Interaksi Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama Dalam Praktek

“Ya kalau agama itu urusan pribadi masing-masing bagaimana berTuhan. Hanya saja ketika masuk ke Dalihan Na Tolu sudah tidak agama lagi yang di persoalkan, sudah berbicara perhundul yang saya katakan tadi itu. Kalo sudah masuk di Dalihan Na Tolu semua sudah lepas. itulah termasuk yang berbeda agama tadi itu yang kamu Tanya tadi”.

4.7. Interaksi Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama Dalam Praktek

Dalihan Na Toludi Sidabariba Parapat Dalihan Na Tolu menjadi tolak ukur, menjadi pedoman, menjadi landasan ataupun dasar masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku terhadap sesamanya sesuai dengan peranstatus yang dia peroleh dari suatu ikatan dalam marganya sendiri.Dalihan Na Tolu ini selalu hadir didalam setiap ritus masyarakat Batak Toba yang tidak dapat tertinggalterpisahkan, dimana pada intinya Dalihan Na Tolu menjadi aturan yang mengatur tata cara masyarakat Batak Toba bagaimana cara berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lainnya. Dalam interaksi masyarakat Batak Toba melalui praktek sistem Dalihan Na Tolu, wujud interaksi tersebut dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan acivities, dan artifacts. Apabila Dalihan Na Tolu yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba sudah di implementasikan dalam sebuah aktivitas seperti upacara atau sosial sehari-hari dalam bermasyarakat dengan mempraktekkan kebiasaan ‘martutur’ maka wujud dari sistem kekerabatan ini adalah activities. Martutur merupakan penelusuran mata rantai istilah kekerabatan jika ia berjumpa dengan orang Batak Toba lainnya. Hal tersebut untuk mengetahui apakah yang satu masih kerabat dari yang lainnya dan bagaimana cara yang seharusnya untuk saling bertutur sapa antar sesama masyarakat Batak Toba yang berbeda agama sesuai dengan status dan peran mereka masing-masing di dalam sistem Dalihan Na Tolu.Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan D. Sinaga lk, 76 sebagai berikut : “Dalihan Na Tolu perannya bukan memisahkan, melainkan justru mempersatukan. Contohnya anak saya dua orang masuk islam di Jakarta sekarang, bahkan ibebere keponakan perempuan saya satu-satunya islam di keluarga keturunan iboto saudara perempuan saya, lantas apa saya melarang mereka? Apa saya tidak mau lagi menganggap dia anak? Apa harus kita jauhi? dia itu anak saya tetap, saya tetap bapaknya, saya tetap oppung anak-anaknya. Anak saya itu tetap ibotonya nya anak-anak saya kan. itulah kalau sekilas berkeluarga yang berbeda agama bagi keluarga kami.” Hal ini penulis temukan di lapangan pada saat penelitian, dimana seseorang atau sekelompok orang baik di pesta adat maupun di kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba yang berbeda agama di wilayah Sidabariba Parapat. Mereka menyapa dengan memanggil namboru, tulang, bapa uda, ito, amang, inong, amang boru, nantulang, abang, atau inang uda ketika bertemu bahkan ketika berpapasan. Pemanggilan tersebut berlandaskan posisi atau status mereka di dalam unsur Dalihan Na Tolu yang melekat pada diri mereka tanpa memandang agama maupun status kerabatnya tersebut.Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan Mangihut Sinaga lk, 59 sebagai berikut : “Dalihan Na Tolu bukan hanya di acara adat aja seperti di pesta adat kenduri misalnya. Bukan itu, tapi dalam urusan konflik sosial pun Dalihan Na Tolu itu berlaku. Dalam kehidupan sosial sehari-hari pun itu tetap dipakai dan ditanamkan sebagai pedoman. Mau dia muslim, itu hula-hula kita loh, muslim pun mereka, dia itu boru kita loh. Tidak bisa terlepas secara kekerabatan maupun secara formal di acara adat. Kapan saja itu terus dipakai. Mau itu ketika kita bertemu di pajak pasar, bertemu di pemerintahan, bertemu di pesta, di gereja, atau dimanapun bagi kita yang merupakan orang Toba saling menyapa saling berinteraksi yan dilandaskan Dalihan Na Tolu yang saya katakan tadi.” Pada masyarakat Batak Toba juga terdapat interaksi lainnya yang menjadi alat komunikasi mereka. Dalam wujud artifacts terlihat dalam pemberian ulos, jambar, dekke, dan yang lainnya. Pemberian ulos, jambar, dekke, ataupun yang lainnya didasarkan pada Dalihan Na Tolu. Pada umumnya alat interaksi artifacts yang di gunakan masyarakat Batak Toba dalam kebudayaan adat isti-adat formalnya, salah satunya adalah pinahan lobu atau namargoar daging babi. Tampak jelas bagi masyarakat Batak Toba yang beragama muslim daging babi merupakan makanan yang dianggap haram atau terlarang sesuai ajaran agama mereka. Namun pada wujud artifacts ini Dalihan Na Tolu juga merangkul masyarakat Batak Toba untuk bertoleransi dan berkompromi, dimana apabila di dalam keluarga itu terdapat perbedaan agama seperti perbedaan pandangan mengenai jambar daging babi tadi. Maka oleh karena itu haruslah dicari solusi lain agar menemukan solusi agar kegiatan-kegiatan adat masyarakat Batak Toba itu dapat berlangsung sesuai dengan harapan menjalankan prinsip Dalihan Na Tolu. Seperti menjadikan kerbau, lembu, atau kambing menjadi jambar pada acara adat isti-adat masyarakat Batak Toba. Toleransi tersebutlah tampak jelas menjadikan katup pengaman pada masyarakat Batak Toba dari ancaman dari potensi konflik individu maupun kelompok demi mewujudkan sebuah ceremonialyang berlandaskan Dalihan Na Tolu. Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan Mangihut Sinaga lk, 59 sebagai berikut : “Secara filosofis kan, Dalihan Na Tolu itu adalah ikatan , sebagai ikatan pemersatu kerukunan masyarakat Toba, ada kesadaran masing-masing. Kalau seperti diparapat misalnya, ada istilah yang tidak mengkonsumsi babi misalnya itu sudah secara otomatis itu mereka siapkan tempat untuk yang muslim, khususnya bagi yang tidak boleh memegang, menyentuh atau memakan daging babi. Tidak ada yang aneh-aneh lagi, jadi sudah ada kesadaran dari sejak awal kalau teman ku ini tidak bisa memakan daging babi. Mereka sudah siapkan itu yang makanan nasional. Ya walaupun famili yang berpesta muslim, yang Kristen itu hadir itu mulai dari ijab kabulnya pun hadir itu sampai ke kendurinya. Sama juga seperti saudara yang muslim, ketika mau ke Gereja, ya ke dalam Gerejanya mereka tidak hadir, tetapi mengikuti sampai di pintu Gereja. Jadi tidak ada masalah sebenarnya, khususnya di kota Parapat ya. Kalau kita keturunan Raja Parapat secara khusus berkumpul bersama atau berpesta adat secara khusus untuk keturunan Raja Parapat, kita tu serahkan semua kepada saudara-saudara khususnya boru kita yang muslim dalam menangani konsumsi pesta. Karena mereka yang tahu apa yang bertentangan bagi mereka itu. Misalnya mereka jadi parhobasnya nanti, dan yang kita siapkan pun bukan daging babi, melainkan daging kambing. Yan memotong dan memasaknya nanti pun itu mereka. Kalaupun kesepakatan kita mengadakan catering “memesandimasakkan oleh orang lain, tetap itu kita serahkan kepada boru kita yang muslim. Seperti itulah yang kami lakukan disini kalau acara adat khusus keluarga kami keturunan marga Sinaga Raja Parapat.” Hal ini juga sama seperti yang dikatakan oleh informan Pdt. Anggiat S. P. Hutauruk, SMTH lk, 63 sebagai berikut : “Ketika kemarin disini meninggal inang mertua ku ibu mertua, kita tidak membuat pinahan lobu namargoar i daging babi, tapi kambing. Nah kenapa itu di jadikan? Nah ini menghormati apa? Menghormati keyakinan, kita tidak mau memaksakan ide kita dari pihak keluarga yang islam harus daging babi di buat.” Coser melihat katup-penyelamat demikian berfungsi sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan”, yang tanpa itu hubungan-hubungan diantara pihak- pihak yang bertentangan akan semakin tajam.Hal lain juga terlihat dengan istilah parsubang pada masyarakat Batak Toba, dimana parsubang merupakan jamuan makanan halal atau makanan nasional yang disajikan pada saat masyarakat Batak Toba berkegiatan yang di khususkan pada tamu undangan dan kerabat mereka. Parsubang ini diberlakukan karena si tuan rumah dan kerabatnya mayoritas beragama Kristen, maka untuk kaum minoritas sebagai undangannya di sediakan parsubang sebagai wujud toleransi interaksi mereka agar tidak ada pertentangan-pertentangan pada mereka yang membuat konflik karena tidak adanya prinsip saling menghargai perbedaan kepercayaan agama diantara mereka.Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan Siti Aisyah Bontor Sinaga pr, 55 sebagai berikut : “Kalau kami pihak boru yang beragama muslim di undang ke acara pesta hula-hula kami yang kebanyakan beragama Kristen, biasanya mereka membuat parsubang untuk kami borunya kalau mereka berpesta. Itulah tandanya mereka itu sayang atau elek kepada borunya. Jadi tidak ada istilah sakit hati, karena mereka sudah memaklumi kami borunya yang tidak bisa memakan daging babi ini dengan cara membuat parsubang sama kami. Karena daging babi itu kan haram hukumnya menurut kepercayaan agama yang kami anut amang” Hal ini juga sama seperti yang dikatakan oleh informan L. Manurung lk, 53 sebagai berikut : “Molo jambar manang sipanganon di ulaon, Parsubang ma di nasida. Alana i do uhum di haporseaon ni nasida bah amang. Ikkon do marsiantusan asa tong hot hita na markeluarga on tu jolo ni ari. artinya kalau Jambar ataupun makanan yang disediakan ketika acara, parsubang lah diberikan kepada mereka. Karena itulah hukum dari kepercayaan mereka nak. Harus saling pengertianlah agar tetap utuh kita yang berkeluarga ini kehari depan.”

4.8. Dalihan Na ToluSebagai Katup Pengaman Bagi Potensi Konflik Dalam