Disparitas Regional TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan

21 2.7. Penelitian Terdahulu 2.7.1. Penelitian tentang Perubahan Struktur Ekonomi Sudarmono 2006, melakukan penelitian tentang transformasi struktural, pertumbuhan ekonomi, dan ketimpangan antar daerah di Wilayah Pembangunan I Jawa Tengah. Alat analisis yang digunakan untuk menganalisis transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi adalah Location Quotient, Shift Share, Model Rasio Pertumbuhan MRP, dan Overlay. Sedangkan untuk mengetahui ketimpangan antar daerah di Wilayah Pembangunan I Jawa Tengah digunakan Indeks Wiliamson dan Indeks Entropi Theil, serta analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel pertumbuhan ekonomi dengan variabel ketimpangan antar daerah dimana pengukuran korelasi ini untuk menguji hipotesis Kuznets. Berdasarkan hasil analisis, terlihat bahwa transformasi struktural hanya terjadi di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Kendal, namun transformasi struktural yang terjadi tidak diikuti dengan pergeseran penyerapan tenaga kerja sektoral dari sektor pertanian ke sektor industri di kedua Kabupaten tersebut. Hal ini menunjukkan terjadinya dualisme transformasi struktural. Terjadinya kecenderungan peningkatan nilai Indeks Enthropi Theil maupun nilai Indeks Williamson mengandung arti bahwa ketimpangan yang terjadi di Wilayah Pembangunan I Jawa Tengah semakin membesar atau semakin tidak merata. Kota Semarang masih mendominasi nilai PDRB dan nilai pendapatan perkapita, sementara kelima daerah yang lain jauh lebih rendah. Hipotesis Kuznets yang menunjukkan hubungan antara ketimpangan dengan pertumbuhan ekonomi yang berbentuk kurva U terbalik ternyata berlaku di Wilayah Pembangunan I Jawa Tengah. Hal ini terbukti dari hasil analisis trend dan nilai korelasi Pearson. Kurniawan 2011, meneliti tentang transformasi struktural perekonomian Indonesia, pendekatan model Input-Output tahun 1971-2008 menunjukkan bahwa transformasi struktur perekonomian Indonesia jika dibandingkan dengan proses perubahan struktur perekonomian yang terjadi pada negara-negara BRIC Brazil, Rusia, India dan China dalam jangka waktu sekitar 40 tahun menunjukkan pola yang berbeda. Pergeseran struktur GDP negara-negara BRIC diawali pergeseran peran sektor pertanian oleh sektor industri yang selanjutya diikuti peningkatan peran sektor jasa. Pergeseran struktur yang terjadi di Indonesia diawali pada kondisi dimana sektor jasa telah mendominasi perekonomian, selanjutnya terjadi peningkatan peran sektor industri menggeser sektor pertanian dan akhirnya mendominasi perekonomian. Perkembangan struktur tenaga kerja di Indonesia menunjukkan pola yang tidak biasa unusual pattern dan bertentangan dengan teori perkembangan tenaga kerja. Tinjauan tentang tingkat produktivitas tenaga kerja memberikan justifikasi kesimpulan atas apa yang terjadi bahwa sebenarnya tenaga kerja yang bergeser dari sektor pertanian tidak beralih ke sektor yang produktivitasnya lebih tinggi. Daya penyebaran yang tinggi pada sektor-sektor sekunder tidak diikuti derajat kepekaan yang tinggi pada sektor-sektor primer mengindikasikan tidak adanya link and match antara industri yang dibangun dengan sumber bahan baku yang tersedia. Strategi industrialisasi yang kurang tepat menyebabkan proses deindustrialisasi di Indonesia berjalan tidak alami dan cenderung negatif. Penelitian Saraan 2006 menggunakan data key indicator of developping asian and pasific countries tahun 1980-2004 dengan metode Ordinary Least Square menyimpulkan bahwa telah terjadi transformasi struktural perekonomian 22 di Indonesia pada periode pengamatan, yaitu transformasi sektor pertanian ke sektor industri. Selanjutnya, Fabiomarta 2004 dengan metode yang sama mengembangkan model Chenery-Syrquin untuk data Indonesia tahun 1977-2002 menemukan adanya kecenderungan menurunnya peranan sektor primer. Sementara itu, Hill 1996 menguraikan transformasi struktural pada periode 1966–1992 dengan obyek penelitian perekonomian Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa transformasi yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu tersebut dinilai terlalu cepat. Hal ini ditandai dengan sumbangan sektor pertanian terhadap Gross Domestic Product GDP telah menyusut hingga kurang dari setengahnya sejak tahun 1966, dan pada tahun 1992 sumbangannya hanya tinggal 36 persen. Penurunan ini ternyata diikuti dengan kenaikan sumbangan sektor industri secara luas mencakup pertambangan, industri manufaktur, fasilitas umum dan kontruksi, yang sumbangannya pada saat itu sebesar 35 persen lebih besar dari nilainya pada pertengahan dekade 1960-an. Penelitian yang dilakukan Budiharsono 1996, tentang transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia periode 1969 – 1987 menunjukkan bahwa secara relatif provinsi-provinsi di Kawasan Barat Indonesia KBI pertumbuhan ekonominya lebih cepat dibanding provinsi- provinsi di Kawasan Timur Indonesia KTI. Pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil di KBI disebabkan kualitas sumberdaya manuasia yang relatif lebih baik, dan struktur industri dan pertanian, khususnya perkebunan besar yang relatif sudah maju. Sedangkan rendahnya pertumbuhan ekonomi di KTI disebabkan antara lain rendahnya kualitas sumberdaya manuasia, masih minimnya sarana prasarana ekonomi, dan adanya proyek-proyek pembangunan yang tidak mengindahkan hak-hak masyarakat lokal. Selanjutnya pola transformasi struktural antar daerah pada kurun waktu 1969-1987 terjadi penyimpangan apabila dibandingkan dengan pola normal Chenery-Syrquin. Hal ini karena relatif kecilnya keterkaitan antarsektor, terutama antara sektor pertanian dengan sektor industri baik dalam proses produksi maupun penyerapan tenaga kerja.

