BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN INTERPRETASI DATA
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Gambaran Umum
Penelitian ini dilakukan di wilayah Sidabariba yang sekarang dikenal Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun,
Provinsi Sumatera Utara. Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon. Sidabariba Parapat merupakan daerah yang terbentuk pada zaman kerajaan dan
tepatnya pada zaman dinasti Raja-Raja marga Sinaga Bonor Tiang Di Tonga, dengan sistem kebudayaan Batak Toba yang ada pada saat itu bagi para masyarakatnya.
Parapat yang dahulunya mayoritas wilayah galunghauma ladangpersawahan, dimana Parapat pertama kali menjadi suatu wilayah tempat tinggal yang rapi dengan
berbagai sistem kehidupannya dimulai sejak dari kepemimpinan Raja Parapat yakni Guru Manasem Sinaga Raja Hatoguan hinga raja terakhir yakni Sintua Raja Israel
Sinaga. Setelah era kemerdekaan pada tahun 1945 sistem pemerintahan di wilayah Parapat sudah berganti secara sistem pemerintahan Republik yakni kelurahan Parapat.
Jumlah penduduk Parapat kurang lebih 6.105 jiwa yang terdiri dari sekitar 1292 kepala keluarga. Pada wilayah ini, 90 penduduknya berasal dari etnis Batak
Toba terbanyak yang berbeda agama, selebihnya etnis Simalungun, Karo, Pakpak, Jawa, Sunda, Minang, dan Cina. Penduduk masyarakat Parapat mayoritas beragama
Nasrani Protestan dan Katolik, selebihnya beragama Islam, dan Budha. Di wilayah ini terdapat Gereja Protestan seperti HKBP, GPDI, HKI, GKPS, GKPI, Sidang
Jemaat, Bethel, dan Katolik, Mesjid serta Vihara. Hal ini dapat dilihat dari sajian data berikut mengenai komposisi penduduk masyarakat Parapat berdasarkan agama :
Kristen Protestan : 9.707 Orang
Katolik : 2.882 Orang
Islam : 1.689 Orang
Budha : 46 Orang
Hindu : -
Karakteristik masyarakat wilayah Parapat berdasarkan hasil observasi penulis pada umumnya hidup melalui mata pencaharian industri pariwisata dan pertanian.
Masyarakat wilayah ini hidup dari usaha jasa penginapan, usaha jasa penyewaan tempat pondok peristirahatan wisatawan yang singgah tidak kurang dari sehari serta
perdagangan barang-barang souvenir dan hasil pertanian seperti persawahan dan ladang. Masyarakat Parapat adalah masyarakat yang heterogen secara etnis dan agama
dikarenakan wilayah ini adalah wilayah perlintasan transportasi lintas Sumatera. Masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Parapat masyoritasnya adalah
beragama Nasrani. Hal ini terlihat dalam Sejarah kota ini berdasarkan penuturan informan penulis, bahwa Raja di wilayah ini adalah orang yang pertama sekali
menganut agama Kristen Protestan pada era masuknya Zending HKBP yang dibawa oleh missionaris Nomensen dan Mutzler ke wilayah Parapat. Terdapat sebahagian
masyarakat Batak Toba yang beragama Islam, diawali oleh Pihak Boru Marga Sinaga yakni Keluarga Alm. Haji Pardede yang membawa dan menyebarkan agama Islam di
perkampungan Parapat dahulunya. Hal tersebut juga didukung oleh pihak hula-hula mereka yang bermarga sinaga dengan memberikan 2 bidang tanah di Jalan
Sisingamangaraja XII Parapat untuk membangun Mesjid sebagai rumah ibadah serta tanah pekuburan Islam sekitar tahun 1955. Mayoritas masyarakat Batak Toba yang
ada diwilayah Parapat bertempat tinggal di jalan lintas dekat Mesjid yakni perkampungan sepuratan Jalan Sisingamangaraja XII Parapat saja.
Di wilayah Parapat tidak ada lagi terdapat penduduknya yang beragama aliran kepercayaan tradisional masyarakat Batak Toba yakni Parmalim. Semua
penduduknya sudah beragama sesuai agama yang diakui oleh pemerintah. Masyarakat Batak Toba yang beragam Parmalim hanya ada di perkampungan seberang Parapat
yakni perkampungan Girsang, hal ini jelas terlihat dengan berdirinya Ruma Parsaktian Golongan Siradja Batak sebagai rumah ibadah masyarakat Batak Toba
yang beragama aliran kepercayaan parmalim. Masyarakat Batak Toba yang berbeda agama yang berada di Parapat hidup
berdampingan satu sama lainnya yang diikat oleh adat isti-adat mereka. Yang mengikat mereka tersebut adalah sistem Dalihan Na Tolu. Pesta adat, perkumpulan
marga-marga tampak mempengaruhi aktivitas keseharian masyarakat Batak Toba. Hal ini menjadikan hubungan antar individu maupun kelompok yang berbeda agama itu
semakin kuat terlihat di wilayah ini. Penggunaan sapaan status pada Dalihan Na Tolu seperti eda, ito, bere, tulang, inang, amang, anggi, akkang, boru, dan bapa juga
tampak jelas terlihat digunakan oleh masyarakat Batak Toba yang berbeda agama dalam kesehariaannya baik itu ketika di adat, di perkumpulan, ketika berpapasan di
jalan, berbelanja di pasar tradisional, dan bersilaturahmi pada hari-hari besar. Masyarakat Batak Toba yang tinggal di wilayah Parapat mayoritas melakukan
mobilitas sosial dengan cara bersekolah ke kota dan merantau ke ibu kota. Hal ini terjadi sejak puluhan tahun lalu, dimulai dari interaksi masyarakat lokal dengan
masyarakat mancanegara. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu indikator terjadinya ikatan perkawinan masyarakat Batak Toba yang berbeda agama dan berbeda suku
ketika mereka akhirnya memilih tinggal menetap di kampung halaman mereka di Parapat.
Masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Parapat masih memegang teguh adat-istiadat yang berasal dari leluhur mereka. Maka oleh sebab, itu banyak yang
penulis temukan dilapangan acara-acara adat yang dilakukan oleh para perantau di kampung halaman mereka. Baik itu acara pernikahan bahkan kematian, dimana
masyarakat Parapat yang merantau kembali ke kampung halaman sebagai wujud menghormati budaya asal mereka.
4.1.2. Letak Geografis