Model Persamaan Simultan Penelitian Terdahulu

23 barang angka marginal of subtitution tidak konstan sehingga kurva indifferens berbentuk melengkung. Kurva berbentuk cembung terhadap sumbu menggambarkan efek subtitusi negatif. Bila harga naik sementara pendapatan tetap, maka konsumen akan membeli sedikit barang yang mahal dengan menggantinya pada kurva indiferens yang lebih rendah Nicholson,1991.

2.6. Model Persamaan Simultan

Salah satu model ekonometrika yang sering digunakan dalam menganalisis peubah-peubah ekonomi yang lebih kompleks, yaitu model persamaan simultan. Menurut Gujarati 1997, persamaan simultan adalah model yang terdapat lebih dari satu variabel tak bebas dan lebih dari satu persamaan. Suatu ciri unik dari sistem persamaan simultan adalah bahwa variabel tak babas dalam satu persamaan mungkin muncul sebagai variabel yang menjelaskan dalam persamaan lain dari sistem. Menurut Pyndick dan Rubinfeld 1998, Sistem persamaan simultan dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang dunia nyata dibandingkan dengan model persamaan tunggal. Hal ini disebabkan karena peubah-peubah dalam persamaan satu dengan yang lainnya dalam model dapat berinteraksi satu sama lain. Suatu model ekonomi biasanya mengandung beberapa hubungan yang merupakan sebuah sistem persamaan simultan. Karena itu dalam sistem persamaan simultan ada kalanya tidak mudah membedakan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas dalam setiap persamaan.

2.7. Penelitian Terdahulu

Pratiwi 2008 dalam studinya mengenai efektifitas dan perumusan strategi kebijakan beras nasional, memperoleh hasil bahwa prioritas pertama peningkatan produksi padi adalah dengan membangun sarana irigasi berkoordinasi dengan 24 Pemda terkait. Hal ini karena masih tingginya potensi peningkatan produksi di masa mendatang tetapi ketersediaan sarana irigasi sangat terbatas. Prioritas kedua adalah mengadopsi teknologi sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal dan yang terakhir adalah memperketat aturan alih fungsi lahan dan pemberian insentif bagi pemilik lahan sehingga tingkat konversi lahan pertanian dapat dikurangi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sari 2007, mengenai analisis dampak kenaikan harga beras terhadap pola konsumsi beras rumah tangga, studi kasus di Cipinang Jakarta Timur. Menyimpulkan bahwa beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia dan belum ada bahan pangan lain yang menggantikannya, sehingga setinggi apapun harga beras, rumah tangga akan tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhannya terhadap beras. Farihah 2005 dalam penelitiannya, memperoleh hasil ramalan produksi dan konsumsi beras dengan menggunakan data BPS menunjukan Indonesia dapat mencapai swasembada beras untuk enam tahun yang akan datang 2006-2011. Sedangkan dengan menggunakan deret data modifikasi Indonesia belum dapat mencapai swasembada beras. Malian dkk 2004 dalam studinya yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras, serta perubahan harga beras domestik dan indeks harga bahan makanan. Dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari BPS, Deptan dan Bulog yang diananlisis dengan menggunakan model ekonometrika. Hasil analisis menunjukan bahwa kebijakan harga dasar gabah tidak akan efektif apabila tidak diikuti kebijakan perberasan lainnya. Faktor determinan yang teridentifikasi memberikan pengaruh adalah: 1 Produksi padi dipengaruhi oleh luas panen padi tahun sebelumnya, 25 impor beras, harga pupuk urea, nilai tukar riil dan harga beras dipasar domestik. 2 Konsumsi beras dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga beras dipasar domestik, impor beras tahun sebelumnya, harga jagung pipilan di pasar domestik, dan nilai tukar riil. 3 Harga beras di pasar domestik dipengaruhi oleh nilai tukar riil, harga jagung pipilan dipasar domestik dan harga dasar gabah. Adnyana 999 berdasasrkan studinya mengenai penerapan model penyesuaian Nerlove dalam proyeksi produksi dan konsumsi beras, diperoleh hasil proyeksi luas areal panen padi cenderung menurun dalam 14 tahun kedepan 2000-2014 sebesar 0,013 per tahun, namun produksi padi cenderung meningkat karena persentase peningkatan produktivitas lebih besar dari penurunan luas areal panen. Dalam periode yang sama, konsumsi beras per kapita diperkirakan menurun 0,014 per tahun. Bila tidak ada upaya khusus dalam meningkatkan produksi padi dalam 14 tahun kedepan maka Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan defisit rata-rata 7,628 per tahun. Mulyana 1998 menemukan bukti empirirs dari hasil penelitiannya, bahwa ada beberapa respon dari para petani Jawa dan Bali dengan para petani diluar Jawa dan Bali Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Lainnya dalam meningkatkan areal panen. Untuk Jawa dan Bali harga gabah mempunyai pengaruh posotif terhadap areal dalam bentuk rasio terhadap harga pupuk. Sedangkan di luar Jawa dan Bali, yang berpengaruh positif terhadap areal panen hanya harga gabah secara tunggal. Selain itu konversi lahan yang terjadi di Jawa dan Bali berpengaruh negatif terhadap perluasan areal panen. Elastisitas rasio harga gabah terhadap harga pupuk dalam jangka pendek di Jawa dan Bali sebesar 0,006 dan dalam jangka panjang sebesar 0,011. Sedangkan di Sumatra elastisitasnya meningkat menjadi 0,020 dan 0,057. Begitu pula dengan 26 Kalimantan dan Sulawesi masing-masing untuk jangka pendek sebesar 0,188 dan 0,137 dan untuk jangka panjang sebesar 1,944 dan 0,759. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyana 1998, menunjukan hasil evaluasi dengan simulasi diketahui bahwa dalam periode 1984-1996 swasembada beras sebenarnya dapat dipertahankan apabila diterapkan kebijakan tunggal menaikan haga dasar gabah 15,38, menambah areal irigasi 3,61, areal intensifikasi 5,25 atau mendevaluasi rupiah 100 dari kecenderungan perubahannya. Kebijakan harga dasar atau devaluasi rupiah akan meningkatkan kesejahteraan petani, namun mengurangi kesejahteraan konsumen. Sebaliknya kebijakan penambahan areal irigasi dan intensifikasi lebih berpihak kepada konsumen dan akan merugikan petani karena bertambahnya produksi padi tidak diiringi dengan peningkatan pengadaan secara proporsional sehingga harganya turun. Tabor et all 1989 dalam Ritonga 2004, mengungkapkan bahwa rendahnya elastisitas harga beras memberikan petunjuk bahwa usaha mempertahankan harga beras tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan beras. Permintaan beras lebih ditentukan oleh pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan daripada perubahan harga. Respon areal panen yang diteliti oleh Lokollo 1986 dengan menggunakan data series Indonesia 1969-1983 menemukan hasil bahwa faktor- faktor yang signifikan dalam areal panen adalah penggunaan varietas unggul, harga pupuk dengan koefisisen elastisitas input masing-masing 0,3952 dan -1,5434. Sedangkan dalam respon hasil produktivitasnya ditemukan tiga peubah yang signifikan, yaitu: harga padi 0,127, penggunaan varietas unggul 0,463 dan harga pupuk urea -0,738. 27

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.