Implikasi Putusan MK No.21PUU-XII2014 terhadap Penambahan

Oleh karena itu, alangkah tepat tindakan Mahkamah memutus bahwa Pasal 77 huruf a inkonstitusional, karena tentu tujuannya adalah mengembalikan nyawa dari undang-undang tersebut karena ternyata dalil dan bukti pemohon dapat membuktikan bahwa Pasal tersebut tidak lagi memiliki jiwa atau semangat perlindungan hak asasi manusia. Namun, penulis tetap menyoroti kewenangan Mahkamah Konstitusi yang pada dasarnya merupakan negatif legislatif, yakni membatalkan suatu pasal yang diujikan, bukan justru menambahkan suatu norma atas perluasan yang dimohonkan oleh Pemohon 89 . Atas hal tersebutlah, penulis melihat adanya ketidaksingkronan apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua, Implikasi terkait dengan implementasi putusan di tengah masyarakat, adapun pada umumnya dalam sebuah putusan peradilan konstitusi tidak boleh menjatuhkan putusan di luar yang diminta oleh pihak berperkara pemohon ultra petita 90 . Sebagaimana menurut Ahmad Dimyati Natakusumah anggota DPR fraksi PPP pada sidang pengujian UU No.8 Tahun 2011 perubahan terhadap UU No.24 Tahun 2003 tentang 89 Pendapat penulis sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam Concurring Opinion Alasan berbeda bahwa Patrialis Akbar mendukung dan setuju dengan putusan Mahkamah dalam perkara tersebut, namun akan lebih tepat jika hal ini diserahkan pada pembentuk Undang-Undang untuk menentuka pilihan objek-objek praperadilan asal sejalan dan tidak bertentangan dengan konstitusi.[Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21PUU-XII2014 h.113. 90 Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan Bab III dalam skripsi ini, bahwa putusan ultra petita atau suatu putusan yang melebihi dari apa yang dimohonkan petitum adalah suatu putusan yang berada pada rezim hukum pidana dan hukum perdata. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa MK secara konstitusional hanya memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD dan tidak memiliki kewenangan untuk membentuk norma sebagai norma baru yang diputus bertentangan dengan UUD. Dipertegas pula dengan pernyataan M.Zainal Arifin kuasa hukum pemohon pada perkara No. 48PUU-IX2011 menyatakan, bahwa pembentukan undang-undang fungsi legislasi konstitusional merupakan kewenangan DPR bersama pemerintah, jika MK dalam putusannya membuat norma baru, maka MK telah melebihi kewenangan yang diberikan konstitusi. 91 Namun, Mahkamah Konstitusi telah membuat terobosan dalam putusannya terkait dengan pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana meskipun sejalan dengan apa yang dimohonkan, namun sekali lagi tindakan Mahkamah Konstitusi merupakan tindakan yang menembus prosedural hukum sehingga dikhawatirkan akan memberi peluang pada Mahkamah Konstitusi memasuki ranah kewenangan legislatif. Hal tersebut nyatanya pasti menuai animo masyarakat pasca putusan tersebut diputus dan dibacakan pada persidangan tanggal 28 April 2015 dimana beberapa orang yang ditetapkan tersangka dapat mempraperadilankan penetapannya sebagai tersangka. Tidak hanya bagi masyarakat tapi juga bagi aparatur penegak hukum. 91 Pengujian UU MK “DPR:MK Tidak berwenang putus “ultra petita”, Jurnal Konstitusi No.56 September 2011:h.21. Ketiga, Implikasi terhadap aparatur penegak hukum, dalam menegakkan norma yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi, yakni masih terdapat pertentangan dari pihak tertentu mengenai penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan atau bukan. Misalnya, pasca putusan Mahkamah Konstitusi diputus, telah banyak pihak yang ditetapkan tersangka mengajukan praperadilan, salah satunya pada kasus praperadilan Dahlan Iskan, Jaksa yang mendakwa berpedapat bahwa penetapan tersangka bukanlah objek dari praperadilan, namun ahli yang didatangkan berpendapat bahwa penetapan tersangka adalah sah sebagai objek praperadilan. Hal ini menggambarkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi meskipun bersifat erga omnes namun pada faktanya tidak mampu mengikat seperti halnya undang-undang yang mempunyai kepastian hukum dan disepakati seluruh pihak. Karena terdapat anggapan bahwa sekali hakim konstitusi memutus maka ratusan masyarakat Indonesia harus patuh dan tunduk. 