tambak tradisional. Dengan demikian dapat diketahui bahwa produksi udang setiap
hektarnya mampu menghasilkan 689 kg udang setiap tahunnya.
2. Analisis Finansial Usaha Budidaya Perikanan di Tambak
Usaha budidaya rumput laut di tambak yang dilakukan oleh masyarakat Kota Palopo telah berkembang dengan sangat pesat sejak 3 tahun terakhir. Setiap lahan
tambak yang dijumpai saat penelitian berlangsung semuanya melakukan usaha tersebut. Berkembangnya usaha budidaya ini tidak terlepas dari hasil yang diperoleh cukup
memuaskan dari segi pendapatan. Berdasarkan pola pengusahaan lahan, bentuk usaha budidaya rumput laut
Gracilaria sp. yang dilakukan petambak dibagi menjadi tiga yaitu usaha sendiri, sistem bagi hasil dan sewa lahan. Ketiga bentuk usaha ini memberi gambaran mengenai
ketersediaan modal yang dimiliki petambak, sehingga turut memberikan hasil pendapatan yang berbeda pula. Beberapa pemilik lahan yang tidak memiliki cukup modal untuk
usaha biasanya menyewakan tambaknya untuk beberapa tahun umumnya 5 tahun, kemudian setelah memiliki cukup modal kemudian mengelolanya sendiri. Sebaliknya
bagi beberapa orang yang tidak memiliki lahan namun mempunyai modal kemudian menyewa lahan milik orang lain. Adapun masyarakat yang tidak memiliki tambak
sedangkan modalnya tidak cukup untuk menyewa tambak dapat menggarap tambak orang lain dengan sistem bagi hasil.
Usaha sendiri berarti kegiatan usaha itu dilakukan oleh pemilik lahan itu sendiri yang biasanya dibantu oleh pekerja sebanyak 2 atau 3 orang yang berasal dari anggota
keluarganya. Berdasarkan hasil wawancara, biaya investasi yang dikeluarkan oleh petambak untuk memulai usaha ini adalah sebesar Rp6.868.700,00 setiap
hektarnya. Investasi tersebut digunakan untuk perbaikan tambak, perbaikan pintu air, pembuatan rumah jaga, pembelian rakit serta alat penunjang usaha seperti waring sebagai
alas untuk menjemur hasil panen, cangkul dan lain sebagainya. Nilai investasi ini tidak termasuk biaya pembelian tanah karena lahan ini telah menjadi milik sendiri sejak lama
dan sebelumnya telah dimanfaatkan untuk usaha budidaya udang. Usaha budidaya yang berbentuk sistem bagi hasil adalah suatu bentuk usaha
dimana ada perjanjian antara pemilik lahan dengan pekerja lahan untuk membagi hasilkeuntungan yang diperoleh dari hasil usaha. Pihak pemilik lahan mengeluarkan
biaya poduksi dan menyediakan lahan yang telah siap dimanfaatkan, sedangkan pihak penggarap merupakan tenaga petambak yang diberikan hak untuk mengelola tambak
tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan, biaya setiap masa produksi yang dikeluarkan pemilik lahan adalah Rp2.820.000,00 setiap hektarnya. Biaya produksi ini
termasuk pemeliharaan tambak, pembelian bibit, pupuk dan pajak. Sedangkan pihak penggarap mengeluarkan biaya konsumsi harian seperti makan, minum, rokok dan lain-
lain. Namun demikian, beberapa responden menjelaskan bahwa mereka selaku penggarap menyediakan sendiri beberapa peralatan penunjang untuk usaha seperti
waring, rakit ataupun peralatan masak di rumah jaga. Berdasarkan hasil wawancara, umumnya persentase bagi hasil antara pemilik dengan penggarap lahan adalah 75 : 25.
Pembagian keuntungan ini merupakan hasil kesepakatan antara pihak pemilik lahan dengan tenaga penggarap.
Sistem sewa lahan digambarkan sebagai usaha sewa menyewa lahan untuk beberapa tahun yang ditentukan sesuai dengan kesepakatan antara pemilik lahan dan
pihak penggarap. Menurut hasil wawancara dengan responden, besarnya nilai sewa lahan tidak bergantung kepada luas lahan, namun hanya berdasarkan kesepakatan antara
pemilik lahan dan pihak penyewa. Dalam sistem kontrak ini, pihak penyewa mengeluarkan biaya seperti halnya sebagai pemilik lahan yang berarti mereka
menyediakan modal untuk perbaikan tambak hingga biaya produksi, namun hasil panen sepenuhnya juga menjadi milik pihak penyewa.
Berdasarkan hasil wawancara dan perhitungan yang dilakukan, maka dapat terlihat perbedaan dari segi pendapatan antara bentuk usaha sendiri, sistem bagi hasil dan
sistem sewa lahan. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan responden yang pernah melakukan usaha budidaya udang windu maka dapat juga dilakukan perbandingan
antara kedua jenis usaha ini. Analisis finansial ini didasarkan pada hasil perhitungan menggunakan cashflow selama 5 tahun serta nilai discount factor 12. Penetapan
berbagai nilai biaya dan pendapatan termasuk harga jual rumput laut digunakan nilai terendah selama setahun Shang 1990.
