Posisi DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN INTERPRETASI DATA

yang menjadikan Dalihan Na Tolu itu sangat penting bagi masyarakat Batak Toba yang tinggal di wilayah Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon dalam mengatasi konflik mereka yang berasal dari luar.Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan Mangihut Sinaga lk, 59 sebagai berikut : “Bagaimanapun dengan Dalihan Na Tolu ini belanda pun tidak bisa mengacak-acak masyarakat Toba khususnya di parapat. Karna apa?, karna Dalihan Na Tolu ini lah yang mengikat marga-marga itu satu, lalu punya pandangan hidup yang bersama, baru kemudian ketika Belanda pun datang tidak mempan. Artinya termasuk Parapat itu bukan jajahan Belanda sebenarnya, hanya lintasan belanda. Dari situlah sebenarnya kelebihan Dalihan Na Tolu itu, karna apa?, yang menjadi raja di parapat itu adalah hula-hula, baru kemudian boru lah yang lain-lain. Jadi secara kultural jelas pihak perempuan atau boru itu kan mendukung hula-hulanya. Ya itulah sebenarnya kelebihan betapa pentingnya Dalihan Na Tolu ini bagi masyarakat Parapat.”

4.4. Posisi

Dalihan Na Tolu Dalam Struktur Masyarakat Batak Toba di Sidabariba Parapat Pada hakekatnya Dalihan Na Tolu merupakan sistem adat-istiadat yang berguna sebagai norma yang mengatur masyarakat Batak Toba lewat sistem kekerabatannya. Mereka semua tunduk pada hukum Habatahon dengan sistem yang dinamai dengan istilahDalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu tersebut merupakan sebuah sistem yang harus selalu di pegang teguh sebagai falsafah hidup bagi masyarakat Batak Toba dimanapun mereka bertempat tinggal. Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan D. Sinaga lk, 76 sebagai berikut : “Dalihan Na Tolu adalah sistem budaya Batak Toba yang mengatur orang Batak Toba dalam adat nya dimanapun mereka berada dan yang harus selalu dipatuhi.” Dalihan Na Tolu merupakan sebuah sistem dari budaya masyarakat Batak Toba yang tidak bisa terlepas dari kehidupan mereka sehari-hari, baik dalam interaksi maupun dalam acara ceremonial formal adatnya. Fungsi dari Dalihan Na Tolu secara umum adalah menjaga integrasi masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu adalah suatu bentuk nilai budaya Batak Toba Margaretha, 2008. Pada saat penelitian, penulis melihat dan menganalisa bahwa Dalihan Na Tolu merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Batak Toba, bagi mereka Dalihan Na Tolu adalah sebuah prinsip yang harus di pertahankan dan harus di jaga untuk generasi mereka berikutnya, seperti harapan leluhur mereka dahulu kepada generasinya agar terciptanya sebuah pola keseimbangan bagi masyarakat Batak Toba di dalam kehidupan mereka hingga nantinya. Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan D. Sinaga lk, 76 sebagai berikut : “Ada pepatah leluhur orang Toba mengatakan Ompu ta na jolo martungkot sialagundi, adat na pinungka parjolu sipaihuthon di parpudi artinya bahwa adat dan budaya yang sudah di bangun para leluhur kita dahulu lah yang diteruskan para generasi sekarang ini, bagaimana dahulu mereka melakukan adat itu. Karena Dalihan Na Tolu itulah yang di cetuskan oppung kita dahulu sebagai budaya dalam mengatur, maka itulah positif yang kita laksanakan saat ini.” Berdasarkan penuturan masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Sidabariba Parapat dari hasil penelitian yang didapat oleh penulis, bahwa terdapat tiga unsur dalam Dalihan Na Tolu itu sendiri. Seperti halnya dari terminologi kata yang memberikan arti atas Dalihan Na Tolu itu sendiri berarti tungku nan tiga yang menjadi penyangga atau dasar tataringatau tempat perapian di dalam rumah masyarakat yang bersuku Batak Toba, dimana Dalihan Na Tolu itu sendiri di jadikan makna hidup masyarakat Batak Toba itu sendiri sebagai falsafah dasar hidup mereka. Adapun ketiga unsur yang terdapat di dalam Dalihan Na Tolu itu sendiri antara lain Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru. Ketiga unsur tersebut merupakan suatu sistem dalam kekerabatan masyarakat Batak Toba yang tak terpisahkan dah harus selalu dijaga serta di pegang teguh sesuai harapan dimana leluhur mereka meneruskannya kepada mereka hingga generasi sekarang ini. Hal ini dikarenakan bahwa Perlunya sebuah keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akanpernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu di masyarakat Batak Toba.Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan L. Manurung lk, 53 sebagai berikut : “Molo Dalihan Na Tolu ima songon sada sijujungon di halak Toba, jala ikkon pattun do di tona ni Dalihan Na Tolu i sian ompu ta sijolo-jolo tubu. Disi ma tarida ise anak, ise boru, jala ise hula-hula molo di ulaon paradaton. Songon pandok ni natua-tua : Hormat marhula-hula, Manat na mardongan tubu, Elek na marboru. Artinya bahwa Dalihan Na Tolu itu adalah satu prinsip yang harus di pegang teguh oleh masyarakat Toba, dan harus patuh terhadap terhadap Dalihan Na Tolu yang merupakan sistem yang berasal dari leluhur. Di situlah tampak siapa yang menjadi pihak anak, siapa pihak boru, dan siapa pihak hula-hula dalam acara adat.” Berbicara mengenai Dalihan Na Tolu pada masyarakat Toba tidak terlepas dari kajian sosiologis yakni status sosial. Dimana Dalihan Na Tolu merupakan bagian dari status sosial pada masyarakat Batak Toba dalam interaksinya sehari-hari maupun pada kegiatan ceremonial adat isti-adatnya. Status yang terdapat di dalamnya adalah unsur Dalihan Na Tolu itu sendiri, yakni status seseorang maupun sekelompok orang pada masyarakat Batak Toba sebagai hula-hula, status sebagai suhutdongan tubu, serta status sebagai boru. Tetapi status dan prestasi pribadi tidak berfungsi dalam ritus budaya sistem Dalihan Na Tolu masyarakat Batak Toba.Kedudukan sebagai pegawai atau kekayaannya tidak mengubah posisinya dari boru tiba-tiba menjadi hula-hula atau sebaliknya. Penjelasan mengenai status sosial yang terdapat di dalam buku Menyelami Fenomena Sosial dalam Masyarakat Waluya, 2007, menyatakan bahwa kedudukan dan status memiliki pengertian yang sama, di mana kedudukan atau status merupakan posisi seseorang dalam masyarakat yang juga mencakup hak-hak dan kewajibannya. Namun pada dasarnya, semua orang pada masyarakat Batak Toba dapat menduduki status sebagai suhutdongan tubu, serta status sebagai boru. Hal tersebut tergantung pada hubungan kekerabatan yang diikat oleh perkawinan antar marga clan. Secara kajian sosiologis dapat dilihat bahwa Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba di wilayah Sidabariba Parapat pada umumnya mengembangkan tiga jenis kedudukan, yaitu sebagai berikut: 1. Ascribed Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran, sama halnya seperti pada Dalihan Na Tolu masyarakat Batak Toba di Sidabariba Parapat. Status sebagai hula-hula, boru, serta dongan tubu terkhususnya. Anak dari seseorang atau sekelompok orang pada masyarakat Batak Toba itu secara sendirinya akan mendapatkan status sosial dalam Dalihan Na Tolu sesuai dengan status yang di miliki orang tuanya. 2. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Sama halnya pada Dalihan Na Tolu masyarakat Batak Toba di Sidabariba Parapat, bahwa setiap orang dapat menjadi seorang hula-hula atau boru apabila terjadi pernikahan antara marga yang berbeda. Sama seperti penjelasan di dalam kajian pustaka penulis yang menjelaskan bahwa perkawinan menimbulkan adanya ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang disebut tadi seolah-olah merupakan tiga tungku di dapur yang penting dalam kehidupan sehari-hari Siahaan, 1982. 