kegiatan pengolahan pasca panen rumput laut lebih mudah dibandingkan dengan penanganan yang dilakukan terhadap udang.
Petambak melakukan kegiatan pemanenan pada saat rumput laut berumur 40-45 hari. Pemanenan bahkan terkadang dipercepat jika dianggap harga rumput laut di pasaran
menguntungkan petambak. Metode panen yang dilakukan adalah mengangkat rumput laut dari dasar tambak kemudian memotong batang thallus terluar. Potongan thallus
inilah yang kemudian diangkut ke pematang menggunakan rakit. Sisa rumput laut yang lainnya kemudian dibenamkan kembali ke dalam tambak untuk dipelihara hingga periode
panen berikutnya. Menurut hasil wawancara, sebanyak 67,3 responden mengatakan bahwa umumnya bibit yang ditebar dapat dipergunakan hingga 7 – 9 siklus produksi.
Adapun hasil panen untuk satu hektar tambak biasanya berkisar 300 – 500 kg. Setelah pemanenan kemudian dilakukan proses penjemuran untuk menurunkan
kadar airnya. Penjemuran hasil panen ini dilakukan di sepanjang pematang tambak. selama 2- 3 hari hingga dianggap tingkat kekeringannya sudah cukup. Berdasarkan
kesepakatan dengan pihak pembeli, kadar air yang ditetapkan adalah maksimal 14, sehingga jika melebihi nilai tersebut maka harga jualnya akan sangat rendah atau
ditetapkan oleh pembeli. Di Palopo, proses penjemuran hasil panen ini terkendala oleh tingginya curah hujan sementara proses penjemuran ini masih mengandalkan panas
matahari. Berdasarkan observasi dari salah satu gudang penampung hasil tambak rumput
laut diketahui bahwa produk yang masuk selain dari Kota Palopo juga banyak dari luar seperti dari Kabupaten Luwu. Kapasitas gudang mencapai 800 ton dengan luas 50 x 25
meter. Kegiatan pasca panen yang dilakukan oleh penampung hanya pengeringan, karena produk yang masuk dalam kondisi basah kadar air tinggi. Pengeringan
dilakukan selama 2-3 hari pada kondisi matahari baik. Kegiatan pasca panen yang dilakukan oleh pedagang pengumpul ini ternyata
juga memberi dampak pada penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Palopo, bahkan tenaga kerja telah didatangkan dari luar kabupaten seperti dari Kabupaten Jeneponto,
Bantaeng dan Kota Makassar. Saat kunjungan dilakukan di salah satu gudang diketahui terdapat 170 orang tenaga kerja yang terlibat pada proses paska panen tersebut.
b. Dampak terhadap ekosistem perairan
Berdasarkan hasil
wawancara, umumnya
petambak tidak
terlalu mempermasalahkan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan budidaya perikanan mereka
terhadap ekosistem alam khususnya perairan. Menurut mereka, air buangan tambak
mereka akan langsung ke perairan laut sehingga tidak terlalu mempengaruhi kehidupan masyarakat yang berada di wilayah pesisir. Selain itu, secara kuantitas air buangan
tambak tidak terlalu banyak karena hanya dilakukan pergantian air 3-4 hari sekali sehingga diyakini tidak mengganggu kualitas perairan di laut.
Pada tambak tradisional udang windu, pergantian air dilakukan setiap hari sebanyak 30 dari total volume air dan semakin meningkat hingga 50 pada usia 90 hari
hingga panen. Besarnya jumlah air buangan ini jelas akan mempengaruhi kualitas perairan laut mengingat perairan laut Kota Palopo merupakan bagian dari teluk Bone,
sehingga sirkulasi air yang terjadi akan terbatas. Pada usaha budidaya rumput laut, pergantian air yang dilakukan 3-4 hari sekali namun dianggap tidak terlalu mencemari
perairan laut. Namun demikian, mereka tetap menyadari jika tidak dilakukan perbaikan kualitas air maka penurunan kualitas air laut juga akan mempengaruhi usaha budidaya
mereka karena mereka tetap memanfaatkan air laut sebagai sumber air tambak mereka.
