tersebut didapatkan
oleh warga
negara yang
dirugikan hak
kostitusionalnya. Pada peradilan di forum Mahkamah Konstitusi disebutkan dalam
Pasal 24C sebagai “tingkat pertama dan terakhir”. Hal tersebut tentunya dimaksudkan bahwa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat
dilakukan upaya hukum sebagaimana yang tersedia pada peradilan tingkat pertama yang dapat dilakukan banding terhadap putusannya atau upaya
hukum lain baik kasasi maupun peninjauan kembali, sehingga putusan tersebut bersifat final.
69
Dalam suatu proses hukum di depan, putusan lembaga peradilan haruslah diakhiri dengan memberikan status final. Hal ini diperlukan untuk
kepastian hukum. Namun apabila semua upaya hukum telah digunakan maka suatu keharusan, demi kepastian, sebuah putusan haruslah bersifat
final artinya tidak ada lagi upaya hukum lain dan oleh karenanya berlakulah res judicata facit ius putusan pengadilan harus diterima
sebagai hukum dalam kenyataan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final harus
diterima sebagai res judicata facit ius.
70
Jika putusan MK memiliki sifal final and binding, namun pada putusannya, MK memiliki bentuk-bentuk putusan yang perlu diuraikan
69
Harjono, Tranformasi Demokrasi,h.140.
70
Harjono, Tranformasi Demokrasi,h.141.
dalam penelitian ini, yaitu pertama, ultra petita adalah putusan yang dikenal pada rezim hukum perdata dan pidana yakni ketika hakim
menjatuhkan keputusan hukuman pidana melebihi dari tuntutan jaksa. Dan putusan ultra petita seharusnya tidak berada pada rezim hukum tata negara
dikarenakan, yaitu MK memutus dengan putusan yang melebihi apa yang diminta petitum pemohon. Menurut Taufiqurrahman Syahuri, wajar
apabila MK menjatuhi putusan yang ultra petita dengan menyatakan bahwa suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kedua, Condionally constitutional, pada posisi putusan ini MK telah memasuki ranah positif legislatif, karena dalam amar putusannya, MK
tidak hanya memutus tentang konstitusionalitas suatu undang-undang melainkan juga memberikan syarat baru dalam amar putusannya tersbut.
Ketiga, Pembatalan UU dengan tenggat waktu, bentuk putusan ini adalah bentuk putusan yang menunda keberlakuan putusan MK karena
terinspirasi oleh pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana keberlakuan suatu UU secara efektif dapat ditunda beberapa waktu setelah
disahkan.
71
Maka, putusan MK dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah bentuk permohonan keadilan dari warga negara, masyarakat, atau
segolongan masyarakat yang hak konstitusionalitasnya dirugikan atas
71
Taufiqurrahman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, h.120-121.
produk undang-undang. Suatu putusan adalah hal yang ditunggu masyarakat untuk dapat melindungi hak konstitusionalnya.
BAB IV ANALISIS IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
21PUU-XII2014 TERHADAP PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN TERSANGKA DALAM OBJEK PRAPERADILAN
“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia sebagaimana kamu semua, sedang kamu mengajukan perkara kepadaku, oleh karena itu, barangkali sebagian kamu
lebih mengerti dan lebih mengetahui daripada sebagian lainnya.”
Hadits Riwayat Bukhari Muslim
Sebagaimana hadits tersebut, dapat dianalogikan bahwa seseorang dibebankan suatu perkara dan diamanahkan untuk mewujudkan suatu putusan
yang berkeadilan. Namun, upaya untuk mewujudkannya tentu harus ditopang dengan berbagai faktor-faktor pendukung, seperti, terkumpulnya bukti-bukti, saksi
dan lain sebagainya agar dapat memutus putusan yang berkeadilan dan berkepastian hukum bagi pihak-pihak tertentu, maupun bagi seluruh pihak.
Di Indonesia, perwujudan keadilan dapat ditegakkan melalui paradigma perlindungan hak konstitusional warga negara yang termaktub dalam perubahan
UUD 1945. Hal tersebut merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada
tahun 1998. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi
karena kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan
ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti.
