Dalihan Na Tolu” Sebagai Katup Pengaman Bagi Potensi Konflik Dalam Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama (Studi : Sidabaribaparapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun)
“DALIHAN NATOLU”
SEBAGAI KATUP PENGAMAN BAGI POTENSI
KONFLIK DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA YANG BERBEDA
AGAMA
(Studi: Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, KabupatenSimalungun)
S K R I P S I
Diajukan oleh :
100901087
GABRIEL P. H. SINAGA
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Medan
(2)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (“DEBATA MULA JADI NA BOLON”) atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan proses perkuliahannya hingga selesai di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, mulai dari proses perkuliahan semester pertama hingga pada saat penulisan skripsi ini. Penulisan karya ilmiah skripsi ini merupakan suatu tahapan sebagai salah satu syarat akhir penyelesaian seluruh proses yang ada dalam mendapatkan gelar sarjana sosial di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Adapun judul karya ilmiah ini adalah : “DALIHAN NA TOLU” SEBAGAI KATUP PENGAMAN BAGI POTENSI KONFLIK DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA YANG BERBEDA AGAMA (Studi : SidabaribaParapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun).
Skripsi ini secara khusus penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta yakni : Raymond Mangihut Sinaga (Amani Gabriel Sinaga) dan Alm. (+) Modesta Manurung (Nai Gabriel Sinaga), terlebih kepada Almarhum ibunda penulis Modesta Boru Manurung, sahat do hape tangiang mi inong, sonang ma ho inong di lambung ni Debata, mauliate di sasud pambahenan mi sahat marujung ngolu mi dina manghokkop hami gelleng mu on songon pat ni manuk. Dimana semangat penyelesaian penulisan skripsi ini merupakan wasiat terakhir dari ibunda penulis sebelum meninggalkan dunia ini sekitar 2 tahun yang silam. Semoga Skripsi ini dapat membalaskan utang budi penulis kepada ibunda yang selama ini berjuang keras kepada kedua
(3)
anaknya hingga beliau meninggalkan dunia ini dengan meninggalkan penulis saat semester 5 di bangku perkuliahan dan adik penulis yang bernama Hudson Engelbert Sinaga saat dibangku kelas 2 SMA. Dan tak lupa juga terima kasih banyak penulis ucapkan atas doa Oppung Boru penulis yang merupakan satu-satunya Oppung penulis yang masih hidup yakni Tiomina Br. Gultom (Oppu Juris Manurung), atas doa dan semangat beliau penulis meneteskan air mata karena beliau lah yang selalu mengingatkan penulis untuk bersemangat mengenang dan mengingat wasiat terakhir ibunda penulis agar segera menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terlebih kepada namboru-namboru penulis terkhusus kepada Namboru Matilda Br. Sinaga, Namboru Porman Sinaga besrta keluarga Sihombing, Namboru Duma Sinaga Beserta keluarga simamora, Namboru Bontor Sinaga besrta keluarga Sinurat, serta seluruhnya Pomparan Oppu Bona Dame Sinaga/Boru Sianturi/Boru Sidabutar yang selalu mendoakan saya kepada Mula Jadi Na Bolon Namartua Debata yang membuat penulis selalu ingat berdoa dan bersyukur dalam langkah dan takut akan Tuhan dan hormat akan semangat juang serta karya agung budaya para leluhur, hingga akhirnya penulis memilih judul karya ilmiah ini mengenai aplikasi budaya Batak Toba melalui Dalihan Na Tolu. Tak luput pula ucapan terimakasih kepada seluruh Pomparan Sintua Raja Israel Sinaga/Boru Manurung/Boru Manurung (Oppu Tainni Sinaga) yang selalu mensuport dan memberikan data dan informasi sejarah. Tak terlupakan juga Fitriani Manurung yang selalu mendukung dan medoakan penulis hingga terselesaikannya skripsi ini sebagai sebuah karya. Besar harapan penulis Parapat semoga menjadi wilayah yang tentram, aman, damai, dan menjaga
(4)
toleransinya sebagai kota yang berbudaya dan memiliki sejarah perjuangan, budaya, dan spiritual sebagai kota turis yang indah.
Doa yang paling sakral bagi saya adalah doa dari Tulang Saya Ama Juris Manurung/Boru Sinaga, hingga akhirnya ketulusan penulis dalam menyelesaikan penulisan karya ilmiah skripsi ini menjadi sangat sempurna lewat semangat. Kepada Bapa Tua penulis Kasiaman Sinaga (Amani Lola) yang turut membantu saya secara materi dan komentar atas penulisan skripsi ini.
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima kritikan, saran, motivasi, dukungan, dan bantuan dalam banyak bentuk dari berbagai kalangan. Oleh sebab itu, dalam kesempatan yang berbahagian ini penulis juga menyampaikan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada :
1. Bapak Prof. Badaruddin Rangkuti, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si Selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen penguji penulis saat melakukan seminar proposal. 4. Ibu Dra. Rosmyani MA. Selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis, yang
telah banyak memberi saran, motivasi, serta nasehat kepada penulis mengenai nila-nilai mata kuliah yang buruk, sehingga penulis tetap semangat kuliah dan menyelesaikan mata kuliah dengan Indeks Prestasi yang baik.
(5)
5. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si Selaku Dosen pembimbing penulisan karya ilmiah skripsi penulis, yang telah banyak meluangkan waktunya kepada penulis ditengah-tengah waktunya yang padat dalam bekerja. Beliau senantiasa bersabar dalam membimbing penulis serta selalu menegur penulis ketika penulis lalai dalam waktu penulisan. Beliau seperti sosok ibu yang selalu mendidik anaknya dan selalu mengingatkan penulis. Terima kasih saya ucapkan kepada ibu Ria Manurung atas kesempatannya menjadi pembimbing saya dalam seluruh proses awal dan akhir hingga skripsi ini dapat selesai.
6. Kepada seluruh Dosen penguji yang akan menguji penulis dalam mempertanggungjawabkan karya ilmiah ini pada saat siding meja hijau. 7. Seluruh Dosen dan Staff pengajar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Imu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan waktu dan materi perkuliahan selama penulis menduduki bangku kelas perkuliahan.
8. Pemerintah Republik Indonesia Departemen Perguruan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan saya kesempatan dan bantuan materi mendapatkan beasiswa Bidikmisi selama 8 semester dalam proses perkuliahan di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
9. Senioren Sosiologi Alexander Giovani Simamora, S.sos (Sosiologi Stambuk 2008), Arman Silalahi, S.sos (Sosiologi Stambuk 2008), Gorenty Manurung (Sosiologi Stambuk 2005) dan seluruh civitas Alumni Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang senantiasa membantu saya
(6)
secara materi dan wawasan dalam proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satupersatu.
10. Keluarga Besar KMK Katolik St. Albertus Magnus Universitas Sumatera Utara yang terlah turut membantu saya secara materi dan semangat dalam proses penulisan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Adinda Anjela Ambarita (FKM USU Stambuk 2011), Adinda Serani Simaremare (FKM USU Stambuk 2011), Adinda Ervina Fedelia Manik (FKM USU Stambuk 2011), Lae Silvester Pane (FT USU Stambuk 2010), Lae Ivan Sihite (FP USU Stambuk 2010) yang turut mensuport saya pada saat saya melakukan seminar proposal. Terima kasih kepada keluarga ku di KMK Katolik USU.
11. Keluarga Besar KMK Katolik St. Yohannes Don Bosco FISIP USU : Lilis Cahyani, Asa Mitra Barus, Jane Matanari, Mey Sihotang, Anita Dolpin Lumbanraja, Riko Padang, Lena Situmorang, Nando Ginting, Rian Naibaho, Novida Sitepu S.AB, Chen Lorida Saragih, Santa Sembiring, Chanra Simtupang, David Siregar, Odelia Simanjorang S.sos, Josefa Lingga, Santa Situmorang, Dikky Munthe, dan kawan-kawan lainnya yang turut mendoakan saya dan memberikan tawa kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.
12. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Batak Toba (HIMABATOB) Universitas Sumatera Utara yang menjadi lembaga inspirasi penulis dalam mengangkat budaya Batak Toba sebagai skripsi penulis.
13. Keluarga Besar Perguruan Kung Fu Naga Sakti Siauw Lim Sie Indonesia Cabang Medan Sasana Fisip USU yang turut mendoakan penulis. Lae Juris Bilbron Manurung selaku kordinator pelatih cabang medan, serta seluruh
(7)
anggota sasana yang turut membantu penulis secara materi dan waktu kepada penulis hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.
14. Keluarga besar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Cabang Medan dan Keluarga besar anggota dan alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Komisariat Fisip USU sebagai organisasi yang turut menempah saya serta memberikan penulis bantuan materi, kritik, dan semangat hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat selesai. Terima kasih kepada Bung Nesyandri Sidauruk (Komisaris 2014-2015), Bung Holong Sitompul (Sekretaris 2014-2015), Sarinah yang hebat Chaterine Hutabarat (Bendahara 2014-2015), Bung Jekri Surbakti, Bung Putra Setya Nugraha, Bung Ivo Sinaga dan seluruh Bung dan Sarinah yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.
15. HKBP Resort Parapat yang turut memberikan data dan informasi kepada penulis.
16. Pemerintah Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon yang turut memberikan data dan informasi kepada penulis.
17. Masyarakat Parapat yang menjadi informan penulis yang turut meberikan data dan informasi kepada penulis.
18. Rekan-rekan juang penulis satu angkatan stambuk 2010 yakni : Marlina Sianturi, Hening Kinasih, Adian Para Sinambela, Agusta Nola Bancin, Elisabet Turnip, Waren Sianturi, Ribel Hutapea, dan seluruh keluarga besar sosiologi stambuk 2010 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu penulis dalam kritik dan semangat dalam pertemanannya ketika penulisan skripsi ini.
(8)
Stambuk 2011 : Silvia Maria Purba selaku notulen penulis ketika melakukan seminar proposal, Mumamad Ega Kuntara, Revita Simamora, Joan Jiuita Naibaho, Jasa Manurung, Dewi Siregar, Indah Hutapea, Kristin Siregar, Nahotmasi Sitohang, Hendrikson Siahaan, dan kawan-kawan lainnya.
Stambuk 2012 : Fanny Simanjuntak, Aprilia Sitepu, dan kawan-kawan lainnya yang turut mendukung penulis.
Stambuk 2013 : Jansen Sitepu, Fauzil, dan kawan-kawan yang lainnya yang turut mendukung penulis.
Stambuk 2014 : Leonardo Sihura, Adrianus Sianipar, dan kawan-kawan lainnya yang turut mendukung penulis.
Terima kasih buat doa dan dukungan adik-adik kepada penulis.