4.4 Kebijakan Pengelolaan Usaha Budidaya Perikanan Tambak
Berdasarkan kajian kepustakaan dan kondisi riil objek penelitian, disusun perencanaan kebijakan pengelolaan usaha budidaya tambak yang diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal yang mempengaruhinya. Untuk mendeskripsikan kebijakan yang disusun maka
berbagai faktor-faktor ini dijadikan komponen SWOT. Analisis SWOT menyediakan kerangka dasar yang akan menghasilkan keputusan
situasional. Menurut Rangkuti 2001, analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi yang dapat memaksimalkan kekuatan
dan peluang dan dapat menimimalkan kelemahan dan ancaman. Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan dan kebijakan
Gambar 5.
Gambar 5. Hirarki Matriks Kebijakan Pengelolaan Budidaya Tambak di Kota Palopo
Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa komponen kekuatan S menempati urutan teratas dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak,
kemudian diikuti oleh komponen peluang O, kelemahan W dan ancaman T. Bobot dan prioritas masing-masing komponen dapat dilihat pada Gambar 6.
0.12 0.058
0.255 0.586
Weaknesses Threats
Opportunities Strength
Bobot Komponen SWOT
Gambar 6. Bobot komponen SWOT penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya
perikanan tambak di Kota Palopo Gambar 6 menunjukkan bahwa faktor internal dalam penentuan kebijakan
pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak yang dominan adalah komponen kekuatan, sedangkan faktor eksternal yang dominan adalah komponen peluang. Besarnya faktor
kekuatan dan peluang dibandingkan dengan kelemahan dan ancaman dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak merupakan indikator
keberhasilan kebijakan pengelolaan yang berkelanjutan di masa mendatang. Selanjutnya dari komponen kekuatan, faktor-faktor yang menentukan dalam
penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak tersebut adalah
kualitas perairan yang layak feasible untuk usaha budidaya rumput laut dan udang, luasnya wilayah pertambakan yang tersedia untuk usaha ini, kemampuan teknis petambak
yang memadai dan jarak lokasi pertambakan yang tidak terlalu jauh dari pemukiman sehingga memudahkan dalam kegiatan pemeliharaan. Bobot dan prioritas masing-masing
faktor dapat dilihat pada Tabel 20 berikut. Tabel 20. Matriks prioritas faktor kekuatan kebijakan pengelolaan usaha budidaya
perikanan tambak
Faktor Kekuatan Bobot
Prioritas
Kualitas perairan yang layak feasible untuk budidaya 0,565
P1 Luasnya wilayah pertambakan yang tersedia
0,262 P2
Lokasi usaha dekat pemukiman 0,118
P3 Ketersediaan sarana dan prasarana
0,055 P4
Berdasarkan peringkat faktor-faktor kekuatan tersebut, ternyata faktor kualitas perairan yang layak feasible untuk budidaya merupakan faktor kekuatan yang utama
dalam upaya pengelolaan usaha budidaya perikanan yang berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran kualitas air yang telah dilakukan dan memang menunjukkan
bahwa kualitas perairan di daerah ini mendukung untuk usaha budidaya rumput laut yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian, faktor ini diharapkan mendapatkan
perhatian yang serius dalam perencanaan pengelolaan kedepan dengan berbagai strategi yang dilakukan untuk mempertahankan kualitas perairan seperti saat sekarang ini.
