mereka, karena mereka adalah bersaudara hingga akhirnya mengerucut pada istilah sapaan apabila mereka sama atau berbeda nomor urut generasi dari marga Sinaga.
Istilah-istilah sapaan yang digunakan oleh orang Batak Toba kepada sesamanya, apakah semarga atau tidak semarga, adalah sesuai dengan kaidah pada sistem Dalihan
Na Tolu.
2.3. Teori Konflik Lewis A. Coser – Katup Penyelamat
Menurut Lewis A. Coser bahwa konflik dibagi 2 yaitu konflik realistik dan non-realistik. Oleh karenanya masyarakat selalu berada dalam ruang konflik yang
terjadi secara terus-menerus, baik dalam kelompok maupun kelas dalam setiap masyarakat. Pandangan ini berdasarkan pada asumsi, bahwa masyarakat pada
dasarnya telah terikat di bawah kekuatan-kekuatan dominan, baik kelas pemodal yang berkuasa, maupun kekuasaan negara. Dalam konteks ini nilai-nilai bersama
berdasarkan konsensus diyakini bukan merupakan suatu konsensus yang nyata, namun nilai tersebut sengaja diciptakan oleh kelompok dominan. Oleh karenanya
ketika semakin kuat kelompok pinggiran mempertanyakan keabsahan distribusi sumberdaya yang ada, semakin besar peluang mereka akan menginisiasi
konflikKarim, 2014. Menurut Lewis A. Coser katup penyelamat Savety-Valve ialah salah satu
mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan sosial.“Katup-penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur
tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu “membersihkan suasana” dalam kelompok yang sedang kacau. Coser melihat katup-penyelamat demikian
berfungsi sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan”, yang tanpa itu hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam.
Dengan demikian praktek-praktek atau institusi katup-penyelamat memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap strukturPoloma, 2004.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser, lewat katu penyelamat savety- valve itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan objek aslinya.Tetapi
penggantian yang demikianmencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi
kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif Poloma,
2004.
2.4 Status Sosial
Penjelasan mengenai status sosial yang terdapat di dalam buku Menyelami Fenomena Sosial dalam Masyarakat Waluya, 2007, menyatakan bahwa kedudukan
dan status memiliki pengertian yang sama, di mana kedudukan atau status merupakan posisi seseorang dalam masyarakat yang juga mencakup hak-hak dan kewajibannya.
Hal serupa terdapat kesamaan makna di dalam Dalihan Na Tolu pada sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba yang memiliki fungsi unsur masing-masing
sesuai dengan statusnya sebagai pihak hula-hula, dongan tubu maupun sebagai boru. Secara kajian sosiologis dapat dilihat bahwa masyarakat pada umumnya
mengembangkan tiga jenis kedudukan, yaitu sebagai berikut: 1. Ascribed Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa
memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang bangsawan yang juga
merupakan bangsawan. Pada umumnya, jenis status sosial seperti ini dijumpai pada masyarakat dengan sistem pelapisan tertutup seperti halnya pada masyarakat feodal.
2. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Misalnya, setiap orang dapat menjadi seorang dokter asalkan
memenuhi persyaratan tertentu. 3. Assigned Status merupakan status yang diberikan kepada seseorang. Kedudukan ini
mempunyai hubungan yang erat dengan Achieved status. Artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa,
yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Status akan selalu berkaitan dengan peranan role, di mana peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan status. Di mana jika seseorang
menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia telah menjalankan suatu peranan. Jadi peranan disesuaikan dengan status yang dimilikinya
dalam masyarakat.
2.5.Nilai dan Norma 2.5.1 Nilai
Menurut Horton dan Hunt dalam Narwoko, 2004 nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan
perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.
Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah, artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan
dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan. Ketika nilai yang berlaku menyatakan bahwa kesalehan beribadah adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi, maka
bila ada orang yang malas beribadah tentu akan menjadi bahan perngunjingan. Sebaliknya, bila ada orang yang dengan ikhlas rela menyumbangkan sebagian hartanya untuk
kepentingan ibadah atau rajin amal dan sebagainya, maka ia akan dinilai sebagai orang yang pantas dihormati dan diteladani.
Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa akan ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan mempengaruhi perubahan Folkways dan mores.
