ini memang berbeda jauh. Pada bulan Mei 2006, harga rumput laut Gracilaria sp. di tingkat petambak yaitu Rp. 4.000,00kg. Pada saat yang sama, harga udang stabil di
kisaran 45.000,00kg.
d. Pemasaran produk
Sistem yang berlaku selama ini telah memudahkan petambak dalam memasarkan hasil panennya. Sistem pemasaran yang berlaku adalah pihak pengumpul yang
mendatangi petambak untuk kemudian mengajukan penawaran harga. Setelah diperoleh kesepakatan harga, maka pengumpul yang selanjutnya mendistribusikan produk tersebut
sesuai dengan jalur pemasarannya. Untuk udang, maka pengumpul kemudian membawanya ke perusahaan cold storage yang selanjutnya akan memproses sebagai
produk ekspor. Sedangkan untuk rumput laut, maka pengumpul membawanya ke gudang penyimpanan untuk di sortir, dibersihkan kembali sebelum kemudian dikirim ke pulau
Jawa atau pihak eksportir. Keuntungan dari sistem pemasaran ini adalah pihak petambak tidak
mengeluarkan biaya operasional untuk memasarkan hasil panennya, karena telah dijemput oleh pengumpul. Namun demikian terdapat juga kerugiannya karena petambak
tidak memiliki nilai tawar yang kuat dalam menentukan harga produk, karena menurut eksportir harga produk selain dipengaruhi oleh mutu produk juga terkait dengan jarak dari
lokasi produksi ke daerah pemasaran.
e. Permodalan dan investasi
Menurut hasil wawancara, sebanyak 19,2 responden menyatakan bahwa berkembangnya usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp. di Kota Palopo adalah karena
usaha ini membutuhkan modal yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan modal untuk usaha budidaya udang. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa biaya produksi
satu siklus hanya membutuhkan modal 3 juta rupiah. Sedangkan untuk usaha budidaya udang windu secara tradisional dibutuhkan modal sedikitnya 6 juta rupiah untuk setiap
masa produksi setiap hektarnya. Penyertaan modal yang berlaku pada usaha budidaya udang dan rumput laut sama
yaitu sistem bagi hasil, sewa lahan dan usaha sendiri. Bentuk usaha kedua model budidaya ini sama, tetapi ada perbedaan pada jumlah modal yang dibutuhkan tergantung
pada kebutuhan operasional usaha.
f. Ketersediaan bibit dan sarana produksi
Ketersediaan bibit merupakan faktor penting untuk menjaga keberlanjutan usaha budidaya di tambak. Pentingnya faktor ketersediaan bibit ini terkait dengan aspek jarak
dan penanganan transportasi bibit tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan, bibit rumput laut tidak diambil dari lokasi yang jauh karena hal ini menyangkut tingkat kesegaran dari
bibit rumput laut tersebut. Bibit ini mudah diperoleh dari petambak yang sudah membudidayakan rumput laut Gracilaria sp. sebelumnya.
Hal ini berbeda dengan penyediaan benih udang. Di Kota Palopo belum terdapat usaha pembibitan udang, sehingga benih udang benur harus didatangkan dari daerah
lain yang cukup jauh sehingga membutuhkan penanganan khusus agar tidak mengakibatkan kematian benih udang. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 28,8
responden menyatakan bahwa benur benih udang didatangkan dari usaha pembenihan yang ada di Kabupaten Barru sekitar 250 km dari Kota Palopo. Jarak lokasi
pembenihan ini cukup jauh namun masih bisa ditolerir untuk transportasi darat. Menurut Baliao dan Tookwinas 2002, pengangkutan benur sebaiknya tidak lebih dari 12 jam
perjalanan karena akan mengakibatkan stress pada benur yang dapat mengakibatkan kematian. Walaupun demikian, tidak diperoleh kesulitan untuk memperoleh benur
mengingat lancarnya transportasi darat antara kedua wilayah tersebut. Usaha budidaya perikanan tambak membutuhkan berbagai sarana produksi,
tergantung pada teknologi budidaya yang digunakan. Semakin tinggi teknologi yang digunakan maka alat dan sarana produksi yang digunakan semakin banyak. Berbagai
sarana produksi yang digunakan meliputi kegiatan persiapan tambak, tahapan pemeliharaan organisme serta berbagai peralatan untuk pemanenan. Karena usaha
budidaya perikanan telah berlangsung sejak lama maka di Kota Palopo telah banyak usaha yang bergerak dibidang penyediaan alat dan sarana produksi.
g. Hama dan penyakit