Faktor kekuatan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah luasnya wilayah pertambakan yang tersedia sehingga dapat langsung digunakan. Berdasarkan analisis
yang telah dilakukan maka terdapat luas lahan yang sesuai untuk usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp. yaitu 1.382,85 hektar. Faktor ini perlu dipertimbangkan sehingga
dapat ditunjang daya dukung baik secara ekologi, ekonomi dan sosial. Selain luasan lahan yang memadai, lokasi pertambakan yang dekat dengan pemukiman memberi
keuntungan dari segi keamanan serta kemudahan akses usaha. Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai merupakan salah satu faktor kekuatan yang dimiliki.
Transportasi darat dan laut yang lancar sehingga memudahkan pengadaan barang dan pemasaran, selain itu jaringan listrik yang telah ada. Sebagai kota dengan tingkat madya,
maka persyaratan yang harus dipenuhi adalah pemenuhan berbagai sarana dan prasarana pendukung kegiatan masyarakat kota.
Faktor-faktor dari komponen kelemahan yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak adalah produktivitas lahan yang
rendah, teknologi pasca panen yang rendah, keterampilan dan penguasaan teknologi yang kurang serta konstruksi tambak yang kurang baik. Bobot dan prioritas masing-masing
faktor dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Matriks prioritas faktor kelemahan kebijakan pengelolaan usaha budidaya
perikanan tambak
Faktor Kelemahan Bobot
Prioritas
Produktivitas lahan yang rendah 0,565
P1 Teknologi pasca panen yang rendah
0,262 P2
Ketrampilan dan penguasaan teknologi yang kurang 0,118
P3 Konstruksi tambak yang kurang baik
0,055 P4
Berdasarkan peringkat faktor-faktor kelemahan diatas, ternyata bahwa rendahnya produktivitas lahan merupakan faktor kelemahan yang cukup mempengaruhi nilai jual
komoditas yang dipasarkan. Rendahnya produksi lahan ini terlihat dari rata-rata hasil panen yang diperoleh petambak. Berdasarkan hasil wawancara, setiap panen rumput laut
yang dihasilkan sebanyak 750 kg-1000 kg setiap hektarnya. Padahal idealnya setiap hektarnya bisa dipanen sebanyak 1500-2000 kg. Para petambak merasa telah cukup
dengan hasil panen selama ini, namun perlu dipertimbangkan peningkatan nilai produksi sehingga keuntungan yang diperoleh juga meningkat.
Demikian juga dengan teknologi pasca panen yang rendah. Kegiatan pasca panen yang utama adalah menurunkan kadar air dari rumput laut. Selama ini standar
produksi dari pihak pengumpul adalah nilai rendemen atau kekotoran adalah 5, sedangkan kadar air maksimal adalah 18–20. Hasil wawancara menunjukkan bahwa
para petambak belum mengetahui adanya teknologi yang lebih mudah dan murah daripada melakukan penjemuran dan pembersihan secara manual, sehingga dihasilkan
produk sesuai standar yang diinginkan pihak pembeli. Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan berbagai strategi yang akan dilaksanakan nantinya karena kelemahan
ini mempengaruhi upaya peningkatan pendapatan masyarakat petambak. Sebanyak 23 responden menyatakan tertarik membudidayakan rumput laut
karena tidak memerlukan tingkat ketrampilan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat petambak memiliki tingkat ketrampilan yang rendah.
Rendahnya tingkat ketrampilan ini juga menunjukkan ketidakmampuan masyarakat petambak dalam hal penguasaan teknologi budidaya yang mutakhir. Faktor kelemahan
ini mesti dianalisis untuk diperoleh solusi.
Faktor kelemahan lain yang perlu dipertimbangkan adalah desain dan konstruksi tambak yang kurang baik. Desain tambak di Kota Palopo umumnya hanya memiliki satu
pintu sehingga tambak rentan terhadap masuknya bibit penyakit karena pintu pengeluaran juga dimanfaatkan sebagai pintu pemasukan air. Selain itu konstruksi pematang yang
hanya memanfaatkan lumpur sebagai dinding menyebabkan tingkat porositas tambak cukup tinggi.