20.Semua pihak yang turut membantu penulis dalam proses penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya yang baik.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belumlah sempurna adanya. Untuk itu penulis mengharapkan masukan saran dan kritik kepada pembaca sekalian agar penulisan skripsi ini baik dan sesuai yang diharapkan para pembaca sekalian. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Mei 2015
Penulis
(9)
ABSTRAK
Penulisan skripsi tentang “Dalihan Na Tolu sebagai katup pengaman bagi potensi konflik dalam masyarakat Batak Toba yang berbeda agama” yang berada di wilayah Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun berawal dari ketertarikan penulis terhadap sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba yakni Dalihan Na Tolu yang menjadi wadah sosial masyarakat Batak Toba dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba adalah kelompok sosial masyarakat yang sampai saat ini masih memegang teguh adat isti-adat leluhur mereka, dan salah satunya adalah sistem Dalihan Na Tolu yang masih mereka laksanakan hingga saat ini dimanapun mereka berada. Penulis melihat bahwa Dalihan Na Tolu adalah sebuah sistem adat isti-adat yang mempersatukan masyarakat Batak Toba dalam kesehariannya. Maka dengan adanya sistem
Dalihan Na Tolu yang dimiliki oleh masyarakat Batak tersebut, maka penulis ingin melihat apa sebenarnya makna Dalihan Na Tolu itu sendiri bagi masyarakat Batak Toba, serta peranan sistem
Dalihan Na Tolu itu sendiri di masyarakat sebagai katup pengaman dari ancaman atau potensi konflik terhadap sistem sosial masyarakatnya yang disebabkan oleh perbedaan agama yang mereka anut.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Batak Toba yang berbeda agama di wilayah Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun dan sistem Dalihan Na Tolu
yang mereka miliki. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.
(10)
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Abstrak ... viii
Daftar Isi ... ix
Daftar Tabel ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 11
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1Masyarakat Batak Toba ... 13
2.2 Dalihan Na Tolu ... 15
2.3Teori Konflik Lewis A. Coser – Katup Penyelamat ... 22
2.4 Status Sosial ... 23
2.5 Nilai dan Norma ... 25
2.6 Definisi Konsep ... 29
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 31
3.2 Lokasi Penelitian ... 31
3.3 Unit Analisis dan Informan ... 32
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 33
(11)
3.6 Jadwal Kegiatan ... 35
3.7 Keterbatasan Penelitian ... 35
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN INTERPRETASI DATA 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 38
4.2 Profil Informan ... 45
4.3 Sejarah Dalihan Na Tolu Masyarakat Batak Toba di Sidabariba Parapat... 55
4.4 Posisi Dalihan Na Tolu Dalam Struktur Masyarakat Batak Toba di Sidabariba Parapat ……… ... 58
4.5 Konsep Dalihan Na Tolu Bagi Masyarakat Batak Toba di Sidabariba Parapat ... 65
4.6 Pandangan Masyarakat Toba di Sidabariba Parapat Terhadap Perbedaan Agama ... 70
4.7 Interaksi Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama Dalam Praktek Dalihan Na Tolu di Sidabariba Parapat………. .... 75
4.8 Dalihan Na ToluSebagai Katup Pengaman Bagi Potensi Konflik Dalam Masyarakat Batak Toba yang Berbeda AgamaSidabariba Parapat ………... 81
Bab V Penutup ……….. ... 90
5.1 Kesimpulan ... 90
5.2 Saran ... 91
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Jadwal Kegiatan Penulisan Skripsi ... 35 Tabel 2. Tabel Jenis dan Luas Fasilitas Umum Kelurahan Parapat ... 43 Tabel 3. Tabel Topografi Kelurahan Parapat ... 44
(13)
ABSTRAK
Penulisan skripsi tentang “Dalihan Na Tolu sebagai katup pengaman bagi potensi konflik dalam masyarakat Batak Toba yang berbeda agama” yang berada di wilayah Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun berawal dari ketertarikan penulis terhadap sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba yakni Dalihan Na Tolu yang menjadi wadah sosial masyarakat Batak Toba dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba adalah kelompok sosial masyarakat yang sampai saat ini masih memegang teguh adat isti-adat leluhur mereka, dan salah satunya adalah sistem Dalihan Na Tolu yang masih mereka laksanakan hingga saat ini dimanapun mereka berada. Penulis melihat bahwa Dalihan Na Tolu adalah sebuah sistem adat isti-adat yang mempersatukan masyarakat Batak Toba dalam kesehariannya. Maka dengan adanya sistem
Dalihan Na Tolu yang dimiliki oleh masyarakat Batak tersebut, maka penulis ingin melihat apa sebenarnya makna Dalihan Na Tolu itu sendiri bagi masyarakat Batak Toba, serta peranan sistem
Dalihan Na Tolu itu sendiri di masyarakat sebagai katup pengaman dari ancaman atau potensi konflik terhadap sistem sosial masyarakatnya yang disebabkan oleh perbedaan agama yang mereka anut.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Batak Toba yang berbeda agama di wilayah Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun dan sistem Dalihan Na Tolu
yang mereka miliki. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.
(14)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Masyarakat Batak Toba merupakan kelompok kesatuan sosial dari bagian sub-suku masyarakat sub-suku Batakyang berada di daerah Sumatera Utara, khususnya sebagai asal lahirnya yang kemudian menyebar ke berbagai daerah. Masyarakat Batak Toba tinggal di sekitar Danau Toba dan bagian selatan Danau Toba, yang setelah pemekaran berada di daerah Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir (Nainggolan, 2012).
Mata pencaharian masyarakat Batak Toba pada umumnya hidup dari bidang pertanian. Berabad-abad lamanya mengusahakan pertanian sawah dengan pengairan terpadu. Masyarakat Batak Toba bertempat tinggal di lembah-lembah sekitar Danau Toba. Kondisi geografis lembah membuat masyarakat Batak Toba hidup dalam ruang yang terbatas dan terisolasi, hal ini membuat masyarakat Batak Toba hidup dalam ikatan keluarga yang kuat. Keterbatasan wilayah membuat masyarakat Batak Toba memilih jalan untuk bermigrasi ke wilayah lainnya, dimana tujuan tempat migrasi mereka adalah daerah-daerah sub-suku Batak lain. Migrasi ini pun berjalan perlahan-lahan. Migrasi bagi orang Batak Toba adalah mekanisme untuk mendirikan kelompok marga (clan) yang baru dan sarana untuk mengurangi kepadatan penduduk (Nainggolan, 2012).
Dalam sejarah perkembangannya, sistem masyarakat Batak Toba awalnya merupakan sistem federasiBius atauterdiri dari kumpulanBius. Bius adalah paguyuban yang otonom dalam bentuk Dewan Bius (paguyuban desa-adat) dan jajaran pemerintahan. Pemerintah Dewan Bius terdiri dari kepala-kepala adat dari keturunan
(15)
langsung pendiri (pionir) atas persetujuan warga. Meujuk pada pengertian modern, sistem ini adalah sebuah negara mini yang demokratis, dimana hukum dan kepemimpinan dipegang secara kolektif. Dewan Bius merupakan pengayom hukum adat yang berdiri diatas masyarakat, namun dalam prakteknya mereka tetap tunduk pada hukum adat yang berlaku (Situmorang, 2004).
Dalam sistem kebudayaan masyarakat Batak Toba terdapat aturan-aturan yang secara kompleks mengatur bagaimana manusia bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari baik itu aturan secara tertulis maupun lisan yang berasal dari leluhur mereka. Aturan-aturan tersebut meliputi sistem kepercayaan (keTuhanan), sistem kekerabatan, sistem sosial, sistem mata pencaharian, sistem perkawinan, adat-istiadat, dan lain sebagainya yang dijalankan secara turun-temurun dari leluhur masyarakat Batak Toba yang kemudian diteruskan hingga saat ini. Masyarakat Batak Toba pada generasi masa kini meneruskan dan menjalankan sistem-sistem yang sudah adasejak dahulu tersebut dan kemudian secara universal memiliki harapan untuk meneruskan sistem tersebut kepada generasi selanjutnya dengan menyelaraskan sistem daripada kebudayaan yang masyarakat Batak Toba miliki dimanapun mereka berdomisili serta menyesuaikannya dengan keadaan yang selalu berkembang dan berubah. Namun perubahan-perubahan pola pelaksanaan sistem-sistem kebudayaan yang dilakukan tersebut tetap dalam makna yang sama sesuai harapan para leluhur menggagas sistem-sistem tersebut dahulunya dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba.
Dalam penelitian ini penulis mengangkat sebuah wilayah yang didiami oleh masyarakat Batak Toba yang merupakan suatu wilayah migrasi yang menjadi wilayah masyarakat Batak Toba dalammemulai sebuah kehidupan yang baruuntuk tinggal dan meneruskan keturunan (clan), yakni wilayah Parapat. Parapat merupakan sebuah
(16)
Parapat merupakan daerah yang terbentuk pada zaman kerajaan dan tepatnya pada zaman dinasti Raja-Raja marga Sinaga Bonor Tiang Di Tonga, dengan sistem kebudayaan Batak Toba yang ada pada saat itu bagi para masyarakatnya. Parapat yang dahulunya mayoritas wilayah galung/hauma (ladang/persawahan), dimana Parapat pertama kali menjadi suatu wilayah tempat tinggal yang rapi dengan berbagai sistem kehidupannya dimulai sejak dari kepemimpinan Raja Parapat yakni Guru Manasem Sinaga (Raja Hatoguan).
Ketika menganalisis masyarakat Parapat, berarti melihat secara luas sistem kebudayaan yang membentuk karakter masyarakat Parapat dalam bertingkah laku dalam kehidupan mereka sehari-hari.Salah satu unsur kehidupan dalam kebudayaan Batak Toba yang ada di Parapat terlihat lewat sistem kekerabatannya yakni “Dalihan Na Tolu”. Sistem Dalihan Na Tolu pada kebudayaan masyarakat Parapat ini dahulunya di bawa dari sistem kebudayaan mereka di daerah Urat-Samosir, yang kemudian diterapkan didaerah simalungun yakni di daerah Parapat secara turun-temurun sampai generasi ke XV-XVIII saat ini.
Dasar hubungan sosial masyarakat Batak Toba sehari-hari ialah struktur sosial Dalihan Na Tolu (Simanjuntak, 2009).Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak Toba sering dinamai dengan istilah partuturan, maksudnya ialah hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok.Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang
(17)
menjadi dasar bersama.Sesuai dengan adanya tiga unsur itu maka macam hubungan kekeluargaan pun ada tiga, yaitu:
1. Hula-hula,
2. Dongan Sabutuha, 3. Boru.
Hubungan dengan pihak hula-hula (pihak paman/tulang) sering disebut dengan bunyi “somba marhula-hula” atau ketaatan/rasa hormat pihak laki-laki terhadap keluarga laki-laki dari pihak ibu merupakan strata tertinggi dalam budaya sistem kekerabatan pada adat-istiadat masyarakat Batak Toba. Hubungan dengan pihak dongan sabutuha (satu marga) sering disebut dengan bunyi “manat mardongan tubu”atau sistem kekerabatan yang mengatur tata cara hubungan pihak laki-laki dengan pihak laki-laki yang memiliki marga yang sama dan juga satu keturunan. Hubungan dengan pihak boru (pihak dari saudara perempuan) sering disebut dengan bunyi “elek marboru” merupakan suatutata cara sistem kekerabatan yang mengatur bagaimana hubungan pihak laki-laki terhadap saudara perempuannya dan begitu juga aturan dalam hubungan saudara perempuan terhadap saudara laki-lakinya.Dengan demikian, dasar fundamental hubungan sosial orang Batak Toba adalah marga.Sistem hubungan ditentukan dalam struktur Dalihan Na Tolu (Simanjuntak, 2009).
