Semua perangkat hukum adat tak tertulis tersebut mencakup dalam lembaga Bius, yang berfungsi sebagai pengemban tertinggi Adat Siradja Batak.Bius menurut
Sianjur mula-mula, menguasai sebuah territorial wilayah dengan perbatasan yang jelas sebagai wilayah kedaulatannya. Integritasnya juga dihormati pihak Bius desa
lain sebagai wilayah yang memiliki hukum dan ketentuan yang sahSitumorang, 2004.
Masyarakat Batak Toba sendiri memiliki adat budaya baku yang disebut Dalihan Na Tolu yang dapat menembus sekat-sekat yang didalamnya terdapat
perbedaan dalam bermasyarakat. Adat budaya Batak ini memiliki sembilan belas nilainorma inti dalam bermasyarakat yaitu : norma adat, norma musyawarah, norma
perkawinan, norma pergaulan sehari-hari, norma perceraian, norma pewarisan, norma kekeluargaan, norma integrasi, norma kejujuran, norma keadilan, norma
kesejahteraan, norma kemanusiaan, norma kebebasan, norma kepemimpinan, norma ambisi, norma ketelatenan, norma keterbukaan, dan norma kedaulatan takyat yang
mana semua norma tersebut tak terlepas dari praktek pelaksanaan unsur sistem Dalihan Na Tolu Capt. Bonar Victor Napitupulu, M.M., 2012.
2.2. Dalihan Na Tolu
Dalihan Na Tolu yang merupakan Trias Manner of Batak lahir pada abad 14 Masehi di Tamiang yang merupakan wilayah migrasi para leluhur Batak dari
perantauannya kota Bataha, bekas kerajaan Martaban di Myanmar sebelum melakukan migrasi ke penjuru daerah migrasi lainnya di wilayah Sumatera Utara, dan
kemudian leluhur masyarakat Batak Toba membawanya ke wilayah migrasinya di wilayah Toba, yang kemudian prinsip budaya ini tetap dinamai Dalihan Na Tolu di
Toba dan di wilayah migrasi lainnya dinamai Rakut Sitelu, Daliken Sitelu, Owuloa Hada Capt. Bonar Victor Napitupulu, M.M., 2012.
Dalam sejarah yang ada mengenai Dalihan Na tolu, bahwa awal mula nya terdapat sebuah kesepakatan para leluhur Batak sebelum mereka menyebar ke
berbagai wilayah secara berkelompok, agar selalu memegang teguh Dalihan Na Tolu dimana mereka akan tinggal. Kesepakatan atas sistem Dalihan Na Tolu yang berarti
kesepakatan untuk tidak mendaulat jadi seseorang menjadi raja. Mereka semua tunduk pada hukum Habatahon dengan sistem yang dinamai Dalihan Na Tolu.
Kesepakatan tersebut mengartikan bahwa siapapun yang mengusulkan, alasannya sudah pasti adalah “yang mengatur kita selama ini pun adalah HabatahonBudaya
kita”. Jika kita semua tunduk pada hukum Habatahon itu, tidak akan ada konflik
diantara kita. Maka semua lelaki dewasa harus sebagai Anak Ni Raja dan semua perempuan dewasa harus sebagai Boru Ni Raja Capt. Bonar Victor Napitupulu,
M.M., 2012. Dalihan Na Tolu merupakan nafas atau ibaratkan ideologi yang harus
dilaksanakan bagi orang Batak manapun, terkhususnya masyarakat Batak Toba dalam kesehariannya.Dalihan Na Tolu menjadi tolak ukur, menjadi pedoman, menjadi
landasan ataupun dasar masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku terhadap sesamanya sesuai dengan peranstatus yang dia peroleh dari suatu ikatan dalam
marganya sendiri.Dalihan Na Tolu ini selalu hadir didalam setiap ritus masyarakat Batak Toba yang tidak dapat tertinggalterpisahkan.
Dalihan Na Tolu secara harafiah berarti tungku yang terdiri dari tiga kaki penyanggah.Dahulu orang Batak Toba memasak di atas tiga buah batu tersebut.Pada
rumah tradisional Batak Toba, perapian merupakan dimana tungku tataring ini
berada mengabil tempat di tengah rumah.Tungku ini menjadi pusat rumah Nainggolan, 2012.Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan
yang sangat mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tersebut tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan
dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi.Inilah yang dipilih
leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Hal ini dikarenakan bahwa Perlunya
sebuah keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akanpernah
menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu di masyarakat Batak Toba.