2.7.2. Penelitian tentang Disparitas Regional

Akita dan Alisjahbana 2002, melakukan studi untuk mengukur disparitas antar wilayah di Indonesia dengan menggunakan Indeks Theil Entropi. Data yang digunakan adalah data output dan jumlah penduduk pada level kabupatenkota untuk periode 1993-1998. Dalam studi tersebut, dilakukan analisis dekomposisi disparitas regional dalam tiga komponen, yaitu: i disparitas antar pulau Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya; ii disparitas antar provinsi; dan iii disparitas di dalam provinsi. Hasil studi menunjukkan, bahwa selama periode tahun 1993-1997 terjadi peningkatan disparitas pendapatan regional yang cukup sinifikan dari 0,262 menjadi 0,287, dimana sumber disparitas yang paling besar disumbang oleh disparitas di dalam provinsi sekitar 50 . Sedangkan pada tahun 1998, Indeks Entropi Theil mengalami penurunan, dimana 73 persen dari penurunan tersebut disebabkan karena menurunnya disparitas antar provinsi. Pravitasari 2009, melakukan penelitian tentang Dinamika Perubahan Disparitas di Pulau Jawa Sebelum dan Sesudah Kebijakan Otonomi Daerah. Peneilitian ini menggunakan alan analisisi Indeks Disversitas Entropi, Tipologi Klassen, Indeks Williamson, Indeks Theil Entropi, dan Ekonometrika Spasial. Hasil analisis Indeks Williamson dan Indeks Theil Entropi dapat diketahui bahwa 23 disparitas antar provinsi memiliki derajat disparitas antar kawasan between regions paling tinggi. Sedangkan derajat disparitas dalam kawasan within regions tertinggi terdapat pada bentuk disparitas antar kabupatenkota dalam kawasan non-pesisir. Namun secara umum, sebelum pemberlakuan kebijakan Otonomi Daerah terjadi peningkatan indeks disparitas, sedangkan setelah pemberlakuan kebijakan Otonomi Daerah indeks disparitas berangsur-angsur menurun. Hasil analisis dengan menggunakan pemodelan Ekonometrika Spasial menunjukkan bahwa faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh di dalam menciptakan disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa adalah meningkatnya PDRB dan PDRB perkapita di wilayah sekitarnya serta meningkatnya persentase luas lahan permukiman dan ruang terbangun terhadap luas lahan total di wilayah sekitarnya. Sedangkan faktor-faktor yang cenderung berimplikasi terhadap pemerataan spread effect adalah pertumbuhan penduduk di wilayah sekitarnya, berkembangnya sektor-sektor primer di wilayah sekitarnya, serta meningkatnya Indeks Diversitas Entropi dan indeks perkembangan wilayah di wilayah sekitarnya yang menciptakan spill over bagi wilayah lain, sehingga wilayah tersebut dapat menikmati manfaat dari tingkat perkembangan wilayah di sekitarnya. Wahyuni 2011, melakukan penelitian tentang konvergensi dan faktor- faktor yang mempengaruhi ketimpangan wilayah kabupatenkota di Pulau Jawa, dengan periode penelitian 2001-2009. Penelitian ini menggunakan alat analisis koefisien variasi Williamson, metode data panel dinamis FDGMM, dan metode data panel statis. Hasil penghitungan koefisien variasi Williamson menunjukkan bahwa ketimpangan kabupatenkota di Pulau Jawa sangat tinggi, berada pada kisaran 0,94 sampai dengan 0,98 selama periode penelitian. Ketimpangan paling tinggi terjadi di Provinsi Banten dan yang terendah terjadi di DIY. Estimasi konvergensi Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan pada variabel dependennya, yaitu pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga. Koefisien y t-1 pada estimasi konvergensi PDRB per kapita lebih dari 1, yang menunjukkan bahwa konvergensi tidak terjadi pendapatan kabupatenkota di Pulau Jawa divergen dengan metode data panel dinamis FDGMM. Fenomena ketimpangan di Pulau Jawa disebabkan adanya pusat-pusat industri di kota-kota besar, yang menyebabkan perbedaan tingkat pembangunan yang semakin melebar. Estimasi konvergensi kabupatenkota di provinsi-provinsi Pulau Jawa dengan menggunakan data pengeluaran rumah tangga semuanya konvergen, dengan tingkat konvergensi tertinggi di Jawa Barat dan terendah di Jawa Timur. Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah dilakukan dengan model data panel statis. Model yang terpilih pada pendekatan PDRB adalah random effect, sedangkan pada pendekatan pengeluaran rumah tangga adalah fixed effect. Ketimpangan Pulau Jawa dapat diturunkan dengan peningkatan kontribusi sektor manufaktur, peningkatan kualitas tenaga kerja sebagai upaya memacu produktivitas ekonomi dan penambahan jumlah sarana kesehatan yang dapat dijangkau kalangan menengah ke bawah serta merata ke seluruh wilayah. Namun, ketimpangan justru semakin meningkat dengan peningkatan penggunaan energi listrik dan air bersih. Pengguna energi listrik didominasi oleh industri dan bisnis yang berada di kota-kota besar. Demikian juga dengan air bersih yang disalurkan oleh PDAM, paling banyak digunakan oleh rumah tangga, terutama di daerah perkotaan yang dipadati oleh pemukiman. Ketimpangan wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dalam penelitian ini hanya dipengaruhi 24 oleh pendidikan tenaga kerja, dengan arah yang berlawanan dengan pendekatan PDRB. Artinya, peningkatan pendidikan akan memperlebar kesenjangan konsumsi pada level rumah tangga. Penelitian Sirojuzilam 2007, tentang disparitas di Provinsi Sumatera Utara menggunakan Indeks Williamson dan Regresi Berganda menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain investasi, pengeluaran pemerintah, pendidikan, transportasi, aglomerasi industri, dan budaya heterogenitas etnik. Perbedaan dari pertumbuhan ekonomi inilah yang kemudian menciptakan ketimpangan antar daerah atau wilayah di antara Wilayah Barat dan Wilayah Timur Provinsi Sumatera Utara. Daerah yang mempunyai kegiatan industri di wilayahnya dan jumlah murid SLTA memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Hal ini terjadi di Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kota Siantar, dan Kota Tanjung Balai Asahan. Penelitian Satrio 2009, tentang ketimpangan pendapatan antar pulau di Indonesia periode 1996-2006 menggunakan Indeks Williamson serta Analisis Korelasi dan Koefisien Determinan, menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan antar pulau yang terjadi di Indonesia terbagi dalam enam pulau tergolong dalam taraf ketimpangan yang rendah dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,210 sampai 0,261 di bawah 0,35 sebagai batas taraf ketimpangan rendah. Kemudian untuk ketimpangan pendapatan antar propinsi di dalam pulau berada pada taraf ketimpangan yang tinggi untuk Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku-Irian yaitu antara 0,521 sampai 0,996, pada Pulau Sulawesi taraf ketimpangannya rendah yaitu antara 0,050-0,109, sedangkan untuk Pulau Bali taraf ketimpangannya sedang yaitu antara 0,379-0,498. Kemudian trend ketimpangan pendapatan antar pulau menunjukkan menunjukkan trend ketimpangan yang menurun. Trend ketimpangan pendapatan dalam pulau juga menunjukkan trend yang menurun kecuali Pulau Jawa dan Sulawesi. Hasil analisis korelasi dan koefisien determinan menunjukkan bahwa hubungan pertumbuhan PDRB dengan indeks ketimpangan pendapatan lemah dan besarnya kontribusi pertumbuhan PDRB terhadap perubahan ketimpangan pendapatan kecil yaitu sebesar 14 persen. Wibisono 2001, melakukan penelitian terhadap provinsi-provinsi di Indonesia tahun 1975-1995 tentang determinan pertumbuhan ekonomi regional menggunakan alat analisis regresi berganda menyatakan bahwa provinsi yang memiliki human capital yang tinggi akan tumbuh lebih cepat dan pentingnya stabilitas makroekonomi regional. Dalam penelitian tersebut dikemukakan bahwa penurunan disparitas yang cepat terjadi pada pertengahan 1970-an hingga 1980- an, namun setelah itu penurunan disparitas mengalami perlambatan pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an. Hal yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Akita dan Lukman 1995 menemukan bahwa disparitas PDRB per kapita mengalami penurunan yang kontinu antara 1975-1992. Studi empirik disparitas pendapatan regional dengan metode analisis regresi berganda yang diukur dengan Indeks Gini menunjukkan pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi regional Puspita, 2006. Hasil studi Analisis Keterkaitan Ekonomi Sektoral dan Spasial di DKI Jakarta dan Bodetabek Maulida, 2007, menggunakan meode analisis Inter- Regional Input Output IRIO dan Indeks Williamson menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta tidak menciptakan dampak pertumbuhan bagi