Di wilayah pedesaan, sejak berbagai siaran dan tanyangan televisi swasta mulai dikenal, dengan perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergeseran nilai,
misalnya nilai tentang kesopanan.Tanyangan-tanyangan acara yang didominasi sinetron- sinetron mutakhir yang sering memperlihatkan artis-artis berpakaian relatif terbuka alias
minim, sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat terpengaruh menjadi ikut longgar. Kaum remaja yang dulu terbiasa berpakaian “normal”, kini telah ikut
berpakaian mini dan terkesan makin berani. Model rambut panjang dan hitam yang dulu sebuah kebanggaan perempuan desa, kini justru dianggap sebuah simbol ketertinggalan, dan
sebagai gantinya bahwa model rambut yang dianggap trend adalah rambut pirang yang mereka ikuti dari artis atau idola mereka. Dengan kata lain bahwa kebiasaan dan tata
kelakuan masyarakat ikut berubah seiring dengan berubahnya nilai-nilai yang diyakini masyarakat itu Narwoko, 2004.
2.5.2. Norma
Nilai dan norma tidak dapat dipisahkan dan akan selalu berkaitan. Perbedaannya secara umum bahwa norma mengandung sanksi yang relatif tegas
terhadap pelanggarnya. Norma lebih banyak penekanannya sebagai peraturan- peraturan yang selalu disertai oleh sanksi-sanksi yang merupakan faktor pendorong
bagi individu ataupun kelompok masyarakat untuk mencapai ukuran nilai-nilai sosial tertentu yang dianggap terbaik untuk dilakukan.
Alvin L. Bertrand Basrowi, 2005 mendefinisikan norma sebagai suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat. Ia
mengatakan, bahwa norma sebagai sesuatu bagian dari kebudayaan nonmateri, norma-norma tersebut menyatakan konsepsi-konsepsi teridealisasi dari tingkah laku.
Sudah tentu bahwa tingkah laku erat hubungannya dengan apa yang menurut pendapat seseorang itu benar atau baik, walaupun begitu, tingkah laku yang
sebenarnya dipandang sebagai suatu aspek dari organisasi sosial. Dalam penjelasan buku Basrowi, 2005 dijelaskan bahwa ntuk dapat
membedakan kekuatan norma-norma tersebut, maka secara sosiologis dikenal ada empat bagian norma-norma sosial, yaitu:
1. Carausage
Norma yang disebut cara hanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan sangat lemah dibanding norma lainnya. Cara lebih banyak terjadi pada hubungan-
hubungannya antarindividu dengan individu dalam kehidupan masyarakat. Jika terjadi pelanggaran terhadapnya norma, seseorang hanya mendapat sanksi-sanksi yang
ringan, seperti berupa cemoohan atau celaan dari individu lain yang berhubungan dengannya. Perbuatan seseorang yang melanggar norma dalam tingkatan cara
tersebut dianggap orang lain sebagai perbuatan yang tidak sopan, misalnya makan berdecak, makan sambil berdiri, dan sebagainya.
2. Kebiasaan atau perbuatan yang berulang-ulang folkways
Kebiasaan adalah perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama. Kebiasaan mempunyai daya pengikat yang lebih kuat dibanding cara. Kebiasaan
merupakan suatu indikator. Jika orang-orang lain setuju atau menyukai perbuatan tertentu, maka bisa menjadi sebuah ukuran. Misalnya bertutur sapa lembut sopan
santun terhadap orang lain yang lebih tua atau mengucapkan salam setiap bertemu orang lain dan sebagainya.
3. Tata kelakuan mores
Tata kelakuan adalah suatu kebiasaan yang diakui oleh masyarakat sebagai norma pengatur dalam setiap berperilaku. Tata kelakuan lebih menunjukkan fungsi sebagai
pengawas kelakuan oleh kelompok terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan mempunyai kekuatan pemaksa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jika terjadi
pelanggaran, maka dapat mengakibatkan jatuhnya sanksi, berupa pemaksaan terhadap pelanggarnya untuk kembali menyesuaikan diri dengan tata kelakuan umum
sebagaimana telah digariskan. Bentuk hukumannya biasanya dikucilkan oleh masyarakat dari pergaulan, bahkan mungkin biasanya dari tempat tinggalnya.