Menurut ahli lainnya dalam hal yang sama menyatakan bahwa bahwa Dalihan Na Tolu, arti kata ini secara harafiah ialah “tungku nan tiga”, yang merupakan
lambang jika diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang juga mempunya tiga tiang penopang, yaitu Dongan Sabutuha, Boru, dan Hula-hula. Arti tiga kata ini secara
berturut ialah: 1. Pihak yang semarga, 2. Pihak yang menerima isteri dalam bahasa inggeris disebut wife receiveng party, dan 3. Pihak yang memberi isteri dalam
bahasa inggeris disebut wife giving party.Perkawinan menimbulkan adanya ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang disebut tadi seolah-olah merupakan tiga tungku
di dapur yang penting dalam kehidupan sehari-hari Siahaan, 1982. Fungsi dari Dalihan Na Tolu secara umum adalah menjaga integrasi
masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu adalah suatu bentuk nilai budaya Batak Toba. Sebagai suatu bentuk dari nilai budaya, maka Dalihan Na Tolu juga memiliki
sifat yang tidak statis dan adaptif atau dapat berubah dalam tata pelaksanaan atau penerapannya Margaretha, 2008.
Untuk Orang Batak Toba, pihak pemberi isteri hula-hula adalah sumber kahidupan bagi pihak penerima isteri boru. Secara konkret hal itu tampak karena
pihak pemberi isteri memberikan putri mereka kepada penerima isteri, dan putri ini akan melahirkan anak laki-laki yang menjadi penerus marga. Terhadap pemberian
isteri ini, penerima isteri membalas dengan mahar yang dalam bahasa Batak Toba disebut tuhor tukar, yang bisa berarti menukarkan atau membeli.Secara simbolis
pemberi isteri mempunyai status yang lebih tinggi daripada pemberian penerima isteri. Pemberi isteri mempunyai sahala, yaitu kualitas tondi prinsip hidup yang
lebih tinggi. Kuasa sahala pemberi isteri ini mempengaruhi nasib penerima isteri baik dalam hal yang baik maupun hal yang buruk, seperti: keturunan, panen gagal,
kecelakaan, penyakit dan bahkan kematian. Penerima isteri merasa bahwa eksistensinya tergantung kepada berkat pemberi isteri Nainggolan, 2012.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa penerima isteri harus menaruh hormat yang tinggi kepada pihak pemberi isteri, yang dalam bahasa Batak Toba dikatakan,
somba marhula-hula.Pada ritus perkawinan, penerima isteri menyembah pemberi isteri dengan membawa persembahan babikerbau tudu-tudu sipanganon, yang
merupakan bagian organ terpenting dari kurban babikerbau tersebut.Dalam hal ini tondi babikerbau tersebut membawa sembah hormat penerima isteri kepada pemberi
isteri yang kemudian akan sampai kepada Debata TuhanAllah Nainggolan, 2012. Kemudian sebaliknya datang berkat dari Debata TuhanAllah melalui
pemberi isteri hula-hula kepada boru pihak penerima isteri.Pihak hula-hula memberikan ikan dekke dalam istilah mangupa boru memberi upah tondi kepada
boru nya, supaya tondi jiwa putri beserta penerima isteri kuat.Untuk itu orang Batak Toba mengatakan elek marboru penerima isteri harus disayangi. Sementara disisi
lain pihak dongan sabutuha teman semarga mempunyai tanggung jawab bersama untuk menanggung mahar apabila seorang putri dari pihak pemberi isteri untuk
menikah. Dengan demikian, jelas untuk kita mengapa perkawinan masyarakat Batak Toba itu asimetri. Secara religius kedudukan pemberi isteri hula-hula lebih tinggi
dari pada penerima isteri Nainggolan, 2012. Perlu dikatakan bahwa hirarki superior-inferior antara pihak pemberi isteri
dengan pihak penerima isteri adalah relatif dan bukan absolut.Kepatuhan penerima isteri kepada pemberi isteri adalah kepatuhan religius, yang tentu saja mempunyai
pengaruh untuk kehidupan mereka sehari-hari. Pihak penerima isteri memberi hormat sembah kepada pemberi isteri.Sebaliknya pihak pemberi isteri menyayangi elek
kepada pihak penerima isteri. Tetapi status dan prestasi pribadi tidak berfungsi dalam ritus.Kedudukan
sebagai pegawai atau kekayaannya tidak mengubah posisinya dari pemberi isteri menjadi penerima isteri atau sebaliknya.Setiap orang juga pernah sebagai pemberi
atau penerima isteri dalam salah satu ritus.Hal ini berhubungan dengan sistem asimetri tadi, bahwa Dalihan Na Tolu berfungsi sebagai suatu penyeimbang sosial
dalam masyarakat Batak Toba. Menurut Verouwen, orang Batak Toba tidak mengenal kelas dalam masyarakat Nainggolan, 2012.