Masyarakat Batak Tobahidup dengan memegang teguh budaya dengan berlandaskan Ketuhanan sejak dahulunya dengan diperantarai oleh agama maupun kepercayaan tradisional yang mereka anut. Namun, saat ini masyarakat Batak sudah menganut berbagai agama yang berbeda satu sama lain, namun walaupun agama yang mereka anut berbeda-beda mereka tetap memiliki satu konsep dalam perkumpulan-perkumpulan marga lingkup kecilnya, seperti yang penulis lihat diwilayah Parapat,
(18)
masyarakat Batak Toba berkumpul berlandaskan kesamaan marga lewat arisan lembaga perkumpulan atau dengan istilah “Punguan” sektor marga-marga. Namun walaupun mereka berbeda agama satu-sama lainnya, mereka tetap satu secara konsep budaya.
Keragaman agama yang ada pada masyarakat Batak Toba itu sendiri dapat dilihat dalam perjalanan mulai masuknya agama ke Indonesia memiliki waktu maupun kronologi yang sangat panjang dengan diawali dari kepercayaan/religi tradisional, yang kemudian beralih dengan masuknya ajaran agama yang bersifat modern dan berlingkup global. Seperti masuknya interaksi ajaran agama Hindu-Budha ke Indonesia dan terkhususnya pada masyarakat Batak Toba yang kemudian memeluk agama baru seperti Islam dan Kristen dengan melewati sejarah yang cukup panjang.
Berdasarkan catatan sejarah, menyatakan bahwa awal masuknya agama Islam ke tanah Batak diawali dengan berlangsungnya Perang Paderi. Pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 – 1820 dan kemudian meng-Islamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam. Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh masyarakat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol), hal ini dikarenakan para penyerbunya datang dari Bonjol (okahutabarat.wordpress.com/2009/02/27/sejarah-agama-di-tanah-batak/).
Melalui sejarah panjang masuknya ajaran islam ke tanah Batak, ajaran Islam kemudian menyebar keseluruh tanah Batak melalui interaksi, termasuk wilayah-wilayah masyarakat Batak Toba saat ini.Dalam perkembangannya, masyarakat Batak
(19)
Toba kemudian harus berhadapan dengan gelombang besar kolonialisme yang secara bertahap mulai merembes ke tanah Sumatera. Pada tahun 1850, misi Zending mulai masuk dan secara perlahan mendesak sistem adat masyarakat Toba. Bagi kaum Zending, masyarakat Toba adalah orang-orang pemuja Begu/roh orang mati. Sistem adat yang berlaku di sana dipandang sebagai salah satu kekafiran yang sebaiknya dihilangkan (Situmorang, 2004).
Walaupun demikian,seperti yang penulis lihat dalam kenyataannya masih banyak masyarakat Batak Toba dibeberapa daerah pedesaan bahkan di kota besar contohnya seperti Pematangsiantar dan Medan yang masih tetap mempertahankan konsep asli religi Masyarakat Batak Toba melalui sebuah ajaran sistem kepercayaan yang dinamakan “Parbaringin”. Masyarakat Batak Toba dahulunya mempunyai konsepsi bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh “Debata Mula Jadi Na Bolon” (Tuhan/Pencipta Maha Besar) yang memiliki keyakinan bahwa adanya yang lebih tinggi dari manusia dan bertempat tinggal diatas langit ke tujuh yang menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia/alam semesta ini dan termasuk menciptakan manusia pertama kali.
Terkait mengenai keragaman agama yang di anut oleh masyarakat suku Batak Toba, dapat terlihat bahwa agama itu sendiri merupakan sebuah wadah spiritual yang dimaknai dengan berbagai cara dalam kepercayaan Berketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga hal tersebut membuat warna dalam kehidupan manusia, khususnya bagi warna keragaman agama yang dimiliki oleh masyarakat suku Batak Toba dalam berkehidupan sehari-harinya.
Secara etimologi menurut adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
(20)
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci teologis mempelajari agama sebagai ajaran yang harus diamalkan. Sebagai ajaran yang harus diikuti dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yang dipelajari tentu kepercayaan, norma, hukum akhlak, dan kecenderungan rohaniah yang harus dimiliki seseorang yang menganut agama. Maka kajian ilmu agama ditujukan kepada bagaimana seharusnya atau dengan istilah das sollen (Agus, 2003).
Pengertian dan defenisi agama secara sosiologis melihat agama dalam kehidupan manusianya, mengkaji agama sebagai fenomena sosial, melihat agama dalam kenyataan kehidupan manusia atau masyarakat, seperti sebagai perilaku keyakinan, dan jenis perasaan yang ditimbulkan (Agus, 2003). Menurut E. B. Tylor dalam buku perintisnyaPrimitive Culture, agama dapat diartikan sebagai kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud spiritual. Geertz juga mendefinisikan agama sebagai sistem lambang yang berfungsi menegakkan berbagai perasaan dan motivasi yang kuat, berjangkauan luas dan abadi pada manusia dengan merumuskan berbagai konsep mengenai keteraturan umum eksistensi, dan dengan menyelubungi konsepsi-konsepsi ini dengan sejenis tuangan faktualitas sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi itu secara unik tampak realistik (Scharf, 2004). Auguste Comte (1798-1858) memahami agama sebagai jawaban dari cara berfikir manusia dan masyarakat yang cenderung mencari jawaban absolut dari berbagai masalah alam dan kehidupan (Agus, 2003).
Emile Durkheim (1885-1917), seorang sosiolog Perancis, berusaha memahami perilaku beragama dari sudut pandang sosiologis. Durkheim memberikan defenisi
(21)
terhadap agama sebagai, “kepercayaan dan amalan-amalan yang menyatukan anggotanya dalam suatu komunitas moral yang dinamakan dengan gereja. Agama juga suatu sistem kepercayaan dan amalan yang terpadu dan berhubungan dengan hal-hal yang sakral (sacred), yang terpisah dari kegiatan biasa dan terlarang”.Yang diungkap Durkheim adalah tujuan atau peran agama dalam masyarakat, yaitu yang menyatukan anggotanya dalam suatu komunitas (Agus, 2003).
Menurut sumber data hasil statistik pada tahun 2010 yang penulis peroleh bahwa di daerah Sumatra Utara terdapat tujuh etnik yang terbilang signifikan jumlahnya yakni etnik Batak, etnik Jawa, etnik Melayu, etnik Nias, etnik Tionghoa, etnik Minang dan etnik Aceh. Etnik Batak sendiri yang paling banyak jumlahnya, terdapat sebanyak 46.35 persen beragama Islam, sementara sebanyak 47.30 persen menganut agama Kristen dan 6.25 persen menganut agama Katolik. Sedangkan sisanya sebanyak 0.08 persen terdiri dari agama Hindu, Budha, Khonghucu dan lainnya. Ini menunjukkan di Sumatra Utara bahwa etnik Batak penganut agama Islam dan agama Kristen tampak berimbang
Sedangkan agama yang dianut oleh masyarakat dengan jumlah penduduk sekitar 830.986 jiwa di Kabupaten Simalungun di era kepemimpinan Pemerintahan Kabupaten Simalungun periode 2010-2015 adalah sebagai berikut adalah agama-agama lain agama kepercayaan masyarakat lokal yang ada di seluruh wilayah Simalung
Dari data tersebut dapat kita menganalisa sejauh mana masyarakat hidup berdampingan dan bertahan dengan toleransinya yang melahirhan suatu kondisi
(22)
terjadinya integrasi masyarakat Batak yang berbeda agama, khususnya masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara yang hidup secara berdampingan satu sama lainnya atau terintegrasi. Secara sosiologis, integrasi sosial merupakan proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut meliputi ras, etnis, agama, bahasa, kebiasaan, sistem nilai dan lain sebagainya(sosiologikita166.blogspot.com/2012/12/integrasi-sosial.html).
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang mempunyai keanekaragaman atau pluralitas budaya yang luas banyaknya, terutama pluralitas atas dasar agama, kesukuan, kedaerahan, adat istiadat dan tradisi sosial setempat. Pluralisme horizontal ialah pengelompokan masyarakat majemuk yang lebih banyak dilihat oleh ikatan-ikatan primordial seperti ikatan kekerabatan, daerah, asal, bahasa, agama, ras dan suku bangsa. Primordialisme inilah yang merupakan pengikat asli suatu masyarakat majemuk, dan atas dasar itulah pengelompokan dalam masyarakat majemuk tumbuh dan berkembang. Masyarakat majemuk mempunyai potensi konflik yang dapat mengarah kepada disintegrasi. Disintegrasi terjadi bila masing-masing kelompok dalam masyarakat menggunakan budaya mereka sendiri dalam berkomunikasi. Tidak adanya komunikasi berarti tidak adanya hubungan di antara mereka, dan pembaruan untuk menuju ke arah persatuan merupakan sesuatu yang mustahil akan terwujud. Akibat dari kondisi yang demikian dalam masyarakat majemuk akan mudah memuncul konflik ( http://jaltux.blogspot.com/2013/02/potensi-konflik-dalam-masyarakat majemuk.html).
Dalam penelitian ini, Primordial yang dimaksud adalah unsur agama yang beragam dianut oleh masyarakat Batak Toba. Berdasarkan penjelasan diatas mengenai potensi konfllik pada masyarakat majemuk yang disebabkan oleh adanya kemajemukan ikatan-ikatan, salah satunya oleh agama. Diantara unnsur-unsur upacara
(23)
keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal dalam agama lainnya, dan demikian juga sebaliknya (Koentjaraningrat, 2009).Maka oleh karena itu terdapat banyak hal yang ingin dilihat oleh peneliti sejauh mana unsur budaya dapat menjadi media pemersatu/integrasi yang meredam/katup pengaman terjadinya potensi konflik di masyarakat Batak Toba yang berbeda agama.
Maka melalui sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Batak Toba tersebut penulis tertarik untuk melihat dan meneliti sistemDalihan Na Toluyang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba.Penulis ingin melihat bagaimana perbedaan agama pada masyarakat Batak Toba di wilayah parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun dapat berinteraksi satu samalainnya dalam balutan sistem Dalihan Na Tolu. Dalam penelitian inijuga penulis ingin melihat seperti apa peran Dalihan Na Toluyang menjadi penghubung komunikasi mereka dapat menjadi jembatan katup pengaman dari potensi konflik atas perbedaan agama pada masyarakat Batak toba itu sendiri.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa makna dan Pengertian Dalihan Na Tolu bagi masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah Sidabariba-Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon?
2. Bagaimana fungsiDalihan Na Tolumenjadi katup pengaman bagi potensi konflik terhadap perbedaan agama dalam masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah Sidabariba-Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon ?
(24)
1.3.1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenaimakna dan pengertian Dalihan Na Tolubagi masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah Sidabariba-Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai fungsi budaya Batak Toba melalui aplikasi Dalihan Na Tolu sebagai katup pengaman bagi potensi konflik dalam masyarakat Batak Toba yang berbeda agama di wilayah Sidabariba-Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan bolon, Kabupaten Simalungun.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan menjadi literatur bahan pedoman budaya bagi kalangan muda khususnya yang berasal ataupun yang berdomisili dari daerah Sidabariba-Parapat, karena sangat minimnya penelitian dan hasil karya ilmiah mengenai daerah Parapat.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis berupa fakta-fakta di lapangan dalam meningkatkan daya, kritis dan analisis penulis sehingga memperoleh pengetahuan tambahan dari penulis tersebut.Serta memberikan manfaat bagi penyedia jasa percetakan.
(25)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Masyarakat Batak Toba
Masyarakat Batak Toba tinggal di sekitar Danau Toba dan bagian selatan Danau Toba, yang menurut daerah administratif Negara Republik Indonesia setelah pemekaran saat ini terdiri dari KabupatenTapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir. Di sebelah barat Danau Toba terletak Gunung Pusuk Buhit, yang bagiorang Batak merupakan gunung suci sebab menurut mitos di kaki bukit inilah SiRaja Batak, manusia pertama Batak mendirikan hutanya (tempat pemukiman) atau sering juga didefenisikan dengan perkampungan, yaitu Sianjur mulamula yang menjadi awal semua huta orang batak. Luas daerah Batak Toba ada sekitar 13.000 km2.Daerah ini berada pada ketinggian antara 300-2000 meter di atas permukaan laut.Sebagian besar tanahnya tidak subur; gersang, terdiri dari pasir, tanah merah, tanah berbatu-batu, dan humusnya sangat tipis, serta beriklim kering(Nainggolan, 2012).
Masyarakat Batak Toba terutama hidup dari pertanian. Berabad-abad lamanya mereka mengusahakan pertanian sawah dengan perairan terpadu. Maka tidak heran kalau orang Batak Toba berdiam di lembah-lembah dan sekitar Danau Toba sebab di sana ada cukup air untuk persawahan. Kondisi geografis lembah membuat mereka hidup dalam ruang yang terbatas dan terisolasi. Komunitas ini hidup dalam ikatan keluarga yang kuat.Karena keterbatasan tersebut orang Batak Toba hanya melakukan migrasi ke daerah sub-suku Batak lainnya, migrasi bagi orang batak adalah mekanisme utama untuk mendirikan kelompok marga (clan) yang baru dan sarana untuk mengurangi kepadatan penduduk (Nainggolan, 2012). Yang kemudian
(26)
masyarakat Batak Toba meneruskan hidupnya dengan bertani, berladang, dan beternak. Dimana hasil mata pencaharian mereka tukar dan jual di pasar pada hari tertentu dalam waktu satu minggu yang disebut dengan nama onan (pekan). Yang mana onan tersebut menjadi media yang sangat penting dalam masyarakat Batak Toba selain melakukan transaksi ekonomi namun disisi lain memiliki nilai sosiologis yang dimanfaatkan masyarakat Batak Toba untuk berkomunikasi satu sama lainnya serta memberikan informasi penting mengenai suatu acara maupun kejadian-kejadian yang terjadi dimasyarakat.
Mengenai Masyarakat Batak Toba, antropologi sering menggunakan istilah yang sama mengenai Bius (desa) Yakni village (inggris), dorp (belanda), dorf (jerman). Tidak peduli dan tidak membedakan apakah yang dibicarakan itu adalah Bius, atau Horja, Atau Huta.Dalam tulisan ini kata desa terfokus mengacu pada Bius(Situmorang, 2004).
Adat bius meliputi pengaturan : 1. Hukum pertanahan (Hak Ulayat)
2. Hukum relasi bertetangga (setelah jumlah bius bertambah) 3. Hukum prnguasaan tanah, yang dalam Bius disebut hukum Golat 4. Hukum tali air (irigasi) dan pengairan (sungai, danau)
5. Hukum sumber daya komunal (hutan, padang rumput penggembalaan, tanah cadangan untuk persawahan, dan pemukiman (pangeahan), yang dikuasai secara bersama (kolektif) oleh paguyuban
6. Hukum yang mengatur hak dan kewajiban penggarap atas sawah
7. Hukum yang mengatur hak pendiri/pemilik huta (benteng pemukiman bujur sangkar), dan lain-lain (Situmorang, 2004).
(27)
Semua perangkat hukum adat tak tertulis tersebut mencakup dalam lembaga Bius, yang berfungsi sebagai pengemban tertinggi Adat Siradja Batak.Bius menurut Sianjur mula-mula, menguasai sebuah territorial (wilayah) dengan perbatasan yang jelas sebagai wilayah kedaulatannya. Integritasnya juga dihormati pihak Bius (desa) lain sebagai wilayah yang memiliki hukum dan ketentuan yang sah(Situmorang, 2004).
Masyarakat Batak Toba sendiri memiliki adat budaya baku yang disebut Dalihan Na Tolu yang dapat menembus sekat-sekat yang didalamnya terdapat perbedaan dalam bermasyarakat. Adat budaya Batak ini memiliki sembilan belas nilai/norma inti dalam bermasyarakat yaitu : norma adat, norma musyawarah, norma perkawinan, norma pergaulan sehari-hari, norma perceraian, norma pewarisan, norma kekeluargaan, norma integrasi, norma kejujuran, norma keadilan, norma kesejahteraan, norma kemanusiaan, norma kebebasan, norma kepemimpinan, norma ambisi, norma ketelatenan, norma keterbukaan, dan norma kedaulatan takyat yang mana semua norma tersebut tak terlepas dari praktek pelaksanaan unsur sistem Dalihan Na Tolu (Capt. Bonar Victor Napitupulu, M.M., 2012).
2.2. Dalihan Na Tolu
Dalihan Na Tolu yang merupakan Trias Manner of Batak lahir pada abad 14 Masehi di Tamiang yang merupakan wilayah migrasi para leluhur Batak dari perantauannya kota Bataha, bekas kerajaan Martaban di Myanmar sebelum melakukan migrasi ke penjuru daerah migrasi lainnya di wilayah Sumatera Utara, dan kemudian leluhur masyarakat Batak Toba membawanya ke wilayah migrasinya di wilayah Toba, yang kemudian prinsip budaya ini tetap dinamai Dalihan Na Tolu di
(28)
Toba dan di wilayah migrasi lainnya dinamai Rakut Sitelu, Daliken Sitelu, Owuloa Hada (Capt. Bonar Victor Napitupulu, M.M., 2012).
Dalam sejarah yang ada mengenai Dalihan Na tolu, bahwa awal mula nya terdapat sebuah kesepakatan para leluhur Batak sebelum mereka menyebar ke berbagai wilayah secara berkelompok, agar selalu memegang teguh Dalihan Na Tolu dimana mereka akan tinggal. Kesepakatan atas sistem Dalihan Na Tolu yang berarti kesepakatan untuk tidak mendaulat jadi seseorang menjadi raja. Mereka semua tunduk pada hukum Habatahon dengan sistem yang dinamai Dalihan Na Tolu. Kesepakatan tersebut mengartikan bahwa siapapun yang mengusulkan, alasannya sudah pasti adalah “yang mengatur kita selama ini pun adalah Habatahon/Budaya kita”. Jika kita semua tunduk pada hukum Habatahon itu, tidak akan ada konflik diantara kita. Maka semua lelaki dewasa harus sebagai Anak Ni Raja dan semua perempuan dewasa harus sebagai Boru Ni Raja (Capt. Bonar Victor Napitupulu, M.M., 2012).
Dalihan Na Tolu merupakan nafas atau ibaratkan ideologi yang harus dilaksanakan bagi orang Batak manapun, terkhususnya masyarakat Batak Toba dalam kesehariannya.Dalihan Na Tolu menjadi tolak ukur, menjadi pedoman, menjadi landasan ataupun dasar masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku terhadap sesamanya sesuai dengan peran/status yang dia peroleh dari suatu ikatan dalam marganya sendiri.Dalihan Na Tolu ini selalu hadir didalam setiap ritus masyarakat Batak Toba yang tidak dapat tertinggal/terpisahkan.
Dalihan Na Tolu secara harafiah berarti tungku yang terdiri dari tiga kaki penyanggah.Dahulu orang Batak Toba memasak di atas tiga buah batu tersebut.Pada rumah tradisional Batak Toba, perapian merupakan dimana tungku (tataring) ini
(29)
berada mengabil tempat di tengah rumah.Tungku ini menjadi pusat rumah (Nainggolan, 2012).Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang sangat mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tersebut tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi.Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Hal ini dikarenakan bahwa Perlunya sebuah keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akanpernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu di masyarakat Batak Toba.
Menurut ahli lainnya dalam hal yang sama menyatakan bahwa bahwa Dalihan Na Tolu, arti kata ini secara harafiah ialah “tungku nan tiga”, yang merupakan lambang jika diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang juga mempunya tiga tiang penopang, yaitu Dongan Sabutuha, Boru, dan Hula-hula. Arti tiga kata ini secara berturut ialah: 1. Pihak yang semarga, 2. Pihak yang menerima isteri (dalam bahasa inggeris disebut wife receiveng party), dan 3. Pihak yang memberi isteri (dalam bahasa inggeris disebut wife giving party).Perkawinan menimbulkan adanya ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang disebut tadi seolah-olah merupakan tiga tungku di dapur yang penting dalam kehidupan sehari-hari (Siahaan, 1982).
Fungsi dari Dalihan Na Tolu secara umum adalah menjaga integrasi masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu adalah suatu bentuk nilai budaya Batak Toba. Sebagai suatu bentuk dari nilai budaya, maka Dalihan Na Tolu juga memiliki
(30)
sifat yang tidak statis dan adaptif atau dapat berubah dalam tata pelaksanaan atau penerapannya (Margaretha, 2008).
Untuk Orang Batak Toba, pihak pemberi isteri (hula-hula) adalah sumber kahidupan bagi pihak penerima isteri (boru). Secara konkret hal itu tampak karena pihak pemberi isteri memberikan putri mereka kepada penerima isteri, dan putri ini akan melahirkan anak laki-laki yang menjadi penerus marga. Terhadap pemberian isteri ini, penerima isteri membalas dengan mahar yang dalam bahasa Batak Toba disebut tuhor (tukar, yang bisa berarti menukarkan atau membeli).Secara simbolis pemberi isteri mempunyai status yang lebih tinggi daripada pemberian penerima isteri. Pemberi isteri mempunyai sahala, yaitu kualitas tondi (prinsip hidup) yang lebih tinggi. Kuasa sahala pemberi isteri ini mempengaruhi nasib penerima isteri baik dalam hal yang baik maupun hal yang buruk, seperti: keturunan, panen gagal, kecelakaan, penyakit dan bahkan kematian. Penerima isteri merasa bahwa eksistensinya tergantung kepada berkat pemberi isteri( Nainggolan, 2012).
Hal ini membawa konsekuensi bahwa penerima isteri harus menaruh hormat yang tinggi kepada pihak pemberi isteri, yang dalam bahasa Batak Toba dikatakan, somba marhula-hula.Pada ritus perkawinan, penerima isteri menyembah pemberi isteri dengan membawa persembahan babi/kerbau (tudu-tudu sipanganon, yang merupakan bagian organ terpenting dari kurban babi/kerbau tersebut).Dalam hal ini tondi babi/kerbau tersebut membawa sembah /hormat penerima isteri kepada pemberi isteri yang kemudian akan sampai kepada Debata (Tuhan/Allah)( Nainggolan, 2012).
Kemudian sebaliknya datang berkat dari Debata (Tuhan/Allah) melalui pemberi isteri (hula-hula) kepada boru pihak penerima isteri.Pihak hula-hula memberikan ikan (dekke) dalam istilah mangupa boru (memberi upah tondi kepada
(31)
boru nya), supaya tondi /jiwa putri beserta penerima isteri kuat.Untuk itu orang Batak Toba mengatakan elek marboru (penerima isteri harus disayangi). Sementara disisi lain pihak dongan sabutuha (teman semarga) mempunyai tanggung jawab bersama untuk menanggung mahar apabila seorang putri dari pihak pemberi isteri untuk menikah. Dengan demikian, jelas untuk kita mengapa perkawinan masyarakat Batak Toba itu asimetri. Secara religius kedudukan pemberi isteri (hula-hula) lebih tinggi dari pada penerima isteri ( Nainggolan, 2012).
Perlu dikatakan bahwa hirarki (superior-inferior) antara pihak pemberi isteri dengan pihak penerima isteri adalah relatif dan bukan absolut.Kepatuhan penerima isteri kepada pemberi isteri adalah kepatuhan religius, yang tentu saja mempunyai pengaruh untuk kehidupan mereka sehari-hari. Pihak penerima isteri memberi hormat (sembah) kepada pemberi isteri.Sebaliknya pihak pemberi isteri menyayangi (elek) kepada pihak penerima isteri.
Tetapi status dan prestasi pribadi tidak berfungsi dalam ritus.Kedudukan sebagai pegawai atau kekayaannya tidak mengubah posisinya dari pemberi isteri menjadi penerima isteri atau sebaliknya.Setiap orang juga pernah sebagai pemberi atau penerima isteri dalam salah satu ritus.Hal ini berhubungan dengan sistem asimetri tadi, bahwa Dalihan Na Tolu berfungsi sebagai suatu penyeimbang sosial dalam masyarakat Batak Toba. Menurut Verouwen, orang Batak Toba tidak mengenal kelas dalam masyarakat (Nainggolan, 2012).
Hula-hula
(32)
Gambar 1. Pola Sistem Dalihan Na Tolu ( Nainggolan, 2012)
Eksogami pada orang Batak-Toba adalah asimetri (assumentrie circulatie connubium). Perkawinan yang paling ideal adalah perkawinan dengan pariban , perkawinan matrilateral cross-cousin, walaupun hal ini semakin berkurang dengan datangnya kekristenan ke tanah Batak. Perkawinan sirkulasi asimetri ini mengandaikan sekurang-kurangnya tiga kelompok marga, yaitu kelompok Ego, kelompok pemberi isteri (hula-hula), dan kelompok penerima isteri (boru).Ketiga kelompok ini selalu dalam aliansi.Maka kelompok ego ialah sendiri bersama teman semarganya, yang disebut dengan dongan sabutuha.
Yang masuk dalam kelompok hula-hula adalah mertua dan saudara mertua ego, saudara isteri dan semua anggota keluarga dari garis keturunan saudara isteri (Nainggolan, 2012) atau dalam artian seluruh saudara laki-laki (iboto/ito) perempuan baik yang satu ayah maupun dari keluarga ayah perempuan maupun satu marga dengan siperempuan. Yang termasuk dalam kelompok boru adalah semua kelompok marga yang mengambil wanita dari garis keturunan marga ego (Nainggolan, 2012), dalam artian seluruh kelompok marga yang menikahi saudara perempuan (iboto) dari pihak laki-laki. Prinsip yang dipegang teguh dalam adat Batak Toba ialah klen yang menerima seorang wanita menjadi anggotanya karena kawin dengan salah seorang putera klen itu, tetap berhutang budi kepada klen yang telah memberi sang isteri tersebut.
Dari penjelasan diatas Dalihan Na Tolu dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan ideas, acivities, dan artifacts. Dikatakan sebagai ideas karena Dalihan Na Tolu merupakan suatu gagasan yang merupakan nilai inti dari masyarakat Batak Toba dan bertalian satu dengan yang lainnya. Dalam wujud yang demikian sifatnya
(33)
sangatlah abstrak, tak dapat di raba, maupun di foto. Apabila Dalihan Na Tolu sudah di implementasikan dalam sebuah aktivitas seperti upacara adat dan kebiasaan ‘martutur’ maka wujud dari sistem kekerabatan ini adalah activities. Martutur merupakan penelusuran mata rantai istilah kekerabatan jika ia berjumpa dengan orang Batak Toba lainnya. Hal tersebut untuk mengetahui apakah yang satu masih kerabat dari yang lainnya dan bagaimana cara yang seharusnya untuk saling bertutur sapa. Dalam wujud artifacts terlihat dalam pemberian ulos, jambar, dekke, dan yang lainnya. Pemberian ulos, jambar, dekke, ataupun yang lainnya didasarkan pada Dalihan Na Tolu (Margaretha, 2008).
Dimanapun ada orang batak bertemu di daerah perantauan, katakanlah di Jakarta atau di Amerika, mereka ini terus merasa seolah-olah berkerabat meskipun belum pernah berkenalan sebelumnya, dan menurut ukuran barat tidak ada hubungan pamili sama sekali diantara mereka. Apalagi kalau kedua-duanya mempunyai marga yang sama, maka hubungan itu rasanya amat dekat, tinggal meminta bantuan ahli adat untuk dapat menelusuri jauh dekatnya hubungan silsilah diantara dua insan tadi, demikian Prof. Dr. Clark. E. Cunningham, seorang ahli antropologi dari Amerika pada tahun 1950-an mengadakan penelitian ilmiah di Sumatera Utara mengenai orang Batak (Siahaan, 1982).
Sesuai dengan pengalaman antropolog tersebut ketika sedang mengadakan penelitiandan jika di hubungkan dengan pengalaman dan kebiasaan penulis, bahwa jika kedua orang yang disebut tadi kebetulan mempunyai marga atau boru Sinaga, maka pertanyaan yang diajukan adalah “Sinaga yang mana kah anda?”. Yang disapa harus taulah menjawabnya. Yang dimaksud dengan pertanyaan itu adalah untuk mengetahui asal-usul serta keturunan leluhur dari mana yang terus berkembang hingga nomor urut generasi yang kemungkinan besar bisa saling mengenal diantara
(34)
mereka, karena mereka adalah bersaudara hingga akhirnya mengerucut pada istilah sapaan apabila mereka sama atau berbeda nomor urut generasi dari marga Sinaga. Istilah-istilah sapaan yang digunakan oleh orang Batak Toba kepada sesamanya, apakah semarga atau tidak semarga, adalah sesuai dengan kaidah pada sistem Dalihan Na Tolu.
2.3. Teori Konflik Lewis A. Coser – Katup Penyelamat
Menurut Lewis A. Coser bahwa konflik dibagi 2 yaitu konflik realistik dan non-realistik. Oleh karenanya masyarakat selalu berada dalam ruang konflik yang terjadi secara terus-menerus, baik dalam kelompok maupun kelas dalam setiap masyarakat. Pandangan ini berdasarkan pada asumsi, bahwa masyarakat pada dasarnya telah terikat di bawah kekuatan-kekuatan dominan, baik kelas pemodal yang berkuasa, maupun kekuasaan negara. Dalam konteks ini nilai-nilai bersama berdasarkan konsensus diyakini bukan merupakan suatu konsensus yang nyata, namun nilai tersebut sengaja diciptakan oleh kelompok dominan. Oleh karenanya ketika semakin kuat kelompok pinggiran mempertanyakan keabsahan distribusi sumberdaya yang ada, semakin besar peluang mereka akan menginisiasi konflik(Karim, 2014).
Menurut Lewis A. Coser katup penyelamat (Savety-Valve) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan sosial.“Katup-penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu “membersihkan suasana” dalam kelompok yang sedang kacau. Coser melihat katup-penyelamat demikian berfungsi sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan”, yang tanpa itu hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam.
(35)
Dengan demikian praktek-praktek atau institusi katup-penyelamat memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur(Poloma, 2004).
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser, lewat katu penyelamat ( savety-valve) itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan objek aslinya.Tetapi penggantian yang demikianmencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif (Poloma, 2004).
2.4 Status Sosial
Penjelasan mengenai status sosial yang terdapat di dalam buku Menyelami Fenomena Sosial dalam Masyarakat (Waluya, 2007), menyatakan bahwa kedudukan dan status memiliki pengertian yang sama, di mana kedudukan atau status merupakan posisi seseorang dalam masyarakat yang juga mencakup hak-hak dan kewajibannya. Hal serupa terdapat kesamaan makna di dalam Dalihan Na Tolu pada sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba yang memiliki fungsi unsur masing-masing sesuai dengan statusnya sebagai pihak hula-hula, dongan tubu maupun sebagai boru. Secara kajian sosiologis dapat dilihat bahwa masyarakat pada umumnya mengembangkan tiga jenis kedudukan, yaitu sebagai berikut:
1. Ascribed Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang bangsawan yang juga merupakan bangsawan. Pada umumnya, jenis status sosial seperti ini dijumpai pada masyarakat dengan sistem pelapisan tertutup seperti halnya pada masyarakat feodal.
(36)
2. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Misalnya, setiap orang dapat menjadi seorang dokter asalkan memenuhi persyaratan tertentu.
3. Assigned Status merupakan status yang diberikan kepada seseorang. Kedudukan ini mempunyai hubungan yang erat dengan Achieved status. Artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Status akan selalu berkaitan dengan peranan (role), di mana peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Di mana jika seseorang menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia telah menjalankan suatu peranan. Jadi peranan disesuaikan dengan status yang dimilikinya dalam masyarakat.
2.5.Nilai dan Norma 2.5.1 Nilai
Menurut Horton dan Hunt dalam (Narwoko, 2004) nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.
Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah, artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan. Ketika nilai yang berlaku menyatakan bahwa kesalehan beribadah adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi, maka
(37)
bila ada orang yang malas beribadah tentu akan menjadi bahan perngunjingan. Sebaliknya, bila ada orang yang dengan ikhlas rela menyumbangkan sebagian hartanya untuk kepentingan ibadah atau rajin amal dan sebagainya, maka ia akan dinilai sebagai orang yang pantas dihormati dan diteladani.
Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa akan ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan mempengaruhi perubahan Folkways dan mores. Di wilayah pedesaan, sejak berbagai siaran dan tanyangan televisi swasta mulai dikenal, dengan perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergeseran nilai, misalnya nilai tentang kesopanan.Tanyangan-tanyangan acara yang didominasi sinetron-sinetron mutakhir yang sering memperlihatkan artis-artis berpakaian relatif terbuka alias minim, sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat terpengaruh menjadi ikut longgar. Kaum remaja yang dulu terbiasa berpakaian “normal”, kini telah ikut berpakaian mini dan terkesan makin berani. Model rambut panjang dan hitam yang dulu sebuah kebanggaan perempuan desa, kini justru dianggap sebuah simbol ketertinggalan, dan sebagai gantinya bahwa model rambut yang dianggap trend adalah rambut pirang yang mereka ikuti dari artis atau idola mereka. Dengan kata lain bahwa kebiasaan dan tata kelakuan masyarakat ikut berubah seiring dengan berubahnya nilai-nilai yang diyakini masyarakat itu (Narwoko, 2004).
2.5.2. Norma
Nilai dan norma tidak dapat dipisahkan dan akan selalu berkaitan. Perbedaannya secara umum bahwa norma mengandung sanksi yang relatif tegas terhadap pelanggarnya. Norma lebih banyak penekanannya sebagai peraturan-peraturan yang selalu disertai oleh sanksi-sanksi yang merupakan faktor pendorong
(38)
bagi individu ataupun kelompok masyarakat untuk mencapai ukuran nilai-nilai sosial tertentu yang dianggap terbaik untuk dilakukan.
Alvin L. Bertrand (Basrowi, 2005) mendefinisikan norma sebagai suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat. Ia mengatakan, bahwa norma sebagai sesuatu bagian dari kebudayaan nonmateri, norma-norma tersebut menyatakan konsepsi-konsepsi teridealisasi dari tingkah laku. Sudah tentu bahwa tingkah laku erat hubungannya dengan apa yang menurut pendapat seseorang itu benar atau baik, walaupun begitu, tingkah laku yang sebenarnya dipandang sebagai suatu aspek dari organisasi sosial.
Dalam penjelasan buku (Basrowi, 2005) dijelaskan bahwa ntuk dapat membedakan kekuatan norma-norma tersebut, maka secara sosiologis dikenal ada empat bagian norma-norma sosial, yaitu:
1. Cara(usage)
Norma yang disebut cara hanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan sangat lemah dibanding norma lainnya. Cara lebih banyak terjadi pada hubungan-hubungannya antarindividu dengan individu dalam kehidupan masyarakat. Jika terjadi pelanggaran terhadapnya (norma), seseorang hanya mendapat sanksi-sanksi yang ringan, seperti berupa cemoohan atau celaan dari individu lain yang berhubungan dengannya. Perbuatan seseorang yang melanggar norma (dalam tingkatan cara) tersebut dianggap orang lain sebagai perbuatan yang tidak sopan, misalnya makan berdecak, makan sambil berdiri, dan sebagainya.
2. Kebiasaan atau perbuatan yang berulang-ulang (folkways)
Kebiasaan adalah perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama. Kebiasaan mempunyai daya pengikat yang lebih kuat dibanding cara. Kebiasaan
(39)
merupakan suatu indikator. Jika orang-orang lain setuju atau menyukai perbuatan tertentu, maka bisa menjadi sebuah ukuran. Misalnya bertutur sapa lembut (sopan santun) terhadap orang lain yang lebih tua atau mengucapkan salam setiap bertemu orang lain dan sebagainya.
3. Tata kelakuan (mores)
Tata kelakuan adalah suatu kebiasaan yang diakui oleh masyarakat sebagai norma pengatur dalam setiap berperilaku. Tata kelakuan lebih menunjukkan fungsi sebagai pengawas kelakuan oleh kelompok terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan mempunyai kekuatan pemaksa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jika terjadi pelanggaran, maka dapat mengakibatkan jatuhnya sanksi, berupa pemaksaan terhadap pelanggarnya untuk kembali menyesuaikan diri dengan tata kelakuan umum sebagaimana telah digariskan. Bentuk hukumannya biasanya dikucilkan oleh masyarakat dari pergaulan, bahkan mungkin biasanya dari tempat tinggalnya.
4. Adat istiadat (custom)
Adat istiadat adalah tata kelakuan yang berupa aturan-aturan yang mempunyai sanksi lebih keras. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan mendapatkan sanksi hukum, baik formal maupun informal. Sanksi hukum formal biasanya melibatkan alat negara berdasarkan undang-undang yang berlaku dalam memaksa pelanggarnya untuk menerima sanksi hukum, misalnya pemerkosaan, menjual kehormatan orang lain dengan dalih usaha mencari kerja, dan sebagainya. Sedangkan sanksi hukum informal biasanya diterapkan dengan kurang atau bahkan tidak rasional, yaitu lebih ditekankan pada kepentingan masyarakat.
Didalam penelitian ini, nilai dan norma yang ingin dilihat penulis adalah nilai dan norma yang masih terjaga dan dilaksanakan oleh mayarakat Batak Toba di wilayah
(40)
Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon melalui nilai dan norma yang terkandung dalam sistem budaya kekerabatan Dalihan Na Tolubaik melalui interaksi sosial sehari-hari maupun pada ceremonial adat isti-adat.
2.6. Defenisi Konsep
Defenisi konsep dalam penelitian ilmiah sangatlah dibutuhkan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Hal ini bertujuan agar tidak menimbulkan kesalah pahaman konsep yang dipakai, memberikan batasan-batasan makna dan arti konsep yang dipakai dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi konsep dalam penelitian ini adalah :
1. Dalihan Na Tolu: Merupakan sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba. Adapun Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak Toba sering dinamai dengan istilah "partuturan", maksudnya ialah hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur DNT (Dalihan Na Tolu). Dalihan Na Tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan-hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok antara pihak hula-hula, dongan sabutuha, dan boru.
2. Status : merupakan posisi seseorang dalam masyarakat yang juga mencakup hak-hak dan kewajibannya.
3. Katup Pengaman : Merupakan salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan sosial.
4. Potensi konflik: Merupakan suatu kemungkinan akan tibulnya pertentangan yang terjadi atas dasar perbedaan antara pihak yang satu dengan yang lainnya.
5. Konflik : Secara sosiologis konflik dapat diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
(41)
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
6. Masyarakat Batak Toba : Merupakan masyarakat yang terdiri dari suku Batak Toba yang mendiami wilayah Sumatera Utara sebagai daerah asalnya. Masyarakat Batak Toba merupakan masyarakat yang sudah memiliki aturan/norma secara kompleks yang diteruskan secara turun-temurun dari leluhur hingga ke generasi saat ini dan masa yang akan datang.
7. Akulturasi : Merupakan proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing (baru), sehingga kebudayaan asing (baru) diserap/diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri, tanpa meninggalkan sifat aslinya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah Sidabariba Parapat yang telah menganut sistem kepercayaan baru lewat agama islam maupun kristen (katolik dan protestan) tidak meninggalkan kebudayaan Batak Toba yang mereka miliki. Namun, masyarakat Batak Toba memadukan dua kebudayaan yang berbeda tersebut, dan kemudian menjadikan pembaharuan pada budaya Batak Toba yang tradisional ke arah yang lebih modern, serta menjadikannya sebagai suatu batasan masyarakat dalam bertindak dan berperilaku dalam menjaga keharmonisan berinteraksi satu sama lainnya.
8. Agama : Agama dapat diartikan sebagai kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud spiritual.
(42)
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang di pakai oleh penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus (case study) tipe deskriptif. Pendekatan kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan dan tingkah laku yang di dapat dari apa yang di amati. Studi kasus merupakan suatu pendekatan dalam penelitian studi kasus yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendekati dan komprehensif. Studi kasus bisa dilaksanakan atas individu atau kelompok (Sanapiah, 2003 : 2). Adapun studi kasus tipe deskriptif dapat melacak urutan peristiwa hubungan antar pribadi, menggambarkan subbudaya dan menemukan fenomena kunci (Robert K, 2003 : 5). Pendekatan deskriptif digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan tentang apa yang diteliti dan berusaha mendapatkan data sebanyak mungkin sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas dan tepat tentang apa yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian.
3.2.Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di wilayahSidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun.
3.3. Unit dan Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis
Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 2002:22).Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini
(43)
adalah masyarakat Batak Toba tang berbeda agama di Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun.
3.3.2. Informan
Informan yang mendukung untuk memperoleh data dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu informan kunci dan informan biasa.
1. Informan kunci dalam penelitian ini adalah :
a. Lembaga/perkumpulan marga yang ada di Parapat.
b. Tokoh masyarakat Parapat yang sudah berdomisili minimal selama sepuluh tahun lamanya.
c. Keluarga/Keturunan Raja Parapat, khususnya generasi kedua keturunan Raja Parapat terakhir yang berbeda agama.
d. Mewakili salah satu tokoh agama di Parapat. e. Pemerintah Parapat.
2. Informan biasa dalam penelitian ini adalah Masyarakat Batak Toba di wilayah Sidabariba-Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan secara sistematis dan baku. Artinya terdapat cara-cara yang mengikuti aturan ilmiah dan sesuai dengan metode agar data yang diperoleh terkumpul secara lengkap. Data dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua, yaitu data primer dan sekunder.
3.4.1. Data Primer
Data primer yaitu informasi yang diperoleh dari informan penelitian di lokasi penelitian. Untuk mendapatkan data primer dapat dilakukan dengan :
(44)
a. Observasi adalah pengamatan oleh peneliti baik secara langsung ataupun secara tidak langsung. Namun, dalam penelitian ini metode observasi yang digunakan peneliti adalah metode observasi langsung. Metode observasi langsung dilakukan melalui pengamatan gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian pada saat peristiwa sedang berlangsung (Nawawi, 2006: 67).
b.Wawancara adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancari, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara (Bungin, 2005 : 126). Pada penelitian ini, wawancara dilakukan apabila ada beberapa hal yang membutuhkan penjelasan sumber data secara khusus. Hal ini dilakukan untuk menggali informasi mengenai permasalahan penelitian lebih mendalam. Data yang diperoleh dari wawancara mendalam yaitu berupa pengetahuan informan mengenai Dalihan Na Tolu Sebagai Katup Pengaman Bagi Potensi Konflik Dalam Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama di wilayah Sidabariba-Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun.
c.Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu secara tidak langsung ditujukan pada subjek penelitian. Dokumentasi digunakan untuk menelusuri data berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari subjek penelitian (Meleong, 2010: 216-217). Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya data-data, dokumen pribadi, buku harian, sejarah terbentuknya, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain.
(45)
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang berkaitan dengan objek penelitian namun bukan dari penelitian di lapangan. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari studi kepustakaan yakni dengan mencari data dari artikel, surat kabar, tabloid, buku, internet, buku ataupun sumber lainnya yang berkaitan dengan isi topik penelitian.
3.5. Interpretasi Data
Dalam penelitian kualitatif, peneliti dapat mengumpulkan banyak data baik dari hasil wawancara, observasi maupun dari dokumentasi. Data tersebut semua umumnya masih dalam bentuk catatan lapangan. Oleh karena itu perlu diseleksi dan dibuat kategori-kategori. Data yang telah diperoleh dari studi kepustakaan juga terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan relevansinya dengan permasalahan penelitian. Setelah itu data dikelompokkan menjadi satuan yang dapat dikelola, kemudian dilakukan interpretasi data mengacu pada tinjauan pustaka. Sedangkan hasil obsevasi dinarasikan sebagai pelengkap data penelitian. Akhir dari semua proses ini adalah penggambaran atau penuturan dalam bentuk kalimat-kalimat tentang apa yang telah diteliti sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan-kesimpulan (Faisal, 2007).
(46)
3.6. Jadwal Kegiatan
No Kegiatan Bulan Ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Pra Obsevasi X
2 ACC Judul X
3 Penyusunan Proposal Penelitian X X X 4 Seminar Proposal Penelitian X 5 Revisi Proposal Penelitian X X
6 Penelitian Ke Lapangan X
7 Pengumpulan Data dan Analisis Data
X X X X X
8 Bimbingan/Laporan Akhir X X X X X
9 Sidang Meja Hijau X
Tabel 1. Tabel Jadwal Kegiatan Penulisan Skripsi
3.7. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menyadari masih terdapat kekurangan sesuai yang diharapkan. Masih banyak keterbatasan penelitian baik karena faktor intern di mana peneliti memiliki keterbatasan ilmu dan materi juga karena faktor eksternal seperti informan. Untuk itu bagi para akademisi yang menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar pengambilan keputusan diharapkan memperhatikan keterbatasan peneliti dalam penelitian ini yaitu:
1. Penelitian ini hanya membahas mengenai Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon
(47)
khususnya berbicara mngenai peranan Dalihan Na Tolu itu sendiri sebagai katup pengaman bagi potensi konflik pada masyarakat Batak Toba yang berbeda agama. Penelitian, pengolahan data, serta pembahasan mengenai Dalihan na Tolu pada masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Sidabariba Parapat hanya dibahas secara singkat dan tidak mendalam karena takut keluar dari pandangan Sosiologi. Dan apabila dibahas lebih jauh lagi akan merujuk pada kajian antropologi sosial. Namun, penelitian ini sangat menarik dilakukan terlebih berbicara peranan Dalihan Na Tolu itu sendiri sebagai katup pengaman terhadap potensi konflik masyarakat Batak Toba yang sangat sosiologis.. Namun akan menarik jika akan ada penelitian selanjutnya yang fokus pada nilai-nilai Dalihan Na Tolu yang memberikan fungsi baru lainnya pada masyarakat Batak Toba.
2. Ruang dan waktu dalam penelitian juga cukup terbatas, sehingga diharapkan penelitian ini sebaiknya dilakukan dalam waktu yang relatif lama agar data-data lapangan dapat terkumpul lebih mendalam lagi.
3. Dalam melakukan wawancara, peneliti kesulitan dalam berkomunikasi dengan informan, melihat perbedaan beberapa persepsi yang dimiliki terhadap data yang dibutuhkan penulis. Namun peneliti mengingat bahwa peneliti harus objektif, sehingga semua dapat teratasi. Kesulitan waktu untuk mewawancai para informan juga menjadi salah satu tantangan, dikarenakan sibuknya waktu beberapa informan untuk bisa bertemu dengan penulis, serta banyaknya kegiatan pesta adat masyarakat Batak Toba pada saat itu. Harapannya kedepan jika ada penelitian yang khusus mendalami penelitian ini atau ada hal penelitian yang sama, agar dapat memilih waktu penelitian yang tepat dan jauh-jauh hari dari hari besar dan hari libur serta sore hari hingga malam adalah waktu yang lebih tepat untuk
(48)
bertemu informan di wilayah Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon.
4. Kurang lengkapnya data-data statistik maupun kualitatif yang dimiliki oleh pemerintah Kelurahan Parapat menjadikan penulis kesulitan dalam memperoleh data pasti sebagai acuan dan tambahan data sebagai bahan penelitian seperti profil desa dan karakteristik masyarakatnya secara tulisan baku.
(49)
BAB IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN INTERPRETASI DATA
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1. Gambaran Umum
Penelitian ini dilakukan di wilayah Sidabariba yang sekarang dikenal Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon. Sidabariba Parapat merupakan daerah yang terbentuk pada zaman kerajaan dan tepatnya pada zaman dinasti Raja-Raja marga Sinaga Bonor Tiang Di Tonga, dengan sistem kebudayaan Batak Toba yang ada pada saat itu bagi para masyarakatnya. Parapat yang dahulunya mayoritas wilayah galung/hauma (ladang/persawahan), dimana Parapat pertama kali menjadi suatu wilayah tempat tinggal yang rapi dengan berbagai sistem kehidupannya dimulai sejak dari kepemimpinan Raja Parapat yakni Guru Manasem Sinaga (Raja Hatoguan) hinga raja terakhir yakni Sintua Raja Israel Sinaga. Setelah era kemerdekaan pada tahun 1945 sistem pemerintahan di wilayah Parapat sudah berganti secara sistem pemerintahan Republik yakni kelurahan Parapat.
Jumlah penduduk Parapat kurang lebih 6.105 jiwa yang terdiri dari sekitar 1292 kepala keluarga. Pada wilayah ini, 90% penduduknya berasal dari etnis Batak Toba (terbanyak) yang berbeda agama, selebihnya etnis Simalungun, Karo, Pakpak, Jawa, Sunda, Minang, dan Cina. Penduduk masyarakat Parapat mayoritas beragama Nasrani (Protestan dan Katolik), selebihnya beragama Islam, dan Budha. Di wilayah ini terdapat Gereja Protestan seperti HKBP, GPDI, HKI, GKPS, GKPI, Sidang
(50)
Jemaat, Bethel, dan Katolik, Mesjid serta Vihara. Hal ini dapat dilihat dari sajian data berikut mengenai komposisi penduduk masyarakat Parapat berdasarkan agama :
Kristen Protestan : 9.707 Orang
Katolik : 2.882 Orang
Islam : 1.689 Orang
Budha : 46 Orang
Hindu : -
Karakteristik masyarakat wilayah Parapat berdasarkan hasil observasi penulis pada umumnya hidup melalui mata pencaharian industri pariwisata dan pertanian. Masyarakat wilayah ini hidup dari usaha jasa penginapan, usaha jasa penyewaan tempat pondok peristirahatan wisatawan yang singgah tidak kurang dari sehari serta perdagangan barang-barang souvenir dan hasil pertanian seperti persawahan dan ladang. Masyarakat Parapat adalah masyarakat yang heterogen secara etnis dan agama dikarenakan wilayah ini adalah wilayah perlintasan transportasi lintas Sumatera.
Masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Parapat masyoritasnya adalah beragama Nasrani. Hal ini terlihat dalam Sejarah kota ini berdasarkan penuturan informan penulis, bahwa Raja di wilayah ini adalah orang yang pertama sekali menganut agama Kristen Protestan pada era masuknya Zending HKBP yang dibawa oleh missionaris Nomensen dan Mutzler ke wilayah Parapat. Terdapat sebahagian masyarakat Batak Toba yang beragama Islam, diawali oleh Pihak Boru Marga Sinaga yakni Keluarga Alm. Haji Pardede yang membawa dan menyebarkan agama Islam di perkampungan Parapat dahulunya. Hal tersebut juga didukung oleh pihak hula-hula mereka yang bermarga sinaga dengan memberikan 2 bidang tanah di Jalan
(51)
Sisingamangaraja XII Parapat untuk membangun Mesjid sebagai rumah ibadah serta tanah pekuburan Islam sekitar tahun 1955. Mayoritas masyarakat Batak Toba yang ada diwilayah Parapat bertempat tinggal di jalan lintas dekat Mesjid yakni perkampungan sepuratan Jalan Sisingamangaraja XII Parapat saja.
Di wilayah Parapat tidak ada lagi terdapat penduduknya yang beragama aliran kepercayaan tradisional masyarakat Batak Toba yakni Parmalim. Semua penduduknya sudah beragama sesuai agama yang diakui oleh pemerintah. Masyarakat Batak Toba yang beragam Parmalim hanya ada di perkampungan seberang Parapat yakni perkampungan Girsang, hal ini jelas terlihat dengan berdirinya Ruma Parsaktian Golongan Siradja Batak sebagai rumah ibadah masyarakat Batak Toba yang beragama aliran kepercayaan parmalim.
Masyarakat Batak Toba yang berbeda agama yang berada di Parapat hidup berdampingan satu sama lainnya yang diikat oleh adat isti-adat mereka. Yang mengikat mereka tersebut adalah sistem Dalihan Na Tolu. Pesta adat, perkumpulan marga-marga tampak mempengaruhi aktivitas keseharian masyarakat Batak Toba. Hal ini menjadikan hubungan antar individu maupun kelompok yang berbeda agama itu semakin kuat terlihat di wilayah ini. Penggunaan sapaan status pada Dalihan Na Tolu seperti eda, ito, bere, tulang, inang, amang, anggi, akkang, boru, dan bapa juga tampak jelas terlihat digunakan oleh masyarakat Batak Toba yang berbeda agama dalam kesehariaannya baik itu ketika di adat, di perkumpulan, ketika berpapasan di jalan, berbelanja di pasar tradisional, dan bersilaturahmi pada hari-hari besar.
Masyarakat Batak Toba yang tinggal di wilayah Parapat mayoritas melakukan mobilitas sosial dengan cara bersekolah ke kota dan merantau ke ibu kota. Hal ini terjadi sejak puluhan tahun lalu, dimulai dari interaksi masyarakat lokal dengan
(52)
masyarakat mancanegara. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu indikator terjadinya ikatan perkawinan masyarakat Batak Toba yang berbeda agama dan berbeda suku ketika mereka akhirnya memilih tinggal menetap di kampung halaman mereka di Parapat.
Masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Parapat masih memegang teguh adat-istiadat yang berasal dari leluhur mereka. Maka oleh sebab, itu banyak yang penulis temukan dilapangan acara-acara adat yang dilakukan oleh para perantau di kampung halaman mereka. Baik itu acara pernikahan bahkan kematian, dimana masyarakat Parapat yang merantau kembali ke kampung halaman sebagai wujud menghormati budaya asal mereka.
4.1.2. Letak Geografis
Parapat merupakan salah satu akses menuju k sekitar 174 Km dari Ibu Kota Provinsi terletak pada koordinat 2040’15.8“LU/98056’01.4“ BT - 2040’01.9“ LU/98055’34.6“ BT.Parapat menjadi salah satu titik persinggahan penting dari administrasi pemerintahan dengan bentuk Kelurahan yang memiliki luas wilayah dan memiliki batas wilayah dengan desa atau kelurahan lainnya sebagai wujud otonomi pemerintahannya. Adapun yang menjadi batas-batas wilayah Kelurahan Parapat adalah sebagai berikut :
a. Sebelah utara : Desa Parmonangan, Kec. Dolok Panribuan b. Sebelah selatan : Kelurahan Tiga Raja, Kec. Girsang Sipanganbolon c. Sebelah Timur : Kelurahan Girsang, Kec. Girsang Sipanganbolon d. Sebelah Barat : Desa Sibaganding, Kec. Girsang Sipanganbolon
(53)
(Sumber : Data Pemerintah Kelurahan Parapat.)
4.1.3. Fasilitas Umum
Wilayah Parapat adalah wilayah administrasi pemerintahan yang memiliki sejumlah sarana dan prasarana sebagai bentuk pembangunan dan perkembangan wilayahnya sendiri dalam pelayanan masyarakatnya. Adapun fasilitas-fasilitas umum yang terdapat di wilayah Parapat dan terdaftar hingga saat ini dalam administrasi adalah sebagai berikut :
No. Nama Fasilitas Luas
1 Perkantoran Pemerintah 0,2 ha / m2 2 Tempat Pemakaman Desa/Umum 2 ha / m2 3 Bangunan Sekolah 6 ha / m2
4 Pertokoan 3 ha / m2
5 Terminal 2,5 ha / m2
6 Jalan 6 ha / m2
Total Luas 19,5 ha / m2
Tabel 2. Tabel Jenis dan Luas Fasilitas Umum Kelurahan Parapat (Sumber : Data Pemeintah Kelurahan Parapat.)
4.1.4. Topografi
Wilayah Parapat adalah wilayah administrasi pemerintahan masyarakat yang memiliki gambaran wilayah sebagai bentuk deskripsi otonominya dalam mengelola wilayahnya. Adapun topografi wilayah Parapat adalah sebagai berikut :
(54)
Bentangan Wilayah Luas
Dataran rendah 336 ha / m2
Berbukit-bukit 1.116 ha / m2
Letak Luas
Kelurahan kawasan perkantoran 0,2 ha / m2 Kelurahan kawasan pertokoan/bisnis 3 ha / m2 Kelurahan kawasan campuran 336 ha / m2 Kelurahan bebas banjir 1452 ha / m2
Orbitrasi Keterangan
Jalan ke ibu kota kecamatan 1,5 Km Lama jarak tempuh ke ibu kota kecamatan
dengan kendaraan bermotor
0,08 Jam
Kendaraan umum ke ibu kota kecamatan 15 unit Jarak ke ibu kota kabupaten 79 Km Lama jarak tempuh ke ibu kota kabupaten
dengan kendaraan bermotor
2 Jam
Kendaraan umum ke ibu kota kabupaten 0 Unit Jarak Ke ibu kota provinsi 174 Km Lama jarak tempuh ke ibu kota provinsi
dengan kendaraan bermotor
4 Jam
Kendaraan umum ke ibu kota provinsi 35 Unit
Tabel 3. Tabel Topografi Kelurahan Parapat (Sumber : Data Pemerintah Kelurahan Parapat.)
(55)
4.1.5. Struktur Pemerintahan Kelurahan Parapat
Adapun susunan pemerintahan Kelurahan Parapatyang menjabat sebagai pemerintah di kelurahan pada tahun 2015 berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun No. 17 Tahun 2008 adalahsebagai berikut:
Lurah : Parningotan Girsang
Sekretaris : Riensi Manik
KASI Pemerintahan : Rohana Sampe Tua Sinaga, SH
KASI Kesra : Ramasa, Spd
Kepala lingkungan 1 : Altel Silalahi
Kepala lingkungan 2 : Yulbiner Sidabutar
Kepala lingkungan 3 : Anton Pakpahan
Kepala lingkungan 4 : Ramses Sidabutar
Kepala lingkungan 5 : Huala Sinaga
Kepala lingkungan 6 : Wilman Sinaga
Kepala lingkungan 7 : Posder Sirait
(56)
4.2. Profil Informan 4.2.1. Informan Kunci
Adapun yang menjadi informan kunci penulis pada saat penelitian di Kelurahan parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, kabupaten simalungun adalah sebagai berikut :
1. Rohana Sampe Tua Sinaga, SH
Rohana Sampe Tua Sinaga, SH adalah seorang wanita berumur 43 Tahun. Dalam penelitian ini Rohana Sampe Tua Sinaga, SH adalah sebagai informan kunci peneliti untuk memperoleh data penelitian melalui wawancara mendalam mewakili pihak institusi Pemerintahan. Informan beralamat di Jalan Anggarajim, Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun. Informan merupakan salah satu masyarakat Batak Toba yang menganut agama Protestan dan sudah menikah. Informan juga menikah dengan seorang pria yang bermarga dari suku Batak Toba dan telah memiliki 3 orang anak. Informan memiliki status pendidikan terakhir sebagai tamatan Sarjana hukum dari Universitas HKBP Nomensen Medan.
Informan merupakan Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di Pemerintahan kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon di bidang pemerintahan, yang di hunjuk oleh bapak Lurah Parapat yakni, bapak Parningotan Girsang kepada peneliti sebagai informan peneliti mewakili pemerintah kelurahan Parapat pada saat mengajukan surat izin penelitian kepada pihak pemerintahan setempat serta saat ingin memulai penelitian dan pengambilan data kelurahan terkait dengan kebutuhan data penelitian peneliti mengenai judul skripsi peneliti.
(57)
2. D. Sinaga
D. Sinaga adalah seorang laki-laki yang berumur 76 tahun. Dalam penelitian ini bapak D. Sinaga adalah sebagai informan kunci peneliti untuk memperoleh data penelitian melalui wawancara mendalam mewakili pihak tokoh masyarakat Parapat. Informan beralamat di Jl. Jaminta Sinaga, Sosor Saba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun. Informan merupakan salah satu Masyarakat Batak Toba yang menganut agama Protestan dan sudah menikah. Informan lahir dan besar di Parapat dan tinggal di Parapat hingga sampaia usia remajanya. Saat ini setelah informan D. Sinaga memilih berhenti bekerja dari perusahaan asing di perantauan Kota Jakarta yang telah ditekuninya selama 20 Tahun sejak usia remaja. Informan pada akhirnya memutuskan untuk kembali kekampung halaman dan menghabiskan usia hidup di kampung halaman Parapat karena panggilan jiwa yang menurut informan tidak bisa dibiarkan atau ditulikan agar berlama-lama di perantauan.
Informan memiliki jenjang pendidikan terakhir sebagai tamataan SR (Sekolah Rakyat) dari Parapat. Saat ini informan memiliki pekerjaan sebagai seorang Wiraswasta. Informan merupakan salah satu tokoh masyarakat (natua-tua ni huta) di kota Parapat. Dalam keseharian aktivitas masyarakat sehari-harinya ketika terjadi masalah ataupun hal penting juga kegitan yang ingin di diskusikan oleh masyarakat dan pemerintahan setempat, informan selalu diikut sertakan dalam membicarakan sebagai perwakilan masyarakat.
Informan juga sudah ikut dalam kegiatan sosial dan adat masyarakat Batak Toba khususnya hingga saat ini di umurnya yang sudah tua. Informan sudah memiliki 3 orang cucu dan di keluarga informan pun terdapat ragam agama, dimana 2 anaknya (perempuan dan laki-laki) setelah berkeluarga muallaf dan masuk menjadi umat
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Agus, Bustanuddim. 2003. Sosiologi Agama. Padang : Universitas Andalas Padang. Basrowi. Pengantar Sosiologi. 2005. Bogor: Ghalia Indonesia.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitaian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Kencana.
Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Moleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya. Nainggolan, Togar. 2012. Batak Toba Sejarah dan Transformasi Religi. Medan : Bina Media
Perintis.
Napitupulu, M.M. 2012. Habonaran Nauli Habatahon. Medan : USU Press.
Nawawi, Hadari dan Hadari, Martini.2006. Instrumen Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajagrafindo Persada. Sanapiah, Faisal. 2003. Format-Format Penelitian Sosial : Dasar-Dasar dan Aplikasi.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Schatf, R, Betty. 2004. Sosiologi Agama Edisi Kedua. Jakarta : Prenada Media. Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan Na Tolu. Jakarta: Tulus Jaya.
Simanjuntak, Antonius, Bungaran. 2009. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
(2)
Situmorang, Sitor. 2004. Toba Na Sae Sejarah Lembaga Politik Abad XIII-XX.Jakarta: Komunitas Bambu.
Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
Waluya, Bagja. 2007. Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Bandung: Setia Purna Inves.
Yin, Robert K. 2003.Studi Kasus Desain dan Mode.Jakarta : Rajawali Pers.
Jurnal :
Abd. Karim, M.Si. 2014. PERSPEKTIF SOSIOLOGI DALAM MEMAHAMI KONFLIK SOSIAL DI INDONESIA.
Skripsi :
Margaretha, Charolina. 2008. Sosialisasi Dalihan Na Tolu Pada generei Muda Batak di Perkotaan (Kasus Pada Perkumpulan Masyarakat Batak Parsahutaon Dalihan Na Tolu di Saru Permai, Ciputat). Bogor : Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Website:
tanggal 10 Mei 2014.
http://id.wikipedia.org/wiki/agama diakses pada 11 Juni 2014.
tanggal 11 Juni 2014
(3)
17 Juni 2014
2014
2014
pada tanggal 11Maret 2015
(4)
LAMPIRAN
Gambar 1.
Keterangan Gambar 1 : Pernikahan anak bapak D. Sinaga yang berbeda agama dengan beliau (Kiri : Boru bapak D. Sinaga yang beragama islam, Anak Bapak D. Sinaga saat pernikahan secara agama islam. Kanan : Menantu laki-laki Bapak D. Sinaga yang bermarga Toba beragama islam, Menantu perempuan bapak D. Sinaga yang bersuku Sunda dan beragama muslim).
(5)
Gambar 3.
Gambar 4.
Keterangan gambar 2-4 : Dokumentasi Pribadi Bapak Mangihut Sinaga, yang merupakan salah satu contoh kekerabatan masyarakat Parapat dalam lingkup Dalihan Na Tolu yang berbeda agama. Praktek pelaksanaan Dalihan Na Tolu yang berbeda agama pada keturunan Raja Parapat saat sedang melakukan ziarah dan doa bersama di Parapat, 28 Desember 2012.
(6)
Gambar 5.
Keterangan gambar 5 : Praktek pelaksanaan Dalihan Na Tolu yang berbeda agama pada keturunan Raja Parapat saat sedang melakukan musyawarah bersama dalam rangka perencanaan renovasi pembangunan Rumah Bolon Raja Parapat yang dilakukan di Parapat, 29 Desember 2012 dan protokol acara tersebut adalah bapak Mangihut sendiri seperti yang tampak di foto sedang memegang mick.