92 Maka sudah sepatutnya suatu norma yang dirumuskan dalam undang-undang diberlakukan melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang- undangan yang menjadi otoritas dari lembaga legislatif. Menanggapi hal tersebut Edward Omar Sharif Hiariej menyataan bahwa selepas putusan Mahkamah Konstitusi MK No. 21PUU- 92 Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010, h.164. XII2014, penetapan tersangka merupakan objek praperadilan. Masih dilansir dari media yang memberitakan tentang praperadilan yang diajukan oleh Dahlan Iskan, sebagai seorang akademisi, Edward berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan peradilan biasa yang hanya dipatuhi para pihak, sifat putusan Mahkamah Konstitusi yakni mengikat dan berlaku untuk seluruh pihak seketika diputus dihadapan publik erga omnes. 93 Disamping hal yang sudah terjadi, yaitu mengenai jaksa yang belum memaksimalkan adanya putusan MK sebagai landasan bahwa penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, perlu ada antisipasi pula terhadap penyidik yang sekiranya menetapkan seseorang sebagai tersangka. Ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, dimana penetapan tersangka adalah ujung dari tindakan penyidik yang sebelumnya yaitu berdasarkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan dan memperoleh kejelasan akan tindak pidana yang terjadi. Tindakan tersebut adalah bukan upaya paksa sebagaimana objek praperadilan sebelumnya 94 . Maka disini penyidik dituntut untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, karena ketika seseorang dengan bukti yang jelas telah 93 Lihat Artikel, Saksi Ahli Jaksa mendukung Dahlan Iskan, http:www.kaltimpost.co.id., Diakses pada 26 Agustus 2015 pada pukul 21.19. 94 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21PUU-XII2014 h. 115. ditetapkan sebagai tersangka, kemudian diajukan praperadilan akan ada celah bagi seseorang tersebut menghilangkan bukti yang telah berhasil ditemukan penyidik. Implementasi tersebutlah yang harus dimaksimalkan oleh setiap aparatur penegak hukum. Seperti yang dikemukakan oleh Indriyanto Seno Adji 95 sebagai Pelaksana Tugas Pimpinan KPK bahwa pasca putusan MK tersebut, KPK akan tetap melaksanakan tugasnya dalam memberantas korupsi dan menegakkan hukum secara baik serta tentu bertindak dengan professional dan tidak sewenang-wenang. Tentu selain hal tersebut, putusan MK yang menyatakan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan patutnya tidak dijadikan alat atau celah melemahkan penegakkan hukum di Indonesia. Keempat, implikasi terhadap sistem ketatanegaraan yang pada dasarnya memiliki prinsip checks and balances. Sebagaimana konsep teori yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan distribution of power yang saling melengkapi satu sama lain. Kewenangan tersebut meliputi kewenangan legislatif sebagai pembentuk undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, dan yudikatif sebagai pengawas undang-undang. 95 Wawancara yang dilakukan oleh Metro News.com kepada Indriyanto Seno Adji terkait dengan penetapan tersangka sebagai salah objek praperadilan pasca putusan MK, lihat di Yogi Bayu Adji, KPK Hormati Putusan MK Memasukkan Penetapan Tersangka Jadi Objek Praperadilan, http:news.metrotvnews.comread2015 diakses pada 9 Oktober 2015 pukul 17.15. Pembagian kekuasaan tersebut tercermin dalam prinsip check and balances dimana lembaga negara yang satu dengan yang lainnya saling mengimbangi dan mengawasi. Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga di bawah naungan kekuasaan kehakiman atau lembaga yudikatif yang kewenangan dasarnya adalah sebagai pengawas undang-undang. Ketika, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa penetap tersangka sebagai salah satu objek praperadilan tanpa membiarkan tempo waktu untuk adanya tindakan lebih lanjut dari putusan tersebut, ini merupakan tindakan Mahkamah Konstitusi yang telah memasuki kewenangan legislatif. I Dewa Gede Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto Hakim Konstitusi dalam Dissenting Opinion pendapat berbeda menegaskan dalam pernyataannya yang dilansir oleh media 96 bahwa hal ini merupakan ranah penerapan hukum, dan tidak dimasukannya penetapan tersangka dalam ruang lingkup praperadilan merupakan wewenang pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, implikasi pada sistem ketatanegaraan di Indonesia adalah, tidak adanya penegasan prinsip check and balances sebagaimana yang telah diatur dalam UUD 1945. Adapun Mahkamah Konstitusi 96 Ihsanuddin, Artikel, MK Putuskan Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan, httpnasional.kompas.comMk-Putuskan-Penetapan-Tersangka-sebagai-Objek-Praperadilan, diakses pada tanggal 27 Agustus 2015 pada pukul 22.00. sebagai pengawal konstitusi telah mencederai sendiri prinsip pembatasan kekuasaan yang telah termaktub dalam UUD 1945.