Hula-hula
Boru Dongan Sabutuha
Gambar 1. Pola Sistem Dalihan Na Tolu Nainggolan, 2012 Eksogami pada orang Batak-Toba adalah asimetri assumentrie circulatie
connubium. Perkawinan yang paling ideal adalah perkawinan dengan pariban , perkawinan matrilateral cross-cousin, walaupun hal ini semakin berkurang dengan
datangnya kekristenan ke tanah Batak. Perkawinan sirkulasi asimetri ini mengandaikan sekurang-kurangnya tiga kelompok marga, yaitu kelompok Ego,
kelompok pemberi isteri hula-hula, dan kelompok penerima isteri boru.Ketiga kelompok ini selalu dalam aliansi.Maka kelompok ego ialah sendiri bersama teman
semarganya, yang disebut dengan dongan sabutuha. Yang masuk dalam kelompok hula-hula adalah mertua dan saudara mertua
ego, saudara isteri dan semua anggota keluarga dari garis keturunan saudara isteri Nainggolan, 2012 atau dalam artian seluruh saudara laki-laki ibotoito perempuan
baik yang satu ayah maupun dari keluarga ayah perempuan maupun satu marga dengan siperempuan. Yang termasuk dalam kelompok boru adalah semua kelompok
marga yang mengambil wanita dari garis keturunan marga ego Nainggolan, 2012, dalam artian seluruh kelompok marga yang menikahi saudara perempuan iboto dari
pihak laki-laki. Prinsip yang dipegang teguh dalam adat Batak Toba ialah klen yang menerima seorang wanita menjadi anggotanya karena kawin dengan salah seorang
putera klen itu, tetap berhutang budi kepada klen yang telah memberi sang isteri tersebut.
Dari penjelasan diatas Dalihan Na Tolu dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan ideas, acivities, dan artifacts. Dikatakan sebagai ideas karena Dalihan Na
Tolu merupakan suatu gagasan yang merupakan nilai inti dari masyarakat Batak Toba dan bertalian satu dengan yang lainnya. Dalam wujud yang demikian sifatnya
sangatlah abstrak, tak dapat di raba, maupun di foto. Apabila Dalihan Na Tolu sudah di implementasikan dalam sebuah aktivitas seperti upacara adat dan kebiasaan
‘martutur’ maka wujud dari sistem kekerabatan ini adalah activities. Martutur merupakan penelusuran mata rantai istilah kekerabatan jika ia berjumpa dengan orang
Batak Toba lainnya. Hal tersebut untuk mengetahui apakah yang satu masih kerabat dari yang lainnya dan bagaimana cara yang seharusnya untuk saling bertutur sapa.
Dalam wujud artifacts terlihat dalam pemberian ulos, jambar, dekke, dan yang lainnya. Pemberian ulos, jambar, dekke, ataupun yang lainnya didasarkan pada
Dalihan Na Tolu Margaretha, 2008. Dimanapun ada orang batak bertemu di daerah perantauan, katakanlah di
Jakarta atau di Amerika, mereka ini terus merasa seolah-olah berkerabat meskipun belum pernah berkenalan sebelumnya, dan menurut ukuran barat tidak ada hubungan
pamili sama sekali diantara mereka. Apalagi kalau kedua-duanya mempunyai marga yang sama, maka hubungan itu rasanya amat dekat, tinggal meminta bantuan ahli adat
untuk dapat menelusuri jauh dekatnya hubungan silsilah diantara dua insan tadi, demikian Prof. Dr. Clark. E. Cunningham, seorang ahli antropologi dari Amerika
pada tahun 1950-an mengadakan penelitian ilmiah di Sumatera Utara mengenai orang Batak Siahaan, 1982.
Sesuai dengan pengalaman antropolog tersebut ketika sedang mengadakan penelitiandan jika di hubungkan dengan pengalaman dan kebiasaan penulis, bahwa
jika kedua orang yang disebut tadi kebetulan mempunyai marga atau boru Sinaga, maka pertanyaan yang diajukan adalah “Sinaga yang mana kah anda?”. Yang disapa
harus taulah menjawabnya. Yang dimaksud dengan pertanyaan itu adalah untuk mengetahui asal-usul serta keturunan leluhur dari mana yang terus berkembang
hingga nomor urut generasi yang kemungkinan besar bisa saling mengenal diantara
mereka, karena mereka adalah bersaudara hingga akhirnya mengerucut pada istilah sapaan apabila mereka sama atau berbeda nomor urut generasi dari marga Sinaga.
Istilah-istilah sapaan yang digunakan oleh orang Batak Toba kepada sesamanya, apakah semarga atau tidak semarga, adalah sesuai dengan kaidah pada sistem Dalihan
Na Tolu.
2.3. Teori Konflik Lewis A. Coser – Katup Penyelamat