Tambak Udang Windu TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tambak Udang Windu

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001, tambak adalah kolam pemeliharaan ikan atau udang yang dibuat pada lahan pantai laut dan menggunakan air laut bercampur air sungai sebagai penggenangnya. Budidaya udang di tambak adalah kegiatan usaha pemeliharaan udang di tambak yang dimulai dari ukuran benih hingga mencapai ukuran yang layak konsumsi Suyanto dan Mudjiman 1999. Menurut Dahuri 2004, total produksi udang tambak Indonesia pada tahun 2000 adalah 120.000 ton. Sistem budidaya udang yang diterapkan di Indonesia ada tiga tingkatan yaitu tradisional, semi intensif dan intensif. Perbedaan yang menonjol dari ketiga tingkatan tersebut adalah pada segi pengaturan lingkungan hidup, sumber makanan, kepadatan benih, permodalan, luas per petak tambak dan pengendalian hasil Poernomo 1989. Pada tahun 2004, luas lahan tambak udang yang ada di Kota Palopo sebesar 35,50 ha dan semuanya menggunakan teknologi tradisional Dinas Perikanan Kota Palopo 2005. Salah satu penyebab pencemaran yang sering terjadi dalam kegiatan budidaya tambak udang, terutama untuk budidaya tambak udang intensif dan semi intensif adalah buangan limbah organik ke dalam perairan pantai yang banyak mengandung nutrien nitrogen – N dan fosfor – P. Hal ini dapat menimbulkan eutrofikasi Dahuri et al. 2001. Oleh karena itu dalam pengelolaannya perlu dilakukan antisipasi melalui prediksi terhadap potensi kandungan nutrien dalam tambak terhadap kemampuan perairan pantai untuk melakukan pengenceran. Revolusi biru sebagai program peningkatan usaha sektor perikanan telah mengubah sebagian besar petambak tradisional menjadi petambak komersial, bahkan sempat mendudukkan Indonesia sebagai salah satu produsen udang terbesar di dunia. Namun pada pertengahan 1990-an, petambak udang Indonesia kewalahan menghadapi epidemi virus udang selama empat tahun dan menyebabkan tingkat kematian total di banyak daerah. Hingga saat ini tidak banyak petambak yang berhasil mengatasi virus ini hingga banyak petambak yang menghentikan kegiatan budidaya udang. Menurut Sudaryono 2004, mewabahnya virus udang seperti virus SEMBV disebabkan oleh pengelolaan lingkungan yang buruk seperti pembabatan mangrove untuk memperluas lahan budidaya sehingga mengurangi kemampuan filtrasi air yang masuk ke kawasan budidaya. Selain itu desain tambak yang tidak ramah lingkungan dimana saluran air yang masuk sama dengan air yang keluar sehingga sisa-sisa pakan dan kotoran lainnya akan terus mengendap di dasar tambak dan tidak bisa dibuang keluar tambak. Tingginya kandungan bahan organik dari buangan limbah dari kegiatan budidaya tambak udang di satu hamparan lahan dapat melebihi kapasitas daya dukung lingkungan. Sumber pencemaran bahan organik limbah tambak berasal dari sisa pakan yang membusuk, metabolit urine dan feces, bangkai plankton yang membusuk, dan mikro organisme lainnya Poernomo 1992. Limbah organik ini terakumulasi dalam bentuk sedimen yang tertahan dan mengendap di dasar tambak atau terikat pada dinding pematang. Sedimen ini biasanya kaya akan nutrien nitrogen dan fosfor yang pada akhirnya akan digelontorkan ke luar tambak menuju perairan pantai Subandar 2002 dalam Hamid 2002. Menurut Biao et al. 2004, berdasarkan studi pengukuran kualitas air di pintu masuk dan pintu keluar tambak udang ternyata terdapat perbedaan nyata antara keduanya dimana nilai rata-rata konsentrasi nitrogen anorganik, fosfor anorganik di pintu pengeluaran tambak ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata konsentrasi di pintu pemasukan tambak. Potensi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari kegiatan budidaya tambak udang perlu dicegah, terutama terhadap kandungan nutrien nitrogen dan fosfor yang masuk ke perairan pantai Sehubungan dengan hal itu maka perlu dilakukan prediksi kemampuan perairan pantai melakukan pengenceran terhadap limbah nutrien tersebut. Untuk menghitung kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah tambak dapat digunakan rumusan hasil kegiatan Penyusunan Kriteria Eko-Biologis Widigdo 2001 Secara ekologi, ada beberapa hal yang menjadi dampak negatif akibat cepatnya perkembangan industri budidaya udang. Pertama, hilangnya sejumlah besar kawasan hutan mangrove yang sangat penting secara ekologi dan ekonomi akibat kepentingan ekspansi tambak udang. Kedua, tingginya tingkat penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida dalam tambak udang intensif menimbulkan masalah pencemaran yang signifikan. Ketiga, penggunaan air tawar secara berlebihan di kawasan pesisir menyebabkan intrusi air laut ke dalam sumur-sumur air di daerah pesisir Konphalindo 2002 Menurut Casalduero 1999, kegiatan budidaya organisme pada perairan tertutup seperti tambak udang akan memberikan dampak negatif. Dalam kegiatannya, terjadi pelepasan nutrisi yang berasal dari hasil ekskresi organisme serta pakan yang tidak termakan ke lingkungan akan menyebabkan terjadinya hypernutrification. Selain itu konsentrasi banyak organisme dalam satu tempat yang kecil akan meningkatkan kebutuhan akan oksigen dan konsentrasi produksi limbahnya, yang akan mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton ke tingkat eutrofikasi. Hal ini juga dikemukakan oleh Russo 2002 bahwa pengkayaan nutrisi diperairan akibat aktivitas manusia dapat menyebabkan tekanan ekologi bagi ekosistem pesisir, karena mengurangi kedalaman zona fotik, dapat menghilangkan habitat, menurunkan kelarutan oksigen terlarut di perairan dan berdampak pada kehidupan sumberdaya hayati. Ekses dari pengkayaan nutrisi di perairan adalah meningkatnya pertumbuhan tumbuhan makrofita ataupun fitoplankton, meningkatnya produksi alga dan meningkatnya ketersediaan karbon organik. Kelebihan produksi alga ini kemudian tenggelam di dasar perairan yang kemudian menghabiskan sebagian besar oksigen di dasar perairan.

2.2 Morfologi dan Klasifikasi Rumput Laut