Pandangan Masyarakat Toba di Sidabariba Parapat Terhadap Perbedaan

lainnya. Pemberian ulos, jambar, dekke, ataupun yang lainnya didasarkan pada Dalihan Na Tolu Margaretha, 2008.

4.6. Pandangan Masyarakat Toba di Sidabariba Parapat Terhadap Perbedaan

Agama Sidabariba Parapat merupakan wilayah yang tergolong wilayah wisata yang toleransi, dimana wilayah itu merupakan wilayah yang di tinggali oleh 90 masyarakat Batak Toba yang mayoritas dari masyarakat Batak Toba itu menganut agama Kristen. Namun berdasarkan penglihatan penulis ketika melakukan penelitian, disana terdapat empat 4 rumah ibadah sesuai yang diatur oleh undang-undang yaitu Vihara, Mesjid, Gereja Protestan dengan berbagai alirannya, dan Gereja Katolik. Menurut Emile Durkheim, agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dngan hal-hal yang suci, dan bahwa kepercayaan dan praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas moral yang disebut umat Narwoko, 2004. Seperti halnya bagi masyarakat Batak Toba di Sidabariba Parapat agama merupakan hal yang sangat pribadi, karena berbicara tentang kepercayaan individu terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau dalam istilah bahasa Batak Toba disebut Debata Mula Jadi Na Bolon sesuai dengan ajaran yang mereka anut yang mereka sebut sebagai agama sebagai media tempat berkumpul mereka dalam beribadah. Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan Rohana Sampe Tua Sinaga, SH pr, 43 sebagai berikut : “Fungsi agama itu bagi saya sebagai yang termasuk di dalam bagian masyarakat Batak Toba adalah pertama itu menjadi wadah beribadah, yang kedua sebagai wadah memperkuat kepercayaan kepada Tuhan, dan wadah untuk berbuat yang lebih baik dan takut melakukan tindakan yang jahat dalam dosa sesuai aturan di agamanya masing-masing. Itu menurut saya sendiri yang beragama ini.” Secara kajian sosiologis, pandangan mengenai perbedaan agama di Indonesia dan terkhususnya sebagai perbandingan dengan perspektif masyarakat Batak Toba di wilayah Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon dapat dilihat dari penjelasan buku Narwoko, 2004 yang menyatakan bahwa menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia beberapa agama yang secara resmi diakui dan dijamin keberadaannya oleh pemerintah adalah agama islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Budha, dan Hindu. Perbedaan agama disatu sisi memang “rawan karena bisa menjadi benih perpecahan”. Tetapi, sepanjang masing-masing umat mau saling mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati hak masing-masing umat, niscaya kerukunan dan kestabilan akan tetap bisa terjaga dengan baik. Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan Pdt. Anggiat S. P. Hutauruk, SMTH lk, 63 sebagai berikut : “Fungsi agama bagi orang Batak Toba itu sendiri menurut pandangan saya sebenarnya adalah untuk menciptakan komunikasi yang baik dengan sesamanya, ya kalau memegang teguh dan mengamalkan agamanya masing- masing dengan baik. Agama tidak pernah mengajarkan yang jahat.” Bagi masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon perbedaan agama bukanlah merupakan sebuah masalah yang harus diperdebatkan untuk menunjjukkan kebenaran masing-masing, bahkan sebagai pemicu konflik bagi individu maupun kelompok mereka dalam bermasyarakat sejauh ini. Tampak jelas dapat terlihat berdasarkan penuturan seluruh informan, bahwa belum pernah terjadi konflik bagi masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Parapat yang diakibatkan oleh perbedaan agama secara khususnya. Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan L. Manurung lk, 53 sebagai berikut : “Molo di parapat on dang hea dope binege persoalan alani pulik-pulik agama na amang. Aman-aman dope di son saleleng iba tading di huta on, molo alani pulik-pulik agama na dang hea dope binege amang artinya kalau di parapat ini belum pernah terdengar saya persoalan hanya karena perbedaan agama. Aman-aman saja masih di sini selama saya tinggal di kampung ini. Kalau hanya karena perbedaan agama belum pernah terdengar saya nak.” Ada hal unik yang penulis dapat ketika penelitian, bahwa ada masih terdapat semacam budaya perilaku sosial masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Sidabariba Parapat yang masih lebih mengutamakan adat dibandingkan loyalitasnya terhadap agama maupun tingkat peribadahan. Sampai saat ini masih ada istilah bagi orang Batak Toba secara umumnya dan hal itu masih terdapat juga di wilayah Sidabariba Parapat. Adapun bunyi istilah itu adalah dang mahua di dokkon dang maragama unang apala di dokkon dang maradatartinya tidak menjadi sebuah masalah apabila dikatakan tidak beragama dari pada dikatakan tidak beradat. Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan Pdt. Anggiat S. P. Hutauruk, SMTH lk, 63 sebagai berikut : “Berdasarkan pengalaman saya di sini, bobot kepengikutan kepada adat dengan melaksanakan tuntutan dan tuntunan agama terhadap firman Tuhan. Jauh lebih besar melaksanakan tuntutan adat dari pada melaksanakan tuntutan agama. Ai molo so marminggu halak dang boha, ai molo so marada dang boi, ikkon hona pincang “Kalau masyarakat tidak pergi beribadah ke Gereja tidak masalah, tetapi kalau tidak melaksadakan adat tidak boleh, akan kena teguran seperti sangsi moral” yang menimbulkan kebencian.” Hal ini lah menurut penulis salah satu faktor yang menjadi penetralisir persoalan perbedan agama di wilayah Sidabariba parapat Kecamatan Girsang Sipanganbolon, dimana hal yang lebih utama bagimasyarakat Batak Toba disana adalah budaya Batak Toba melalui ritus adat isti-adatnya. Tampak jelas, jauh lebih besar pemberian sangsi sosial ataupun sangsi moral kepada masyarakat apabila tidak ikut serta dalam kegiatan adat isti-adat, dibandingkan sangsi apabila mereka sesekali tidak aktif ke peribadatan agama mereka masing-masing. Inilah yang penulis temukan di lapangan berdasarkan penuturan beberapa informan yang menyatakan bahwa istilah tersebutlah yang menjadikan perbedaan agama bukanlah lagi sebuah pembatasan interaksi bahkan sebagai pemicu konflik di masyarakat. Bahwa di agama sendiri mereka masih kurang loyal, apalagi mereka mempersoalkan perbedaan agama. Dalam pandangan sosiologis mengenai hal Dalihan Na Tolu yang terkandung di dalam budaya masyarakat Batak Toba juga tidak terlepas dari sifat primordialisme atas kesukuan mereka yakni kesatuan masyarakat Batak Toba yang disebut . Didalam buku sosiologi konflik dan isu-isu kontemporer Susan, 2009 menyatakan bahwa primordialisme sebagai batas-batas penting permanen etnis dalam semua tipe masyarakat. Di dalam kutipannya dari pendapat Vanhanene 1999 ia melihat bahwa kelompok etnis adalah kelompok sosial primordial, perluasan kelompok keluarga. Anggota-anggota kelompok etnis cenderung memperlakukan anggota-anggota kelompoknya dengan baik melebihi yang bukan anggota sebab mereka lebih menutup hubungan kelompok mereka daripada diluar mereka eksklusif. Susunan ini memperlakukan dengan baik keluarga lebih dari non keluarga menjadi penting dalam kehidupan sosial dan politik orang-orang dan kelompok-kelompok orang harus berkompetisi untuk sumber daya yang langka. Dalam masyarakat Batak Toba terlihat jelas bahwa, perbedaan agama bukan lah pembatas interaksi sosial mereka di dalam kehidupan beradat dan bersosial. Hal yang utama dalam kehidupan bermasyarakat pada masyarakat Batak Toba adalah memegang teguh prinsip-prinsip budaya lewat adat mereka. Bahwa hal apapun yang terjadi atau masuk dari luar termasuk agama yang berbeda pada masyarakat itu sendiri, harus melalui filterisasi budaya lokal mereka terlebih pada hal yang tidak menggaggu praktek pada Dalihan Na Tolu di masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon.Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh informan B.S. lk, 72 sebagai berikut : “Sebenarnya identitas kita itu adat itu, bukan agama kita atau status kita bagi yang mengerti Budaya khususnya.” Hal ini juga sama seperti yang dikatakan oleh informan Siti Aisyah Bontor Sin`aga pr, 55 sebagai berikut : “Ada terdapat istilah bagi orang Batak Toba, num hacitan molo hona hataan alani dang lao tu adat dari pada didok dang maragama artinya lebih sakit kalau di bicarakan orang banyak karena malas datang ke adat, dari pada di katakan tidak beragma. Yah di agama mereka sendiri saja tidak persoalan di bilang begitu, konon lagi mau mempersoalkan agama orang lain yang beda dengan agama dia sendiri. Mungkin inilah di rasa bagi kami orang Batak Toba disini sampai sekarang ini tidak mempersoalkan kau ini islam, kau Kristen. Intinya kita ini yang disini punya tali persaudaraan karena satu oppung yang melahirkan kita”. Hal ini juga sama seperti yang dikatakan oleh informan Poltak Sirait lk, 50 sebagai berikut : “Ya kalau agama itu urusan pribadi masing-masing bagaimana berTuhan. Hanya saja ketika masuk ke Dalihan Na Tolu sudah tidak agama lagi yang di persoalkan, sudah berbicara perhundul yang saya katakan tadi itu. Kalo sudah masuk di Dalihan Na Tolu semua sudah lepas. itulah termasuk yang berbeda agama tadi itu yang kamu Tanya tadi”.

4.7. Interaksi Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama Dalam Praktek