Perubahan Struktural dan Jebakan Pendapatan Menengah

15 memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang dipasarkan pesaing, dengan memperoleh keuntungan paling tidak sebesar biaya oportunitas opportunity cost sumberdaya yang digunakan.

2.5. Disparitas Regional

Banyak penelitian yang dilakukan oleh pakar tentang bagaimana ketimpangan terjadi dalam proses pembangunan. Kuznets 1955 membuat suatu hipotesis U terbalik inverted U curve yang menyatakan bahwa pada awal pembangunan ditandai oleh ketimpangan akan semakin meningkat, namun setelah mencapai pada suatu tingkat pembangunan tertentu, ketimpangan akan semakin menurun. Dengan kata lain, bahwa peningkatan pendapatan per kapita sebagai akibat pertumbuhan ekonomi pada awal pembangunan akan terjadi bersamaan dengan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat yang memburuk, sebelum kemudian pada titik tertentu peningkatan pertumbuhan akan disertai dengan pemerataan distribusi pendapatan. Berdasarkan aliran strukturalis, bahwa untuk mengurangi ketimpangan harus dilakukan melalui intervensi pemerintah. Dalam hal ini, terdapat dua pendekatan ekstrim dalam mencapai pertumbuhan dan pemerataan, yaitu aliran yang menganut faham kapitalis yang memfokuskan pada pertumbuhan grow first, then redistribute dan aliran yang menganut faham sosialis, yang memfokuskan pada masalah pemerataan redistribute first, then grow. Sebagai alternatif dari dua aliran ekstrim tersebut, terdapat satu strategi yang beraliran moderat untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan secara bersama, yaitu redistribusi dengan pertumbuhan redistribution with growth, yang dikembangkan oleh Bank Dunia Chenery et al. 1987. Ketimpangan atau disparitas antar wilayah masih terjadi di negara-negara berkembang. Tendensi konsentrasi perkampungan dan aktivitas di sekitar lokasi dan daerah tertentu, dapat diambil contoh dari negara seperti Korea, Taiwan, dan Brazil Rustiadi et al. 2009. Hasil observasi di negara-negara tersebut terkait dengan i disparitas pendapatan dan infrastruktur wilayah, ii perbedaan standar hidup antara desa-kota, iii dominasi peranan kota, dan iv kecenderungan migrasi. Disparitas pendapatan dan infrastruktur menunjukkan bahwa secara umum disparitas wilayah di negara-negara kurang maju jauh lebih lebar dibandingkan yang terjadi di negara-negara maju Williamson 1965; Gilbert dan Gooddman 1976. Di negara-negara berkembang, lokasi dan daerah tertentu yang diinginkan telah menarik investasi, angkatan kerja, dan para pengusaha secara terus-menerus. Polarisasi aktivitas dan perkampungan berkesinambungan ini dinyatakan pada dua fakta: i faktor distribusi infrastruktur sosial-ekonomi warisan lama dan ii kebijakan sektoral yang bersifat temporer. Demikian halnya, infrastruktur sosial ekonomi yang diwariskan sebagian besar negara-negara berkembang, secara spasial menceng dan dirancang untuk tunduk kepada kepentingan eko-politik kolonial. Akhirnya, selama awal periode pascaperang, hal yang sama mempunyai peran penting di dalam membentuk perkembangan aktivitas industri dan pola-pola perkampungan Morse 1975; Cross 1979 dalam Rustiadi et al. 2009. Untuk membangun keterkaitan antar wilayah dan mengurangi terjadinya ketimpangan, maka secara umum ada beberapa upaya yang dapat dilakukan secara simultan, antara lain Rustiadi et al. 2009: 16 1 Mendorong pemerataan investasi pada semua sektor dan wilayah secara simultan sehingga infrastruktur wilayah dapat berkembang. 2 Mendorong pemerataan permintaan demand, bahwa setiap industri dan wilayah harus dikembangkan secara simultan sehingga dapat menciptakan demand untuk tiap-tiap produk. 3 Mendorong pemerataan tabungan, dimana tabungan ini sangat diperlukan untuk dapat memacu investasi. Apabila jumlah tabungan di suatu wilayah meningkat, maka potensi investasi juga akan meningkat. Selanjutnya, menurut Anwar dan Rustiadi 1999, ketimpangan antar wilayah dapat ditanggulangi dengan beberapa tahapan reformasi ekonomi yang memperhatikan dimensi spasial. Secara berangsur hal ini akan mengurangi ketimpangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lebih menyeluruh. Tahap pertama: i redistribusi aset tanah, kapital, finansial, dan lain-lain, ii pengembangan lembaga dan pasar finasial di wilayah perdesaan, iii kebijakan insentif lapangan pekerjaan yang membatasi migrasi penduduk dari desa ke kota, iv kebijakan mempertahankan nilai tukar exchange rate-policy yang mendorong ekspor pertanian menjadi selalu kompetitif, dan v pengendalian sebagian partial controlled melalui kebijakan perpajakan dan monitoring pada lalu-lintas devisa dan modal. Tahap kedua: i pembangunan regional berbasis pada pemanfaatan sumberdaya wilayahkawasan berdasarkan keunggulan komparatif masing-masing wilayah, ii kebijakan insentif fiskal mendorong produksi dan distribusi lokasi kegiatan ekonomi ke arah wilayah perdesaan, iii investasi dalam human capital dan social capital serta teknologi berbasis perdesaan yang lebih kuat dengan membangun trust fund di daerah-daerah untuk dapat membiayai dua kapital di atas, dan iv industralisasi berbasis pertanian dan perdesaan, melalui pembangunan sistem mikropolitan atau agropolitan, seperti industri pengolahan makanan, pakan, dan hasil pertanian lainnya serta industri peralatan dan input-input pertanian serta barang konsumsi lainnya. Disparitas regional merupakan fenomena universal, terjadi di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat perkembangannya. Disparitas pembangunan merupakan masalah pembangunan antar wilayah yang tidak merata. Pada banyak negara, pembagian ekonomi yang tidak merata telah melahirkan masalah-masalah sosial politik. Hampir di semua negara, baik pada sistem perekonomian pasar maupun sistem ekonomi terencana secara terpusat, kebijakan-kebijakan pembangunan diarahkan untuk mengurangi disparita antar wilayah. Dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Pendekatan pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi makro, cenderung mengabaikan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan backwash effect, terjadinya kebocoran wilayah regional leakages, dan degradasi sumberdaya alam akibat dari semakin menurunnya daya dukung lingkungan carring capacity. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya perkembangan sistem ekonomi Rustiadi et al. 2009.