C. Faktor Yang Mempengaruhi Putusan MK Nomor 21PUU-

XII2014 Dari ketiga implikasi yang telah penulis paparkan, dapat diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi putusan Mahkamah, yaitu : Faktor Yuridis-Filosofis, faktor pertimbangan hakim dari landasan yuridis konstitusional, menurut analisa penulis yaitu kembali pada elemen utama dalam negara hukum ialah perlindungan hak asasi manusia, tentu negara memiliki andil untuk membentuk aturan bagi masyarakatnya. Maka tak lain faktor utama yang mempengaruhi putusan Mahkamah ialah konstitusi sebagai teks utama dasar pertimbangan hakim yakni untuk menegakkan hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945. Konstitusi dijadikan dasar utama karena normanya yang hidup dam berjiwa sebagaimana menurut Montesquieu yang pernah mengemukakan 97 : “Hakim-hakim rakyat tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, para hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang kekuatannya maupun tentang ketaatannya.” 97 Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Jakarta:Prenada Media Group,2012, h. 41. Menilik pada hal tersebut, maka tindakan Mahkamah adalah tindakan untuk menjadikan undang-undang berjiwa dan bernyawa kembali sesuai dengan nilai dasar dalam UUD 1945. Faktor Sosiologis, Pergolakan dinamika yang berkembang di tengah masyarakat tentu menjadi salah satu landasan atau pertimbangan Mahkamah dalam memutus permohonan judicial review ini. Gelombang pergolakan politik yang kerap mempengaruhi kualitas dari suatu lembaga negara adalah hal yang penulis soroti. Putusan Mahkamah Konstitusi diputus yakni pada tanggal 28 April 2015, namun sebelumnya telah terjadi polemik mengenai objek penetapan tersangka yang nyatanya diputus terlebih dahulu di Pengadilan Negeri oleh Hakim Sarpin Rizaldi dalam kasus Komjen Budi Gunawan. 98 Atas pergolakan yang terjadi tersebut, akhirnya masyarakat seperti disadarkan bahwa penetapan tersangka adalah hal yang krusial pada saat ini. Maka setelah perkara praperadilan Budi Gunawan pun beberapa orang yang ditetapkan tersangka mengajukan praperadilan secara berbondong- 98 Dalam wawancara yang dilansir oleh Hukum Online kepada Hakim Sarpin Rizaldi, beliau menyatakan bahwa mengenai punya wewenang atau tidak, kalau pengadilan menganggap bahwa pengadilan berhak melakukan pengawasan kepada tindakan penyidik secara luas, setidaknya kita bisa menarik manfaat dari peristiwa ini,” ujarnya kepada hukumonline, Senin 162.[Lihat: Tri Yuanita Indriani, Artikel, Akademisi: Kita Bisa Menarik Manfaat dari Putusan Praperadilan BG, http:www.hukumonline.com, diakses pada 27 Agustus 2015 pukul 21.00 wib. bondong. Berikut adalah tabel data pengajuan praperadilan terkait dengan penetapan tersangka 99 : Tabel 1: Tersangka yang mengajukan praperadilan terkait dengan penetapan tersangka: 99 Lihat Artikel Indonesia Hukum pada http:www.bbc.comindonesia berita_indonesia diunduh pada tanggal 9 Oktober 2015 pukul 14.36 WIB. No. Nama yang Ditetapkan Sebagai Tersangka Kasus 1. Dahlan Iskan Kasus tindak pidana korupsi pembangunan Gardu Induk di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat. 2. Suryadharma Ali Kasus dugaan korupsi dalam penyelenggaraan haji di Kementerian Agama. 3. Sutan Bhatoegana Kasus dugaan penerimaan gratifikasi dalam penetapan APBN Perubahan Kementerian ESDM di Komisi VII DPR RI 4. Hadi Poernomo Kasus Dugaan Korupsi penerimaan keberatan Pajak PT BCA tahun 1999. 5. Suroso Atmo Martoyo Kasus dugaan suap pengadaan zat tambahan bahan bakar, tetraethyl lead TEL Pertamina tahun 2004-2005. 6. Mukti Ali Kasus Dugaan Korupsi Dana Bantuan Sosial. Pada tabel tersebut tergambar bahwa animo pengajuan praperadilan terkait dengan penetapan tersangka diajukan kebanyakan oleh tersangka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Sebuah hal yang patut disorot ketika dengan dikabulkannya permohonan pada putusan MK Nomor 21PUU-XII2014 yang menyatakan secara bahwa Pasal 77 huruf a bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan 100 . Hal itu akan menjadi celah bagi para tersangka tindak pidana korupsi untuk dapat membatalkan penetapan tersangkanya sehingga penegakkan hukum terkait pemberantasan korupsi akan lebih lemah. Penulis menilai Mahkamah Konstitusi yang memutus putusan tersebut kemudian menambahkan norma baru dalam pasal yang telah dibatalkan adalah dengan tujuan untuk mengisi kekosongan hukum. Namun nyatanya, sebelum putusan Mahkamah dinyatakan sah dan mengikat, putusan mengenai penetapan tersangka dapat menjadi objek praperadilan, sudah lebih dulu diputus di Pengadilan Negeri sebagaimana data yang telah diungkapkan di atas. Maka, sangat jelas bahwa dinamika yang terjadi di masyarakat menjadi faktor yang sangat mempengaruhi pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi. 100 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21PUU-XII2014 h.110.

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88

Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam Dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/Puu-Vi/2008)

0 27 119

Tinjauan Hukum Tentang Praperadilan Atas Status Tersangka Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

0 4 73

ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MENOLAK PENGUJIAN MATERIL TErHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN.

0 0 6

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XI/2013 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI (KAJ.

0 1 1

TESIS IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT DENGAN PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN

0 0 169

IMPLIKASI PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 TERHADAP SISTEM PERADILAN PIDANA Baktiar Ihsan Agung N 148040013 Hukum Pidana ABSTRAK - IMPLIKASI PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN

0 0 8