Tabel 11. Hasil analisis finansial usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo
No Model usaha
NPV rupiah per hektar
Net BC per hektar
IRR per hektar
1. Rumput laut
a. Pemilik 7.559.140,00
2,08 36
b. Penyewa 12.571.370,00
1,45 29,8
c. Bagi hasil 8.261.571,07
2,3 57,54
2. Udang
a. Pemilik 13.896.929,64
2,21 49,09
Berdasarkan Tabel 11 dapat dijelaskan bahwa usaha budidaya rumput laut yang dilakukan petambak berbeda-beda sesuai dengan bentuk usaha yang dijalankan. Bentuk
usaha dimana pemilik yang mengolah langsung tambaknya memiliki nilai net BC sebesar 2,08; NPV Rp 7.559.140,00 dan nilai IRR adalah 36. Nilai NPV menunjukkan bahwa
selama 5 tahun usaha budidaya rumput laut ini setiap hektarnya dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp 7.559.140,00 untuk nilai uang saat ini. Net BC sebesar 2,08
menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh setiap hektarnya adalah 2,08 kali dari setiap 1 unit biaya yang dikeluarkan. Nilai IRR sebesar 36 menunjukkan kegiatan ini layak
untuk dilanjutkan. Pada sistem sewa lahan, net BC sebesar 1,45 menunjukkan bahwa manfaat yang
diperoleh setiap hektarnya adalah 1,45 kali dari setiap 1 unit biaya yang dikeluarkan. Adapun keuntungan bersih yang diperoleh selama 5 tahun itu adalah Rp 12.571.370,00.
Nilai IRR sebesar 29,8 menunjukkan batas suku bunga tertinggi yang masih memberi keuntungan terhadap usaha yang dilakukan.
Sistem bagi hasil memberikan nilai net BC sebesar 2,3 dengan NPV sebesar Rp 8.261.571,07. Ini menunjukkan bahwa sistem bagi hasil memberikan manfaat 2,3 kali
dari 1 unit biaya yang dikeluarkan selama 5 tahun dan memberikan keuntungan bersih sebesar 8 juta lebih untuk usaha yang dilakukan selama 5 tahun tersebut. Nilai IRR yaitu
57,24 lebih besar daripada nilai suku bunga riil, sehingga dapat dikatakan bahwa usaha kegiatan ini bisa dilaksanakan.
Sebagai analisis pembanding usaha budidaya rumput laut maka digunakan analisis finansial udang windu. Namun pada saat penelitian berlangsung tidak ditemui
usaha budidaya udang windu yang dilakukan oleh petambak. Oleh karena itu data input- output usaha udang windu yang digunakan adalah data terdahulu dengan menggunakan
harga input-output pada saat sekarang. Pada usaha budidaya udang windu, berdasarkan hasil wawancara dengan petambak yang pernah melakukan usaha budidaya ini maka pada
setiap hektarnya diperoleh nilai NPV sebesar Rp 13.896.929,00 dengan nilai Net BC
sebesar 2,21 menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh setiap hektarnya adalah 2,21 kali dari setiap 1 unit biaya yang dikeluarkan. Nilai IRR yang tinggi yaitu 49,09
menunjukkan usaha ini layak dilaksanakan. Besarnya nilai pendapatan dari usaha budidaya udang ini tidak terlepas dari tingginya harga udang windu di pasaran jika
dibandingkan dengan harga rumput laut Gracilaria sp. dengan bobot yang sama. Pada setiap hektarnya, produksi udang windu dapat mencapai 150 kg pada sistem usaha
tradisional, yaitu dengan jumlah bibit yang dipelihara sekitar 1500 ekor. Sedangkan untuk usaha budidaya Gracilaria sp. pada setiap hektarnya dapat dipanen sekitar 500 kg
dengan jumlah bibit yang ditebar sekitar 1 ton. Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan karakteristik usaha antara
kedua usaha ini. Pada usaha budidaya rumput laut, bibit rumput laut tersebut digunakan hingga 7 siklus produksi. Pada beberapa lahan tambak yang diobservasi, bibit digunakan
hingga 9 siklus produksi namun hasil panen sudah semakin menurun secara kuantitas dan kualitas. Hal ini berbeda dengan budidaya udang dimana setiap produksi memasukkan
biaya penyediaan bibit udang benur. Perbedaan lain yang terlihat adalah dari penilaian kualitas hasil panen. Kualitas
panen mencakup kadar air dari rumput laut serta bobot panen yang dihasilkan. Jika tidak memenuhi kadar air yang ditetapkan, maka harga rumput laut akan turun drastis dimana
harga ini kemudian ditentukan sendiri oleh pihak pengumpul yang membeli rumput laut petambak. Sedangkan bobot panen mencakup penampakan rumput laut yang dihasilkan
juga mempengaruhi harga jual.
4.3 Kondisi Sosial Masyarakat