bahwa sebagai hukum, UUD harus mempunyai sifat normatif yang mengikat. Dalam sifatnya yang normatif tersebut, apalagi terjadi
pelanggaran, ia harus ditegakkan dengan mekanisme hukum atau melalui peradilan dan bukan lewat mekanisme politik
35
. Kehadiran sistem pengujian konstitusional ini ataupun
mekanisme „judicial review‟ yang terus berkembang dalam praktek di berbagai negara demokrasi, pada umumnya, disambut sangat antusias, baik
di dunia akademis maupun praktek, bahkan tidak kurang oleh lingkungan cabang kekuasaan kehakiman sendiri judiciary. Seperti dikemukakan
oleh Lee Bridges, Georges Meszaros dan Maurice Sunkin
36
, “Judicial review has been increasingly celebrated, not least by the
judiciary itself, as means by which the citizen can obtain redress against oppressive government, and as a key vehicle for enabling the judiciary to
prevent and check the abuse executive power.”
Pada umumnya, mekanisme pengujian hukum ini diterima sebagai cara negara hukum modern mengendalikan dan mengimbangi
“guarantees of the constitution”. Jadi dapat dikatakan bahwa hak menguji merupakan konsekuensi dari konstitusi tertulis, atau yang oleh Kelsen disebut konstitusi dalam arti formal, atau konstitusi
dalam arti sempit.
35
Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, h. 486
36
Jimly Ashiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, h.2.
check and balance kecenderungan kekuasaan yang ada di genggaman para jabatan pemerintahan untuk menjadi sewenang-wenang.
Adapun nilai uji dari undang-undang tersebut adalah nilai uji konstitusionalitasnya, yakni undang-undang tersebut diujikan baik dari
segi formiil ataupun materiil. Karena itu, pada tingkat pertama, pengujian konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas.
37
Dalam pengujian Pasal 7 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, pemohon mengungkapkan alasan
bahwa idealnya suatu Hukum Acara itu memberikan kesetaraan antara tersangka, terdakwa dengan penyidik dan penuntut dan kemudian
diberikan penilaian oleh hakim
38
. Pemohon menjadikan Pasal 28 I ayat 5 UUD 1945 dengan
adanya penjaminan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga ketentuan-ketentuan dalam
hukum acara pidana tersebut senantiasa harus sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Kalaupun ada pembatasan terhadap hak asasi manusia,
Pasal 28 J ayat 2 UUD 194 telah menegaskan bahwa pembatasan tersebut semata-mata dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain.
39
Maka, inilah yang menjadi bentuk realisasi
37
Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa,h.487.
38
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21PUU-XII2014 h.3.
39
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.21PUU-XII2014 h. 4.
negara hukum dalam prosedur pengujian undang-undang terhadap undang- undang dasar.
B. Penambahan Norma dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Pencapaian reformasi yudikatif yang telah dilakukan pada amandemen UUD 1945 ke tiga dengan memunculkan Mahkamah
Konstitusi sebagai peradilan konstitusi yang diharapkan akan mengemban amanah kewenangannya untuk dapat menegakkan hak konstitusional
warga negara. Terkait dengan hal tersebut, Hans Kelsen dalam bukunya General
Theory of Law and State 1973 mengemukakan bahwa kewenangan lembaga peradilan menyatakan suatu peraturan yang lebih rendah
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Pemikiran Judicial Review terus berkembang setelah kasus John
Marshall yang kemudian melahirkan istilah Judicial Review tersebut di atas. Sedangkan dalam pelembagaannya dikenal bahwa Hans Kelsen
sebagai perintis lahirnya Mahkamah Konstitusi pertama. Dalam istilah kelsen, pada proses legislasi,
“recognized the need for an institution with power to control or regulate legislation”. Lebih lanjut ditegaskan, bahwa
lembaga peradilan konstitusi ini berwenang membatalkan suatu undang- undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara
hukum. Dalam menjalankan fungsi ini, pemegang kekuasaan kehakiman bertindak sebagai negative legislator.
