Penambahan Norma dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

yang sama. Dalam perspektif kelembagaan negara di Indonesia, lembaga yang memiliki otoritas tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif lembaga pembentuk undang-undang.

C. Penetapan Tersangka Sebagai Tambahan Objek Praperadilan

Dalam melaksanakan fungsi “penyelidikan” dan “penyidikan”, konstitusi memberi “hak istimewa” atau “hak previlese” kepada Polri untuk: memanggil – memeriksa – menangkap – menahan – menggeledah – menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana. Akan tetapi, dalam melaksanakan “hak” dan “kewenangan istimewa” tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip: the right of due process. 44 Permasalahan ini perlu disinggung karena pada kenyataannya masih banyak keluhan dari masyarakat tentang adanya berbagai tata cara “penyelidikan” dan “penyidikan” yang menyimpang dari ketentuan hukum acara. Atau diskresi yang dilakukan penyidik sangat bertentangan dengan HAM yang harus ditegakkan dalam tahap pemeriksaan, penyelidikan atau 44 Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara”. Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “supremasi hukum”, dalam menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum no one is above the law, dan hukum harus diterapkan kepada siapapun berdasarkan prinsip “perlakuan” dan dengan “cara yang jujur”.[Lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan, Jakarta:Sinar Grafika, cet ke-14,2012, h.95]. penyidikan. Oleh karena itu, hal ini patut diuraikan untuk meningkatkan ketaatan mematuhi penegakan the right of due process of law. 45 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa secara ideal Hukum Acara itu memberikan kesetaraan antara tersangka, terdakwa, dengan penyidik dan penuntut dan kemudian diberikan penilaian oleh hakim. Dalam proses hukum, selain adanya kesetaraan antara warga negara dan penegak hukum, maka kesetaraan lain yang harus ada, adalah kesetaraan perlakuan antara yang kaya dan yang miskin, yang memiliki kekuasaan dan yang tidak memiliki kekuasaan. Inilah yang dianut oleh Hukum Acara Pidana Indonesia. Adapun penetapan tersangka adalah suatu penetapan yang dilakukan setelah dilaksanakannya proses penyelidikan dan penyidikan. Dimana rangkaian kegiatan tersebut adalah hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Yahya Harahap menyebutnya dengan dua fase tindakan yang berwujud satu. Hampir tidak ada perbedaan makna antara dua kegiatan tersebut, namun hanya bersifat gradual saja 46 . Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan 45 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan, Jakarta:Sinar Grafika, cet ke-14,2012, h.95. 46 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan,h.109. menurut cara yang diatur oleh undang-undang 47 . Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya 48 . Dari dua pengertian variabel tersebut, tentu penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi setelah dilakukannya proses penyidikan yakni dengan adanya bukti terang guna menemukan tersangkanya. Maka proses penyidikan haruslah dilakukan sesuai dengan hukum due process of law dengan tetap memperhatikan dan melindungi hak-hak asasi manusia sehingga penetapan tersangka adalah hal yang dilakukan secara acak, karena penetapan tersangka secara acak niscaya akan sangat merugikan hak-hak setiap warga negara. Penetapan tersangka 49 mengakibatkan adanya upaya paksa lain yang akan diberlakukan kepada seseorang yang telah ditetapkan sebagai 47 Lihat Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 48 Lihat Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 49 Penetapan seseorang sebagai tersangka, penangkapan dan penahanan kesemuanya merupakan pengurangan kebebasan individu, yang seharusnya dirumuskan secara clear and clean dalam KUHAP. Perumusan parameter melakukan penetapan tersangka, mengeluarkan perintah penangkapan dan penahanan yang tidak jelas, karena tidak dirumuskannya pengertian yang memadai tentan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” dalam KUHAP, akibatnya hanya menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak adil dalam implementasinya di lapangan.[lihat putusan MK No.21PUU-XII2014 halaman 28 sebagai legal standing dari pemohon]. tersangka seperti dilakukannya penyitaan, penggeledahan dan lain sebagainya. Ketika seseorang merasa haknya dilanggar atas upaya paksa tersebut maka seorang warga negara mempunyai jalur yang dinamakan praperadilan dalam suatu upaya Hukum Acara Pidana Indonesia guna mempertahankan haknya. Praperadilan merupakan salah satu prinsip KUHAP yakni sebagai lembaga control. Adapun praperadilan sebagaimana Pasal 1 butir 10 KUHAP, adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus 50 : 1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. 3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Permintaan ganti kerugian yang diajukan ke praperadilan adalah akibat penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan Pasal 95 50 H aka Astana M.Widya,“Praperadilan dan Hakim Komisaris”,Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional,Jakarta:Komisi Hukum Nasional RI,2013,h.30-33.

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88

Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam Dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/Puu-Vi/2008)

0 27 119

Tinjauan Hukum Tentang Praperadilan Atas Status Tersangka Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

0 4 73

ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MENOLAK PENGUJIAN MATERIL TErHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN.

0 0 6

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XI/2013 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI (KAJ.

0 1 1

TESIS IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT DENGAN PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN

0 0 169

IMPLIKASI PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 TERHADAP SISTEM PERADILAN PIDANA Baktiar Ihsan Agung N 148040013 Hukum Pidana ABSTRAK - IMPLIKASI PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN

0 0 8