Faktor-faktor dari komponen peluang yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak adalah tingginya permintaan
hasil budidaya, pengembangan usaha budidaya merupakan salah satu prioritas pembangunan dan minat masyarakat untuk pengembangan usaha budidaya perikanan
yang tinggi. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat dari Tabel 22. Tabel 22. Matriks prioritas faktor peluang kebijakan pengelolaan usaha budidaya
perikanan tambak
Faktor Peluang Bobot
Prioritas
Tingginya permintaan hasil budidaya 0,637
P1 Pengembangan usaha sebagai prioritas pembangunan
0,258 P2
Teknologi pengolahan produk tersedia 0,108
P3 Berdasarkan peringkat faktor-faktor peluang diatas, ternyata bahwa tingginya
permintaan hasil budidaya merupakan faktor peluang yang penting. Menurut data yang diperoleh, kebutuhan dunia industri akan agar-agar semakin meningkat dan keadaan ini
belum dapat diseimbangkan dari segi faktor produksi. Kondisi ini terlihat dari banyaknya permintaan ekspor yang belum dapat dipenuhi oleh pihak produsen.
Faktor peluang yang juga perlu dipertimbangkan adalah upaya untuk menjadikan usaha budidaya perikanan di tambak ini sebagai prioritas pembangunan dimana pihak
pemerintah daerah membuat strategi pembangunan yang dapat mendukung berkembangnya usaha ini. Rencana tata ruang yang komprehensif merupakan salah satu
bentuk dukungan pemerintah yang diperlukan, selain meningkatkan infrastruktur pendukung lainnya seperti jaringan irigasi hingga tenaga penyuluh lapangan. Saat ini
teknologi pengolahan produk diperlukan untuk meningkatkan nilai produk di pasaran. Ini merupakan sebuah peluang karena ketersediaan teknologi ini akan mendukung
peningkatan nilai jual produk. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah kemampuan masyarakat dalam penguasaan teknologi pengolahan tersebut. Dengan demikian, ketiga
faktor tersebut diharapkan dapat diakomodasi kedalam berbagai strategi kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak.
Komponen SWOT yang paling rendah bobotnya adalah komponen ancaman. Pada komponen ini, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan
pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak adalah menurunnya kualitas produk, meningkatnya intensitas pencemaran dari laut akibat kegiatan pembangunan perkotaan
dan harga produk ditentukan oleh pihak pengumpul. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Matriks prioritas faktor ancaman kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak
Faktor Ancaman Bobot
Prioritas
Rendahnya kualitas produk 0,565
P1 Peningkatan intensitas pencemaran dari perairan laut
0,262 P2
Harga pasar ditentukan oleh pihak pengumpul 0,213
P3 Pendatang dari daerah lain sebagai buruh tambak
0,055 P4
Berdasarkan peringkat faktor-faktor ancaman tersebut, rendahnya kualitas produk rumput laut merupakan faktor ancaman yang serius dalam upaya keberlanjutan usaha
budidaya perikanan tambak ini. Rendahnya kualitas produk ini umumnya disebabkan oleh dua hal yaitu waktu panen yang dipercepat serta penanganan pasca panen.
Umumnya para petambak mempercepat waktu pemanenan jika dianggap harga pasar cukup tinggi meskipun secara teknis usia rumput laut yang dipelihara belum layak untuk
dipanen. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas produk adalah pengolahan pasca panen yang masih tradisional dan tergantung pada kondisi cuaca. Akibatnya terkadang proses
pengeringan hasil panen terkendala dengan tingginya intensitas hujan di Kota Palopo. Faktor ancaman lain yang perlu diperhatikan adalah meningkatnya intensitas
pencemaran dari perairan laut. Kota Palopo sebagai kota perdagangan dengan adanya pelabuhan besar yang banyak disinggahi kapal penumpang dan kapal barang. Kondisi ini
cukup mempengaruhi perairan laut karena adanya limbah buangan dari kapal seperti air blast dan tumpahan minyak. Selain itu letak Kota Palopo di wilayah teluk yang
menyebabkan kemampuan pengenceran air limbah tidak secepat kemampuan pengenceran di perairan laut terbuka. Jika peningkatan pencemaran air laut ini tidak
diantisipasi maka dapat mempengaruhi kegiatan perikanan utamanya budidaya perikanan yang dilakukan di pertambakan maupun yang berada di wilayah perairan pantai.
Faktor ancaman lain yang perlu diperhatikan adalah harga pasar dari produk rumput laut yang masih ditentukan oleh pihak pengumpul. Para petambak tidak memiliki
nilai tawar dalam bernegosiasi sehingga tidak terjadi kondisi pasar yang sempurna.
Kondisi dapat menyebabkan kendali pemasaran dikuasai sepenuhnya oleh pihak pedagang dan bukan oleh para petambak sebagai produsennya. Faktor ancaman lainnya
adalah masuknya pendatang ke daerah ini. Kaum pendatang ini umumnya memiliki tingkat ketrampilan dan etos kerja yang lebih baik sehingga lebih banyak dimanfaatkan
oleh pemilik tambak. Jika tidak di kelola dengan baik dapat mengakibatkan kecemburuan sosial di masyarakat karena tidak dimanfaatkaannya penduduk lokal karena keterbatasan
kemampuan. Hasil analisis kesesuaian lahan dan diskusi dengan stakeholder terkait,
dirumuskan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan di tambak yaitu budidaya rumput laut dan udang windu. Selanjutnya dilakukan pembobotan untuk menentukan
prioritas kebijakan usaha perikanan budidaya di Kota Palopo dengan melibatkan stakeholder. Hasil analisis disajikan pada Gambar 7.
0.346 0.654
Udang w indu Rumput laut
Kebijakan Usaha
Gambar 7 Bobot bentuk kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo
Hasil tersebut menunjukkan bahwa budidaya rumput laut merupakan usaha yang diinginkan oleh para stakeholder. Hasil ini sejalan dengan kondisi di lapangan dimana
para petambak memang melaksanakan usaha budidaya rumput laut. Berdasarkan hasil analisis AWOT diatas maka dapat rekomendasi strategi yang mencakup usaha
pengelolaan budidaya rumput laut Gracilaria sp. di tambak adalah : 1.
Perbaikan konstruksi tambak dan pengolahan lahan yang baik Luasnya lahan pertambakan yang ada di Kota Palopo merupakan faktor
pendukung untuk meningkatkan produksi rumput laut. Namun diperlukan perbaikan pada desain tambak yang ada serta pengolahan tanah yang baik. Desain tambak yang ada di
Kota Palopo umumnya masih sederhana, dimana pintu air hanya satu yang dimanfaatkan sebagai pintu pemasukan dan pengeluaran air. Kondisi ini menyebabkan tambak rentan
terhadap masuknya hama dan penyakit. Selain itu dinding pematang dibuat dari bahan
tanah lumpur berpasir sehingga tingkat porositasnya cukup tinggi. Perbaikan konstruksi tambak yang dilakukan mencakup perbaikan desain serta penguatan dinding pematang.
Kota Palopo sebagai kota jasa memiliki pelabuhan yang disinggahi kapal-kapal besar. Keadaan ini dapat menyebabkan pencemaran perairan yang disebabkan oleh
aktivitas pelabuhan tersebut yang didukung oleh posisi geografis Kota Palopo yang berada di wilayah Teluk Bone sehingga kondisi perairan lebih tertutup. Pencemaran
perairan laut ini dapat mempengaruhi usaha pemeliharaan rumput laut karena merupakan sumber air untuk tambak. Oleh karena itu, dalam mengantisipasi kondisi ini maka
diperlukan pembuatan tandon pemasukan. Tandon pemasukan yang dibuat mampu memenuhi kebutuhan air untuk beberapa tambak sekaligus, sehingga lebih ekonomis dan
tidak memanfaatkan lahan yang banyak. Pengolahan lahan dilakukan untuk mempertahankan kesuburan tanah dasar
tambak. Kegiatan pembalikan tanah tetap diperlukan karena dengan metode budidaya Gracilaria sp. tebar dasar akan menyebabkan substrat dasar menjadi masam akibat
proses amonifikasi di dasar tambak. Pengolahan tanah tambak ini dilakukan satu kali dalam setahun.