40
Artinya sifat dari kewenangan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan undang-undang hanya menentukan undang-undang tersebut
konstitusional atau inkonstitusional. Karena, jika diperhatikan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tidaklah semua yang ditambahkan
normanya. Melainkan hanya dilakukan pembatalan terhadap pasal atau undang-undang yang dianggap inkonstitusional.
Tidak hanya mengenai penambahan norma melainkan mengenai penghapusan norma, Mahkamah Konstitusi pun pada pertimbangan
resminya pada putusan perkara Nomor 122PUU-VII2009 yakni mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dimana pemohon dirugikan oleh butir 37 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang menilai kerugian itu karena penghapusan ketentuan demikian merupakan
hak pembentuk undang-undang.
41
Inilah yang menjadi problematika dalam putusan Nomor 21PUU- XII2014 yang akan diteliti penulis, bahwa dalam putusan ini Mahkamah
40
Lihat www.saldiisraa.co.id tulisan berjudul, “Negative Legislator” diakses pada 13 Juli
2015 Pukul 15.57.
41
Muchamad Ali Safa‟at, Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma dalam Undang- Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume
7 Nomor 1, Februari 2010, h.2.
Konstitusi tidak memberikan pernyataan yang sama terkait dengan penghapusan norma yang memang menjadi kewenangan ranah legislatif.
Jika dikaitkan dengan definisi norma yang artinya suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya
ataupun dengan lingkungannya.
42
Disamping itu, hukum menurut Hans Kelsen
adalah termasuk
dalam sistem
norma yang
dinamik nomodynamics, oleh karena itu hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh
lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk atau menghapusnya, sehingga dalam hal ini tidak dilihat dari segi isi norma
tersebut, tetapi dilihat dari segi berlakunya atau pembentukannya.
43
Maka penambahan norma dapat didefinisikan sebagai suatu penambahan ukuran
yang harus dipatuhi oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat erga omnes yakni mengikat semua
pihak tidak hanya pihak pemohon saja. Ketika sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikat semua pihak sedangkan diputus dengan prosedur
yang nyatanya tidak memperhatikan prinsip checks and balances. Hal itulah, yang menjadi alasan mengapa sebenarnya dalam
putusan MK telah memasuki wilayah positif legislatif, karena jika kembali pada pendapat Maria Farida Indrarti di atas, maka lembaga yang memiliki
kewenangan untuk menghapus dan membentuk norma adalah lembaga
42
Maria Farida Indrarti, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta : Kanisius, 2007, h.18.
43
Maria Farida Indrarti, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta : Kanisius, 2007, h.23.
yang sama. Dalam perspektif kelembagaan negara di Indonesia, lembaga yang memiliki otoritas tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
lembaga legislatif lembaga pembentuk undang-undang.
C. Penetapan Tersangka Sebagai Tambahan Objek Praperadilan
Dalam melaksanakan fungsi “penyelidikan” dan “penyidikan”, konstitusi memberi “hak istimewa” atau “hak previlese” kepada Polri
untuk: memanggil – memeriksa – menangkap – menahan – menggeledah –
menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana.
Akan tetapi, dalam melaksanakan “hak” dan “kewenangan istimewa” tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip: the right of due
process.
44
Permasalahan ini perlu disinggung karena pada kenyataannya masih banyak keluhan dari masyarakat tentang adanya berbagai tata cara
“penyelidikan” dan “penyidikan” yang menyimpang dari ketentuan hukum acara. Atau diskresi yang dilakukan penyidik sangat bertentangan dengan
HAM yang harus ditegakkan dalam tahap pemeriksaan, penyelidikan atau
44
Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara”. Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “supremasi hukum”,
dalam menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum no one is above the law, dan hukum harus diterapkan kepada siapapun berdasarkan prinsip
“perlakuan” dan dengan “cara yang jujur”.[Lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan, Jakarta:Sinar Grafika, cet ke-14,2012, h.95].