72
Perubahan UUD 1945 menegaskan adanya prinsip checks and balances dimana terbagi adanya tiga kekuasaan utama disamping tersadapat kekuasaan-
kekuasaan lainnya yang melengkapi tiga kekuasaan utama tersebut. Tiga kekuasaan utama tersebut dapat dikategorikan sebagai primary constitutional
organs yakni: kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Serta terdapat lembaga-lembaga penunjang atau pendukung auxiliary state
organs. Keseluruhan lembaga-lembaga negara tersebut merupakan bagian-bagian dari negara sebagai suatu organisasi. Konsekuensinya, masing-masing
menjalankan fungsi tertentu dan saling berhubungan sehingga memerlukan pengaturan dan pemahaman yang tepat untuk benar-benar berjalan sebagai suatu
sistem.
73
Dalam reformasi kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi muncul dan dibentuk untuk menjawab kebutuhan masyarakat dalam rangka menegakkan
negara hukum yang demokratis dan menghormati serta menegakkan nilai-nilai hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi.
Mahkamah Konstitusi RI sebagai pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi demi menegakkan hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945, muncul
72
Jimly Asshiddiqie,Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, h.479.
73
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta:Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, h.ix.
akibat adanya perubahan UUD 1945. Dimana dalam perubahan tersebut telah menjadikan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan supremasi telah
beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi. Karena perubahan mendasar inilah maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan
konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling
mengimbangi dan saling mengendalikan checks and balances. Telah sejak lama bangsa Indonesia begitu mendambakan kehadiran sistem
kekuasaan kehakiman yang dapat digunakan untuk menguji produk hukum di bawah Undang-Undang Dasar 1945.
74
Oleh sebab itu, desakan akan pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada
peraturan dibawah undang-undang UU melainkan juga di atas UU terhadap UUD. Kewenangan melakukan pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada
sebuah mahkamah sendiri diluar Mahkamah Agung MA. Atas dasar pemikiran itu, adanya MK yang berdiri sendiri di samping MA menjadi sebuah
keniscayaan.
75
Pengujian undang-undang merupakan sebuah pengujian atas norma yang nantinya akan mengikat warga negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi tidak
hanya sebagai sebuah lembaga yang hanya pemberi ajudikasi dan meninggalkan
74
Lihat Uji Konstitusionalitas oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi Suatu studi tentang adjudikasi Konstitusional sebagai
Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006, h. 259.
75
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,h.491.
keputusan tersebut untuk Pemerintah jalankan dan untuk pembentuk undang- undang pahami.
76
Terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang salah satunya adalah melakukan pengujian undang-undang dimana putusan Mahkamah
bersifat final dan mengikat sebagaimana termaktub dalam Pasal 10 ayat 1 UU No.8 Tahun 2011 yang berbunyi : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final ….”adalah bentuk konsekuesi logis keberlakuan putusan tersebut akan mengikat seluruh
masyarakat tidak hanya pihak-pihak yang menjadi pemohon erga omnes
77
. Jika melihat dasar yuridis dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang
bersifat final and binding serta mengikat seluruh pihak erga omnes, adapun istilah negative legislator yang melekat pada institusi Mahkamah Konstitusi
adalah tidak lepas bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi. Yaitu dimana semangatnya melekat pada perspektif historis pembentukan Mahkamah Konstitusi
Austria yang dipelopori oleh Hans Kelsen yakni adalah dikarenakan adanya peluang peraturan lebih rendah bertentangan dengan peraturan lebih tinggi,
76
Agung Sudrajat, Implikasi Peran Mahkamah Konstitusi Sebagai Positive Legislator Pada Uji Materiil Undang-Undang Terhadap Proses Legislasi di Indonesia Studi Kasus: Putusan
MK No.10PUU-VI2008 tentang Pemuatan Syarata Domisili Calon Anggota DPD dalam UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum,Skripsi S 1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia,
Depok, 2012, h.112.
77
Putusan pengadilan biasa yang telah berkekuatan tetap yang bersifat inter-partes atau yang mengikat di antara pihak-pihak berperkara, putusan mana mengandung penghukuman atau
perintah untuk melakukan satu perbuatan atau menyerahkan sesuatu barang sebagai prestasi salah satu pihak berperkara. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan putusan MK dalam pengujian
undang-undang. Sebagai satu mekanisme checks and balances putusan MK yang mengabulkan satu permohonan untuk menyatakan satu undang-undang, pasal, ayat danatau bagian dari undang-
undang bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, terlebih-lebih jika menyangkut pengujian undang-undang yang bersifat beleidsregels, yang bersifat self-executing,
tidak selalu mudah untuk diimplementasikan.[Lihat, Maruarar Siahaan, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakkan Hukum Konstitusi,Jurnal Hukum No.3 Nol.16 Juli 2009,h.363-364]