4. Adat istiadat custom
Adat istiadat adalah tata kelakuan yang berupa aturan-aturan yang mempunyai sanksi lebih keras. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan
mendapatkan sanksi hukum, baik formal maupun informal. Sanksi hukum formal biasanya melibatkan alat negara berdasarkan undang-undang yang berlaku dalam
memaksa pelanggarnya untuk menerima sanksi hukum, misalnya pemerkosaan, menjual kehormatan orang lain dengan dalih usaha mencari kerja, dan sebagainya.
Sedangkan sanksi hukum informal biasanya diterapkan dengan kurang atau bahkan tidak rasional, yaitu lebih ditekankan pada kepentingan masyarakat.
Didalam penelitian ini, nilai dan norma yang ingin dilihat penulis adalah nilai dan norma yang masih terjaga dan dilaksanakan oleh mayarakat Batak Toba di wilayah
Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon melalui nilai dan norma yang terkandung dalam sistem budaya kekerabatan Dalihan Na Tolubaik melalui interaksi
sosial sehari-hari maupun pada ceremonial adat isti-adat.
2.6. Defenisi Konsep
Defenisi konsep dalam penelitian ilmiah sangatlah dibutuhkan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Hal ini bertujuan agar tidak
menimbulkan kesalah pahaman konsep yang dipakai, memberikan batasan-batasan makna dan arti konsep yang dipakai dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi
konsep dalam penelitian ini adalah : 1.
Dalihan Na Tolu: Merupakan sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba. Adapun Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak Toba sering dinamai dengan istilah
partuturan, maksudnya ialah hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur DNT Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-
hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok antara pihak hula-hula, dongan sabutuha, dan boru.
2. Status : merupakan posisi seseorang dalam masyarakat yang juga mencakup hak-hak
dan kewajibannya. 3.
Katup Pengaman : Merupakan salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan sosial.
4. Potensi konflik: Merupakan suatu kemungkinan akan tibulnya pertentangan yang
terjadi atas dasar perbedaan antara pihak yang satu dengan yang lainnya. 5.
Konflik : Secara sosiologis konflik dapat diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih bisa juga kelompok dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
6. Masyarakat Batak Toba : Merupakan masyarakat yang terdiri dari suku Batak Toba
yang mendiami wilayah Sumatera Utara sebagai daerah asalnya. Masyarakat Batak Toba merupakan masyarakat yang sudah memiliki aturannorma secara kompleks
yang diteruskan secara turun-temurun dari leluhur hingga ke generasi saat ini dan masa yang akan datang.
7. Akulturasi : Merupakan proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan
kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing baru, sehingga kebudayaan asing baru diserapditerima dan diolah dalam kebudayaan sendiri, tanpa
meninggalkan sifat aslinya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah Sidabariba Parapat yang telah menganut sistem
kepercayaan baru lewat agama islam maupun kristen katolik dan protestan tidak meninggalkan kebudayaan Batak Toba yang mereka miliki. Namun, masyarakat
Batak Toba memadukan dua kebudayaan yang berbeda tersebut, dan kemudian menjadikan pembaharuan pada budaya Batak Toba yang tradisional ke arah yang
lebih modern, serta menjadikannya sebagai suatu batasan masyarakat dalam bertindak dan berperilaku dalam menjaga keharmonisan berinteraksi satu sama lainnya.
8. Agama : Agama dapat diartikan sebagai kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud
spiritual.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang di pakai oleh penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus case study tipe deskriptif.
Pendekatan kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan dan tingkah laku yang di dapat dari apa yang di amati. Studi kasus merupakan
suatu pendekatan dalam penelitian studi kasus yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendekati dan komprehensif. Studi kasus
bisa dilaksanakan atas individu atau kelompok Sanapiah, 2003 : 2. Adapun studi kasus tipe deskriptif dapat melacak urutan peristiwa hubungan antar pribadi,
menggambarkan subbudaya dan menemukan fenomena kunci Robert K, 2003 : 5. Pendekatan deskriptif digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan tentang apa
yang diteliti dan berusaha mendapatkan data sebanyak mungkin sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas dan tepat tentang apa yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian.
3.2.Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di wilayahSidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun.
3.3. Unit dan Analisis dan Informan
3.3.1. Unit Analisis
Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian Arikunto, 2002:22.Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini