Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Kewenangan MK sebagai penguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan sebagai penafsir atas norma hukum inilah yang berujung pada
istilah MK sebagai penjaga konstitusi the guardian of the constitution dan the sole of the interpreteur of the constitution dimana dua dimensi
tersebut melekat pada kewenangan MK. Dengan karakter inipun, putusan peradilan konstitusi menjadi salah satu sumber hukum penting di samping
peraturan tertulis, tidak hanya dalam amar putusannya, tetapi juga tafsir konstitusionalnya.
8
Menguji konstitusionalitas dari undang-undang menekankan bahwa MK adalah negatif legislatif yaitu sebagaimana menurut Maruarar
Siahaan merupakan tindakan dari MK dengan menyatakan bahwa undang- undang yang dihasilkan oleh organ legislatif tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
9
Namun, di beberapa putusannya, MK tidak hanya membatalkan suatu undang-undang yang telah diujikan kepada UUD 1945 dan
menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional, namun MK menambahkan suatu norma hukum baru dalam putusannya tersebut.
Seperti dalam putusan nomor 21PUU-XII2014 mengenai pengujian Pasal
8
Janedjri M.Gaffar, Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi,h.VI.
9
Maruarar Siahaan, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakkan Hukum Konstitusi,Jurnal Hukum No.3 Nol.16 Juli 2009,h.359.
77 huruf a KUHAP
10
tentang objek dari Praperadilan. Dalam amar putusannya, MK memutus bahwa Pasal 77 huruf a Undang-Undang
No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan
tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
11
Ketika Pasal 77 a telah dibatalkan melalui putusannya, MK seakan menambahkan suatu norma
mengenai objek baru dalam praperadilan yakni „penetapan tersangka‟.
Hal itulah yang menjadikan MK tidak hanya membatalkan suatu undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, namun MK telah
memasuki ranah positif legislatif yang seharusnya ditindak lanjuti oleh organ legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam
menambah, memuat, dan menghapus suatu norma pada suatu undang- undang
12
. Jika putusan tersebut dijadikan pembenar dalam melakukan suatu
penemuan hukum dan sejalan dengan keadaan masyarakat kekinian sebagaimana pendapat Soejono Koesoemo Sisworo:
“Bahwa hakikat
10
Pasal 77 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menegaskan bahwa objek praperadilan yakni: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan,
atau penghentian penuntutan.
11
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21PUU-XII2014.
12
Pasal 10 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan yang berbunyi, “Tindak lanjut atas putusan Mahkamah
Konstitusi sbagaimana dimaksud ayat 1 huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.”
penemuan hukum, yaitu selalu berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat dan tetap dalam lingkungan sistem hukumnya.
”
13
Hal tersebut dapatlah penulis kategorikan sebuah upaya progresif
14
dari MK, namun faktor keberpengaruhan dari aspek yuridis-filosofis dan sosiologis dari permohonan penetapan tersangka sebagai objek
praperadilan nampaknya berpengaruh atas pertimbangan putusan MK. Sehingga pasca putusannya diberlakukan, terdapat implikasi yang
berpengaruh di tengah masyarakat dan tidak sepenuhnya mengakomodir suatu keadilan substantif.
15
Oleh karena itu, penulis melihat terdapat kesenjangan yang terjadi antara yang seharusnya dengan kenyataan yang terjadi. MK diamanahkan
untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 yang pada dasarnya kewenangan tersebut adalah bentuk pengawasan terhadap produk
legislatif. Namun, pada kenyataannya MK dalam putusannya justru
13
Otje Salman, Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika Masalah, Bandung:PT Refika Aditama, 2012, h. 61.
14
Penulis mengartikan upaya progresif tersebut merupakan terobosan dari MK untuk menghindari adanya kekosongan hukum namun definisi dari upaya Progresif itu sendiri yaitu
bahwa hukum bukanlah suatu skema yang final finite scheme, namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika manusia. Karena itu, menurut Prof.Satjipto Rahardjo hukum harus terus
dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan.
15
Keadilan dalam hal ini bukan hanya keadilan hukum positif, tetapi juga meliputi nilai keadilan hukum positif, dan meliputi nilai keadilan yang diyakini dan berkembang dalam
masyarakat. Dalam keadilan yang disebut sebagai keadilan substantif itu, ketika memutus perkara, hakim tidak hanya menjalankan preskripsi yang terdapat dalam undang-undang. Di sini, hakim
mewujudkan keadilan yang hendak dicapai oleh aturan hukum dengan mempertimbangnkan rasa keadilan yang berbeda-beda untuk setiap kasus, waktu, dan masyarakat tertentu.
menambahkan norma baru yaitu dengan mengabulkan permohonan pemohon dengan menambahkan norma
„penetapan tersangka‟ sebagai salah satu objek praperadilan.
Atas uraian yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui implikasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21PUU-XII2014, dan pembahasan topik tersebut diuraikan dalam sebuah penelitian yang berjudul
“IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
TERKAIT DENGAN
PENAMBAHAN NORMA
PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN Studi Kasus: Putusan MK Nomor 21PUU-XII2014 tentang Pengujian
Pasal 7 huruf a Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
.