2. Peningkatan kualitas dan kuantitas hasil panen
Peningkatan kualitas mencakup perbaikan seleksi bibit yang digunakan. Seleksi bibit dilakukan untuk memperoleh bibit yang lebih baik sehingga diharapkan rumput laut
yang dipelihara memiliki tingkat pertumbuhan yang baik dan mengandung kadar agarofit yang tinggi. Usaha pembibitan dilakukan oleh petambak sendiri ataupun secara
berkelompok. Pada awalnya bibit yang digunakan merupakan bibit dari alam kemudian dilakukan pemurnian di laboratorium. Hasil pemurnian ini awalnya hanya dikembangkan
di daerah tambak Kabupaten Takalar, kemudian bibit ini dibawa ke Kota Palopo dan bibit inilah yang dikembangbiakkan oleh para petambak. Hal yang perlu dilakukan saat ini
adalah peningkatan kualitas bibit melalui proses seleksi bibit. Seleksi bibit yang baik merupakan pengetahuan teknis yang perlu dimiliki petambak, oleh karena itu diperlukan
kegiatan penyuluhan untuk membantu petambak memperoleh pengetahuan mengenai hal ini.
Implementasi strategi yang perlu dilakukan adalah menjaga kualitas produk dengan mempertahankan masa pemeliharaan. Kondisi yang terjadi saat ini di Kota
Palopo adalah para petambak cenderung menjual rumput lautnya jika harga sedang tinggi meskipun belum memenuhi syarat panen. Hal ini menyebabkan kualitas produknya
rendah karena memiliki kandungan agarofit yang rendah. Keadaan ini dapat
menyebabkan ketidakpercayaan pihak pembeli, sehingga ada kemungkinan mereka akan beralih kepada produsen di tempat lain.
Peningkatan produksi rumput laut juga dapat dilakukan dengan menambah kepadatan bibit yang ditanam. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa setiap hektar
lahan umumnya ditanam 1 ton bibit rumput laut. Menurut Trono 1988, petambak di Taiwan umumnya menanam Gracilaria sp. dengan kepadatan 5.000 – 6.000 kg setiap
hektarnya dan 4.000 – 5.000 kg untuk usaha polikultur. Kualitas perairan telah layak untuk usaha budidaya, namun peningkatan kepadatan rumput laut yang dipelihara mesti
ditunjang dengan peningkatan kualitas media pemeliharaan, sehingga tetap mampu mendukung pertumbuhan rumput laut. Hal ini telah ditunjang oleh kualitas perairan yang
telah layak untuk usaha budidaya. 3.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia SDM melalui pelatihan dan penyuluhan Pada usaha budidaya rumput laut di Kota Palopo, penguasaan teknologi pasca
panen masih sederhana dan bersifat alami. Selain itu, keterampilan petambak masih rendah sehingga pemanfaatan lahan belum optimal. Oleh karena itu, diperlukan usaha
peningkatan kualitas sumberdaya manusia sehingga terjadi peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki petambak. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui
kegiatan penyuluhan. Peran penyuluh dioptimalkan sehingga mampu membantu petambak dalam memecahkan berbagai persoalan yang terkait dengan kegiatan
pemeliharaan rumput laut. Proses alih teknologi dilakukan dengan melalui kegiatan pelatihan. Kegiatan
pelatihan dilakukan secara berkelompok dan berkelanjutan sehingga petambak memiliki pengetahuan terbaru mengenai usaha budidaya rumput laut. Selain memberi pelatihan
yang terkait dengan teknologi budidaya, juga dilakukan pengenalan mengenai teknologi pengolahan produk, sehingga hasil produk memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.
