bibit. Sampai saat ini belum pernah ada bantuan dalam bentuk benih maupun bibit dari instansi-instansi terkait. b. Persiapan dan penanaman Langkah awal dalam pembuatan adalah pembersihan lahan yang berupa penyiangan tumbuhan bawah. Langkah selanjutnya adalah pengolahan tanah, yang meliputi penggemburan tanah, penggebrusan akar alang-alang, penghalusan dan pembersihan tanah pada jalur tanam. Selanjutnya dibuat larikan untuk mempermudah penanaman sesuai jarak tanam. Lubang tanam untuk bibit dipersiapkan dengan menggali lubang sedalam 30 x 30 x 30 cm. Lubang tanam dibiarkan tiga sampai empat hari sebelum ditanami agar kandungan asam tanah hilang. Jarak tanam yang umumnya digunakan adalah 1,5-2 m x 2m. Gambar 4. Jarak tanam Penanaman bibit pada lubang tanam dilakukan dengan terlebih dahulu melepaskan polybag atau kantung plastik bibit. Polybag dilepaskan secara perlahan dan dijaga agar media bibit yang melindungi akar tetap kompak. Setelah bibit ditanam, lubang tanam dipadatkan dengan tanah di sekitarnya. c. Pemeliharaan tanaman Tidak banyak kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan di lokasi penelitian. Kegiatan pemeliharaan tanaman yang sering dilakukan adalah pembersihan tumbuhan bawah yang bertujuan untuk mengurangi dan mengendalikan tenaman pengganggu yang menjadi pesaing tanaman dalam memperoleh unsur-unsur hara, cahaya matahari dan air. Selanjutnya tumbuhan bawah tersebut dipakai oleh petani sendiri untuk pakan ternak yang dimiliki petani. Kegiatan selanjutnya yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan tanaman adalah pemberantasan penyakit. Serangga hama yang dijumpai di areal hutan rakyat ini adalah serangga perusak daun antara lain belalang, dan ulat daun. Tanda serangan yang disebabkan serangga perusak daun adalah daun tidak utuh, berlubang, dan daun habis, yang tersisa hanya tulang daunnya saja. Penyakit berikutnya yang ditemukan didaerah penelitian adalah Karat Puru. Penyebabnya adalah jamur karat Uromycladium tepperianum SaceMcAlp.. Rahayu 2007 dalam Jumali 2009, menyebutkan bahwa jamur karat puru hanya membutuhkan 1 inang saja yaitu tanaman sengon untuk menyelesaikan seluruh siklus hidupnya. Jamur hanya memerlukan satu macam spora yang dinamakan teliospora saja. Secara spesifik, telliospora mempunyai struktur yang berjalur, bergerigi dan setiap satu tangka terdiri dari 3 telliospora. Ukuran spora berkisar antara lebar 14-20 um dan panjang 17-28 um. Teliospora mudah diterbangkan oleh angin dari satu tempat ke tempat yang lain ataupun dari tanaman sengon satu ke tanaman sengon yang lain. Apabila telah mendapatkan tempat sesuai terutama pada bagian tanaman yang masih muda dan kondisi lingkungannya menguntungkan, teliospora akan berkecambah membentuk basidiospora. Basidiospora ini dapat secara langsung melakukan penetrasi, menembus lapisan epidermmis membentuk hypha didalam atau diantara sel-sel epidermis, xylem dan phloem. Pada semai, batang merupakan bagian tanaman yang paling rentan terhadap serangan jamur karat puru. Gambar 5. Pohon sengon yang terserang penyakit Serangan karat puru ditandai dengan terjadinya pembengkakan gall pada ranting cabang, pucuk-pucuk ranting, tangkai daun dan helai daun. Penyakit karat puru dapat menjadi persoalan yang serius dalam pengelolaan tanaman sengon. Penyebaran penyakit ini sangat cepat, dengan menyerang tanaman sengon mulai dari persemai sampai lapangan dan pada semua tingkatan umur. Kerusakan serius bila serangan terjadi pada tanaman muda, karena titik-titik serangan bisa terjadi di batang pokokutama sehingga batang pokokutama rusakcacat, tidak dapat menghasilkan pohon yang berkualitas tinggi. Serangan karat puru ini sebenarnya dapat dicegah sejak dini yaitu apabila gejala-gejala serangan terjadi ketika masih dalam persemaian harus segera dicabut dan dimusnahkan. Namun apabila tanaman sengon telah terjangkit serangan karat puru biasanya petani mengendalikannya dengan cara mekanik. Cara mekanik yaitu dengan memotong pucuk, cabang ranting yang telah terserang ataupun dengan melakukan penjarangan dengan memilah tanaman sengon yang telah terserang. Kegitan berikutnya adalah penjarangan. Penjarangan merupakan suatu perlakuan silvikultur dengan memberikan pengaturan ruang tumbuh bagi tanaman dengan melakukan penyeleksian tegakan yang memiliki pertumbuhan kurang baik, sehingga pada akhir daur didapatkan tegakan yang merata, sehat, berbatang lurus , dan tanpa cacat kayu. Adapun tujuan akhir dari kegiatan penjarangan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan sehingga pada akhir daur diperoleh tegakan dengan kualitas dan volume yang tinggi. Terdapat beberapa prinsip penjarangan yang dijadikan panduan bagi petani di lokasi penelitian yaitu target utama kegiatan penjarangan adalah tegakan tinggal yang berkualitas pada akhir daur bukan pada hasil kayu penjarangannya, pelaksanaan penjarangan dilakukan secara tepat dan benar. Dalam penjarangan dilakukan penebangan terhadap pohon yang tertekan dan memiliki pertumbuhan yang kurang baik atau terserang pengakit. Beberapa petani melakukan kegiatan pemelihaan penjarangan ini, namun banyak juga petani yang tidak melakukan kegitan penjarangan tersebut dikarenakan pola pikir sebagian petani yang menganggap jika dilakukan penjarangan maka petani akan merasa rugi. Pada umumnya, kegiatan pemeliharaan yang dilakukan dilokasi penelitian hanya sebatas pembersihan tumbuhan bawah saja. Untuk kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan lanjutan, penjarangan, penyulaman, tidak dilakukan oleh petani atau bisa dibilang dibiarkan tumbuh begitu saja. Hal ini dikarenakan adanya faktor keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani di daerah penelitian. Dari segi hasil hutan rakyat yang dipanen yang merupakan komoditas utama selain kayu adalah tanaman palawija. Tanaman palawija yang dibudidayakan di Desa Pasir Madang ini adalah jagung, kacang tanah, cabe, buncis, mentimun dan lain-lain. Komoditas tanaman palawija yang ditanam ini mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan dengan hasil hutan kayu baik dari segi lingkungan maupun dari segi waktu berproduksinya bahkan jika hasilnya dipanen hanya akan menyebabkan degradasi dalam jumlah kecil sekali. Sementara itu, untuk pengusahaan produk kayu akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang cukup besar. Hal itu dapat diketahui dari penebangan tegakan dilokasi hutan rakyat. Biasanya petani menjual kayunya jika ada keperluan mendesak dan membutuhkan dana dalam jumlah besar atau bersifat insidentil seperti untuk membiayai acara pernikahan anak, khitanan, maupun membangun rumah ataupun jika mendadak ada anggota keluarga yang sakit. Sistem penebangan seperti ini dikenal dengan nama sistem tebang butuh. Penjualan kayu dilakukan kepada para pedagang kayu ditingkat tengkulak. Penjualan kayu dilakukan dalam bentuk pohon berdiri, sehingga kegiatan penebangan dilakukan oleh para tengkulak. Hal ini menguntungkan petani karena petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk penebangan dan pengangkutan, namun kerugiannya petani kurang memiliki posisi tawar sehingga harga kayu yang ditawarkan oleh tengkulak relatif kecil. Sistem pengelolaan di hutan rakyat Pasir Madang berlangsung dengan cukup baik namun masih kurang efektif karena adanya beberapa faktor yaitu faktor ekonomis, dimana masyarakat terutama masyarakat petani hutan merasakan adanya kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan dan kesejahteraan keluarganya walaupun pengusahaan hutan rakyat ini masih bersifat sebagai usaha sampingan. Kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan petani hutan juga bersifat kontinyu sehingga dapat digunakan jika petani membutuhkan biaya dalam jumlah besar dan dalam waktu yang mendesak. Faktor ekologis juga dirasakan secara langsung oleh masyarakat melalui fungsi hutan sebagai penjaga ketersediaan air, penyerap karbon, penghijauan lahan, pencegah terjadinya erosi dan secara tidak langsung juga dapat membantu mencegah kekeringan didaerah Pasir Madang. Faktor lainnya adalah adanya kearifan lokal yang selaras dengan alam sehingga timbul keinginan untuk tetap menjaga alam agar tetep lestari. Faktor yang menjadi pembatas terhadap sistem produksi hutan rakyat di daerah Pasir Madang ini adalah keterbatasan kemampuan petani baik dari segi modal maupun dari segi tingkat pendidikan yang menyebabkan terbatasnya kemampuan, pengetahuan, dan pola pikir terhadap pengelolaan guna penambahan nilai komoditas yang dihasilkan dari hutan rakyat. Harga jual komoditas hutan rakyat yang fluktuatif akan berpengaruh terhadap ketidakstabilan pendapatan petani. Faktor cuaca yang tidak menentu juga menjadi pembatas terhadap sistem produksi karena untuk menanam palawija yang umumnya dapat dipanen tiga kali dalam setahun, jika ketersediaan airnya kurang atau dilanda musim kering berkepanjangan mengakibatkan panen hanya dapat dilakukan sekali setahun. Selain itu, rendahnya pendidikan mengakibatkan terbatasnya informasi yang didapatkan petani baik dari segi harga pasar komoditi yang ada di lahan miliknya maupun informasi untuk pengelolaan hutan rakyat yang baik dan benar sehingga nantinya dapat menghasilkan komoditi yang berkualitas dan bernilai jual tinggi.

5.3. Karakteristik Petani Hutan Rakyat

Dokumen yang terkait

Kontribusi Hutan Rakyat Kemenyan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Hutajulu, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

2 53 66

Analisis pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat studi kasus di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

3 13 66

Pola Pemilikan Lahan dan Implikasinya Terhadap Kesej ahteraan Rllmah Tangga Petani (Stlldi KaSllS Desa CiburllY, Kecamatan Cijeruk, Kabllpaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 8 89

Sistem Pengelolaan dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Kasus di Kecamatan Jatirogo, Kabupaten Tuban, Propinsi Jawa Timur)

0 19 97

Estimasi manfaat agroekologi terhadap lingkungan dan kesejahteraan petani di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat

0 4 199

Persepsi Petani Terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat)

1 10 205

Kontribusi pengelolaan agroforestri terhadap pendapatan rumah tangga petani (Studi Kasus: Desa Bangunjaya, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 3 110

Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Usaha Tani di Desa Bayasari, Kecamatan Jatinagara, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat

0 6 47

Kontribusi Pengelolaan Agroforestri Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Studi Kasus Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 4 36

Analisis Gender Dalam Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Padi Sawah (Kasus Desa Ciasihan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat).

0 7 90