3. Assigned Status merupakan status yang diberikan kepada seseorang. Kedudukan ini mempunyai hubungan yang erat dengan Achieved status. Artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Sama halnya dalam sistem pemerintahan di Sidabariba Parapat sejak zaman dahulu kala. Dimana marga Sinaga Bonor Tiang Ditonga sebagai pendiri kampung, yang merupakan Raja Di perkampungan itu dalam sistem pemerintahannya yang bernama Bius Silima tali pemerintahan wilayah oleh lima marga memiliki status sebagai hula-hula. Dimana pemimpin dalam konsep Dalihan Na Tolu adalah status seseorang atau sekelompok orang sebagai hula-hula. Sementara empat 4 marga lainnya dalam sistem pemerintahan Bius Silima Tali tersebut sebagai suhut atau dongan tubu. Dan pendatang memiliki status sebagai boru di dalam sistem Dalihan Na Tolu. Hal tersebutlah yang menjadi penyeimbang sistem pemerintahan sebagai trias of manner Batak dengan menggunakan konsep Dalihan Na Tolusebagai aturan hukum yang mengatur sistem pemerintahan Kerajaan Parapat ketika itu. Hal ini di kuatkan oleh beberapa argumen salah satu informan mengenai konsep status ini. Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan Mangihut Sinaga lk, 59 sebagai berikut : “Nah contohnya kalau ada sesuatu terjadi misalnya soal batas-batas wilayah tanah di Parapat ini dulu, maka yang berbicra itu adalah Dalihan Na Tolu. Disitulah berkumpul semua semacam raja-raja. Raja ni hula-hula, raja ni dongan tubu,baru raja ni boru.” “Dalam sejarahnya, bahwa munculnya agama di luar non kristiani di Parapat ini, itu yang dibawakan oleh pihak boru atau pendatang. Dalam konteks Dalihan Na Tolu, kan hula-hula dan dongan tubu itu kan elek marboru kasih sayang kepada pihak anak perempuanpenerima perempuan. Jadi apa yang dibawakan boru itu tidak jadi masalah bagi hula-hula, tidak ada konflik itu. Dalihan Na Tolu lah yang mengikat interaksi itu. Dari penjelasan status sosial di dalam sistem Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba diatas, jelas terlihat bahwa Dalihan Na Tolu itu sendiri mengandung nilai dan norma. Menurut Horton dan Hunt Narwoko, 2004 nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar. Norma yang disebut cara hanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan sangat lemah dibanding norma lainnya. Cara lebih banyak terjadi pada hubungan-hubungannya antar individu dengan individu dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga yang penulis temukan pada saat penelitian dilapangan, dimana terdapatnya aturan yang mengatur masyarakat Batak Toba mengenai bagaimana cara berinteraksi yang normatif dan sopan antar unsur Dalihan Na tolu, bagaimana budaya yang sopan berinteraksi antara pihak dongan tubu dan boru terhadap hula-hula dan sebaliknya. Di dalam sistem Dalihan Na Tolu masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Sidabariba Parapat jelas mengandung norma yang dapat di bedakan berdasarkan cara usage, kebiasaan atau perbuatan yang berulang-ulang folkways, tata kelakuan mores, dan adat istiadat custom.Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan Siti Aisyah Bontor Sinaga pr, 55 sebagai berikut : “Di dalam Dalihan Na Tolu itu lah kita orang suku Batak Toba ini diatur bagaimana saling berkomunikasi yang baik. Boha do na suman ikkon manjou tulang tu akka hula-hula niba, boha do pangalaho na suman tu bapa uda, bapa tua tu akka abang manang adek ni bapa niba, boha do iba manjou namboru tu ito ni bapa niba Artinya bagaimana memanggil tulang yang layak dan sopan kepada pihak hula-hula saya, bagaimana perilaku yang baik pada adik dan abang bapak kita, dan bagaimana kita memanggil namboru atau bibi kepada saudara perempuannya bapak kita ” Hal serupa juga diungkapkan oleh informan Poltak Sirait lk, 50 sebagai berikut “Dalihan Na Tolu itu lah yang mengatur bagaimana kita somba marhula- hula, manat mardongan tubu, elek na marboru i artinya hormat kepada pihak hula-hula, saling menghargai bagi yang semarga, kasih sayang kepada borupihak boru.”

4.5. Konsep