Peningkatan kualitas SDM lokal dilakukan untuk memecahkan satu masalah sosial yaitu pemanfaatan tenaga kerja lokal sebagai buruh tambak. Selama ini masyarakat
pendatang yang berasal dari Kabupaten Barru dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan banyak dimanfaatkan sebagai buruh tambak karena memiliki keterampilan dan etos kerja
yang lebih baik jika dibandingkan dengan tenaga kerja lokal. Dengan kegiatan pelatihan maka diharapkan keterampilan masyarakat lokal dan masyarakat pendatang menjadi
setara, sehingga kekhawatian mengenai tidak dimanfaatkannya tenaga kerja lokal dapat diantisipasi.
4. Penguatan kelompok dan peningkatan kerjasama
Penguatan kelembagaan dilakukan untuk memberi nilai tawar yang lebih kuat kepada petambak. Hal ini diperlukan agar petambak dapat melakukan tawar menawar
harga dengan pihak pembeli. Selama ini pihak pengumpul yang menentukan harga, sedangkan hasil panen tidak mungkin dapat disimpan lama. Penguatan kelembagaan
dilakukan dengan cara pembentukan kelompok tani dan memberdayakan kelompok tani yang telah ada.
Di Kota Palopo, telah berdiri sebuah lembaga ekonomi untuk masyarakat pesisir yang diinisiasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Lembaga ekonomi ini dapat
dimanfaatkan sebagai lembaga keuangan yang menjamin pembelian hasil panen petambak serta menyalurkannya ke pasar regional ataupun internasional. Pemberdayaan
lembaga keuangan ini dibantu oleh instansi terkait untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan pengolahan rumput laut sehingga distribusi produk tetap berlangsung.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat dibuat beberapa kesimpulan yaitu :
6. Luas lahan tambak yang sangat sesuai untuk usaha budidaya rumput laut Gracillaria
sp adalah 1070,161 hektar, kemudian lahan yang berkualifikasi sesuai seluas 312,690 hektar.
7. Terjadi penurunan nilai kadar ammonia, nitrat dan fosfat jika membandingkan antara
aliran air yang masuk dan aliran air yang keluar dari tambak, karena terjadi penyerapan nutrisi nutrient uptake oleh rumput laut
8. Motivasi utama masyarakat dalam melakukan perubahan usaha yang utama adalah
tingkat keterampilan yang diperlukan lebih mudah, resiko usaha yang lebih rendah serta pemanfaatan teknologi yang lebih sederhana
9. Usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp secara finansial layak untuk dilakukan.
Ditinjau dari pola pengusahaan lahan, maka usaha yang dilakukan sendiri memiliki nilai NPV sebesar Rp8.630.945,38; Net BC 2,18; dan IRR adalah 33,4 . Pada
sistem bagi hasil memiliki nilai NPV sebesar Rp10.766.746,81; Net BC 1,78; dan IRR adalah 28,5. Sedangkan dengan menyewa lahan tambak maka nilai NPV
sebesar Rp10.766.746,81; Net BC 2,46, dan IRR adalah 38,44. 10.
Stakeholder di bidang usaha budidaya perikanan tambak menginginkan usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp tetap dikembangkan dengan strategi yang
dilakukan adalah perbaikan konstruksi tambak dan pengolahan lahan; seleksi bibit dan peningkatan volume penanaman; peningkatan kualitas SDM dan penguatan
kelembagaan masyarakat serta peningkatan kerjasama.
5.1 Saran
Berdasarkan analisis, sintesis dan kesimpulan penelitian, maka beberapa saran yang dapat disampaikan sebagai berikut: